//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - vincentliong

Pages: [1]
1
Meditation (from From Wikipedia, the free encyclopedia)
e-link: http://en.wikipedia.org/wiki/Meditation
“ Meditation is discipline in which one attempts to get beyond the conditioned, "thinking" mind into a deeper state of relaxation or awareness. …”

1a. "beyond - thinking" adalah/jelaskan:
1b. "conditioned thinking" adalah/jelaskan:
2. "deeper state of relaxation or awareness" adalah/jelaskan:




1a. "beyond - thinking"

input indrawi -> naluri/insting -> output spontan.
input indrawi -> thinking -> output tidak spontan.
input berupa pemikiran -> thinking -> output tidak spontan.
Bilamana suatu data telah bersifat thinking maka pengalaman indrawi akan. kalah/tertutupi oleh kegiatan berpikir (thinking) sehingga bersifat tidak spontan.
Kondisi beyond thinking hanya bisa terjadi bila samasekali belum berpikir (thinking).

Problemnya: penjelasan berupa ajaran lisan/tertulis diproses menggunakan kegiatan berpikir (thinking). Jadi bagaimana mengakali agar suatu kegiatan yang sudah memiliki ajaran (thinking) menjadi before/beyond thingking? 

Ketika orang bertemu maka mengucapkan salam: “Apakabar?” dan jawaban yang standart “baik”. “How are you ?” dijawab “I’am fine thank you.”. Mengapa hal ini dilakukan? Jawab: untuk mencairkan suasana, untuk menghilangkan praduga/asumsi. Sama seperti apa rasa minuman ini? Jawab: Manis.   

Jadi selama sebuah kegiatan meditasi mampu mencaikan suasana, mencairkan praduga, asumsi/penghakiman, dlsb maka memenuhi definisi meditasi menurut point “1a” tsb di atas.


1b. "conditioned thinking"

"conditioned thinking" adalah pikiran yang dikondisikan oleh pihak lain; ajaran lisan/tertulis adalah contoh "conditioned thinking".

Jadi bagaimana “mengajarkan suatu ajaran” (conditioned thinking) yang tidak "conditioned thinking"?
* Saat memperkenalkan suatu jenis produk meditasi, mau tidak mau ada ajaran yang diceritakan untuk menjelaskan apa sich produk meditasi tsb, apa gunanya, dlsb; jadi sangat mustahil mengajarkan meditasi tanpa melanggar point "beyond conditioned thinking" ini meskipun pada akhir sesi meditasi dan setelah mengalami meditasi maka hal ini harus terpenuhi sebagai hasil akhir.
* Jadi ada dua cara yang bertolakbelakang satu sama lain dalam mengajarkan suatu metode/tekhnik meditasi; pertama-tama melanggar point "beyond conditioned thinking" terlebih dahulu, sampai orangnya berminat dan memutuskan untuk mencoba, lalu setelah itu “conditioned thinking" harus dibunuh dengan metode/tekhnik yang melunturkan “conditioned thinking" tersebut kembali menjadi "beyond conditioned thinking".
* Bagaimana keterampilan seorang guru harus mampu menentukan kapan dia menjadi guru yang bersikap “conditioned thinking" dan kapan harus mampu menghancurkan/melunturkan “conditioned thinking" tersebut.

Seperti orang membuat batik tulis, setelah digambar dengan lilin, lalu dicelup ke dalam pewarna lalu lilinnya disingkirkan, fungsi lilin adalah agar pewarna mewarnai daerah yang diinginkan saja dan tidak mewarnai daerah yang tertutup lilin. Berbagai tindakan yang berlawanan dilakukan demi mencapai hasil yang diharapkan.


2. "deeper state of relaxation or awareness"

"deeper state of relaxation or awareness" adalah bahasa keren/indah untuk menjelaskan kondisi "beyond conditioned thinking" meskipun penjelasan yang digunakan oleh pengajar pada saat menerangkan produk meditasi kepada calon pengguna sudah bersifat “conditioned thinking" yang harus dilunturkan pada tahap praktikum metode/tekhnik meditasi.
* Apa sich arti orang sedang di kondisi "deeper state of relaxation”?
Jawab: belum/tidak sedang berpikir.
* Apa sich arti seseorang sedang di kondisi “aware”?
Jawab: Mengalami data secara utuh/lengkap, kondisi ini hanya bisa didapatkan saat seseorang belum berpikir yaitu saat seseorang mengalami pengalaan indrawi yang tidak terbatasi oleh kata-kata.   


Prasyarat-prasyarat tersebut di atas adalah prasyarat suatu kegiatan/tekhnik/metode/ritual yang dinamakan “meditasi” memiliki standart yang memenuhi criteria untuk pantas disebut “meditasi”. Bila hal-hal tsb di atas tidak terpenuhi maka meski namanya “meditasi”, menggunakan berbagai atribut budaya yang berkesan pencerahan spiritual, sebenarnya hal tsb tidak pantas disebut “meditasi”. Jadi keberhasilan “meditasi” sangat ditentukan oleh keterampilan guru dan efektifitas metode untuk menciptakan kondisi “meditasi”.

Ada komentar?

2
Note: Saya memposting beberapa tulisan ini atas permintaan karuna_murti. « Last Edit: Today at 05:19:26 PM by vincentliong »




Meditasi: aliran mitologi, mitos dan logos

Ditulis oleh: Vincent Liong



Menjawab pertanyaan sdr. Sriastutivirgo saya kira perlu sebelumnya saya membahas salah satu soal ujian tengah semester (UTS) matakuliah filsafat umum dan logika yang saya hadapi tadi siang, yaitu soal hubungan antara mitologi, mitos dan logos.

Pada masa awal dari usaha manusia untuk berpikir, manusia membuat mitologi yang bercerita tentang alam semesta dan kejaidian-kejadian yang dapat disaksikan dan dialami oleh manusia di dalamnya. Perpecahan jurusan mulai terjadi antara dua usaha yang berlawanan dalam tata-cara untuk memproses mitologi di dalam pikiran manusia;
* mitologi menjadi mitos
Jawaban yang diberikan berusaha meloloskan diri dari rasio dan usaha untuk berpikir, dengan membangun ‘keyakinan’(percaya tanpa perlu bukti kongkrit)/ believe sistem warisan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di dalam mitologi kehidupan individu manusia dalam interaksi dengan di luar dirinya.
* mitologi menjadi logos
Jawaban yang diberikan berusaha menekankan proses akal budi dan rasio untuk mencari kebenaran melalui metodologi yang jelas dan rapi.

Nah, setelah terjadi perpecahan antara dua jurusan soal proses yang dianggap benar dalam mencari kebenaran; maka timbullah kelompok-kelompok keyakinan, keagamaan yang menjadi terpisah dengan kelompok-kelompok ilmuan.

Dalam kenyataannya dua kegiatan ini tidak bisa dipisahkan. Kegiatan untuk bermain simbol yang menjadi pekerjaan para pencinta mite dan kegiatan bermain akal budi dan rasio ala pencinta ilmupengetahuan adalah bioptional sistem yang sudah inheren sejak manusia itu lahir. Maka dari itu manusia yang katanya ilmuan sekalipun masih mau dan memerlukan agama begitu juga para agamawan masih bermain dengan ilmupengetahuan ala logos.

LOGOS yang terpisah dengan mitos menimbulkan masalah baru bahwa dalam logos yang pada satu titik pencapaian tertentu, merasa telah menemukan kebenaran hakiki yang disebut empiris, logis, dlsb yang akhirnya menghentikan proses mencari kebenaran tsb. Sekolah, kuliah dlsb yang mengatasnamakan ilmupengetahuan hanya berhenti menjadi kegiatan copy&paste atas believe sistem warisan / kebenaran yang dianggap terakhir, paling benar yang berlaku dari satu generasi ke generasi selanjutnya tanpa usaha / kemalasan untuk meng-update sesuai perkembangan jaman dengan berlindung di balik kemapanan. Suatu usaha mencari ilmupengetahuan menjadi berubah urutannya menjadi; 1. Korelasi / perbandingan antar kesimpulan / teori / jawaban akhir kebenaran yang disepakati.  2. Observasi. 3. Experimen. Peran observasi dan experimen yang menjadi hal utama dalam pencaharian menjadi mandek karena sudah ada jawaban akhir tentang kebenaran itu sendiri yaitu pada tahap korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran akhir yang disepakati, tanpa ada usaha peyesuaian pada update terakhir dari lingkungan yang dihadapi. Maka dari itu pada umumnya usaha untuk melakukan proses observasi dan experimen malahan tidak dilakukan samasekali.

MITOS yang terpisah dari logos menimbulkan masalah baru bahwa dalam mitos, pencaharian kebenaran tidak lagi merasa perlu untuk mencari kebenaran yang relevan dalam tempat dan waktu yang spesifik. Agama, keyakinan dan believe sistem warisan malah memisahkan antara kebenaran yang hakiki dengan usahamanusia untuk mencari kebenaran itu sendiri. Simbol-simbol mite dianggap ada tetapi hanya berfungsi untuk diamati dan diyakini, bukan untuk mencari kebenaran seperti tujuan utama sebelum terpecahnya mitologi menjadi dua kegiatan yaitu; mitos dan logos. Urutan proses pencaharian kebenarannya memang tampak tetap yaitu; dimulai dengan Observasi. Tetapi usaha untuk melakukan experimen dan korelasi / perbandingan antar kesimpulan / teori / kebenaran menjadi hilang.

KESIMPULAN akhirnya adalah: bahwa dua jalan pencaharian kebenaran ini mandek karena memisahkan dua usaha ini menjadi extrim mitos dan extrim logos membuat ‘experimen’ (yang adalah kegiatan merealisasikan suatu kebenaran dengan fakta lapangan yang costumize karena pengaruh tempat dan ‘waktu’ (yang terus berubah sesuai perkembangan jaman)) malah hilang dari proses itu sendiri. Sehingga jalan logos maupun mitos tidak berhasil mengajak orang untuk tetap di sistem utama guna pencaharian kebenaran yang cotumize sesuai kondisi, tempat dan waktu tsb. Sistem pencaharian mitologi utama yaitu; 1. Observasi dari nol.  2. Experimen dengan realitas yang costumise sesuai kondisi, tempat dan waktu tsb.  3. Korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran akhir yang ditemukan oleh ilmuan / individu berbeda.

LETAK KOMPATIOLOGI ala Vincent Liong adalah pada aliran mitologi sebelum terpecah menjadi mitos dan logos. Maka dari itu yang terpenting adalah proses 1. Observasi dari nol.  2. Experimen dengan realitas yang costumise sesuai kondisi, tempat dan waktu tsb.  3. Korelasi / perbandingan antar kesimpulan / teori / kebenaran akhir yang ditemukan oleh ilmuan / individu berbeda. Maka dari itu masing-masing praktisi bisa membuat kesimpulan dan teori sendiri-sendiri tanpa saya (Vincent Liong) sebagai pendiri turut ambil pusing. Yang penting, kesimpulan itu diambil melalui proses observasi dan experimen individual sebelumnya, tidak nyontek dari keyakinan / believe sistem orang lain lalu diambil mentah-mentah.


ttd,
Vincent Liong
Jakarta; Sabtu, 7 Oktober 2006



I K L A N
Siap ambil resiko di-dekons ala Kompatiologi
Hubungi "Praktek Dekons ala Kompatiologi":
Vincent Liong CDMA: 021-70006775
Merkurius Adhi Purwono CDMA: 021- 6881 2660





at: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11207
"sriastutivirgo" sriastutivirgo [at] yahoo.com.sg wrote:

Adik Vincent,

saya sudah muter-muter baca semua email adik tentang Meditasi ini, ada beberapa pertanyaan tiba-tiba muncul dari "jiwa" saya, yaitu :

1. Sebenarnya Meditasi itu apa sih ?
2. Apa sih gunanya meditasi ?
3. Tujuan akhir meditasi itu apa ?
4. Apa yang dicari dari meditasi ?
5. Siapa yg ditemui dalam meditasi ?
6. untuk apa meditasi ?
7. setelah meditasi apa yg kita dapatkan ?
8. bagaimana proses meditasi ?
9. apakah sama meditasi adik Vincent dengan meditasi Kang Hudoyo atau meditasi orang lain ?
10. apakah tujuannya sama ?
11. outputnya sama ?
12. Adik Vincent, ngomong-ngomong tentang "JIWA" ; itu letaknya dimana ya ?
13. apakah letak Jiwa dik vincent sama letaknya dengan jiwa orang lain ?

sebenarnya masih banyak lhoo yang masih saya ingin tanyakan, tapi 13 soal dulu deh...masalahnya dari 13 soal itu sudah bisa dijadikan buku :)

salam,

Sri





Vincent Liong menjawab pertanyaan-pertanyaan sdr. Sriastutivirgo;

1. Sebenarnya Meditasi itu apa sih ?
Jawab VL: Meditasi adalah suatu usaha untuk mencari kebenaran. Kata meditasi saat ini didominasi penggunaannya oleh para petualang spiritual dan hal-hal yang berbaru keagamaan (aliran mitos). Sebenarnya meditasi bisa terjadi pada siapa saja (baik yang golongan mitos maupun logos), yang menjadi masalah adalah seperti apa proses pencarian kebenaran tsb, maka itulah proses ber-meditasi menurut individu tersebut.

2. Apa sih gunanya meditasi ?
Jawab VL: Guna meditasi adalah mencari kebenaran yang seharusnya bersifat costumize dengan keadaan, tempat dan waktu (kenyataan lapangan). Masalahnya ada pembatasan dalam proses meditasi baik yang kelompok mitos maupun logos. Pada kelompok mitos, masalahnya adalah terlalu melekat pada proses observasinya tanpa usaha untuk melakukan experimen dan korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran menjadi hilang. Pada kelompok logos, peran observasi dan experimen yang menjadi hal utama dalam pencaharian menjadi mandek, karena sudah ada jawaban akhir tentang kebenaran itu sendiri yaitu; pada tahap korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran akhir yang disepakati, tanpa ada usaha peyesuaian pada update terakhir dari lingkungan yang dihadapi. Maka dari itu pada umumnya usaha untuk melakukan proses observasi dan experimen malahan tidak dilakukan samasekali. Ini pula yang menyebabkan kata ‘meditasi’ jarang digunakan oleh kelompok logos.

3. Tujuan akhir meditasi itu apa ?
Jawab VL: Guna mencari kebenaran yang costumize sesuai keadaan, tempat dan waktu (kenyataan lapangan). Hal ini akan berbeda pada aliran logos dan aliran mitos sebab keduanya hanya m***kat pada proses awalnya masing-masing yaitu; pada kelompok mitos pada kegiatan observasi, dan pada kelompok logos pada kegiatan korelasi / perbandingan antar kesimpulan / teori / kebenaran akhir yang disepakati, tanpa ada usaha peyesuaian pada update terakhir dari lingkungan yang dihadapi.

4. Apa yang dicari dari meditasi ?
Jawab VL: Konon yang dicari adalah kebenaran meski di kelompok logos membahas bahwa telah menemukan kebenaran yang hakiki tanpa proses pencahariannya sendiri (hanya menggunakan believe sistem warisan yang ada), dan di kelompok mitos hanya menekankan pada pencahariannya, tetapi menekankan pula bahwa kebenaran yang hakiki tidak dapat dirai, hanya bersifat keyakinan atau pencapaian idealistik.

5. Siapa yg ditemui dalam meditasi ?
Jawab VL: Seharusnya yang ditemu dalam meditasi adalah jawaban-jawaban yang bersifat lokal, natural dan costumize sesuai tempat & waktu (kenyataan lapangan) yang tidak terpisah dengan masyarakat awam. Misalnya ketika mata melihat baik orang logos maupun orang mitos sama-sama matanya melihat secara otomatis tentang bentuk kongkrit. Yang menjadi masalah kelompok logos merasa telah bertemu dengan realitas tsb sebelum bermeditasi dengan menekankan believe sistem warisan sebagai kebenaran, sedangkan kelompok mitos merasa telah bermeditasi dan menemukan jawaban-jawaban tersebut yang hanya relevan untuk dirinya dan ruang realitas buatannya sendiri (individu, kelompk di sekte yang sama, dlsb) yang membuat ada jarak antara dirinya dan realitas yang costumize, luas & umum ; karena milik orang awan yang banyak jumlahnya.

6. untuk apa meditasi ?
Jawab VL: Untuk memenuhi kepuasan diri manusia akan perasaan memiliki atau mencapai suatu kesadaran diri terhadap kebenaran, ini terjadi baik pada kelompok mitos maupun logos. 

7. setelah meditasi apa yg kita dapatkan ?
Jawab VL: Perasaaan bahwa diri kita telah memenuhi kepuasan, telah mencapai kesadaran akan kebenaran. Entah itu seperti anak yang puas lulus kuliah merasa menguasai kebenaran atau seperti orang yang ala mitos merasa dekat dengan pencipta atau alam atau merasa mencapai keseimbangan, arahat.

8. bagaimana proses meditasi ?
Jawab VL: Pada awalnya ketika belum terpecah menjadi kelompok logos dan mitos proses peditasi adalah: 1. Observasi dari nol.  2. Experimen dengan realitas yang costumise sesuai kondisi, tempat dan waktu tsb.  3. Korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran akhir yang ditemukan oleh ilmuan / individu berbeda.
Pada kelompok mitos proses meditasi adalah observasi. Usaha untuk melakukan experimen dan korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran menjadi hilang karena dianggap tidak penting.
Pada kelompok logos proses meditasi adalah usaha untuk menguasai korelasi / perbandingan antar kesimpulan / teori / kebenaran akhir yang disepakati, tanpa ada usaha untuk peduli pada peyesuaian terhadap update terakhir dari lingkungan yang dihadapi. Misalnya anak sekolah untuk tujuan mendapat ijasah yang menyatakan lulus menguasai kebenaran.

9. apakah sama meditasi adik Vincent dengan meditasi Kang Hudoyo atau meditasi orang lain ?
Jawab VL: Beda tujuan. Kang Hudoyo adalah seperti yang saya tulis soal aliran mitos sedangkan Vincent Liong tidak memisahkan mitologi menjadi mitos dan logos.

10. apakah tujuannya sama ?
Jawab VL: Beda tujuan secara kongkrit meskipun secara devinisi ‘kata’-nya sama-sama mencari kebenaran. Kang Hudoyo menekankan objectivitas dalam observasi sedangkan Vincent Liong menekankan pemetaan secara costumize tanpa intervensi believe warisan lalu menggunakan pemetaan itu untuk digunakan dalam ujicoba langsung dalam memilih pilihan-pilihan dalam hidup sehari-hari dalam masalah-masalah yang costumize dengan menimbang untung ruginya secara jangka panjang. Jadi tujuan akhir adalah kelihaian dalam menguasai / berkuasa atas situasi dengan modal yang seadanya (diri sendiri) dengan pilihan-pilihan resiko positif dan negatif yang menjadi satu paket konsekwensi dengan pilihan-pilihan tsb.

11. outputnya sama ?
Jawab VL: Ya jelas beda mas. Soal yang ini tidak baik saya berteori biar yang mengalami aliran saya atau aliran Kang Hudoyo yang tahu sendiri-sendiri tidak usah promosi baik atau buruk, semua toh ada tujuan masing-masing maka itu memilih sesuai kecocokan.

12. Adik Vincent, ngomong-ngomong tentang "JIWA" ; itu letaknya dimana ya ?
Jawab VL: Kalau buat aliran saya itu tidak penting. Yang penting proses 1. Observasi dari nol.  2. Experimen dengan realitas yang costumise sesuai kondisi, tempat dan waktu tsb.  3. Korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran akhir yang ditemukan oleh ilmuan / individu berbeda. Yang penting ini lancar dan nyambung. Masalah Jiwanya secara teori di mana silahkan para praktisi menjawab versinya sendiri menurut pengalaman sendiri-sendiri, yang penting jangan nyontek (sekedar menggunakan believe sistem warisan).

13. apakah letak Jiwa dik vincent sama letaknya dengan jiwa orang lain ?
Jawab VL: Ya menurut anda saja gimana, saya tidak berpendapat soal teori yang mana yang benar. Sebab aliran saya bukan aliran mitos juka bukan aliran logos. Saya mempertahankan aliran mitologi yang bercerita tentang alam semesta dan kejaidian-kejadian yang dapat disaksikan dan dialami oleh manusia di dalamnya.

3
Kainyn_Kutho wrote:
vincentliong,


Quote from Vincent Liong:
Seperti misalnya kalau kita berkali-kali meminum segelas minuman yang 100% sama maka kita bisa memberikan ‘pendapat’(judgement) yang berbeda setiap kali kita meminumnya tergantung situasi dan kondisi saat meminumnya. Sebuah Feel(data mentah) yang sama bisa memiliki bermacam-macam Judgement.

Quote from Vincent Liong:
Saya jadi bertanya; Apakah memang Pencipta sudah membuat ‘blue print’ yang standard dalam setiap manusia tentang ilmupengetahuan seperti misalnya psikologi dan filsafat.


Kainyn_Kutho wrote:

Jika "ya", maka 'blue print' itu jelas korup, karena kemampuan orang masing2 adalah berbeda, bahkan sejak lahir.
Jika "tidak", berarti memang semua "diciptakan" secara random (acak), bahkan sebuah proses pengolahan feel sendiri selalu berubah-rubah. Tidak perlu dipermasalahkan, kalau mau dipaksa menemukan 'blue print' dan 'proses feel yang bisa berubah', maka lebih mengacu pada sindrom kepribadian ganda (Multiple Personality Disorder) atau disonansi kognitif. (FYI, keduanya karena memang menekankan bahwa "ego/diri" itu ada)

Setau saya, status 'indigo' ini juga bisa berubah. Banyak anak2 'indigo' yang ketika beranjak dewasa, berubah menjadi 'tidak indigo'.
Menurut saya juga para 'indigo' ini bisa 'memalsukan' auranya sehingga tidak 'indigo' untuk menghindari pelabelan indigo itu. Jadi seharusnya tidak sebegitu hebohnya.


Vincent Liong wrote:
Saya tidak membahas hal di atas terbatas dalam konteks indigo tetapi dapat berlaku ke masyarakat awam juga. Blue print tidak bersifat kata-kata verbal, tetapi seperti alat ukur dengan posisi pada skala dan ada range tertentu. Seperti alat sampler tidak berisi kata-kata tetapi berisi perubahan-perubahan tiap satuan perjalanan waktu yang tidak dalam bentuk kata-kata.



Quote from Vincent Liong:
Jadi kalau manusia itu bisa mendapat kesempatan yang sama untuk memulai pemerosesan informasi/data-nya;  ... Tentunya manusia itu akan mampu menceritakan perjalananan belajarnya yang seumur hidup dari awal hingga akhir yang hanya berbeda bahasa penceritaannya, contoh pengalaman dan sampai dimana dia seorang pencerita yang baik, isinya sama saja.


Kainyn_Kutho wrote:
Kesempatan bertemu dengan feel tidaklah pernah sama, misalnya seorang lahir di negara berperang, dan yang lahir di negara makmur.
Kesempatan memdapat feel tidaklah pernah sama, misalnya seorang buta tidak akan memperoleh feel visual.
Kesempatan memproses feel tidaklah pernah sama, misalnya seorang yang 'fals' dan seorang yang peka nada.

Setelah mendapat feel, reaksi setiap orang berbeda (seperti sudah anda tulis), terlebih lagi feel itu berubah dari waktu ke waktu. Contohnya, masih kecil melihat mainan dengan feel tertentu, ketika dewasa, feel itu berbeda. Jadi kalo mo dibilang ada 'blue print', maka 'blue print' ini untuk 'skema' apa?
Lalu, apakah jadinya kita hidup hanya untuk mengumpulkan dan memproses feel sebanyak2-nya untuk kemudian diceritakan?


Vincent Liong wrote:

Yang sama adalah: alat ukur dengan posisi pada skala dan ada range tertentu. Seperti alat sampler tidak berisi kata-kata tetapi berisi perubahan-perubahan tiap satuan perjalanan waktu yang tidak dalam bentuk kata-kata.
Yang berbeda adalah: bahasa, konteks, jenis, variasi, kasus, dlsb.   

Mengumpulkan dan memproses feel, dlsb itu dalam perjalanan kehidupan sehari-hari entah untuk sekedar iseng, dipakai saat kerja cari nafkah, dlsb. Cerita untuk diceritakan adalah bentuk laporan tentang praktikum di dunia nyata kepada pembimbing/guru.

Dalam proses pengajaran kompatiologi ada pantangan utama yaitu: tidak mengajarkan kebenaran/ketidakbenaran versi si guru. Fungsi guru hanya sampai pada mengawasi, kalau orangnya sampai ke jalan yg salah tetapi masih mampu menolong dirinya sendiri maka tidak boleh ditolong, kalau terlalu berbahaya baru boleh ditolong. dalam kebanyakan aliran fungsi guru memberikan ajaran yang dianggap benar, di kompatiologi    kalau muridnya punya ketergantungan terhadap ajaran guru maka gurunya akan bersikap jadi orang sangat bodoh karena tujuan utama mengajarkan independensi. Dalam kompatiologi guru samasekali tidak memberikan ajaran kecuali menyiapkan track melalui dekon-kompatiologi (makan dan minum) bukan ceramah.

Seperti sudah saya katakan:
"Di masa kini Ia yang Mengaku Nabi Asli itu telah merampas Hak manusia-manusia yang dijadikan pengikutnya, untuk bernubuat bagi diri sendiri; Setiap manusia berhak menjadi Nabi Palsu bagi Dirinya Sendiri, tidak untuk meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain."

4
diMohon komentaran untuk e-book "logika komunikasi empati" silahkan download dan dibaca

DOWNLOAD E-BOOK FOR FREE at Gilaupload. Mohon bantuan untuk menyebarluaskan email ini ke teman-teman yang berminat pada tema ini untuk membantu misi penyebarluasan “ide” ini. Kami tunggu komentarannya.

Download for Free (tidak perlu membership) Update Terbaru
e-book “Kompatiologi logika komunikasi empati”
e-link: http://antonwid.gilaupload.com
* file PDF:  http://antonwid.gilaupload.com/Kompati_LKE.pdf
* file Ms.Word:  http://antonwid.gilaupload.com/Kompati_LKE.rtf
File PDF dan RTF(Ms.Word) bebas virus sehingga aman untuk didownload.

“Non scholae, sed vitae discimus.”
“Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup.”
(Surat-surat Lucius Annaeus Seneca / Seneca Muda, Epistulae morales ad Lucilium CVI, 12. Seneca adalah seorang filsuf dan pujangga Romawi yang hidup antara 4 SM - 65 M.)





SINOPSIS

Ketika budaya sampai pada diri kita, kita tidak pernah memikirkan asalnya dan juga tidak menyadari bahwa budaya sudah terbelenggu di balik terali besi.
 
Sampai pada suatu saat Vincent Liong secara tidak sengaja menemukan bahwa budaya sudah menjadikan manusia merana karena dengan berbudaya berarti manusia ikut terbelenggu di balik terali besi.
 
Dengan susah payah Vincent Liong mempertahankan hak asasiya sebagai manusia untuk tidak dilabelkan Indigo secara sembarangan oleh masyarakat. Hilang sudah kebebasannya. Bayangkan hanya dengan sebuah "kata" Indigo ternyata tidak hanya merampas kebebasannya tetapi juga sikap tidak bersahabat, vonis pengucilan, penekanan mental dan teror.
 
Terlihat disini "kata" yang adalah bagian dari budaya itu menjadi mengerikan, sehingga Ide yang murni tidaklah mungkin muncul karena "kata", dari "kata" hanya dapat melihat fenomena, sehingga data mentah hanya dapat ditemukan jika tidak memakai "kata".
 
Sebuah dawai telah memiliki nada, jika dia tidak dipetik bukan berarti dia tak bernada, hanya kita tak dapat mendengar nadanya. Nada yang terdengar adalah hasil dari petikan, dan mempunyai kemungkinan tak ada batasnya.
 
Menarik jika diperhatikan lebih lanjut penemuan Vincent Liong tentang tehnik zat cair yang masuk ke dalam tubuh kita, dalam hal ini dengan cara diminum dengan aturan dan cara Vincent Liong ternyata dapat mempunyai relasi terhadap hal hal yang tidak pernah terpikir, akan membawa efek memunculkan data mentah pada tiap individu, yang sebenarnya sudah ada, tetapi tenggelam, menuju ke permukaan. Sehingga setiap individu menjadi suatu individu "baru" yang memiliki kemampuan lebih dari sebelumnya. Kemampuan manusia yang sudah lama terkubur karena tidak pernah diperhatikan dan sudah terdesak oleh kemajuan jaman, menjadi tersadari atau lebih tepatnya menjadi bagian penting dalam manusia membuat pertimbangan untuk mengambil keputusan.
 
Tidaklah berarti dia menjadi manusia super, tetapi suatu pribadi yang lebih utuh. Yang sebelumnya dia mengira apa yang menjadi pilihan dalam hidupnya sudah benar dan mungkin juga sudah tidak ada pilihan lain, ternyata menjadi melihat ada pilihan pilihan baru yang yang dihasilkan dari dasyatnya kehendak bebas (free will) dan jika dia memilih tanpa pertimbangan yang matang akan membuat kehendak bebas yang tadinya bernilai positif berubah menjadi kutukan.
 
Perlahan tapi pasti dari efeknya akan membuat dia menjadi mahir dalam bidang strategi, kewaspadaan dan kesadaran diri meningkat, sehingga tidak ada lagi tindakan konyol yang akan dilakukannya, seandainya ada orang yang melihat dia konyol sebenarnya tindakan yang tampaknya konyol itu dilakukan dengan sadar dan sudah menjadi pilihannya dan rencananya. 
 
Strategi dan kesadaran diri adalah sebagian hal yang membedakan manusia dari binatang. Kekuatan badan dan akal saja tidak akan membawa manusia menjadi unggul dan menjadi penguasa bumi. Manusia purba tidak mungkin berkembang menjadi manusia masa kini jika tidak memiliki kedua unsur tersebut. Di dalam perkembangannya ada masanya manusia lebih mengunggulkan kekuatan badan, kekuatan kelompok, dan pada masa kini manusia lebih mengunggulkan kekuatan akal.
 
Akal yang diharapkan akan menghasilkan hal yang lebih baik dan bermoral, ternyata malah menghasilkan kekacauan dan kesengsaraan bagi manusia dan hanya menghasilkan keuntungan bagi kelompok atau dirinya dan tidak pernah mempertimbangkan kerugian dipihak lain. Sedangkan strategi bertujuan meminimalkan kerugian dari semua pihak.
 
Semenjak manusia sadar bahwa dia memiliki kesadaran diri, dan kesadaran diri adalah sesuatu yang pasti, maka manusia menganggap semua ilmu pengetahuan harus dibangun atas dasar kepastian. Sehingga semua pengetahuan yang didapat dari pengalaman dan dan ketidak pastian tidak dapat dipandang sebagai ilmu.
 
Tetapi jangan lupa kesadaran diri dan pengalaman tidaklah ada hubungannya. Pengalaman akan menghasilkan pemahaman yang berbeda bagi tiap individu. Jadi pengetahuan yang didapat dari pengalaman tidak dapat dengan begitu saja dikatakan benar atau salah dengan memakai metode kepastian.

Kini tiba pada pengertian baru, bahwa pengalaman tidak dapat menjadi tolok ukur, tetapi menghasilkan jangkauan variasi yang berskala. Ini sebenarnya sudah kita ketahui sejak dulu, tetapi tidak pernah kita sadari, seperti waktu, tidak kita sadari adalah suatu dimensi sampai Einstein mengenalkan pada kita bahwa waktu adalah dimensi. Setelah kita menyadari waktu adalah dimensi, banyak pengetahuan yang dahulu terasa benar, akhirnya kebenarannya hanya di dalam lingkup dan kondisi yang sangat sempit dan tertentu.
 
Anda mempunyai kesadaran akan adanya pilihan. Pilihan ada di tangan anda. Tetap tinggal di kepastian, atau berani mengalami realita baru dalam hidup anda.
 
(Copy & Paste dari bagian Pendahuluan, ditulis oleh: Anton Widjojo; Jakarta, Sabtu, 15 Maret 2008)




KETERANGAN BUKU

Judul: Kompatiologi logika komunikasi empati
Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani
Penerbit: belum diterbitkan (dicari penerbit yg cocok)
Jumlah halaman: 80 halaman A4
Jenis dan ukuran tulisan: times new roman 11 spasi 1
Download, print dan baca: for free US$ 0.0
Tema: Filsafat, Budaya, Psikologi, Pendidikan,
Spiritual, Teologi, Agama.

(note: sebelumnya pernah dipublikasikan dengan judul e-book: "Kompatiologi logika sampler dan translater" karena judul ini bahasanya kurang bersahabat dengan pembaca maka judul e-book kami ganti. file ini juga mengalami beberapa perubahan untuk bagian di;
* Pendahuluan
* bab III Tentang Kompatiologi : Asal-Muasal Nama Kompatiologi
* bab VI Setelah Dekon-Kompatiologi )




CARA DOWNLOAD & BACA BUKU

Download for Free (tidak perlu membership) Update Terbaru
e-book “Kompatiologi logika komunikasi empati”
e-link: http://antonwid.gilaupload.com
* file PDF:  http://antonwid.gilaupload.com/Kompati_LKE.pdf
* file Ms.Word:  http://antonwid.gilaupload.com/Kompati_LKE.rtf
File PDF dan RTF(Ms.Word) bebas virus sehingga aman untuk didownload.




RAHASIA CARA MEMBACA BUKU INI

Untuk membaca buku ini pertama-tama perlu niat yang kuat, niat saja tidak cukup. Bilamana orang tsb sudah memiliki praduga, prasangka, pola pikir, teori tertentu sebelum membaca buku ini; maka tidak akan memperoleh pengertian apapun dengan membaca buku ini, atau terjadi kebingungan karena semua yang terjadi setelah membaca buku ini di luar apa yang telah ia ketahui sepanjang hidupnya. Perlu semacam kepasrahan di dalam membaca buku ini.

Buku ini akan lebih mudah dibaca oleh mereka yang memiliki sedikit pengetahuan dan sedikit prasangka terhadap kehidupan. Jika orang yang sudah memiliki praduga, prasangka, pola pikir, teori tertentu rela mengambil sikap pasrah dalam membaca buku ini; maka akan menghasilkan sesuatu yang lebih.

“Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan Sorga.” (Matius 5:3)




TEMPAT DISKUSI BUKU INI

Blog:  http://kompatiologi-vincentliong.blogspot.com
Maillist 1:  http://groups.yahoo.com/group/komunikasi_empati
Maillist 2:  http://groups.yahoo.com/group/vincentliong
Maillist 3:  http://groups.google.com/group/komunikasi_empati/about
Subscribe Free Newsletter:  http://groups.yahoo.com/group/kompatiologi




KOMENTAR SINGKAT PEMBACA

“Melalui Perjalanan Hidupnya; Vincent telah berhasil membuka CAKRAWALA BARU dalam Ranah Budaya Indonesia dalam mencari PENCERAHAN ULTIMA.”
Tony Setiabudhi ;
Psikiater dan Lektor Kepala pada Fak. Kedokteran Universitas Trisakti


"Penulis cukup tangguh dengan konsep pengembangan manusia-konstruktif nya. Cukup jujur dalam beberapa hal, tapi masih ada ketertutupan dalam beberapa hal lain mengenai konsep manusia sehingga mengurangi nilai konstruktif tsb. Ada pengalihan obyek analisa untuk menghindar dari obyek analisa yang lebih mendekati nilai kejujuran bagi pikir dan nurani".
Sjamsuddin Odex


“Perjalanan pemikiran dan pengalaman penulis buku ini adalah suatu refleksi keindahan dan keunikan alam semesta yang patut disyukuri, namun tetap untuk disadari sebagai bentuk amanah kebesaran Sang Pencipta sehingga membutuhkan tanggung jawab demi terjaganya keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan bersama.”
Yasmine Yessy Gusman ;
Ibu Rumah Tangga


“Maaf, jalan menuju khilafah sedang diperbaiki, sementara anda dialihkan kejalan pembelajaran, perjuangan dan pengorbanan. Hati-hatilah....”
Abu Ibrahim ;
Hizbut Tahrir Sydney, AUS
---
tidak ada kemulyaan tanpa Islam
tidak ada Islam tanpa syariah
tidak ada syariah tanpa khilafah


“yang jelas buku ini menarik. manusia dan kemanusiaan akan susah dipahami tanpa komunikasi yang empatik. manusia adalah makhluk yang sesungguhnya dihadapkan pada pilihan-pilihan. manusia pembelajar ialah yang mampu belajar dengan sungguh-sungguh, sebesar apapun rintangan yang menghadang.”
M Alfan Alfian ;
Direktur riset The Akbar Tandjung Institute


“w suka tulisan lo, sepertinya ide besar u bukan mimpi, bukan juga dongeng, bukan juga khayalan. tapi sebuah sistem kerajaan yang diawali dengan kejeniusan, dan keseriusan. keep fight”
Najib ;
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) jurusan Fisika


“Karya e-books ini hemat saya bergravitasi pada dunia praktis dari psikologi populer. Layaknya sains psikologi dengan reduksi asumsi-asumsi antroposentris, maka teknik minum teh dalam berbagai rasa, adalah teknik sederhana yang ada dalam kehidupan sehari-hari yang lantas dibungkus metodologi.

Sejumlah bahasa filsafat sering mewarnai e-books ini. Istilah "dekon", misalnya. Seingat saya, istilah perancisnya adalah deconstruire yang lebih dekat sebagai kata kerja. Namun, setelah diserap bahasa Indonesia menjadi dekonstruksi, maka ia berubah menjadi kata benda.

Sebaiknya, dekonstruk lebih tepat digunakan. Mengingat posisi kata dekonstruk sebagai kata kerja. Ia merupakan respons filosofis Derrida terhadap destruktion para filsuf jerman. Ini memang soal penting bagi episteme di sana, khususnya tentang kelanjutan kritik di kalangan neo-Marxis, kapitalisme maupun sosialisme bermasalah dengan positivisme yang tak partisipasi.

Sejauh mata memandang, e-books ini judul-esensialnya adalah "Aku Minum Teh, Aku Lega".

Kosmologi Jawa mengajarkan: "Hidup itu cuma mampir minum". Ada alam keabadian lain di luar gua Yunani Kuno. Nah, upacara minum teh dalam range "pahit hingga manis" adalah wujud mampir minum itu. Rasa, dapat menjadi daya pemberat bagi siklus kehidupan psikis.

Kiranya begitu ijtihad yang dilakukan Vincent dalam e-books ini. Amat berguna dalam siklus kehidupan hari ini bagi saya. Bangun pagi, minum teh kadang pahit kadang manis...”

Anom S.P ;
Konsultan dan Penulis




PERMOHONAN KOMENTARAN SINGKAT & JALUR PENERBITAN

Kami mengharapkan bilamana anda bersedia meluangkan waktu untuk membacanya dan memberikan komentaran singkat tertulis, yang sesuai dengan gaya bahasa dan sudutpandang versi anda, untuk kemudian akan saya lampirkan dalam buku ini yang akan segera kami terbitkan.


Format komentaran singkat sbb:

“ ********************* ” (tulisan komentar anda satu kalimat hingga satu paragraf)
[Nama Lengkap Asli penulis komentar]
[Latarbelakang Asli diri anda dalam satu kalimat]


Bilamana anda berminat untuk memberikan komentaran dengan format berbeda seperti misalnya;
* Pendahuluan dengan atau tanpa judul khusus dari penulis komentar sendiri. Kami akan berusaha menyertakannya dalam buku versi cetak yang akan segera kami terbitkan.
* Pertimbangan judul buku yang berbeda yang menurut anda lebih cocok untuk menjadi judul buku ini dibandingkan judul; Kompatiologi logika komunikasi empati

Komentaran bisa dikirim:
* per-email ke <istiani_c [at] yahoo.com>,
<vincentliong [at] yahoo.co.nz>
* Per pos/surat kepada Yth: Vincent Liong ; alamat: Jl. Ametis IV G/22 Permata Hijau, Jakarta 12210 - INDONESIA.
Harap beri keterangan: “Komentar untuk draft buku Kompatiologi [Nama Anda]”
* Per Fax ke no telp: 021-5348546

Bilamana ingin ngobrol-ngobrol mengenai buku ‘Kompatiologi logika sampler dan translater’ silahkan menghubungi kami per telepon ke:
* Vincent Liong 021-5482193,5348567/46(Home), 021-70006775(CDMA Flexi), 021-98806892(CDMA Esia), 08881333410(CDMA Fren)
* Cornelia Istiani 021-68358037(CDMA Flexi), 081585228174(Hp)

Bilamana sahabat anda atau anda sendiri bekerja atau memiliki koneksi/jalur ke sebuah penerbit buku dan tertarik pada e-book ini juga bisa menghubungi Cornelia Istiani dan akan kami pertimbangan, sebab sampai hari ini kami belum menyerahkan naskah ini ke
penerbit tertentu untuk diterbitkan. Kami mengharapkan ada penerbit yang benar-benar berminat pada naskah ini untuk menerbitkannya, demi menjaga keaslian naskah ini.

Beberapa editor sukarelawan dari latarbelakang berbeda membantu kami mengedit naskah ini, baru setelah selesai editing akan kami mengurus penerbitannya.

Terimakasih atas waktu yang anda luangkan… Atas bantuannya kami ucapkan terimakasih.

5
Indigo: Saya adalah ‘Nabi Palsu’ bagi ‘Diri Sendiri’

Ditulis oleh: Vincent Liong / Liong Vincent Christian
Tempat, Hari & Tanggal: Jakarta, Senin, 16 Juni 2008

Tempat diskusi tulisan ini:
http://groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/3748
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/24349
http://forum.gilaupload.com/viewtopic.php?f=105&t=7641
(balasan tulisan harap di-cc ke email: vincentliong [at] yahoo.co.nz )



Saya adalah Nabi Palsu bagi Diri Sendiri. (Nabi adalah sebutan untuk orang yang ber-nubuat) Saya sadar bahwa saya tidak berhak meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan bernubuat bagi orang lain. Dengan menyadari dan mengakui bahwa diri saya hanyalah seorang nabi palsu, maka saya telah menggenapi apa yang tertulis di kitab suci bahwa akan datang nabi-nabi palsu.

Mat 7:15-23 - “(15) ‘Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. (16) Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? (17) Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. (18) Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. (19) Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. (20) Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. (21) Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga. (22) Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMu, dan mengusir setan demi namaMu, dan mengadakan banyak mujizat demi namaMu juga? (23) Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!’”.



LATARBELAKANG

Pada bulan Juni tahun 2004, melalui tulisan “Berbeda, tetapi Bukan Anak "Aneh” (Koran Kompas : Minggu, 27 Juni 2004 Rubrik: Keluarga) saya dilabelkan sebagai anak Indigo. Anak Indigo adalah sebagian dari mereka lahir di periode tahun 1980-an dan memiliki aura berwarna nila dengan ciri-ciri kemampuan spiritual bawaan dan sikap
non-kompromistis terhadap segala sesuatu yang dinilainya bersifat pemaksaan.

Pelabelan Indigo terhadap diri saya membuat saya mengambil sikap bermusuhan dengan sebagian dari pihak yang berlabelkan psikologi karena dengan dilabelkan indigo saya terancam kehilangan hak-hak asasi manusia yang paling dasar yang saya miliki diantaranya; Hak untuk hidup, Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama (keadilan), Hak atas harta benda yang saya miliki, dlsb. Sebelum dilabel indigo saya tidak pernah peduli atau berurusan dengan organisasi Psikologi.

Ada tiga macam manusia di dunia ini; * Manusia pemaaf yang baik bagi orang lain. * Manusia pendendam yang selalu bertindak berdasarkan sebab-akibat (tanpa sebab maka tidak ada akibat). * Dan manusia pemain game virtual, yang menganggap hidup ini hanyalah permainan, dimana ada banyak pemain yang bisa menang atau kalah, bertarung dengan darah dingin, tidak ada sebab-akibat; permainan bisa dimulai kapan saja atau diakhiri dengan menekan tombol reset, manusia jenis ini tidak bisa membedakan mana game virtual dan mana dunia nyata, semua hanyalah game yang dianggap tidak memiliki konsekwensi nyata ke kehidupan sehari-hari.

Setelah dilabel Indigo, saya harus menghadapi beberapa orang-orang lulusan psikologi yang memiliki mentalitas “pemain game virtual” yang memperlakukan saya dan keluarga saya sebagai sebagai sebuah object buruan (binatang buruan) yang harus dipermainkan dan dibasmi untuk mendapatkan kesenangan emosional. Diantara sekian ribu lulusan psikologi di Indonesia, memang hanya sepuluh sampai dua puluh orang yang memiliki kelainan kejiwaan “pemain game virtual” semacam ini yang beberapa diantaranya menduduki jabatan-jabatan penting di keorganisasian Psikologi di Indonesia. Seorang pemain game virtual bisa memilih siapa saja orang yang tidak dia kenal yang ditemuinya di jalan untuk dipilih menjadi object penderita sebuah permainan perburuan. Ketika saya mendapat label Indigo, maka ada alasan untuk melegalisasi bahwa saya boleh secara sah dijadikan object buruan para “gamer” ini.

Sejak dilabelkan indigo hingga sekarang, saya dan keluarga harus menerima saja untuk mengalami mulai dari teror keluarga bertahun-tahun (satu macam teror per minggu, non stop setiap hari tanpa liburan), pencurian uang hingga mencapai lebih dari delapan puluh juta rupiah dan berbagai rencana pembunuhan yang dijadikan sah dalam hukum psikologi ala virtual gamer, sebagai usaha penyembuhan karena saya dilabel indigo. Alasan mereka; karena Vincent Liong diasumsikan sakit indigo dan di masa yang akan datang akan merugikan banyak orang, maka diberi positive reinforcement, lalu gagal maka diberi negative reinforcement (dirugikan semaksimal mungkin termasuk dibunuh dengan cara apapun tanpa ada batasannya). Beberapa oknum psikolog ini membutuhkan saya sebagai object buruan untuk menyeimbangkan hidup mereka yang berusaha sangat waras dalam membantu menyelesaikan permasalahan klien-klien mereka.

Sampai hari ini saya belum sekalipun membalas tindakan kriminal atas nama penerapan ilmu penyembuhan psikologis yang dilakukan oleh sebagian kecil psikolog yang berpenyakit “gamer” ini, buat saya setidaknya saya tidak turut gila seperti kawanan kriminal mereka ini. Setidaknya asumsi yang mereka jadikan alasan untuk menjadikan saya hewan buruan; bahwa diasumsikan di masa yang akan datang saya akan banyak melakukan tindakan kelainan psikologis yang akan merugikan masyarakat, dan hingga kini tidak terbukti, sementara mereka telah melanggar hampir semua doktrin kewarasan psikologi mereka sendiri demi membasmi saya dan keluarga.   



ROMANTISME DAN EKSISTENSIALISME

Pengalaman saya sekian tahun, banyak waktu saya terkooptasi dengan permasalahan ini; saya menemukan bahwa permasalahannya tidak serumit yang saya kira sebelumnya. Dalam filsafat ada dua sudutpandang pemikiran besar; romantisme dan eksistensialisme.

Penganut romantisme beranggapan bahwa seorang individu manusia adalah bagian dari system masyarakat. Sehingga manusia seharusnya mengikuti norma (kenormalan) yang berlaku di masyarakat kebanyakan. Bilamana manusia itu tidak mengikuti yang berlaku di manusia kebanyakan maka dianggap tidak normal dan harus diobati agar sembuh; kembali ke jalan yang benar.

Penganut eksistensialisme beranggapan bahwa seorang individu manusia berhadapan dengan apa yang ada di dalam dirinya sendiri dan yang di luar dirinya sendiri (lingkungan, masyarakat, dlsb). Seorang manusia harus beradaptasi dengan cara bernegosiasi dengan hal-hal di luar dirinya agar mampu tetap bertahan hidup.

Dalam kenyataannya baik penganut romantisme maupun eksistensialisme sama-sama berusaha dan mampu berhubungan dengan masyarakat meskipun cara mengartikannya berbeda; Penganut romantisme berusaha mengikuti apa yang dilakukan masyarakat umum yang dianggap benar sehingga tetap mampu bertahan hidup. Penganut eksistensialisme tetap bernegosiasi dirinya sendiri untuk dapat dapat beradaptasi dalam masyarakat umum. Pada akhirnya keduanya sama-sama dapat diterima oleh masyarakat umum.

Permasalahannya, penganut romantisme menganggap bahwa tidak mungkin seorang penganut eksistensialisme bisa diterima oleh masyarakat umum karena penganut eksistensialisme memposisikan dirinya tidak sebagai bagian dari masyarakat, tidak menganggap mengikuti kenormalan masyarakat sebagai keharusan, melainkan sebagai pilihan untuk dinegosiasikan demi tetap bertahan hidup. Penganut romantisme beranggapan bahwa sudah hampir pasti seorang eksistensialis tidak dapat beradaptasi dengan masyarakat umum, sehingga harus diobati atau dibasmi.     

Sama seperti dalam permasalahan kelompok Psikologi dan Anak Indigo; bahwa Psikologi sebagai polisi ‘superego’(norma-norma masyarakat, hukum, dan adat), sudah berasumsi memastikan sejak awal bahwa anak indigo tidak akan mampu beradaptasi sehingga perlu dididik, disembuhkan dan ‘diberi pelajaran’. Menurut pengalaman saya pribadi, anak-anak yang dilabelkan indigo tidak lebih dari anak-anak biasa yang terbentuk dengan kepribadian sebagai penganut sudutpandang eksistensialis dengan tingkat superego yang agak rendah; sehingga mereka memposisikan diri tidak sebagai bagian masyarakat, melainkan ‘berhadapan dengan masyarakat’ (diri sendiri dan di luar diri sendiri).   

Selama sekian tahun, banyak waktu saya terkooptasi dengan permasalahan ini saya telah mencoba untuk mencari titik temu antara penganut romantisme dan eksistensialisme ; antara manusia normal dan manusia indigo. Mungkin bisa ditemukan jalan keluar agar tidak ada lagi perbedaan antara keduanya sehingga tidak perlu lagi ada anak-anak indigo yang bernasib sama seperti yang saya alami. Untuk itu saya harus mencari persamaan antara keduanya yang telah saya lakukan sekian tahun ini dengan penelitian yang saya namai ilmu kompatiologi.



FEEL, JUDGEMENT & GENERALISASI

Sampai hari ini dalam penelitian kompatiologi saya menemukan bahwa informasi/data yang diterima manusia diproses dalam tiga tahap yang saya namai dengan; Feel, Judgement dan Generalisasi. Saya mencoba menceritakan tiga tahap ini dalam analogi kegiatan meminum minuman.

Ketika saya, dan beberapa orang lain minum dari segelas minuman yang sama, maka sangat mungkin akan ada yang berpendapat bahwa rasa minuman itu manis, asin, pahit, asam atau pedas; tetapi dijamin 100% bahwa informasi utuh (feel/data mentah) yang didapatkan tentang minuman tersebut 100% sama. Tiap orang yang minum dan memberikan pendapatnya tentang rasa minuman (Judgement) hanya mendapatkan satu sudutpandang diantara sekian banyak sudutpandang, yang bila dikumpulkan, akan tetap sulit memberikan kebenaran yang mendekati 100% perihal rasa minuman tersebut (Generalisasi). Sebaliknya, bilamana ditentukan satu sudutpandang yang dianggap benar; maka masing-masing orang yang berusaha mengerti kebenaran tentang rasa minuman tersebut akan menemukan imajinasi, perkiraan tentang minuman tersebut yang berbeda-beda, yang tidak sama dengan minuman tersebut.
(Dikutip dari e-book; Kompatiologi logika komunikasi empati / I. Sejarah kompatiologi / Ide Dasar Kompatiologi Menggunakan Minuman bukan Kata-Kata)   

* Feel (data mentah) adalah tahap ketika si manusia mengalami suatu informasi/data secara utuh, alami, apa adanya dan belum diberi pendapat, komentar, justifikasi yang bersifat verbal/pasti.

* Judgement adalah tahap ketika suatu informasi/data diberi pendapat, komentar, justifikasi yang bersifat verbal/pasti sehingga membatasi penjelasan/nilai/arti mengenai data tersebut dalam satu versi sudutpandang saja.

* Generalisasi adalah tahap ketika kumpulan Judgement dari sudutpandang yang berbeda-beda dikumpulkan untuk mendapatkan satu logika yang utuh dalam mengimajinasikan bentuk informasi/data yang diharapkan mendekati 100% kelengkapannya.


Penganut romantisme yang memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat umum berusaha mengikuti informasi/data yang telah berbentuk “pemikiran” yang telah ada di masyarakat umum yang berbentuk “Judgement” dan “Generalisasi”. Karena menganggap bahwa diri sendiri adalah bagian dari masyarakat umum maka pengalaman individual yang berbentuk Feel(data mentah) diabaikan. 
 
Penganut eksistensialisme yang memposisikan dirinya berhadapan dengan hal-hal di luar dirinya (di dalam diri berhadapan dengan di luar diri / lingkungan, masyarakat, dlsb) mengalami pemerosesan informasi/data dimulai dari tahap; Feel(data mentah), Judgement dan Generalisasi secara lengkap seperti yang saya analogikan dalam kegiatan meminum minuman yang saya telah ceritakan sebelumnya.



SAYA ADALAH NABI PALSU BAGI DIRI SENDIRI

Berdasarkan pengamatan saya terhadap subject penelitian kompatiologi yang telah mengikuti dekon-kompatiologi antara 6 bulan hingga 12 bulan, saya menemukan suatu fenomena yang menarik berkaitan dengan perbedaan proses yang dialami penganut romantisme dan eksistensialisme.

Proses yang dialami penganut romantisme diawali dengan pengumpulan Judgement (sudutpandang yang verbal) dari berbagai pihak berbeda, hingga membentuk Generalisasi (logika yang menyeluruh dalam pikiran/imajinasi). Untuk semakin mengerti secara mendalam tentang suatu bidang kegiatan diperlukan membaca dan mendengarkan sebanyak mungkin macam-macam teori hingga semakin hari didapatkan kerangka logika yang semakin utuh. Proses belajar lebih dipengaruhi oleh kegiatan membaca dan mendengarkan penjelasan pihak lain dibandingkan pengalaman sendiri. Kurangnya kegiatan membaca dan mendengarkan berakibat kurangnya pengetahuan.

Proses yang dialami penganut eksistensialisme diawali dengan mengalami pengalaman (informasi/data secara utuh, alami, apa adanya) dan belum diberi pendapat, komentar, justifikasi yang bersifat verbal/pasti. Seperti misalnya kalau kita meminum segelas minuman dan belum berpendapat atas minuman tsb. Tentunya pengalaman yang dialami akan bisa di-Judgement atau tidak. ‘Pendapat atas suatu pengalaman’ (Judgement) bisa berubah dari waktu-ke waktu. Seperti misalnya kalau kita berkali-kali meminum segelas minuman yang 100% sama maka kita bisa memberikan ‘pendapat’(judgement) yang berbeda setiap kali kita meminumnya tergantung situasi dan kondisi saat meminumnya. Sebuah Feel(data mentah) yang sama bisa memiliki bermacam-macam Judgement. Sebuah sample pengalaman bisa dibandingkan dengan variasi pengalaman sejenis yang berbeda-beda range(jangkauan) dan pembandingnya. Banyak variasi Judgement yang muncul yang membuat pertumbuhan jangkauan kerangka logika Generalisasi yang dipahami oleh orang tersebut. Kecepatan pertumbuhan pemahaman ini berbeda-beda tergantung apakah orang tsb berpikir apa adanya dari pengalaman data mentah diri sendiri, atau sudah terpengaruh oleh berbagai Judgement dan Generalisasi dari orang lain.

Muncul fenomena dimana seseorang bisa belajar tidak dari membaca dan mendengar teori atau pendapat orang lain, melainkan dari pengalaman sehari-hari yang tampak sangat sepele. Fenomena menarik yang sering tampak pada mantan peserta dekon-kompatiologi yang tidak pernah membaca buku-buku filsafat dan psikologi; tiba-tiba saja bisa ‘ber-nubuat’(menceritakan ide-idenya yang original) dalam bidang filsafat atau psikologi, yang kalau diurutkan maka akan tampak mirip urutannya dengan urutan daftar isi sejarah filsafat barat atau buku sejarah teori-teori psikologi, dari paling awal hingga paling akhir. Satu-satunya kekurangannya, mereka yang bernubuat ini samasekali tidak tahu nama tokoh-tokoh filsafat dan psikologi yang berhubungan dengan ide-ide yang mereka ceritakan, kadang-kadang mereka bersikap sok tahu seolah-olah ide itu temuan mereka sendiri.

Saya jadi bertanya; Apakah memang Pencipta sudah membuat ‘blue print’ yang standard dalam setiap manusia tentang ilmupengetahuan seperti misalnya psikologi dan filsafat. Jadi kalau manusia itu bisa mendapat kesempatan yang sama untuk memulai pemerosesan informasi/data-nya; mulai dari Feel(data mentah), berbagai variasi Judgement yang terus bertambah seiring perjalanan waktu yang membentuk Generalisasi, bangunan logika yang semakin hari semakin lengkap dan utuh; Tentunya manusia itu akan mampu menceritakan perjalananan belajarnya yang seumur hidup dari awal hingga akhir yang hanya berbeda bahasa penceritaannya, contoh pengalaman dan sampai dimana dia seorang pencerita yang baik, isinya sama saja.

Masing-masing teori filsafat diwakili oleh nama seorang filsuf yang berkutat di satu tahap proses berteori saja, mungkin karena mereka terlalu sibuk mengikatkan diri pada satu teori saja, sehingga perlu sekian banyak orang hingga buku filsafat menjadi lengkap.     



PENUTUP

Saya percaya bahwa;

Saya adalah Nabi Palsu bagi Diri Sendiri. (Nabi adalah sebutan untuk orang yang ber-nubuat.) Saya sadar bahwa saya tidak berhak meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain. Dengan menyadari dan mengakui bahwa diri saya hanyalah seorang nabi palsu, maka saya telah menggenapi apa yang tertulis di kitab suci bahwa akan datang nabi-nabi palsu.

Ketika hari ini datang seseorang mengaku sebagai Nabi Asli, merasa lebih pintar, lebih mengerti, lebih tinggi di hadapan Pencipta dan berusaha mengarahkan orang lain, meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan bernubuat bagi orang lain;

Di masa kini Ia yang Mengaku Nabi Asli itu telah merampas Hak manusia-manusia yang dijadikan pengikutnya, untuk bernubuat bagi diri sendiri; Setiap manusia berhak menjadi Nabi Palsu bagi Dirinya Sendiri, tidak untuk meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain.

Tulisan ini ditulis bagi yang penganut agama-agama ‘samawi’ (Pencipta yang memilih manusia untuk menjadi umatnya). Seperti sejak manusia pertama diciptakan Allah;

Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati. (Kejadian 2: 16-17)

Sejak Allah menciptakan manusia pertama yaitu; Adam dan Hawa, free choice telah diberikan. Adam dan Hawa telah memiliki pilihan untuk memakan buah yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan. Karena Allah maha pengasih maka berjuta-juta pohon di taman itu boleh dimakan, tetapi hanya satu pohon saja yang tidak boleh dimakan.   
 

Ttd,
Vincent Liong / Liong Vincent Christian
(Founder of Kompatiologi)
Jakarta, Senin, 16 Juni 2008



Download for Free (tidak perlu membership) Update Terbaru
E-Book “Kompatiologi : Logika Komunikasi Empati”
e-link:  http://antonwid.gilaupload.com
* file PDF:  http://antonwid.gilaupload.com/Kompati_LKE.pdf
* file Ms.Word:  http://antonwid.gilaupload.com/Kompati_LKE.rtf
File PDF dan RTF(Ms.Word) bebas virus sehingga aman untuk didownload.

Pages: [1]
anything