Dear Friends, ada 2 topik hot yg masih saja bersitegang di forum tercinta kita ini. Topik Hot tsb adalah:
- Bahiya Sutta (dan bbrp sutta lain) adalah murni dari SB, sedangkan JMB-8 belum tentu
- Apakah JMB-8 satu2nya jalan untuk mencapai pencerahan? Adakah jalan lain yg bukan JMB-8?
Kedua topik ini -meskipun membahas dari sudut pandang yg berbeda- namun sangat berkaitan.
Melalui tulisan ini, saya membagi pemikiran saya untuk menjadi referensi / bahan pertimbangan teman2…
Pertama2 saya rangkum dulu pendapat bbrp rekan sbb:
1. Ajaran Buddha yg tertuang dalam Tipitaka kebanyakan adalah 'dualisme', yakni: perbanyak kebajikan dan kurangi kejahatan. Ajaran begini sama saja dgn Ajaran tetangga yg tidak akan membawa kpd 'pencerahan'. Ajaran begini hanya bisa menghasilkan moral yg baik, namun selama pikiran masih membeda2kan antara baik dan buruk, benar dan salah, maka artinya pikiran belum 'melihat apa adanya'.
2. Point2 JMB-8 umumnya adalah 'dualisme'. Ambil contoh 'perbuatan benar', adalah mengetahui dan melakukan perbuatan mana yg dianggap benar dan tidak melakukan perbuatan yg dianggap tidak benar. Ini adalah dualisme. Memang, dualisme ini tidaklah jelek, hanya saja tidak akan membawa kpd 'pencerahan' yg mana menjadi tujuan Buddhisme sebenarnya.
3. Jalan yg bisa membawa kpd 'Pencerahan' adalah yg terbebas dari dualisme, yakni: 'melihat segala sesuatu sebagaimana adanya'. Beberapa sutta yg menunjang pendapat ini adalah: Bahiya dan Malunkya sutta.
4. Kenapa ada anggapan bahwa dualisme adalah jelek? Karena jika kita masih 'berbuat baik' artinya kita masih menimbun kamma baru yg pastinya akan berbuah nanti, padahal tujuan Ajaran Buddha adalah 'tidak terlahir kembali', yakni: Janganlah membuat kamma baru, baik buruk maupun jelek.
Point2 diatas, meskipun kelihatannya sangat logis, namun mesti kita renungi secara berhati-hati.
Opini saya adalah sbb:
Saya tidak menolak sepenuhnya pendapat rekan2 tsb.
Saya menyetujui bahwa realisasi 'melihat segala sesuatu sebagaimana adanya' (
yatha bhutam nana dassanamyatha bhuta nana dassanam)
adalah 'pencerahan'.Namun, kita mesti hati2, krn, apakah kita sudah mengalami '
melihat segala sesuatu sebagaimana adanya' itu? Kita hanya tau defenisinya dari buku2, kita belum mampu melihat manusia hanyalah onggokan daging, lendir, darah, dstnya.. Kita belum mampu melihat makian hanyalah gelombang suara yg dihasilkan getaran pita suara, kita belum sungguh2 mampu merealisasikan 'dalam melihat hanya ada melihat'... Singkat kata, kita belum tau dengan sebenarnya apa itu
'yatha bhutam..'. Kita hanya menduga2nya secara intelektual, namun belum mengalaminya.
Apakah dgn begitu, artinya kita tidak usah melatih sutta 'kelas tinggi' ini? Tidak juga, krn sambil berusaha memahami sutta ini, kita perlu mempersiapkan batin kita yg kental LDM ini agar lebih kinclong dan mengkilap.
Diibaratkan Kungfu, kita mesti melatih jurus2 dasar, kekuatan otot dan latihan2 lain untuk mencapai jurus tertinggi nantinya. Tidak bisa -dari staff kantoran ini- langsung masuk shaolin dan menerima latihan jurus terakhir. Kita mesti mulai dari langkah2 dasar kungfu, kurangi makan berlebihan, kurangi dugem, latihan angkat tong air, latihan pernafasan, dstnya... Kita mesti membentuk tubuh yg lembek dan penuh lemak ini ke kondisi yg sempurna untuk dpt menerima jurus tertinggi.
Tiap orang akan melewati masa dan latihan yg berbeda untuk dapat mencapai master kungfu. Tergantung kondisi masing2 org: kesungguhannya, disiplinnya, kekuatan tekadnya, konsentrasinya, dll.
Kembali ke '
melihat segala sesuatu sebagaimana adanya', apakah kita, manusia yg banyak maunya, emosian, tidak sabaran, egois ini serta merta bisa langsung '
melihat segala sesuatu sebagaimana adanya'?
Secara teoritis, kita paham bahwa hal tsb adalah: melihat cacian org lain hanya sebagai kata2 yg seyogyanya tdk akan mengusik kita.
Tapi, apakah kita serta merta bisa begitu tanpa melalui latihan mengembangkan cintakasih untuk mengikis sifat kesal kita terlebih dahulu? Apakah kita serta merta bisa 'melihat segala sesuatu sebagaimana adanya' tanpa melatih batin kita yg penuh gejolak ini agar menjadi kuat, tenang dan seimbang melalui serangkaian meditasi konsentrasi? Apakah kita bisa langsung ke shaolin dan melatih jurus sakti? Apa hasilnya jika jurus berkelahi diatas tiang pancang dilatih ke pemula? Hasilnya adalah kecelakaan bagi si pemula.
Kita sudah tebal oleh LDM.
Yg urgent kita lakukan adalah mengikis LDM kita agar batin kita terkondisi untuk 'pencerahan'. Bagaimana cara mengikis LDM ini? Caranya yaitu mengurangi pikiran dan perbuatan jelek, mengembangkan pikiran dan perbuatan baik dan latihan menyucikan pikiran kita, istilah kerennya:
Sila-Samadhi-Panna. Petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam
8 Jalan Mulia dan penjelasannya terdapat dalam 84.000 Sutta.
Tipitaka merupakan bimbingan yg sangat komplit, mulai dari dummies sd expert bisa memanfaatkannya untuk merealiasi 'akhir dukkha'.
Jadi,
'Jalan menuju Pencerahan/akhir Dukkha' bukanlah ditandai dengan 'dualisme' atau 'bukan dualisme'. Jalan Pencerahan adalah keseluruhan Ajaran dalam Tipitaka yg disesuaikan dengan tingkatan batin kita masing2. Bukan Jurus Pamungkas yg menjadikan kita seorang master, namun keseluruhan latihan.
Kembali ke ke-2 pertanyaan diatas, maka:
~
Apakah JMB-8 satu2nya jalan untuk mencapai pencerahan? Adakah jalan lain yg bukan JMB-8?jawabannya: kesemua jalan untuk mencapai master kungfu memerlukan latihan yg sama: Menjaga Pola Makan, Istirahat Yang Cukup, Disiplin Latihan, Pengembangan Konsentrasi, Melatih Pernafasan, Kecepatan, power dan stamina, yg kesemuanya ini dapat diibaratkan JMB-8, hanya saja, cara2 praktik nya yg mungkin berbeda-beda pada tiap perguruan.
Dengan demikian
~
Apakah hanya Bahiya Sutta (dan bbrp sutta lain) saja yg murni dari SB, sedangkan JMB-8 belum tentu?Jawabannya: Bahiya Sutta merupakan bagian dari rumusan JMB-8, Bahiya Sutta dan JMB-8 adalah satu kesatuan dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
::