TL:
Mas Tan masih tidak nyambung, coba perhatikan yang warna biru. Bedakan bertanya biasa dengan bertanya dengan kritis.
TAN:
Ya sama saja. Bertanya dengan kritis pada akhirnya akan terjadi sanggah menyanggah juga.
TL:
Apakah bertanya, menyanggah, membandingkan dianggap sama dengan melecehkan? bila memang benar praktik Dharma adalah sesuai kriteria mas Tan maka saya kira saya berpraktek Dharma dengan baik, demikian juga bandit dan kriminal yang tak mengenal Dharma yang tak pernah membantah, menyanggah atau membandingkan dharma, tetapi murah senyum dan kadang-kadang menolong orang lain juga.
TAN:
Murah senyum dan menolong orang lain, siapapun juga yang melakukannya (penjahat atau bukan penjahat) adalah praktik Dharma. Tindakan kriminalitas siapapun yang melakukannya (orang yang mengenal Dharma atau bukan) adalah tetap bukan praktik Dharma. Apakah sikap kritis baik atau buruk? Semua ada baik ada buruknya. Sikap kritis juga ada batasnya. Tujuan saya mengikuti diskusi ini adalah untuk menjelaskan mengenai Mahayana dan sebenarnya saya malas berdebat.
Saya jadi timbul pertanyaan: Untuk apa Anda menyanggah dan membandingkan? Apakah Anda masih ragu dengan aliran Anda sendiri? Bila Anda sudah yakin untuk apa menyanggah dan membanding2kan dengan aliran lain? Ada baiknya Anda jalankan sendiri apa yang sudah Anda yakini. Saya sebenarnya hanya ingin memberikan info pada mereka yang dengan tulus ingin mengenal Mahayana.
TL:
Hahaha.. mas Tan memang pintar... tetapi sepantasnya mas Tan menjawab lebih dahulu pertanyaan saya baru bertanya balik, bukankah demikian sepantasnya mas Tan?
TAN:
Pertanyaan dapat pula dijawab dengan pertanyaan. Justru pada pertanyaan saya itu sudah terkandung jawaban atau pertanyaan Anda. Kalau Anda masih belum get the point, ya saya menyerah deh. Berarti diskusi sudah berada di jalan buntu (death end). Berarti sampai di sini saja pembicaraan kita mengenai topik ini.
TL:
Oh ya? maitri karuna tidak dipancarkan panca skandha? tetapi sifat alami seorang Buddha?. Jadi yang memancarkan apa? Apakah seorang Buddha memiliki sesuatu lain diluar pancaskandha? tolong disebutkan mas namanya apa? termasuk kelompok jasmani apa kelompok batin? atau suatu kelompok tersendiri?
Mas Tan bertanya Anitya sendiri nitya atau anitya, mas Tan yang harus menjawab, karena bila saya menjawab dengan konsep aliran yang berbeda nanti dianggap melecehkan.
Jawaban terhadap karma anitya atau tidak anitya: Tentu saja karma individu bersifat anitya suatu ketika bila mencapai pencerahan karma tak lagi berproduksi, berhenti, stop. Saya harap cukup jelas.
UNTUK KEEMPAT KALINYA SAYA BERTANYA : APAKAH KESADARAN ANITYA ATAU NITYA MAS TAN?
TAN:
Tidak ada yang memancarkan, karena itu disebut sifat alami seorang Buddha. Saya kira ini cukup jelas. Apakah seorang Buddha memiliki sesuatu yang lain di luar pancaskandha? Ini pertanyaan menarik. Mari kita ulas. Sesudah Buddha parinirvana, jika tidak ada sesuatu di luar pancaskandha, itu artinya Buddha akan jadi NIHIL. Apakah bedanya dengan paham nihilisme? Mahayana mengajarkan bahwa Buddha tidak musnah begitu saja. Tetapi kondisinya berada di luar jangkauan pemikiran manusia. Itulah arti sesungguhnya: “Buddha berada di luar “ada” dan “tiada.” Mahayana mengajarkan bahwa Buddha tidak “musnah,” namun pada saat yang sama tidak terjerumus pada pandangan eternalisme. Jadi saya melihat Mahayana sungguh berada di Jalan Tengah.
Menjawab dengan konsep aliran berbeda sah-sah saja. Yang perlu diingat adalah masing-masing aliran punya konsep yang beda-beda. Kita tidak dapat memaksakan setiap orang memegang konsep yang sama. Tapi sudah wajar bahwa setiap orang akan memandang benar apa yang telah dipegangnya dan memandang salah aliran atau kepercayaan lain.
Anda menjawab dengan karma individu, tetapi saya untuk kesekian kalinya menanyakan: “HUKUM KARMA itu nitya atau anitya?” Ingat saya tidak menanyakan “karma individu.”
Untuk keempat kalinya pula saya bertanya: “Anitya itu sendiri nitya atau anitya”? Silakan Anda simpulkan sendiri.
TL:
Aah rupanya ada sesuatu yang terus-terusan memancarkan maitri karuna, tetapi tidak tahu kok bisa begitu ya? sama ya? saya juga sama nggak tahu mas Tan.
TAN:
Kita belum mencapai Kebuddhaan mana bisa tahu? Tetapi saya mengetahui demikian adanya berdasarkan ajaran Mahayana. Bagi saya sudah cukup sampai di situ saja. Nanti saya akan tahu sendiri kalau sudah merealisasi Kebuddhaan.
TL:
Saya mohon maaf mas Tan, terpaksa harus membantah. Memang di Mahayana ada Abhidharmakosa, tetapi isinya sangat berbeda dengan Abhidhamma. di Mahayana memang ada Dirghagama, Majjhimagama dsbnya tetapi isinya hanya beberapa yang sama dengan Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, selebihnya berbeda.
maaf ngomong-ngomong mas Tan pernah melihat buku Abhidharmakosa atau Dirghagama belum? kok segitu yakinnya 99% sama?
TAN:
Tentu pernah donk. Baca saja buku karya Bhikshu Thich Minh Chau: “The Chinese Madhyama agama and the Pali Majjhima nikaya: a comparative study (Buddhist Tradition Series) (Hardcover)
Hardcover: 388 pages
Publisher: Motilal Banarsidass,; 1st Indian ed edition (January 1, 1991)
Language: English
ISBN-10: 8120807944
ISBN-13: 978-8120807945
Saya juga punya Tripitaka kanon Taisho dalam bahasa Mandarin. Tipitaka Pali saya juga punya, baik yang terbitan Wisdom Publication atau PTS (Pali Translation Society). Yang bahasa Indonesia juga ada. Tapi kita kembali ke topiknya agar tidak OOT. Anda tidak dapat menuduh saya mengkontraskan antara dua aliran, karena sumber yang saya ungkapkan itu juga ada di kanon Mahayana. Apakah Mahayana tidak boleh memakai apa yang ada di kanonnya sendiri?
TL:
Nah mas Tan bingung sendiri kan? hehehe apakah kambing identik dengan gajah? apakah yang sudah tercerahi sama dengan yang belum tercerahi? coba lihat link berikut:(
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,1884.60.html )reply no 66. kok berbeda dengan pernyataan mas Gandalf, mas Tan? Mana yang benar nih.
TAN:
Sebenarnya tidak berbeda. Masing-masing mencermati dari wawasan yang berlainan. Mengenai topik ini saya kira sudah jelas. Silakan Anda cermati 10 poin jawaban saya terdahulu. Saya kira tidak perlu saya tanggapi lagi.
TL:
Tolong kutipan yang jelas dong mas, biar lebih ilmiah.
TAN:
Silakan Anda cari sendiri bukunya kalau memang merasa perlu. Saya kira judul dan penerbitnya sudah cukup jelas.
TL:
Hehehe terima kasih GRP untuk mas Tan. Saya memang tulus menolong mahluk-nahluk, tapi saya tidak menganggap saya Bodhisattva, karena penipu, pencuri, pemeras dlsbnya juga bisa melakukan hal yang sama apakah mereka bodhisattva?
TAN:
Pada MOMEN mereka melakukan itu dengan tulus, mereka adalah bodhisattva. Saat seorang yang bahkan rajin membabarkan Dharma sekalipun melakukan kejahatan pada makhluk lain, mereka adalah penjahat. Bodhisattva dan tidak letaknya adalah di pikiran.
TL:
Sebaiknya kita jangan melekat dan jangan menuduh orang lain melekat, bener nggak mas?
TAN:
Ooo jangan melekat ya?
Yup bagus sekali. Setuju. Hahahahaha
TL:
Semoga bila orang lain mengemukakan sanggahan, bantahan atau perbandingan tidak saya anggap sebagai pintar berdebat, atau lidah setajam silet, tetapi berusaha mencerna, apakah yang dikatakannya bermanfaat, masuk diakal dan dan dapat dipahami.
TAN:
Masuk diakal bagi siapa? Dapat dipahami bagi siapa? Masing-masing orang punya pemahamannya sendiri-sendiri. Masing-masing orang punya pandangan tentang apa yang dianggap masuk akal dan tak masuk akal. Apa yang saya anggap masuk akal mungkin bagi Anda tidak masuk akal. Apa yang saya anggap tidak masuk akal, bagi Anda adalah masuk akal. Pada akhirnya, tidak akan ada kesatuan pandangan. Kita hanya bisa menoleransi pandangan pihak lainnya. Akhirnya semua akan berpulang pada “belief” masing-masing, apapun agama dan keyakinannya.
Amiduofo,
Tan