//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - thodi

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 9
1
Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga, dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.

[Dhammapada IX : 127] - Papa Vagga


Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.

[Dhammapada XII : 165] - Atta Vagga


Ada yang lebih baik daripada kekuasaan mutlak atas bumi, daripada pergi ke surga, atau daripada memerintah seluruh dunia, yakni hasil kemuliaan dari seorang suci yang telah memenangkan arus (sotapatti-phala).

[Dhammapada XIII : 178] - Loka Vagga

2
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
« on: 12 April 2013, 12:05:38 PM »
sayang nih gak di update lagi kumpulan cerita zen nya.. mari yg punya cerita lain tlg di share di sini  :) kalo yg saya punya sudah ada semua di thread ini..

3
Konsep Tuhan dalam Agama Buddha

Oleh Bhikkhu Kemanando
               
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke sorga ciptaan Tuhan yang kekal.

"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.

Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tipitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.

Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana batin manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya.

Tidak ada dewa – dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.

4
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh orang lain. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri.

[Dhammapada IV : 50] - Puppha Vagga

5
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh orang lain. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri.

[Dhammapada IV : 50] - Puppha Vagga

6
Semua saya rasa kembali ke niat  :) Bukankah seperti yang telah dikatakan oleh Sang Buddha bahwa Kamma itu adalah kehendak?

Pertama saya sangat setuju bahwa Dhamma tidak pantas dinilai / ditukar dengan uang/ materi lainnya..

Dan saya pribadi juga ikut mendaftar membayar Rp 150.000,- niatnya adalah bukan untuk membeli / menukar / menghargai dhamma dengan uang yang telah saya keluarkan, karena menurut saya dhamma itu tidaklah ternilai harganya  _/\_

Jadi saya memandang uang pendaftaran 150.000 itu adalah sebagai biaya booking tempat berlangsungnya acara, biaya makan peserta, cetak makalah dan sertifikat untuk kegiatan selama 4 hari tersebut.. mumgkin kalau ada sponsor yang bersedia mengeluarkan dana besar tidak ada penarikan dana tersebut, namun mungkin tidak ada sponsor yang didapat sesuai kondisi ideal tersebut, sehingga panitia menggalang dana dari umat untuk keberlangsungan acara tersebut..

Perlu dipertimbangkan juga bahwa banyak orang tua usia lanjut yang biasanya datang di kursus AME ini (hasil menonton video AME sebelumnya, ada banyak orang tua usia lanjut datang di acara ini), sehingga saya rasa tidak memungkinkan bila tempatnya di alam terbuka misalnya duduk2 di bawah tanah dll, sehingga dicarikanlah tempat yang memadai untuk pelaksanaan acara tersebut.

Demikian kalau menurut pendapat saya pribadi  _/\_

7
Mengapa tidak gratis ?  :(

Sepertinya biaya pendaftaran tersebut akan digunakan untuk biaya booking tempat berlangsungnya acara, biaya makan peserta, cetak makalah dan sertifikat untuk kegiatan selama 4 hari tersebut  :)

Saya pribadi sudah daftar di kegiatan tersebut  ;D dan saya rekomendasikan ke teman-teman saya karena menurut saya acara ini sangat bermanfaat untuk umat awam seperti saya yang ingin belajar tentang Abhidhamma  _/\_

8
Buddhisme untuk Pemula / Tabel 31 Alam Kehidupan
« on: 06 April 2013, 01:25:06 PM »
Tabel 31 Alam Kehidupan


Tabel 31 Alam Kehidupan: ShowHide



9
bagian 2

Kiamat

Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tapi hancur leburnya bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita. Sebab seperti apa yang telah diuraikan di halaman terdahulu, bahwa di alam semesta ini tetap berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi pula, bumi kehidupan manusia bukan hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat dalam tata surya – tata surya yang tersebar di alam semesta ini.

Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini menurut Anguttara Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali.

Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan pada akhirnya muncul matahari ketujuh.
Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.

Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain bukan berarti matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi matahari-matahari tersebut telah ada di alam semesta kita ini. Dalam setiap tata surya terdapat matahari pula.

Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet, tata surya, dan galaxi beredar menurut garis orbitnya masing-masing. Tetapi kita sadari pula, karena banyaknya tata surya di alam semesta kita ini, maka pada suatu masa garis edar tata surya kita akan bersilangan dengan garis orbit tata surya lain, sehingga setelah masa yang lama ada tata surya yang lain lagi yang bersilangan orbitnya dengan tata surya kita. Akhirnya tata surya ketujuh menyilangi garis orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah matahari menyinari bumi kita ini. Baiklah kita ikuti uraian tentang kiamat yang dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu:

Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan mati …..

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan tiada …..

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yanglama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada …..

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada …..

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut 100 yojana*, lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan surut 700 yojana. Air maha samudra tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima, empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudra tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua dan hanya sedalam tinggi seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut, hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki.

Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah dimana-mana air yang tersisa dari maha samudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran periuk yang mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah yang terjadi dengan bumi ini.

Demikianlah, para bhikkhu, semua bentuk (sangkhara) apa pun adalah tidak kekal, tidak abadi atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal.

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh muncul. Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma.

Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus yojana terbakar dan menyala ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun abu yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa. Demikian pula bumi maupun debu tidak tersisa sama sekali.

Catatan
*) Yojana adalah semacam ukuran yang ada di masa Sang Buddha yang jauhnya kira-kira 7 mil.

Keselamatan atau Kebebasan


Konsep ini pun sangat penting diperhatikan karena salah sebuah ajaran yang terpenting dari agama adalah tentang keselamatan atau kebebasan. Keselamatan atau kebebasan merupakan tujuan dari semua agama. Ada agama yang menjanjikan keselamatan bagi pengikutnya yang akan didapatnya setelah berbuat kebaikan selama hidupnya dan bila pengikut itu meninggal dunia maka di akhirat ia akan mendapat pahalanya hidup di alam surga untuk selama-lamanya dan menikmati kebahagiaan yang tiada taranya. Tetapi bila orang melakukan perbuatan-perbuatan yang salah, buruk dan tidak terpuji, maka sesudah ia meninggal dunia maka orang tersebut akan mendapat ganjaran yang menyedihkan di dalam neraka. Demikianlah ajaran yang umum diketahui oleh masyarakat termasuk umat Buddha.

Menurut pandangan agama Buddha pandangan yang menyatakan keselamatan yang dapat dinikmati setelah kematian adalah suatu pandangan yang spekulatif. Keselamatan menurut pandangan agama Buddha harus didasarkan pada akal dan pengalaman, seperti apa yang dikatakan oleh G.P. Malalasekera bahwa :

“Agama Buddha adalah ajaran empiris dan antimetafisika, dan tidak dapat menerima sesuatu yang tak dapat dialami oleh akal atau pancaindera”. Keselamatan atau kebebasan dapat dicapai dalam masa kehidupan kita sebagai manusia, dan kebebasan ini pun diketahui oleh orang bersangkutan pula, seperti apa yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Parinibbana Sutta :

Mengenai Bhikkhu Salba, O, Ananda, dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran batinnya selama hidupnya itu, maka ia telah memperoleh kebebasan batiniah dari noda, telah mendapatkan kebebasan melalui kebijaksanaan, dan hal itu telah dipahami dan disadarinya sendiri. Untuk mencapai kebebasan atau keselamatan, Sang Buddha telah menunjukkan jalan yang dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Dengan mengikuti jalan yang telah ditunjukkan ini kita dapat mencapai kesucian pada kehidupan sekarang ini juga, seperti apa yang diuraikan Beliau dalam Satipatthana Sutta, Digha Nikaya dan Majjhima Nikaya sebagai berikut :

Para bhikkhu, ini adalah satu-satunya jalan untuk mensucikan mahluk-mahluk, untuk mengatasi penderitaan duka nestapa, untuk menghancurkan kesusahan dan kesedihan, untuk mencapai jalan kebenaran, untuk mencapai Nibbana (nirvana), jalan itu adalah Empat Perkembangan Perhatian

Para bhikkhu, bilamana seseorang melaksanakan dengan sungguh-sungguh Empat Perkembangan Perhatian seperti ini selama tujuh tahun, maka salah sebuah dari dua hasil yang dapat dicapainya Pengetahuan (Kesuciannya) pada kehidupan sekarang ini, atau jika masih ada bentuk ikatan tertentu ia mencapai tingkat kesucian Anagami. Empat Perkembangan Perhatian tidak dapat diuraikan secara terperinci di sini, bila ada yang mau mempelajari dan melaksanakannya dapat melihat langsung pada Satipatthana Sutta atau dalam Visuddhi Magga (The Path of Purification). Empat Perkembangan Perhatian ini merupakan dasar dari meditasi Vipassana didasarkan pada segala sesuatu yang bersyarat adalah tidak kekal (anicca), segala sesuatu yang bersyarat adalah tidak menyenangkan (dukkha), dan segala sesuatu yang bersyarat maupun tidak bersyarat adalah tanpa aku atau jiwa yang kekal (anatta).

Demikianlah beberapa pokok pembicaraan tentang konsep-konsep agama Buddha yang berbeda dengan konsep-konsep dari agama lain. Tetapi sesungguhnya masih banyak hal lagi yang perlu dibicarakan tentang perbedaan pandangan agama Buddha dengan agama-agama lain maupun persamaan-persamaan agama Buddha dengan agama lain, tapi hal ini nanti dibahas pada kesempatan yang akan datang.

Selanjutnya ada sebuah pokok uraian dalam ajaran agama Buddha yang telah menyesatkan banyak penulis *, sehingga agama Buddha dianggap oleh mereka sebagai agama non-theis. Pandangan yang salah ini didasarkan pada pernyataan Sang Buddha sendiri dalam Brahmajala Sutta, di mana Sang Buddha menolak Maha Brahma sebagai Tuhan, Pencipta, Maha Kuasa dan seterusnya. Bilamana kita mengkaji secara cermat apa yang dinyatakan oleh Sang Buddha itu, maka kita akan mengerti apa yang dimaksudkan oleh Beliau, sebab Maha Brahma yang dimaksud dalam Brahmajala Sutta adalah dewa brahma yang salah mengerti tentang dirinya sendiri. Pernyataan Sang Buddha tersebut adalah sebagai berikut :

Para bhikkhu, pada suatu masa yang lampau, setelah berlangsungnya suatu masa yang lama sekali, ‘bumi ini belum ada’. Ketika itu umumnya mahluk-mahluk hidup di alam dewa Abhassara, di situ mereka hidup ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa hidup diliputi kemegahan, mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali. Demikianlah pada suatu waktu yang lampau ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali, bumi ini mulai ber-evolusi dalam pembentukan, ketika hal ini terjadi alam Brahma kelihatan dan masih kosong. Ada mahluk dari alam dewa Abhassara yang ‘masa hidupnya’ atau ‘pahala kamma baiknya’ untuk hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara itu dan terlahir kembali di alam Brahma. Di sini, ia hidup ditunjang pula oleh kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya-cahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali.

Karena terlalu lama ia hidup sendirian disitu, maka dalam dirinya muncullah rasa ketidakpuasan, juga muncul suatu keinginan, ‘O semoga ada mahluk lain yang datang dan hidup bersama saya di sini!’. Pada saat itu ada mahluk lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala kamma baiknya telah habis, mereka meninggal di alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi dalam banyak hal sama dengan dia.

Para bhikkhu, berdasarkan itu, maka mahluk pertama yang terlahir di alam Brahma berpendapat : “Saya Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari ynag telah ada dan yang akan ada. Semua mahluk ini adalah ciptaanku”.

Mengapa demikian? Baru saja terpikir, semoga mereka datang’, dan berdasarkan pada keinginanku itu maka mahluk-mahluk ini muncul. Mahluk-mahluk itu pun berpikir,’dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Kita semua adalah ciptaannya. mengapa? Sebab, kita muncul sesudahnya.

Para bhikkhu, dalam hal ini mahluk pertama yang berada di situ memiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada mahluk-mahluk yang datang sesudahnya.

Para bhikkhu, selanjutnya ada beberapa mahluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi. Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah-tangga dan menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka berkata : “Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang ada dan yang akan ada. Dialah yang menciptakan kami, ia tetap kekal keadaannya tidak berubah, ia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang ke sini adalah tidak kekal, berubah dan memiliki usia yang terbatas.” **

Dengan mengikuti uraian tentang Maha Brahma dengan segala sifat yang dimilikinya, kita mengerti bahwa wajar dan tepatlah tindakan Sang Buddha menolak paham Maha Brahma ini sebagai Tuhan Pencipta. Paham Maha Brahma sebagai pencipta ini dengan segala sifatnya diklasifikasikan sebagai salah sebuah pandangan sesat dari 62 pandangan sesat yang diuraikan dalam Brahmajala Sutta.
Setelah mengikuti uraian tentang konsep-konsep ajaran agama Buddha yang berbeda dengan konsep-konsep dari agama lain, maka nampak bahwa dasar-dasar pemikiran Buddhis adalah unik dan spesifik Buddhis. Berdasarkan pada dasar-dasar pemikiran itulah maka konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha pun berbeda dengan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dari agama-agama lain.

Catatan:
*) Mereka antara lain :
1.   Helmut von Glasenapp, Buddhism, A Non-Theistic Religion, lihat Bab II.
2.   Douglas M. Burns, M.D., Buddhism, Science and Atheism.

Kedua penulis ini menitikberatkan pengertian atau konsep Ketuhanan seperti konsep Ketuhanan yang ada pada agama lain di luar agama Buddha. Mereka menanggapi dengan serius tentang Maha Brahma sebagai pencipta yang ditolak oleh Sang Buddha. Bila Maha Brahma dilegitimasikan sebagai atau sama dengan Ketuhanan dalam agama tersebut, ini berarti bahwa Ketuhanan dalam agama tersebut pun turun derajatnya menjadi dewa atau manusia! Jelas pandangan seperti ini adalah keliru.

Menurut pandangan Buddhis, Maha Brahma yang disebutkan dalam Brahmajala Sutta adalah mahluk yang belum mencapi tingkat kesucian, dan pada suatu waktu kelak bila karma baik Maha Brahma tersebut untuk hidup di alam Maha Brahma itu telah habis, maka Maha Brahma itu akan terlahir di alam yang lebih rendah yaitu di alam para dewa (devaloka) atau terlahir sebagai manusia.

Banyak penulis yang berpandangan seperti di atas, tapi karena terbatasnya waktu maka cukup dua penulis itu yang disinggung di sini.
**) Sutta Pitaka, Digha Nikaya I, Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha hal 22-24 Kecuali alam Suddhavasa (Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan Akahittha) dari 31 alam ini yaitu 26 alam pernah menjadi tempat kelahiran dari mahluk yang telah menjadi manusia sekarang. Dengan kata lain kita dapat terlahir di 26 alam tersebut, tapi selama kita belum mencapai kesucian atau kebebasan mutlak maka alam kehidupan kita berubah terus. Terlahir kembali menurut pandangan Buddhis yaitu kelahiran seseorang di antara 31 alam kehidupan tersebut.

Dalam ungkapan “Bila seorang meninggal dunia maka ia akan langsung terlahir kembali” ini berarti orang tersebut langsung terlahir kembali di salah satu alam dari 31 alam, dan kelahiran ini tergantung dari amal perbuatan selama hidup juga sampai di mana kematangan batinnya. Lima alam Suddhavasa adalah khusus tempat kelahiran para anagami dan dari alam-alam Suddhavasa ini mereka akan parinibbana yang berarti tidak akan terlahir lagi sebagai mahluk di alam mana pun. Nibbana (nirvana) bukan alam tetapi sesuatu keadaan batin yang bebas dari belenggu.

Satu hari di alam Catummaharajika sama dengan 25 tahun di alam manusia.
Kappa atau kalpa sama dengan satu mil kubik berisi biji sesawi dikali 100 tahun untuk setiap biji sesawi tersebut.
Karena hidup di alam surga (dewa) maupun di alam rüpa lama sekali maka banyak mahluk di alam-alam itu salah mengerti dan berpendapat bahwa mereka itu kekal. padahal kehidupan di alam-alam itu tidak kekal.

sumber artikel : http://www.samaggi-phala.or.id/

10
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha

Oleh : Corneles Wowor, M.A.


bagian 1

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah “Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang” yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Mahaesa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain. Sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Hal inilah yang menjadi dasar penulisan ini.

Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang : Alam Semesta, Kejadian Bumi dan Manusia, Kehidupan Manusia di Alam Semesta, Kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.

Alam Semesta

Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut :
Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya kecil) ? ……. Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ……. Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). *
Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan “Dvisahassi majjhimanika lokadhatu”. Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan “Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu”.

Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.

Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyard tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi.

Catatan:
•   Buku Peringatan WAISAK 2528/1984 Yayasan Maha Bodhi Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 53. Dikutip dari Anguttara Nikaya, Ananda Vagga.
•   Jambudipa adalah belahan bumi bagian selatan.
•   Aparayojana adalah belahan bumi bagian barat.
•   Uttarakuru adalah belahan bumi bagian utara.
•   Pubbavideha adalah belahan bumi bagian timur

Kejadian Bumi dan Manusia

Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha, khususnya tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya seorang atau dua orang, tetapi banyak. Kejadian bumi dan manusia pertama di bumi ini diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Brahmajala Sutta. Tetapi di bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta yang akan diterangkan.

Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir kembali di Abhassara (alam cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.

Pada waktu itu (bumi kita ini) semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam belum ada, ….. laki-laki maupun wanita belum ada. Mahluk-mahluk hanya dikenal sebagai mahluk-mahluk saja.

Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warna tanah itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manis tanah itu. Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang memiliki sifat serakah (lolajatiko) berkata : ‘O apakah ini? Dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk dalam dirinya. Mahluk-mahluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari ….. mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka.

Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak ….. siang dan malam ….. terjadi.

Demikianlah, Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.

Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki tubuh yang buruk. Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk ….. maka sari tanah itupun lenyap ….. ketika sari tanah lenyap ….. muncullah tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko). Cara tumbuhnya seperti cendawan ….. Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali ….. (seperti di atas).

Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itu pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul ….. warnanya seperti dadi susu atau mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni ….. Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu ….. maka tubuh mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk ….. Sementara mereka bangga akan keindahan tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap.

Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap ….. muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, pada keesokkan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.

Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin.

Vasettha, ketika mahluk-mahluk lain melihat mereka melakukan hubungan kelamin ………

Catatan:
•Sutta Pitaka, Digha Nikaya. Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha. Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha, 1983, hal. 19 – 22. Kata-kata yang bergaris bawah adalah dari saya.
•Abhassara adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut agamaBuddha.

Untuk ini lihat TABEL Alam-alam kehidupan di bagian akhir dari penulisan ini.

•Kehidupan di alam Abhassara dapat dicapai oleh mereka yang melaksanakan meditasi ketenangan batin (samatha) hingga mencapai tingkat samadhi yang disebut Jhãna II. Bila orang yang telah mencapai tingkat Jhãna II ini meninggal dunia pada waktu ia berada dalam keadaan samadhi pada tingkat Jhãna II, maka ia otomatis akan terlahir kembali sebagai dewa brahma di alam Abhassara.

Kehidupan Manusia di Alam Semesta

Di kalangan masyarakat dan karena pengaruh pandangan atau ajaran dari agama-agama lain, banyak orang menganggap bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanya sekali saja. Pandangan ini berbeda sekali dengan agama Buddha, karena dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, Sang Buddha menerangkan tentang kehidupan manusia yang telah hidup berulang-ulang kali yang diingat berdasarkan pada kemampuan batin yang dihasilkan oleh meditasi. Sang Buddha mengatakan bahwa:

….. ada beberapa pertapa dan brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya, menjadi tenang, ia dapat mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 100, 1000, beberapa ribu atau puluhan ribu kehidupan yang lampau ….. 1, 2, 3, 4, 5, 10, kali masa bumi berevolusi (bumi terjadi dan bumi hancur, bumi terjadi kembali dan hancur kembali ….. dst.). ….. 20, 30, sampai 40 kali masa bumi berevolusi ….. (tetapi) Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh daripada jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut …..

Telah kita ikuti di atas bahwa menurut pandangan Buddhis, kehidupan atau kelahiran manusia bukan baru sekali saja tetapi telah berulang-ulang kali hidup di bumi ini dan juga hidup di bumi-bumi yang lain. Manusia atau mahluk hidup berpindah-pindah dari sebuah bumi ke bumi yang lain. Perpindahan kehidupan manusia dari sebuah bumi ke bumi yang lain disebabkan karena bumi yang dihuninya telah hancur lebur atau kiamat, maka setelah kematiannya di bumi tersebut ia terlahir di alam Abhassara (alam cahaya). Kelahiran di alam Abhassara ini dapat dicapai oleh orang yang melakukan meditasi ketenangan batin (samatha bhãvana). Alam Abhassara adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut kosmologi alam kehidupan Buddhis. Tentang 31 alam ini lihatlah TABEL ALAM-ALAM KEHIDUPAN.

Bila seseorang bermeditasi samatha bhãvana hingga mencapai tingkat Jhãna II, dan kalau orang tersebut meninggal dunia dalam kondisi meditasi pada Jhãna II tersebut maka ia akan terlahir sebagai Brahma di alam Abhassara dan hidup dengan masa usia yang lama sekali.
Dari ke 31 alam, kecuali lima alam Suddhavasa yaitu alam Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan Akanittha, adalah alam lokuttara (transenden) tempat kelahiran para Anagami*. Anagami adalah manusia atau mahluk yang telah melenyapkan 5 belenggu (samyojana)** dari 10 belenggu yang mengikat manusia. Anagami adalah manusia atau mahluk suci (ariya pugala) dari empat macam manusia suci menurut agama Buddha, yaitu : Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat. Anagami akan mencapi tingkat kesucian tertinggi (arahat) di salah satu alam Suddhavasa ini, dan ia parinibbana sebagai arahat di alam ini pula.

Manusia pada umumnya telah berulang-ulang kali masuk keluar hidup di 26 alam kehidupan. Kelahiran manusia di salah sebuah alam tergantung pada amal perbuatannya semasa hidupnya di sebuah alam.

Catatan

*) Manusia suci menurut pandangan Buddhis ada empat yaitu :

1.Sotapanna, orang suci yang paling banyak akan terlahir tujuh kali lagi.

2.Sakadagami, orang suci yang paling banyak akan terlahir sekali lagi.

3.Anagami, orang suci yang tidak akan terlahir lagi di alam manusia, tetapi langsung terlahir kembali di salah sebuah dari lima alam Suddhavasa. Dari salah sebuah alam Suddhavasa ini Anagami itu akan mencapai tingkat kesucian tertinggi sebagai Arahat dan akhirnya ia mencapai parinibbana.

4.Arahat, orang suci yang telah menyelesaikan semua usahanya untuk melenyapkan semua belenggu yang mengikatnya. Bila ia meninggal dunia, ia tidak akan terlahir di alam mana pun. Ia akan parinibbana.


**) Ada sepuluh macam belenggu (samyojana) yaitu :

1.Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal (sakkaya-ditthi).

2.Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang, juga tentang hukum sebab akibat (vicikicchã).

3.Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat mencapai kebebasan (silabbata-parãmãsa).

4.Nafsu indriya (kãma-rãga).

5.Dendam atau dengki (vyãpãda).

6.Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk (rüpa-rãga). Alam bentuk (rüpa-rãga) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Jhãna I, Jhãna II, Jhãna III atau Jhãna IV (lihat TABEL).

7.Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk (arüpa-rãga). Alam tanpa bentuk (arüpa-rãga) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Arüpa Jhãna I, Arüpa Jhãna II, Arüpa Jhãna III atau Arüpa Jhãna IV (lihat TABEL).

8.Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (mãna).

9.Kegelisahan (uddhacca). Suatu kondisi batin yang haus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).

10.Kebodohan atau ketidak-tahuan (avijjã).

Sotãpanna telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana),

yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa.

Sakadagami telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana)

yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa dan telah melemahkan belenggu (4) kãma-rãga dan (5) vyãpãda.
Anãgami telah melenyapkan lima belenggu (samyojana)

yaitu (1) sampai dengan (5).

Lima samyojana (1 – 5) dikenal sebagai lima belenggu rendah atau
Orambhãgiya-samyojana.

Arahat telah melenyapkan sepuluh belenggu (1 – 10).

Lima samyojana berikut yaitu samyojana 6 – 10 dikenal pula dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhãgiya-samyojana.
Orambhãgiya-samyojana dan Uddhambhãgiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat.

11
Berikut ada informasi kegiatan AME di Semarang tgl 15-18 April 2013, pembicaranya adalah Bhante Ashin Kheminda yang sangat terampil menyajikan materi Abhidhamma melalui bahasa yang mudah dipahami  _/\_

Ini brosur yang saya dapat melalui internet untuk kegiatan tersebut :

BROSUR AME SEMARANG 15-18 APRIL 2013: ShowHide


Untuk pendaftaran di acara tersebut silahkan menghubungi ke CP yang ada di brosur tersebut..

Ini ada cuplikan video AME pada bulan September 2012 yang lalu


Semoga informasi ini bermanfaat  _/\_

12
bagian 2..

Ayasma Kassapa lalu bertanya kepada Payasi apakah ia pernah mimpi waktu tidur.
"Sering", jawab Payasi. "Siang hari ini aku mimpi tentang sebuah taman yang indah, juga sebuah hutan dengan pemandangan alam yang menarik dan laut yang tenang."

"Akan tetapi", Ayasma Kassapa bertanya : "Apakah Anda ketika itu dijaga oleh badut-badut istana, orang-orang kerdil istana, dayang-dayang yang ditugaskan untuk mengipas dan gadis-gadis lain? Apakah mereka tidak melihat roh Anda keluar dari badan Anda? Demikian pula, mana mungkin Anda dapat melihat roh yang masuk dan keluar dari orang yang sudah mati?"

Tetapi Payasi masih memiliki alasan lain untuk membenarkan pandangannya. Ia pernah menyuruh untuk menimbang seorang penjahat ketika masih hidup dan kemudian memerintahkan para algojo untuk menjirat leher penjahat itu sampai mati. Setelah mati mayatnya kembali ditimbang. Dan ternyata bahwa ketika masih hidup timbangannya lebih ringan dibandingkan dengan ketika sudah menjadi mayat. Karena itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa tidak ada sesuatu yang hilang, bahkan rohpun tidak.

Ayasma Kassapa lalu membuktikan, bahwa jalan pikiran yang demikian itu salah dengan menuturkan cerita tentang sebuah bola besi.
"Bila sebuah bola besi dibakar sampai membara, maka timbangannya akan berkurang dibandingkan ketika masih belum dibakar. Begitu pula bila seorang manusia masih hidup, masih berhawa panas dan memiliki kesadaran, ia akan lemas dan lebih ringan daripada sesosok tubuh manusia yang mati, dingin dan tidak memiliki kesadaran lagi. Tubuh ini akan menjadi kaku dan berat."

Payasi lalu bercerita tentang suatu percobaan lain.
Seorang penjahat dihukum mati tanpa merusak kulit, daging dan tulang atau sumsum. Setelah orang itu mati, Payasi memerintahkan orang-orangnya untuk membaringkan mayat itu terlentang lalu menelungkup, miring, dan ditaruh dengan kepala di bawah. Setelah itu digosok-gosok, dipukul dengan batu, disikat dengan kayu lalu dengan pisau. Namun yang hadir tak dapat melihat ada roh yang keluar dari mayat itu.

Ayasma Kassapa lalu menceritakan sebuah kisah dari seorang peniup suling keong yang mengembara ke suatu negara asing, di mana para penduduknya belum pernah melihat orang meniup suling keong. Ia meniup tiga kali lalu meletakkan keong itu disampingnya. Penduduk setempat berduyun-duyun datang untuk melihat keong tersebut. Mereka miringkan keong itu ke kiri, kemudian ke kanan; mereka menggosok-gosok, menekan-nekan dan mengocok-ngocok, tetapi tidak ada suara yang keluar dari keong tersebut.
Akhirnya dengan tertawa peniup suling itu mengambil keong tersebut dan meniup tiga kali. Para penduduk setempat sekarang tahu bahwa hanya dengan ditiup keong itu dapat mengeluarkan suara.

Demikian pula halnya dengan tubuh manusia. Digabung dengan kehidupan, digabung dengan hawa panas, digabung dengan kesadaran, tubuh seorang manusia dapat berjalan, berdiri, duduk, berbaring, melihat bentuk-bentuk dengan mata, mendengar suara dengan telinga, mencium wewangian dengan hidung, menyentuh dengan jari tangan serta merasakan benda-benda dengan badan dan dapat mengerti paham dengan pikiran. Tetapi kalau tubuh kosong dari kehidupan, hawanya tidak lagi panas dan tidak lagi bergabung dengan kesadaran, maka tubuh itu tidak lagi dapat berjalan, berdiri.... Ini merupakan bukti pula untuk Anda, bahwa seyogyanya Anda harus percaya bahwa ada dunia lain...

Sekali lagi Payasi menceritakan Ayasma Kassapa tentang percobaan lain yang ia lakukan untuk menemukan roh manusia.
Ia memerintahkan membedah seorang penjahat dengan cara memotong kulitnya, dagingnya, tulangnya dan sumsumnya, tetapi lagi-lagi tidak dapat ditemukan roh yang dicari.

Dalam hubungan ini Ayasma Kassapa menceritakan sebuah perumpamaan tentang seorang pemuja api yang telah memungut seorang anak yatim piatu yang ditinggal dari sebuah kafilah. Ketika anak itu berumur duabelas tahun, pemuja api itu (yang juga seorang pertapa) ingin berkelana untuk beberapa waktu lamanya. Ia memesan kepada anak itu untuk menjaga api baik-baik dan jangan sampai padam. Tetapi kalau padam ia harus menyalakan kembali dengan menggosok-gosok dua batang kayu terus-menerus hingga keluar api.

Ketika pertapa itu sudah pergi, anak itu sepanjang hari terus-menerus bermain, sehingga api pujaan benar-benar padam. Anak itu ingat apa yang dikatakan ayah angkatnya, tetapi lupa cara menggunakan alat pembangkit api tersebut. Batang kayu itu dipotong-potong menjadi potongan-potongan kecil dan kemudian ditumbuk dalam sebuah lumpang. Tentu saja dengan cara itu ia tidak dapat menyalakan api. Ketika ayah angkatnya pulang dan melihat api pemujaan padam, ia lalu mengambil dua batang kayu dan digosok-gosok terus-menerus hingga panas dan akhirnya keluar api.

"O, Payasi, dalam hal yang sama adalah bodoh untuk mencari dunia halus dengan memakai cara yang salah seperti yang Anda lakukan hingga kini. O, Payasi, lepaskanlah pandangan keliru Anda agar Anda tidak tertimpa malapetaka dan penderitaan."
"Meskipun Ayasma Kassapa berkata demikian, namun aku tetap tidak dapat melepaskan pandangan tersebut. Raja Pasenadi dari Kosala dan semua raja tahu, bahwa Payasi memiliki pandangan tersebut. Yaitu, bahwa tidak ada dunia lain (halus), tidak ada tumimbal lahir dengan spontan dan tidak ada penanaman bibit dan pemetikan buah (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk. Kalau sekarang aku melepaskan pandangan tersebut, tentu saja mereka akan berkata : 'Sungguh bodoh Payasi itu dan ia sangat bebal untuk diberi pengertian. Untuk mencegah cemoohan orang, untuk menjaga kewibawaan (gengsi) dan sebagai tipu daya aku akan terus menerus menganut pandanganku tersebut."

"Kalau demikian halnya", berkata Ayasma Kassapa, "aku akan menceritakan lagi sebuah perumpamaan, yang dari padanya banyak orang pintar dengan jelas dapat melihat arti dari suatu persoalan.

Pada suatu ketika sebuah kafilah yang terdiri dari seribu kereta melakukan perjalanan dari negara Timur ke negara Barat. Dimanapun mereka tiba, biasanya rumput, air, rumput kering dan makanan habis terkuras. Karena itu mereka memutuskan untuk memecah kafilah mereka menjadi dua rombongan dari lima ratus buah kereta yang masing-masing dikepalai seorang kepala rombongan.

Kafilah pertama berangkat lebih dulu dengan membawa cukup bekal rumput, air, rumput kering dan makanan. Baru saja berjalan beberapa hari lamanya mereka bertemu dengan hantu jahat yang menyamar sebagai manusia. Kulitnya hitam, matanya merah, rambutnya awut-awutan dan dihias dengan bunga lotus. Pakaiannya basah dan ia mengendarai sebuah kereta bagus yang roda-rodanya basah dan penuh lumpur. Ketika ditanya dari mana ia datang, ia menjawab dalam perjalanan dilanda hujan lebat. Jalanan menjadi berlumpur dan rumput, kayu serta air dapat dijumpai dalam jumlah yang berlimpah-limpah. Pemimpin kafilah itu lalu memerintahkan untuk membuang semua persediaan rumput, kayu dan air, agar dapat berjalan lebih cepat karena lebih ringan. Mereka melanjutkan perjalanan satu hari, dua hari ... hingga enam hari. Tetapi mereka gagal menemui rumput, kayu atau air, sehingga pada hari ketujuh semuanya mati karena kehausan.

Hantu jahat lalu datang makan daging mereka, sehingga dari mayat-mayat orang dan binatang yang tertinggal hanya tulang-belulang saja.
Beberapa hari kemudian, kafilah kedua berangkat dengan membawa bekal rumput, kayu dan rumput kering dengan cukup. Baru berjalan beberapa hari, hantu jahat yang sama, dengan menyamar sebagai manusia, kembali mencegat perjalanan kafilah yang kedua dan menuturkan kisah yang sama. Kemudian ia membujuk agar semua persediaan rumput, kayu dan air dibuang saja. Tetapi pemimpin rombongan kafilah kedua ini adalah seorang cerdas dan berpengetahuan luas yang tidak begitu saja mau percaya omongan orang yang tidak dikenal. Ia memerintahkan melanjutkan perjalanan dan jangan membuang persediaan kayu, rumput dan air. Pada hari ketujuh mereka menjumpai reruntuk serta tulang-belulang dari kafilah yang pertama. Pemimpin rombongan lalu berkata : 'Kafilah ini telah musnah, karena kebodohan dari pemimpinnya. Sekarang tukarlah barang-barang yang kurang berharga dari keretamu dengan barang-barang yang lebih berharga yang dapat diketemukan dari kafilah pertama dan kemudian marilah kita lanjutkan perjalanan kita.'

Akhirnya tibalah mereka dengan selamat di tempat tujuan berkat pemimpin mereka yang pintar dan berpengetahuan luas. Begitu pulalah, Payasi, sebagaimana juga pemimpin rombongan kafilah pertama Anda akan hancur dengan mencari dunia lain (halus) dengan memakai cara yang salah. Lepaskanlah pandangan keliru Anda agar Anda kelak tidak mengalami celaka."
"Meskipun Ayasma Kassapa berkata demikian, namun aku tetap tidak mau melepaskan pandanganku tersebut untuk menjaga kewibawaan dan mencegah cemooh orang dan sebagai tipu daya", jawab Payasi.

Lalu Ayasma Kassapa menceritakan lagi sebuah perumpamaan dari seorang peternak babi yang dalam perjalanan pulang ke rumah dari sebuah kampung lain melihat timbunan besar kotoran yang sudah kering. Ia berpikir : "Kotoran ini merupakan makanan yang baik untuk babi-babiku." Kemudian ia membuat bungkusan besar dari kotoran kering tersebut dan dipikul di pundak untuk dibawa pulang. Tetapi dalam perjalanan pulang ia ditimpa hujan lebat, sehingga ketika tiba di rumah pakaian dan badannya basah kuyup dan berlumuran kotoran. Orang kampung yang melihat kejadian tersebut mentertawakan peternak itu atas ketololannya.
Peternak babi itu dengan marah menjawab : "Kamu sendiri yang tolol. Kotoran itu merupakan makanan baik untuk babiku!"

"Dalam hal yang sama Anda mirip dengan orang yang memikul kotoran itu, Payasi."
Tetapi Payasi tetap tidak mau melepaskan pandangannya yang keliru untuk mencegah cemoohan orang, untuk menjaga kewibawaannya dan sebagai tipu daya.

Ayasma Kassapa kemudian menceritakan sebuah kisah tentang dua orang pemain dadu. Salah seorang pemain setiap kali sebelum bermain memasukkan biji dadu ke dalam mulutnya dan ia selalu menang. Karena itu pemain kedua berkata kepadanya : "Kamu selalu menang. Marilah sekarang kita saling tukar biji dadu dulu."
Biji-biji dadu mereka ditukar. Pemain kedua lalu mengoleskan racun pada biji dadu tersebut. Kemudian mengajak mengajak pemain pertama untuk bermain dadu lagi. Biji-biji dadu mereka kembali ditukar. Seperti biasa ia memasukkan biji dadu itu sebelum bermain ke dalam mulutnya; dan tentu saja ia mati keracunan.

"Nah, Anda mirip dengan pemain dadu tersebut. Lepaskanlah pandangan keliru Anda, sehingga Anda kelak tidak mengalami celaka."
Tetapi Payasi tetap kukuh pada pendiriannya, sehingga Ayasma Kassapa terpaksa menuturkan sebuah perumpamaan lagi.

Karena sesuatu sebab, pada suatu hari seluruh penduduk dari sebuah kampung pergi mengungsi. Seorang penduduk kampung lain berkata kepada kawannya : "Hai kawan, mari kita mengunjungi kampung tersebut. Barangkali saja kita akan menemukan sesuatu yang berharga tertinggal di sana." Berangkatlah kedua kawan tersebut ke kampung yang telah kosong itu. Di sana mereka menemukan setumpuk rami. Mereka masing-masing lalu membuat dua ikatan besar, masing-masing memikul sebuah ikatan dan kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Tidak lama kemudian mereka menemukan tumpukan kulit kayu. Orang yang pertama mengatakan kepada kawannya : "Hai, kawan, lebih baik kita buang saja ikatan rami yang kita bawa sekarang dan menukarnya dengan kulit kayu ini yang lebih berharga." Tetapi kawannya menjawab, bahwa ia sudah puas dengan ikatan rami dan tidak ingin menukarnya dengan kulit kayu. Setelah itu mereka menemukan kemeja-kemeja berbulu, kemudia kain linnen. Seterusnya mereka menemukan timah putih, tembaga, perak dan akhirnya emas. Setiap kali orang yang pertama menukar bawaannya dengan yang lebih berharga, hanya kawannya dengan kukuh tetap saja memikul ikatan rami.

Akhirnya mereka tiba kembali di kampung tempat tinggal mereka. Orang yang memikul rami tidak disambut oleh istri, anak-anak dan kawan-kawan sekampung. Sebaliknya kawannya yang membawa pulang emas disambut dengan meriah oleh istrinya, anak-anaknya dan kawan-kawan sekampung, sehingga ia merasa bahagia sekali.

"O, Payasi, Anda mirip dengan si keras kepala yang memikul terus ikatan rami. Lepaskanlah pandangan Anda yang keliru dan janganlah menunggu ia kelak mengakibatkan Anda celaka!"

Akhirnya Payasi mengaku, bahwa sejak mendengar perumpamaan pertama ia sudah merasa gembira dan mengerti, namun ia ingin mendengar lebih banyak penjelasan dan keterangan. Karena itulah ia bersikeras dan tetap ingin berdebat dengan Ayasma Kassapa.

"Mengagumkan, Bhante, mengagumkan sekali! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, atau memperlihatkan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan lampu di waktu gelap gulita, sambil berkata : 'Siapa yang punya mata, silakan melihat.' Demikianlah Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Bhante. Karena itu aku ingin mencari perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Mohon Bhante berkenan menerima diriku sebagai siswa mulai hari ini hingga meninggal dunia. Mohon dengan hormat Bhante memberikan petunjuk kepadaku yang dapat digunakan untuk kesejahteraan dan keselamatanku."
Ayasma Kassapa lalu meberikan petunjuknya.

"Apabila persembahan (dana) diberikan dengan jalan membunuh sapi, kambing, babi dan mahkluk-mahkluk lain, dan para pemberi dana masih dihinggapi pandangan salah dan pikiran salah, mengucapkan kata-kata salah, melakukan perbuatan dan mempunyai mata pencaharian salah, maka dana itu tidak bernilai tinggi, tak dapat membawa kemajuan apa-apa, tidak cemerlang dan tidak bercahaya. Seperti juga halnya seorang petani, dengan membawa bibit dan luku, ingin menanam sesuatu di tanah buruk yang belum dibersihkan dari belukar berduri dan akar-akar. Kalau bibit itu kelak menjadi kering oleh hembusan angin dan teriknya sinar matahari, sedang hujan tidak kunjung turun untuk menyiram tanah yang kering itu. Apakah mungkin bibit itu dapat bersemi dan menjadi besar?"

"Tidak mungkin, Bhante."

"Sebaliknya, Payasi. Apabila persembahan (dana) diberikan dengan tidak membunuh binatang-binatang dan para pemberi dana memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, daya upaya benar, perhatian benar dan konsentrasi benar; persembahan (dana) demikian itu membawa pahala besar sekali, bercahaya, cemerlang dan bersinar hingga jauh. Kalau seorang petani menanam bibit di tanah subur dan hujan sewaktu-waktu turun, apakah bibit itu akan bersemi dan dapat menjadi besar kelak? Dan apakah Pak Tani itu tidak akan mendapat panen yang baik?"

Payasi, setelah pandangan kelirunya diluruskan oleh Ayasma Kassapa, setelah wafat masuk dalam alam sorga dari Empat Raja Dewa.

13
PAYASI SUTTA

Sumber: Aneka Sutta - Penyusun : Maha Pandita Sumedha Widyadharma
Diterbitkan oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda 1992


bagian 1

Pada suatu Ketika, Ayasma Kumara Kassapa Sedang mengembara dari kota ke kota di negara Kosala, dengan diiringi lima ratus orang bhikkhu, dan tibalah mereka di sebuah hutan dekat kota Setavya. Di kota Setavya juga bertempat tinggal seorang raja muda, panglima perang, yang bernama Payasi. Payasi ini menganut pandangan (keliru) sebagai berikut :

"Tidak ada dunia lain (halus), tidak ada tumimbal lahir secara spontan (opapatiko), tidak ada penanaman bibit dan pemetikan buah (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk."

Ketika mendengar bahwa Ayasma Kassapa berdiam di hutan dekat kota Setavya, Payasi memutuskan untuk pergi menjumpainya. Setelah memberi hormat sebagaimana layaknya, Payasi lalu memberitahukan Ayasma Kassapa tentang pandangannya yang sudah dikenal oleh khalayak ramai.

Ayasma Kassapa menjawab : "Akupun sudah mendengar tentang hal itu. Tetapi bagaimanakah orang dapat mempunyai pandangan seperti itu? Apakah anda mungkin mempunyai alasan-alasan tertentu?"

"Memang demikian halnya," jawab Payasi, dan kemudian melanjutkan : "Kawan-kawanku, keluargaku dan saudara-saudaraku yang biasa membunuh, mengambil barang-barang yang tidak diberikan (mencuri), pikirannya penuh keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, pada suatu hari sakit payah dan sangat menderita. Ketika aku mendengar ajalnya akan segera tiba, aku memerlukan menjenguknya untuk menitipkan pesan : 'Saudaraku yang tercinta. Para pertapa dan bhikkhu percaya bahwa siapa yang suka membunuh, mencuri, melakukan perbuatan asusila, berdusta, memfitnah, suka bertengkar dan berbicara hal-hal yang tidak berguna, pikirannya penuh keserakahan, kebencian dan kegelapan batin; kalau kelak mereka meninggal dunia dan badan jasmaninya hancur, roh mereka akan melalui sebuah lorong gelap masuk ke dalam neraka. Dan begitu pulalah kehidupan saudaraku. Kalau sekiranya ucapan para pertapa dan bhikkhu itu benar dan saudaraku betul-betul masuk ke dalam neraka, aku mohon dengan sangat agar saudaraku mau kembali lagi ke dunia untuk memberi kabar kepadaku : 'Memang benar ada dunia lain,...'

Saudaraku yang tercinta. Aku percaya penuh kepada Anda; apa yang Anda lihat sama juga seperti aku melihatnya sendiri. Mohon dengan sangat agar harapanku tidak sia-sia hendaknya. Dengan kata-kata : 'Tentu saja tidak', ia dengan khikmat berjanji kepadaku. Tetapi kenyataannya tidak seorangpun pernah kembali untuk memberi kabar kepadaku. Inilah salah satu sebab yang memperkuat pandanganku."
Setelah mendengar uraian tersebut, Ayasma Kassapa lalu menceritakan satu perumpamaan tentang penjahat dan algojonya.

"O, Payasi, andaikata pada suatu hari seorang penjahat dibawa kehadapan Anda dan Anda diminta untuk mengadilinya; dan Anda memerintahkan agar penjahat itu dipenggal lehernya sekarang juga. Andaikata penjahat itu memohon kepada algojo agar pelaksanaan hukuman ditunda dulu hingga ia sempat memberi kabar kepada kawan-kawannya dan keluarganya. Apakah menurut pendapat Anda, algojo itu mau menunda pelaksanaan hukuman orang itu ataukah ia segera melaksanakan hukuman mati tersebut?"

Payasi harus mengakui bahwa algojo pasti tidak mau meluluskan permohonan penjahat itu.
"Nah, Payasi yang terhormat. Kalau seorang penjahat tidak diberi ampun oleh algojo di dunia ini, apakah Anda mengira bahwa kawan-kawan Anda yang terdiri dari pembunuh, pencuri, orang cabul, pendusta, pemfitnah dan yang suka omong kosong, pikirannya penuh dengan keserakahan, kebencian dan kegelapan batin dapat diberi ampun?

Setelah meninggal dunia,  mereka akan melalui sebuah lorong gelap masuk ke dalam neraka. Di neraka mereka memohon kepada para algojo dengan kata : 'Mohon dengan hormat kepada Bapak Algojo agar sudi menunda dulu pelaksanaan hukuman kami hingga kami dapat memberi kabar kepada raja muda Payasi di dunia, bahwa setelah mati memang ada dunia lain (halus).' Apakah Anda berpendapat bahwa para algojo mau meluluskan permintaan mereka?"

Karena Payasi rupa-rupanya masih belum dapat diyakinkan, maka Ayasma Kassapa lalu menanyakan tentang kemungkinan masih ada sebab-sebab lain.Atas pertanyaan ini Payasi menceritakan, bahwa iapun mempunyai kawan dan sanak-keluarga yang belum pernah membunuh makhluk-makhluk hidup dan selalu melaksanakan tata hidup yang saleh dan terpuji.Kepada merekapun diminta untuk memberi kabar setelah mereka mati dan kelak masuk sorga. Tetapi mereka tidak pernah kembali atau kirim berita.

"Baiklah, Panglima yang terhormat. Sekarang aku ingin menceritakan sebuah perumpamaan, yang dari padanya banyak orang pintar dapat menangkap arti yang sesungguhnya dari suatu kotbah.

Andaikata ada orang yang terjatuh ke dalam jamban dan Anda memerintahkan budak Anda untuk menariknya keluar dari jamban tersebut. Lalu orang itu disikat dan dicuci bersih, kemudian disiram tiga kali dengan minyak wangi, rambut serta janggutnya disisir rapi, diberi pakaian bagus dan dibawa ke sebuah istana di mana ia dapat menikmati kesenangan dari kelima indriyanya.
Sekarang aku ingin bertanya : Apakah orang itu ingin kembali ke dalam jamban? Mengapa tidak? Jamban adalah kotor dan berbau busuk, memualkan, mengerikan dan memperlihatkan perbedaan seorang manusia biasa dari seorang dewa.

O, Payasi yang baik. Dari jarak seratus mil bau seorang manusia dapat mengusir para dewa. Bagaimana mungkin sahabat-sahabat Anda yang menyukai kehidupan saleh dan sekarang masuk ke sorga, ingin kembali ke dunia untuk memberi kabar kepada Anda : 'Memang benar terdapat suatu dunia lain (halus), memang benar terdapat tumimbal lahir spontan ...."

"Selain dari itu", Ayasma Kassapa melanjutkan : "kalau kita di dunia ini satu abad, di alam sorga dari Tigapuluh Tiga Dewa berarti satu hari satu malam. Tiga puluh malam demikian itu merupakan satu bulan, dua belas bulan merupakan satu tahun; dan kehidupan di alam Tigapuluh Tiga Dewa tersebut berlangsung selama seribu tahun yang demikian itu.

Nah, kawan-kawan serta sanak keluarga Anda yang tidak pernah membunuh makhluk hidup, tidak pernah berdusta, ... setelah badan jasmani mereka hancur pasti masuk ke alam sorga.

Andaikata mereka berpikir : 'Setelah kami berdiam di alam sorga ini untuk dua atau tiga hari dan menikmati dulu kesenangan kelima indriya kami, maka kami baru kembali ke dunia untuk memberitahukan Payasi bahwa memang benar terdapat sebuah dunia lain (halus), bahwa tumimbal lahir spontan memang benar adanya dan menanam bibit serta memetik buahnya (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruknya merupakan kenyataan.' Apakah mereka dapat melaksanakan apa yang mereka pikir?"

"Tentu saja tidak", jawab Payasi, "sebab kami semua pasti sudah meninggal dunia. Tetapi, Ayasma Kassapa, siapakah yang memberitahukan Anda tentang adanya alam dari Tigapuluh Tiga Dewa dan bahwa mereka dapat hidup sampai sekian lama? Aku menyesal harus tidak percaya apa yang Anda katakan."

Ayasma Kassapa lalu menjawab ; "O, Payasi, Anda mirip dengan seorang yang sejak lahir buta matanya, seorang yang tidak dapat melihat benda-benda yang berwarna hitam, putih, biru, kuning, merah atau hijau; tidak dapat melihat apa yang sama dan apa yang tidak sama; tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari. Orang itu kemudian berkata :'Aku tidak tahu tentang hal itu; aku tidak melihat apa-apa, karena itu benda-benda tersebut tidak mungkin ada.'

Cobalah Anda pikir, apakah orang buta yang mengucapkan kata-kata tersebut di atas, mengatakan sesuatu yang benar?"
"Tentu saja tidak", jawab Payasi.

"Nah, demikianlah sebenarnya keadaan Anda, Payasi yang terhormat. Anda mirip dengan seorang yang sejak dilahirkan buta matanya. Ketahuilah bahwa alam halus tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

Para pertapa dan bhikkhu yang hidup menyepi dan melakukan meditasi untuk waktu yang lama, telah melatih mata batin mereka sehingga dapat melihat hal-hal yang tidak terlihat dengan mata biasa. Dengan mata batin mereka dapat melihat dunia ini dan juga alam halus dan mereka yang bertumimbal lahir secara spontan.

Payasi masih saja belum dapat diyakinkan dan memberi bantahan baru, bahwa melihat para pertapa dan bhikkhu yang saleh dan selalu mempunyai itikad baik; tetapi mereka memilih untuk tetap hidup dan tidak ingin cepat-cepat mati. Mereka tetap ingin menikmati hidup dan membenci kematian. Karena itu aku berkata kepada diriku : "Kalau saja para pertapa dan para bhikkhu yang terhormat itu benar-benar tahu bahwa keadaan mereka setelah mati akan menjadi lebih baik, maka pastilah sekarang juga mereka akan minum racun atau membunuh diri dengan menggunakan senjata tajam atau menggantung diri atau menjatuhkan diri mereka dari atas batu karang yang tinggi. Tetapi justru karena sangsi, apakah mereka kelak setelah mati dapat masuk sorga, maka mereka memilih untuk hidup lebih lama dalam dunia ini dan tidak ingin cepat mati; mereka memilih hidup senang dan mengelakkan penderitaan."

Inilah sebab lain lagi, sehingga aku percaya bahwa dunia halus tidak ada dan tumimbal lahir secara spontan tidak ada,..."
Ayasma Kassapa kemudian menceritakan sebuah perumpamaan dari seorang yang mempunyai dua orang istri. Istri pertama mempunyai anak laki-laki berumur duabelas tahun, sedang istri kedua sedang hamil ketika suaminya meninggal dunia.

Setelah ayahnya meninggal dunia, anak laki-laki itu menagih warisan kepada istri kedua dari mendiang ayahnya. Atas tagihan ini istri kedua mohon ditunda dulu sampai bayi yang sedang dikandungnya itu lahir. Kalau bayi itu seorang anak laki-laki, maka bayi laki-laki itu berhak atas sebagian warisan ayahnya. Kalau bayi itu perempuan, maka warisan itu seluruhnya akan menjadi milik si anak laki-laki dari istri pertama. Tetapi si anak laki-laki itu tak sabar menanti dan terus-menerus mendesak. Karena kesal, istri kedua itu lalu masuk ke kamarnya dan membedah perutnya sendiri untuk melihat apakah bayi yang sedang dikandungnya itu laki-laki atau perempuan. Dengan demikian tentu saja ia kehilangan nyawa bayinya, kehilangan nyawanya sendiri dan kehilangan bagian dari warisan mendiang suaminya.

Dengan cara yang sama, Payasi yang terhormat, Anda akan mengalami malapetaka hanya karena keingintahuan Anda tentang alam halus. Para pertapa dan bhikkhu yang saleh dan mempunyai itikad baik tidak akan memetik buah yang belum matang. Lagi pula, lebih lama mereka hidup di dunia ini, lebih banyak dapat mereka manfaatkan hidup mereka untuk kepentingan para manusia dan para dewa. Ini merupakan bukti pula, Payasi, bahwa memang terdapat dunia lain..."
Namun Payasi masih mempunyai alasan lain untuk membela pendiriannya. Ia mengatakan bahwa ia pernah menyuruh membakar seorang penjahat sampai mati dalam sebuah tempayan besar yang ditutup rapat dan disegel. Sesudah itu dengan hati-hati ia menyuruh buka tempayan itu, tetapi tidak ada roh yang tampak keluar dari tempayan tersebut.

bersambung ke bagian 2..

14
Meskipun tuhan bertiga, tetapi tetap satu. CMIIW

sepertinya sih seperti itu  ;D atau ada member DC yg pastor gak disini buat jelaskan konsep ini  :hammer:

15
Air mata yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya

 _/\_

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 9