Baiklah bro, lebih tepatnya pikiran. Sekarang saya tanyakan bila anda berpikir 700 X 5, apakah ada keakuan disana? bila anda melihat batu jelek di pinggir jalan, apakah timbul "keakuan...."?
saya gak tau gimana pemahaman ph, jadi saya jawab menurut pemahaman saya.
apa sih "aku" itu?
bagi saya, aku itu adalah sebuah garis ilusi. garis yg memisahkan antara aku (di dalam garis) dan lingkungan (di luar garis).
karena ada ilusi ini, segala sesuatu kita kelompokan sebagai aku dan bukan aku.
jadi pada saat saya melihat batu jelek di pinggir jalan, pikiran saya otomatis menggolongkannya sebagai bukan aku.
pada orang yg akunya gede, banyak sekali yg ada di dalam garis: tubuhku, mobilku, rumahku, karyaku, istriku, agamaku, doktrinku, viharaku, pencapaianku, dsb. dan diluar garis: tubuhmu, mobilmu, rumahmu, dsb.
nyenggol segala sesuatu yg ada di dalam garis, dia akan menderita.
kalo yg ada di luar garis kesenggol, dia santai2 aja.
pada orang yg tipis akunya, sedikit yg ada di dalam garis...
pada orang yg tercerahkan, garis ilusi ini lenyap...
Saya tak mau mengatakan mana salah mana benar, menurut saya "keakuan" timbul dari avijja bukan sebaliknya.
di sini lah cara pandang kita beda. bagi saya, dalam doktrin theravada, aku itu adalah avijja.
Ini adalah pernyataan yang sifatnya personal bro... Saya tidak pernah mengatakan bahwa pernyataan saya direstui Buddha atau tidak... saya mempersilahkan membandingkan pernyataan saya dan PH dibandingkan dengan Tipitaka sebagai referensi.
nah itu dia. ph mengklaim dia juga berbasis tipitaka.
Saya rasa pernyataan PH sendiri sudah jelas bahwa apa yang dikemukakannya tidak sesuai dengan Tipitaka, hanya sesuai dengan ti Sutta, ya kan...? Apakah ada yang lebih tepat dari pernyataannya sendiri...?
saya pikir tipitaka bukan harga mati.
segenggam sutta kalo itu bisa membawa pembebasan dan akhir dukkha, itu udah cukup.
sah2 saja kalo orang diluaran menolak abhidhamma, tidak perlu memaksakan kepercayaan dan pemahaman kepada orang lain.
Kalau begitu menurut anda mana yang lebih tepat?
Lobha, dosa, moha dan avijja sebagai sebab dan "aku" sebagai akibat atau
"Aku" sebagai sebab dan lobha, dosa, moha sebagai akibat...?
saya melihat delusi sang aku itulah avijja.
dalam kesehariannya, lebih mudah melihat sang aku yg membuat dukkha, ketimbang mencoba melihat lobha, dosa, moha.
itulah perbedaan pandangannya. let ph keeps his view and om fabian keeps his view. serahkan sama pembaca.
btw, saya jadi mau tau pendapat anda. menurut teori atau pengalaman anda, gimana caranya lobha bisa menjadi sebab aku?