//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Diskriminasi bhikkhunikah?  (Read 41876 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Diskriminasi bhikkhunikah?
« on: 06 August 2010, 09:53:19 AM »
Jika menilik keseluruhan Tipitaka, kita menemukan jarang sekali Sang BUddha berkhotbah kepada seorang bhikkhuni atau para bhikkhuni. Bahkan jika dihitung, sejauh khotbah-khotbah yang ada dalam Tipitaka, khotbah Sang Buddha terhadap para perumah-tangga terlihat lebih banyak dibandingkan dengan khotbah2 beliau terhadap bhikkhuni. Sebagai suatu contoh, keseluruhan isi Itivuttaka dipercaya merupakan khotbah2 Sang Buddha yang didengarkan oleh perumah-tangga wanita bernama Khujjutara. Berdasarkan pada fakta ini, timbul pertanyaan mengapa Sang BUddha terlihat tidak sering berkhotbah kepada bhikkhuni?

Yang mau berpendapat dipersilahkan.....

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #1 on: 06 August 2010, 10:00:54 AM »
tapi khan ada cerita wanita yang menjadi bhikhuni karena sang Buddha memberikan khotbahnya, seperti ratu khema contohnya.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #2 on: 06 August 2010, 10:04:53 AM »
bagaimana dengan bhikkhunisamyutta?

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #3 on: 06 August 2010, 10:21:01 AM »
tapi khan ada cerita wanita yang menjadi bhikhuni karena sang Buddha memberikan khotbahnya, seperti ratu khema contohnya.

Yap...ketika ia belum menjadi bhikkhuni. Tapi setelah menjadi bhikkhuni, apakah Sang Buddha memberikan khotbah lagi, jika menilik isi Tipitaka?

bagaimana dengan bhikkhunisamyutta?

Bhikkhuni Samyutta tidak berisi khotbah Sang Buddha kepada bhikkuni, melainkan syair2 para bhikkhuni ketika mereka diganggu oleh mara.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #4 on: 06 August 2010, 10:48:35 AM »
 APAKAH GURU BUDDHA SEORANG SEKSIS ?
(OPINI)

Pertanyaan ini bukan dimaksudkan sebagai penghinaan terhadap Guru Buddha ataupun ajaran-ajaranNya, tetapi hal ini berhubungan dengan keberlangsungan dan kemajuan Buddhisme di dunia modern .

Bangkok, Thailand -- Menentukan sikap Guru Buddha terhadap kaum wanita, secara langsung berhubungan dengan sifat teralami dari Buddhisme itu sendiri dan berhubungan dengan apakah Buddhisme mendukung pergerakan hak azasi manusia untuk demokrasi dan persamaan atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan ini, seseorang akan selalu dapat berargumen bahwa tidak mungkin untuk memeriksa kebenaran atas jawabannya, karena Guru Buddha telah lama Parinirvana. Namun, bagian-bagian yang terdapat dalam Tripitaka, yang merupakan kumpulan terbesar dari suatu ajaran agama di dunia, menyajikan referensi yang baik dalam pertanyaan kita.

Dalam rangka menemukan apakah Sang Buddha melakukan diskriminasi terhadap kaum wanita atau tidak, Tripitaka adalah satu-satunya sumber historis yang tepat sebagai acuan. Meskipun demikian, caranya tidaklah sederhana.

Penafsiran teks-teks Buddhis sebagian besar tergantung pada cara penggunaannya dalam pembacaan, yaitu, mengambil kata-kata secara harafiah seperti yang dilakukan oleh banyak Buddhis tradisional, atau menggunakan suatu pendekatan yang lebih holistik di dalam memahaminya, seperti yang dilakukan oleh banyak sarjana modern.

Terakhir juga memerlukan analisis kritis dan seni dalam memahami hal yang tersirat. Seperti kebanyakan teks keagamaan yang diwariskan dari jaman dahulu, Tripitaka memberikan informasi yang bertentangan mengenai status kaum wanita.
Salah satu referensi kunci yang betul-betul mendiskriminasikan kaum wanita adalah legenda asal muasal para bhikkhuni, di mana Sang Buddha menunjukkan penolakan yang sangat terhadap penahbisan (umpasampada) kaum wanita seperti yang diminta oleh Prajapati Gautami, ibu tiri sekaligus bibiNya. Ananda, pelayan dekat Sang Buddha ikut serta dan merundingkannya atas nama Prajapati Gautami. Sebagai hasilnya, Sang Buddha meletakkan satu set peraturan khusus, atau yang disebut Delapan Kewajiban Berat (Garudhamma) yang ditetapkan sebagai kondisi-kondisi untuk penahbisan kaum wanita, dan para bhikkhuni diwajibkan untuk menaatinya sampai akhir hidup mereka.

Delapan Kewajiban Berat yaitu:

   1. Seorang bhikkhuni, walaupun sudah di-upasampada (ditahbiskan) selama 100 tahun, harus menghormati seorang bhikkhu, menyambutnya, bersujud dengan hormat, meskipun bhikkhu itu baru ditahbiskan hari itu. (Para bhikkhu memberikan hormat satu dengan yang lain berdasarkan kesenioran mereka, atau berdasarkan banyaknya tahun setelah mereka ditahbiskan.)

   2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalani masa pengasingan diri (vassa) di tempat di mana tidak ada bhikkhu. (seorang bhikkhu boleh menempati tempat seorang diri)

   3. Seorang bhikkhuni menantikan dua kewajiban: setiap dua minggu seorang bhikkhuni harus meminta pertemuan Uposatha kepada Sangha Bhikkhuni dan menerima nasihat dari seorang bhikkhu setiap dua minggu. (Para bhikkhu tidak bergantung kepada para bhikkhuni untuk upacara wajib ini, dan juga tidak meminta untuk mendapatkan nasihat apapun.)

   4. Seorang bhikkhuni yang telah menyelesaikan masa vassa-nya harus mengajukan dirinya untuk menerima nasihat dari kedua Sangha, Sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni (Upacara Pavarana) untuk menanyakan apakah melalui 3 cara penglihatan, pendengaran, atau kecurigaan suatu kesalahan telah dilakukan. (Para bhikkhu mengajukan diri mereka sendiri ke komunitas para bhikkhu)

   5. Seorang bhikkhuni yang dikenakan masa percobaan karena pelanggaran suatu peraturan kebhikkhunian, Sanghadisesa,  harus menjalani masa percobaan minimum 15 hari, untuk pemulihan kembali menuntut persetujuan dari kedua Sangha, Sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni. (Untuk para bhikkhu minimum lima hari masa percobaan dengan tidak memerlukan persetujuan dari para bhikkhuni untuk pemulihan kembali.)

   6. Seorang wanita harus ditahbiskan oleh para bhikkhu dan bhikkhuni dan hanya dapat ditahbiskan setelah dua tahun masa pencalonan, dan pelatihan pada enam pelatihan. (Seorang pria tidak memiliki masa pencalonan wajib dan pentahbisan mereka dilakukan oleh para bhikkhu saja).

   7. Seorang bhikkhuni tidak boleh memarahi seorang bhikkhu. (Seorang bhikkhu boleh memarahi  bhikkhu lain, dan semua bhikkhu boleh memarahi bhikkhuni.)

   8. Untuk selanjutnya, tak seorang bhikkhuni pun boleh sama sekali memberi pengajaran/teguran kepada para bhikkhu. Namun, para bhikkhu boleh memberikan pengajaran/teguran (Tidak ada batasan kepada siapa seorang bhikkhu boleh memberi pengajaran/teguran.)

Legenda tersebut mengingatkan kembali bahwa, setelah memberikan Delapan Kewajiban Berat, siswa Guru Buddha, Ananda,  kembali dan menginformasikan kepada Prajapati, sang bibi, akan perkataan Sang Buddha. Prajapati menerima semua delapan peraturan tanpa keberatan. Dengan suka cita, ia berkata:
"Saya menerima semua Delapan Kewajiban Berat, dan akan menaati tanpa melanggarnya sepanjang hidup saya, seperti seorang anak perempuan atau anak laki-laki yang menikmati kecantikannya, setelah mandi dan berkeramas, menerima kalung bunga melati atau lilac, menerimanya dengan tangannya dan meletakkannya di atas kepalanya."

Terlepas dari peraturan yang bersifat diskriminasi terhadap kaum wanita ini, lebih lanjut Sang Buddha menyampaikan pandangan Beliau di masa yang akan datang bahwa karena penahbisan kaum wanita maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang Mulia hanya akan bertahan dari 1000 tahun menjadi 500 tahun. Hal ini dinyatakan pada bagian dalam Tripitaka berikut:

Pada saat itu, Y.M. Ananda pergi menemui Sang Bhagava. Setelah duduk disalah satu sisi, Ia berkata kepada Sang Bhagava, "Yang Mulia, Mahaprajapati Gautami menerima Delapan Kewajiban Berat. Sekarang bibi dari  Yang Mulia telah ditahbiskan." Sang Bhagava berkata kepada Ananda, “ Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan seribu tahun lamanya. Tetapi sejak wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang Mulia hanya akan bertahan selama lima ratus tahun. Ananda dalam agama manapun ketika kaum wanitanya ditahbiskan, maka agama tersebut tidak akan bertahan lama. Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit akan mudah dirampok. Demikian pula dimana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama. Dan seperti seorang laki-laki yang akan membangun terlebih dahulu sebuah bendungan yang besar sehingga dapat menampung air, demikian pula Tathagata membentenginya dengan Delapan Peraturan Utama untuk Sangha Bhikkhuni, yang tidak boleh dilanggar selama hidup mereka.” (Vin. II, 256)

Tentu saja, Buddhis yang terlatih secara tradisional membenarkan bahwa pesan di atas tersebut merupakan kutipan aktual dari sabda Sang Buddha. Oleh karena itu, mereka menerima dan mengartikannya bahwa kaum wanita lebih rendah dari kaum pria, dan mereka adalah penyebab kehancuran agama.

Jika hal ini benar, maka hanya ada satu kesimpulan: Sang Buddha adalah seorang seksis (orang yang bersikap diskriminasi terhadap gender/jenis kelamin). Namun, kata "seksis" terlalu keras bagi sebagian besar umat Buddha. Tidak seorang Buddhis tradisional pun yang akan menerima prasangka terhadap Sang Buddha seperti itu. Sebaliknya, mereka pada umumnya menantang  untuk mempertahankan pesan dari  Delapan Kewajiban Berat, dengan mengklaim, "Demikianlah jalannya. Ini adalah Dharma Universal, dan tidak ada yang dapat kita lakukan selain menerimanya sebagai pesan asli Sang Buddha."

Penafsiran fundamentalis ini telah mengisolasi umat Buddha dari kepercayaan akan demokrasi yang berdasarkan pada hak azasi manusia dan persamaan gender. Buddhisme menjadi alat yang digunakan untuk memojokkan setengah dari populasi dunia. Orang-orang terpelajar sering berpaling dari Buddhisme karena tidak menyukainya setelah mereka melihat agama ini merupakan bagian dari masalah bukan sebagai solusi untuk kemajuan sosial.

Namun, cara lain untuk menjawab pertanyaan ini yaitu melalui pembacaan Tripitaka secara kritis. Inilah metodologi/cara dari para sarjana modern. Hal ini akan menunjukkan secara jelas penggambaran yang berbeda terhadap sikap Sang Buddha terhadap kaum wanita. Menurut bagian lain dari Tripitaka, Delapan Kewajiban Berat bertentangan dengan prinsip belas kasih dan sifat alami manusia. Menurut versi Sang Buddha mengenai Genesis (asal usul), karakteristik perempuan dan lelaki muncul sebagai akibat dari kemerosotan dunia fisik yang berkelanjutan, dimana, karakteristik itu bukanlah sifat alami sejati dari apa sesungguhnya kita. Karena jenis kelamin hanya merupakan penampilan luar dari sifat alami sejati kita, maka baik pria maupun wanita dengan kemampuan yang sama sanggup untuk mencapai Percerahan Sempurna.

Lebih lanjut, ketika bagian dari Tripitaka ini - legenda asal muasal Sangha Bhikkhuni dan Delapan Kewajiban Berat - dibandingkan dengan bagian lain dari Tripitaka, terdapat banyak perbedaan dan pertentangan. Sebagai contoh, di dalam  Buku Theragatha dan Therigatha ( syair yang disusun oleh para bhikkhu dan bhikkhuni yang tercerahkan) kita melihat sebuah situasi di mana seorang bhikkhu  menjadi tercerahkan oleh pengajaran dari seorang bhikkhuni, yang kemudian dihormati seperti ibunya. Hal ini bertentangan dengan peraturan terakhir dari Delapan Kewajiban Berat , dimana melarang seorang bhikkhuni untuk mengajar seorang bhikkhu.

Juga, perkataan "untuk selanjutnya" (dalam peraturan nomor 8 ) memberi kesan  bahwa sebelumnya telah terjadi dimana para bhikkhuni  memberikan pengajaran kepada para bhikkhu, dan peraturan dikeluarkan untuk menghentikan kegiatan itu atas nama Sang Buddha. Hal ini didukung pula oleh perumpamaan "bendungan" yang digunakan di bagian akhir kisah itu. Bagian dari kisah ini menceritakan mengenai sebuah bendungan yang dibangun untuk menjaga ladang-ladang padi dan tebu di India ketika seorang petani menemukan ladang-ladang tersebut sedang diserang hama padi atau debu merah. Bendungan harus dibangun secepatnya setelah petani itu menemukan gangguan hama itu, tapi tidak lebih awal dari itu. Penggunaan perumpamaan tersebut bertentangan dengan logika terhadap kondisi yang ada, dimana peraturan tersebut dikeluarkan sebelum Sangha Bhikkhuni terbentuk. Seharusnya, Delapan Kewajiban Berat ini dikeluarkan beberapa waktu setelah pembentukan Sangha Bhikkhuni.  Hubungan kecil ini memberikan pesan bahwa legenda Delapan Kewajiban Berat telah disisipkan di dalam Tripitaka sebagai bagian dari ajaran Sang Buddha. Dan nampak Kewajiban tersebut merupakan pekerjaan para bhikkhu generasi lebih muda yang memiliki sikap negatif terhadap kaum wanita.

Di bagian lain dalam Tripitaka, kita tidak melihat adanya bukti tentang tindakan para bhikkhuni sebagai suatu penyebab dari kemunduran Buddhisme. Sebaliknya, beberapa sutra, pada masa sebelum wafatnya Sang Buddha,  tidak pernah menguraikan sebuah kunjungan seorang raja kepada seorang bhikkhu dalam rangka mempelajari Dharma. Namun, tiga referensi dalam Tripitaka menyebutkan kunjungan seorang raja untuk bertemu seorang bhikkhuni ketika Sang Buddha masih hidup. Dalam salah satu kisah, Raja Pasenadi dari Kosala memuji di depan Sang Buddha akan kemampuan mengajar Bhikkhuni Khema; ia mengklaim bahwa pengajarannya sebagus Guru Buddha sendiri!

Juga, di dalam Buku Theragatha dan Therigatha, kita melihat bahwa para bhikkhuni lebih aktif dibanding para bhikkhu dalam  menyebarkan Dharma. Sementara para bhikkhu cenderung untuk menikmati hidup menyendiri dibanding tinggal dalam komunitas, para bhikkhuni mempunyai ikatan komunitas yang kuat dimana mereka sangat disibukkan dengan mengajar dan belajar. Salah satu bagian bahkan menguraikan seorang bhikkhuni yang  menyatakan dengan berani kepada publik, datang dan dengarkan ajaranku! Ungkapan “evangelis” seperti itu tidak diuraikan dalam Tripitaka yang diarahkan kepada para bhikkhu manapun. Buku Therigatha adalah literatur keagamaan pertama yang dikenal dunia yang diketahui disusun oleh kaum wanita.  Buku itu memperlihatkan periode pada sejarah awal Buddhism ketika kaum wanita menikmati persamaan hak dengan rekan pria mereka.

Serpihan-serpihan kecil bukti ini yang tersebar dalam Tripitaka mengkonfirmasikan bahwa ajaran asli Sang Buddha tidak meninggikan kaum pria di atas kaum wanita. Malangnya, meskipun demikian, unsur-unsur seksisme menemukan jalan masuk ke dalam masyarakat Buddhis segera setelah wafatnya Guru Buddha dalam rangka memperkuat status superior kaum pria atas kaum wanita. Delapan Kewajiban Berat , seperti yang telah diformulasikan dalam legenda asal muasal Sangha Bhikkhuni, menjadi alat sosial untuk mendapatkan kendali atas para bhikkhuni yang banyak dari mereka merupakan guru-guru terkemuka dan cukup sukses mencerahkan beberapa bhikkhu.

Peraturan tersebut bukan hanya menjadi bagian dari kanon Buddhis, tetapi diwajibkan dalam Sangha Bhikkhuni melalui pernyataan dan pengulangan setiap dua minggu. Periode penindasan para bhikkhuni dicurigai memiliki sedikit generasi penerus terakhir sebelum akhirnya Sangha Bhikkhuni menghilang dari India. Tidak lama sebelum Buddhisme ikut menghilang. Hipotesa ini diperkuat ketika membandingkan Buddhisme dengan Jainisme, atau “saudari” dari Buddhisme, yang ditemukan oleh Mahavira, seorang pemimpin spiritual sejaman dengan Sang Buddha.

Seperti Buddhisme, Jainisme dipandang sebagai heterodoks (menyimpang) oleh orang Hindu dan kemudian oleh orang Muslim. Masyarakat Buddhis dan masyarakat Jain berbagi struktur yang sama, terdiri atas para biarawan, biarawati, umat awam pria dan wanita; umat Buddhis memuja patung Sang Buddha, sedangkan umat Jain memuja patung Mahavira.

Selagi Buddhisme menghilang dari India, Jainisme tidak menghilang. Banyak sejarahwan menyalahkan penindasan orang Muslim atas pemadaman Buddhisme di  tanah airnya sendiri, tetapi teori ini tidak bisa menjelaskan mengapa Jainisme juga tidak dibinasakan mengingat kedua agama tersebut memiliki posisi yang sama dihadapan orang Muslim. Perbedaan yang berarti terletak pada perlakuan terhadap para biarawati: dalam Jainisme, para biarawati tidak didiskriminasikan seperti di Buddhisme. Sekarangpun, biarawati dalam Jainisme menikmati kebebasan mereka dalam pengajaran yang sepadan dengan rekan pria mereka. Tidak ada peraturan Delapan Kewajiban Berat  di dalam ajaran Mahavira.

Dalam  penerangan analisa ini, bukti menunjuk kepada fakta bahwa seksisme dalam masyarakat Buddhis bertanggung jawab atas hancur dan padamnya  agama Buddha dari tanah airnya sendiri. Ini adalah hasil dari  karma yang dilakukan oleh para bhikkhu seksis dari generasi belakangan segera setelah Sang Buddha wafat.
Diskriminasi seksual atau seksisme sama sekali bukan bagian dari ajaran asli Sang Buddha, ajaran yang tidak akan menyingkirkan siapapun. Guru Buddha, dapat kita simpulkan, bukanlah seorang seksis.

Sangat disayangkan, sekarang ini karma seksisme masih kuat dan sehat di banyak negara-negara Buddhist seperti Srilanka, Myanmar, Thailand, Kamboja dan Laos. Hanya beberapa komunitas di Sri Lanka yang menahbiskan kaum wanita.

Di tempat lain di Asia Tenggara, penahbisan kaum wanita adalah ilegal. Sebagai contoh, Dewan Sangha Raja di Thailand, mengumumkan di depan publik bahwa bhikkhu manapun yang mendukung penahbisan kaum wanita akan dijatuhi hukuman yang berat.

Meskipun demikian, dalam tradisi Theravada secara keseluruhan, Delapan Kewajiban Berat  diikuti dengan penuh keyakinan sebagai sabda asli Guru Buddha.
Di negara-negara Theravada, agama Buddha belum pernah menjadi pendukung hak azasi manusia dan keadilan sosial. Sepanjang tidak ada reformasi sistem pendidikan agama dalam Buddhisme dan Tripitaka, agama akan tetap menjadi rintangan terbesar untuk pengembangan demokrasi dan keadilan sosial dalam negara-negara ini.



Keterangan :
Bhikkhu Mettanando adalah seorang bhikkhu Thailand yang sebelumnya adalah seorang  dokter. Ia belajar di Universitas Chulalongkorn, Oxford dan Harvard, dan mendapat gelar PhD dari Universitas Hamburg. Beliau adalah penasihat khusus urusan agama Buddha pada sekretaris-jenderal World Conference of Religions for Peace.




Sumber: Bangkok Post, 9 Mei 2006
Judul asli: Was the Lord Buddha a Sexist?
Oleh: Bhikkhu Mettanando
Diterjemahkan dan Online di : Bhagavant.com
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #5 on: 06 August 2010, 12:48:12 PM »
setuju dengan bhante mettanando...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #6 on: 06 August 2010, 01:05:31 PM »
[at] Sam Peacemind

Di beberapa Sutta dalam teks Pali, Sang Buddha sering berkata: "... bhikkhave...". Apakah "bhikkhave" itu artinya adalah "para bhikkhu"? Apakah artinya tidak mencakup bhikkhu dan bhikkhuni? Kalau "para bhikkhuni", dalam teks Pali seharusnya ditulis apa yah?

Offline NOYA

  • Teman
  • **
  • Posts: 66
  • Reputasi: 7
  • Gender: Female
  • I still need to learn more.
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #7 on: 06 August 2010, 01:11:24 PM »
Quote
Jika menilik keseluruhan Tipitaka, kita menemukan jarang sekali Sang BUddha berkhotbah kepada seorang bhikkhuni atau para bhikkhuni. Bahkan jika dihitung, sejauh khotbah-khotbah yang ada dalam Tipitaka, khotbah Sang Buddha terhadap para perumah-tangga terlihat lebih banyak dibandingkan dengan khotbah2 beliau terhadap bhikkhuni. Sebagai suatu contoh, keseluruhan isi Itivuttaka dipercaya merupakan khotbah2 Sang Buddha yang didengarkan oleh perumah-tangga wanita bernama Khujjutara. Berdasarkan pada fakta ini, timbul pertanyaan mengapa Sang BUddha terlihat tidak sering berkhotbah kepada bhikkhuni?

Mungkin kita perlu ingat pada adanya fakta bahwa Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah kumpulan ajaran Buddha yang ditulis oleh siswa-siswa Buddha* setelah beliau wafat. Sebagaimana kita ketahui, sebelum ditulis di dalam konsili Buddhist ke-4 (menurut Theravāda) yang dilakukan di Sri Lanka pada abad ke-1 A.C., ajaran-ajaran tersebut diulang dan diingat secara lisan oleh para siswa Buddha tersebut. Sebelum Konsisli Buddhist ke-4 di Sri Lanka ini, telah ada tiga konsisli Buddhist di India. Hal yang menarik, semua peserta konsili adalah para bhikkhu. Sejauh ini saya belum menemukan bukti bahwa konsili-konsili itu dan proses penulisan Tipiṭaka itu, melibatkan bhikkhuni. Jadi,,,,,,MUNGKIN saja ada beberapa ajaran yang disampaikan kepada para bhikkhuni yang tidak diketahui oleh para bhikkhu perseta konsili dan sebagai hasilnya, menjadi tidak tertulis di dalam Tipiṭaka sebagaimana yang kita temui saat ini.

Lalu, mengapa justru banyak ajaran yang disampaikan kepada umat awam wanita di dalam Tipiṭaka? Hal ini  MUNGKIN adalah karena frekuensi bertemunya Buddha dengan umat awam wanita lebih sering dibandingkan dengan frekuensi pertemuan dengan para bhikkhuni.  Kita ambil contoh mudahnya saja tentang pemberian dana makanan. Saya pikir, di zaman kehidupan Buddha pun, pemberian dana juga melibatkan wanita. Dan dari peristiwa pemberian dana makanan inilah, kemungkinan Buddha memberikan Dhamma kepada para wanita yang juga didengar oleh bhikkhu yang lainnya.  Selain pemberian dana makanan, bisa juga pada saat Buddha berkeliling India Buddha lebih sering bertemu umat awam wanita daripada bhikkhuni. Apalagi jumlah populasi bhikkhuni yang mungkin belum sebanyak bhikkhu.  Dan pada saat berkeliling India ini, kemungkinan ada para bhikkhu yang bersama Buddha pada saat Buddha mengajarkan Dhamma kepada umat awam. Dan sebaliknya, jarang sekali ada bhikkhu yang pergi dengan Buddha pada saat membabarkan Dhamma kepada para bhikkhuni. Dengan demikian, pada saat Buddha membabarklan Dhamma kepada bhikkhuni, Dhamma-Dhamma tersebut tidak didengar oleh para bhikkhu, yang akhirnya tidak diulang di dalam konsili dan tidak tertuliskan didalam Tipiṭaka.

Mungkin begitu………..atau yang benar-benar “BENAR” bagaimana, saya juga masih bingung……


*Maaf…kata yang biasanya dituliskan sebagai Sang Buddha, hanya saya tulis sebagai Buddha. Saya akan buka thread lain ttg hal ini.


Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #8 on: 06 August 2010, 03:28:42 PM »
APAKAH GURU BUDDHA SEORANG SEKSIS ?
(OPINI)


Legenda tersebut mengingatkan kembali bahwa, setelah memberikan Delapan Kewajiban Berat, siswa Guru Buddha, Ananda,  kembali dan menginformasikan kepada Prajapati, sang bibi, akan perkataan Sang Buddha. Prajapati menerima semua delapan peraturan tanpa keberatan. Dengan suka cita, ia berkata:
"Saya menerima semua Delapan Kewajiban Berat, dan akan menaati tanpa melanggarnya sepanjang hidup saya, seperti seorang anak perempuan atau anak laki-laki yang menikmati kecantikannya, setelah mandi dan berkeramas, menerima kalung bunga melati atau lilac, menerimanya dengan tangannya dan meletakkannya di atas kepalanya."

Terlepas dari peraturan yang bersifat diskriminasi terhadap kaum wanita ini, lebih lanjut Sang Buddha menyampaikan pandangan Beliau di masa yang akan datang bahwa karena penahbisan kaum wanita maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang Mulia hanya akan bertahan dari 1000 tahun menjadi 500 tahun. Hal ini dinyatakan pada bagian dalam Tripitaka berikut:

Pada saat itu, Y.M. Ananda pergi menemui Sang Bhagava. Setelah duduk disalah satu sisi, Ia berkata kepada Sang Bhagava, "Yang Mulia, Mahaprajapati Gautami menerima Delapan Kewajiban Berat. Sekarang bibi dari  Yang Mulia telah ditahbiskan." Sang Bhagava berkata kepada Ananda, “ Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan seribu tahun lamanya. Tetapi sejak wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang Mulia hanya akan bertahan selama lima ratus tahun. Ananda dalam agama manapun ketika kaum wanitanya ditahbiskan, maka agama tersebut tidak akan bertahan lama. Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit akan mudah dirampok. Demikian pula dimana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama. Dan seperti seorang laki-laki yang akan membangun terlebih dahulu sebuah bendungan yang besar sehingga dapat menampung air, demikian pula Tathagata membentenginya dengan Delapan Peraturan Utama untuk Sangha Bhikkhuni, yang tidak boleh dilanggar selama hidup mereka.” (Vin. II, 256)

Justru perumpamaan bendungan mengingikasikan bahwa dengan ditetapkan aṭṭhagarudhamma kepada para bhikkhuni bahaya2 yang tadinya bisa muncul termasuk berkurangnya umur Sāsana lenyap. Ini diperkuat dengan komentar yang ada dalam kitab komentar untuk Bhikkhunikkhandhaka.

Quote
Tentu saja, Buddhis yang terlatih secara tradisional membenarkan bahwa pesan di atas tersebut merupakan kutipan aktual dari sabda Sang Buddha. Oleh karena itu, mereka menerima dan mengartikannya bahwa kaum wanita lebih rendah dari kaum pria, dan mereka adalah penyebab kehancuran agama.

Jika kita melihat keseluruhan aṭṭhagarudhamma, tidak didapatkan peraturan yang merugikan. Justru semuanya menguntungkan para bhikkhuni dan Sangha. Apa salahnya para bhikkhuni meminta nasehat ke Bhikkhu sangha? Apa salahnya para bhikkhuni ditahbis baik oleh bhikkhusangha maupun bhikkhunisangha? Apa salahnya seorang bhikkhuni melatih peraturan sikkhamana sebelum menjadi bhikkhuni? Apa salahnya seorang bhikkhuni menghormat seorang bhikkhu? Semuanya masih berpijak pada latihan untuk menjadi baik. Saat ini banyak orang berpikir bahwa diskriminasi terhadap seorang bhikkhuni terletak pada peraturan bahwa seorang bhikkhuni harus menghormat bahkan kepada seorang bhikkhu yang baru ditahbis satu hari. Seandainya Sang Buddha menerima bahwa seorang bhikkhu atau bhikkhuni harus saling bersujud sesuai dengan jangka waktu di mana mereka ditahbis, saat itu justru akan terjadi chaos. Kita tahu bahwa kaum brahmana begitu merendahkan status seorang wanita. Sementara itu, banyak sekali murid2 Sang Buddha berasal dari keluarga brahmana. Jika mereka seorang arahat, meskipun bhikkhu tersebut berasal dari keluarga brahmana, ia tidak akan terpengaruh apakah seorang bhikkhu harus menghormat bhikkhuni yang sudah lama atau tidak. Sayangnya, banyak sekali para bhikkhu dari keluarga brahmana yang belum mencapai kesucian. Seandainya mereka tahu bahwa mereka harus menghormat wanita, karena ego mereka, mereka tidak akan menjadi bhikkhu. Dan yang belum menjadi bhikkhu pun tidak akan tertarik. Jangankan terhadap para wanita, dalam Catumasutta, diceritakan banyak bhikkhu yang berumur tua tidak suka ketika mereka mendapat wejangan dari sesama bhikkhu yang berumur muda namun secara senioritas lebih tua. Peraturan untuk menghormat sangat baik saat itu dan juga baik untuk melenyapkan rasa ego pula.

Quote
Jika hal ini benar, maka hanya ada satu kesimpulan: Sang Buddha adalah seorang seksis (orang yang bersikap diskriminasi terhadap gender/jenis kelamin). Namun, kata "seksis" terlalu keras bagi sebagian besar umat Buddha. Tidak seorang Buddhis tradisional pun yang akan menerima prasangka terhadap Sang Buddha seperti itu. Sebaliknya, mereka pada umumnya menantang  untuk mempertahankan pesan dari  Delapan Kewajiban Berat, dengan mengklaim, "Demikianlah jalannya. Ini adalah Dharma Universal, dan tidak ada yang dapat kita lakukan selain menerimanya sebagai pesan asli Sang Buddha."

JIka kita melihat dari sudut pandang lain, kita tidak melihat bahwa karena peraturan aṭṭhagarudhamma membuat kita berpandangn bahwa Sang Buddha seorang seksis.


Quote
Lebih lanjut, ketika bagian dari Tripitaka ini - legenda asal muasal Sangha Bhikkhuni dan Delapan Kewajiban Berat - dibandingkan dengan bagian lain dari Tripitaka, terdapat banyak perbedaan dan pertentangan. Sebagai contoh, di dalam  Buku Theragatha dan Therigatha ( syair yang disusun oleh para bhikkhu dan bhikkhuni yang tercerahkan) kita melihat sebuah situasi di mana seorang bhikkhu  menjadi tercerahkan oleh pengajaran dari seorang bhikkhuni, yang kemudian dihormati seperti ibunya. Hal ini bertentangan dengan peraturan terakhir dari Delapan Kewajiban Berat , dimana melarang seorang bhikkhuni untuk mengajar seorang bhikkhu.

Dalam Therigatha yang mana didukung oleh Theragatha, memang ada satu kisah di mana seorang bhikkhu memperoleh nasehat dari seorang bhikkhuni. Bhikkhuni ini memang ibu dari bhikkhu yang dimaksud. Bhikkhu yang dimaksud adlah Bhikkhu Vaḍḍha yang terdapat dalam Vaḍḍhatheragatha. Diceritakan dalam Atthakatha bahwa ibu Vaḍḍha menjadi seorang bhikkhuni dan mencapai kesucian arahat. Kemudian mengetahui anaknya sudah cukup dewasa, ia meminta anaknya untuk menjadi bhikkhu. Ia kemudian belajar Dhamma. Satu kali karena ia rindu dengan ibunya, ia pergi menemui ibunya di vihara. Sang ibu / bhikkhuni tersebut memberi wejangan (kata yang benar adalah codeti - mengecam) kepada anaknya untuk menjalankan kehidupan selibat dengan serius.

Quote
Juga, perkataan "untuk selanjutnya" (dalam peraturan nomor 8 ) memberi kesan  bahwa sebelumnya telah terjadi dimana para bhikkhuni  memberikan pengajaran kepada para bhikkhu, dan peraturan dikeluarkan untuk menghentikan kegiatan itu atas nama Sang Buddha.

Seseorang bisa berinterprestasi demikian. Namun apa salahnya meskipun belum ada kejadian seorang bhikkhuni mengajar seorang bhikkhu, peraturan itu telah ditetapkan? Justru perumpamaan bendungan mengindikasikan bahwa peraturan memang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum hal2 yang tidak diinginkan terjadi - Sedia payung sebelum hujan.

Quote
Hal ini didukung pula oleh perumpamaan "bendungan" yang digunakan di bagian akhir kisah itu. Bagian dari kisah ini menceritakan mengenai sebuah bendungan yang dibangun untuk menjaga ladang-ladang padi dan tebu di India ketika seorang petani menemukan ladang-ladang tersebut sedang diserang hama padi atau debu merah. Bendungan harus dibangun secepatnya setelah petani itu menemukan gangguan hama itu, tapi tidak lebih awal dari itu. Penggunaan perumpamaan tersebut bertentangan dengan logika terhadap kondisi yang ada, dimana peraturan tersebut dikeluarkan sebelum Sangha Bhikkhuni terbentuk. Seharusnya, Delapan Kewajiban Berat ini dikeluarkan beberapa waktu setelah pembentukan Sangha Bhikkhuni. 

Perumpamaan bendungan berkaitan secara langsung dengan air yang meluap, bukan dengan hama padi atau penyakit tebu. Mungkin perlu dibaca lagi dan lagi.

Quote
Hubungan kecil ini memberikan pesan bahwa legenda Delapan Kewajiban Berat telah disisipkan di dalam Tripitaka sebagai bagian dari ajaran Sang Buddha. Dan nampak Kewajiban tersebut merupakan pekerjaan para bhikkhu generasi lebih muda yang memiliki sikap negatif terhadap kaum wanita.

Jika hal ini merupakan sisipan para generasi muda, namun mengapa semua sekte awal Buddhis baik Sarvastivada, Mahisasaka, Sutrantika, dll, juga membenarkan dan mencatat adanya peraturan delapan ini?

Quote
Di bagian lain dalam Tripitaka, kita tidak melihat adanya bukti tentang tindakan para bhikkhuni sebagai suatu penyebab dari kemunduran Buddhisme.

Bagaimana dengan sikap chabbagiya bhikkhuni? Para bhikkhuni penggoda? hehehe....

Quote
Sebaliknya, beberapa sutra, pada masa sebelum wafatnya Sang Buddha,  tidak pernah menguraikan sebuah kunjungan seorang raja kepada seorang bhikkhu dalam rangka mempelajari Dharma.
Sang Buddha juga bhikkhu lho. Banyak raja dan pangeran berkunjung kepadanya untuk mendengarkan Dhamma dan banyak di antara mereka yang tertarik menjadi bhikkhu pula. Ada pula sutta2 di mana seorang raja mengunjungi seorang bhikkhu, seperti Bāhitikasutta, Raṭṭhapālasutta, Madhurasutta, dll.

Quote
Namun, tiga referensi dalam Tripitaka menyebutkan kunjungan seorang raja untuk bertemu seorang bhikkhuni ketika Sang Buddha masih hidup. Dalam salah satu kisah, Raja Pasenadi dari Kosala memuji di depan Sang Buddha akan kemampuan mengajar Bhikkhuni Khema; ia mengklaim bahwa pengajarannya sebagus Guru Buddha sendiri!

Hanya tiga khan....

Quote
Juga, di dalam Buku Theragatha dan Therigatha, kita melihat bahwa para bhikkhuni lebih aktif dibanding para bhikkhu dalam  menyebarkan Dharma. Sementara para bhikkhu cenderung untuk menikmati hidup menyendiri dibanding tinggal dalam komunitas, para bhikkhuni mempunyai ikatan komunitas yang kuat dimana mereka sangat disibukkan dengan mengajar dan belajar.
Quote

Perlu dipelajari lagi terutama pernyataan bahwa sesuai dengan isi Therigatha para bhikkhuni SANGAT disibukkan dengan mengajar dan belajar. Saya melihat bahwa pernyataan ini justru bertentangan jika kita kembali kepada Therigatha.

Quote
Salah satu bagian bahkan menguraikan seorang bhikkhuni yang  menyatakan dengan berani kepada publik, datang dan dengarkan ajaranku! Ungkapan “evangelis” seperti itu tidak diuraikan dalam Tripitaka yang diarahkan kepada para bhikkhu manapun.

Ada yang tahu dimana tetapnya pernyataan ini? Thanks.


DI atas, hanya sekedar komen aja lho... :D

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #9 on: 06 August 2010, 03:32:09 PM »
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #10 on: 06 August 2010, 03:33:18 PM »
[at] Sam Peacemind

Di beberapa Sutta dalam teks Pali, Sang Buddha sering berkata: "... bhikkhave...". Apakah "bhikkhave" itu artinya adalah "para bhikkhu"? Apakah artinya tidak mencakup bhikkhu dan bhikkhuni? Kalau "para bhikkhuni", dalam teks Pali seharusnya ditulis apa yah?

Biasanya dalam teks, kata bhikkhave hanya merujuk ke bhikkhu saja. Biasanya seorang bhikkhu memanggil para bhikkhuni dengan sebutan 'bhaginiyo' - sisters.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #11 on: 06 August 2010, 03:40:13 PM »
Biasanya dalam teks, kata bhikkhave hanya merujuk ke bhikkhu saja. Biasanya seorang bhikkhu memanggil para bhikkhuni dengan sebutan 'bhaginiyo' - sisters.

Semestinya ada Sutta atau percakapan antara Sang Buddha dengan para bhikkhuni di Tipitaka. Dengan panggilan apa Sang Buddha biasa memanggil para bhikkhuni?

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #12 on: 06 August 2010, 03:57:08 PM »

Mungkin kita perlu ingat pada adanya fakta bahwa Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah kumpulan ajaran Buddha yang ditulis oleh siswa-siswa Buddha* setelah beliau wafat. Sebagaimana kita ketahui, sebelum ditulis di dalam konsili Buddhist ke-4 (menurut Theravāda) yang dilakukan di Sri Lanka pada abad ke-1 A.C., ajaran-ajaran tersebut diulang dan diingat secara lisan oleh para siswa Buddha tersebut. Sebelum Konsisli Buddhist ke-4 di Sri Lanka ini, telah ada tiga konsisli Buddhist di India. Hal yang menarik, semua peserta konsili adalah para bhikkhu. Sejauh ini saya belum menemukan bukti bahwa konsili-konsili itu dan proses penulisan Tipiṭaka itu, melibatkan bhikkhuni. Jadi,,,,,,MUNGKIN saja ada beberapa ajaran yang disampaikan kepada para bhikkhuni yang tidak diketahui oleh para bhikkhu perseta konsili dan sebagai hasilnya, menjadi tidak tertulis di dalam Tipiṭaka sebagaimana yang kita temui saat ini.

Namanya kemungkian pasti ada. Tapi jika kita kembali kepada kisah permintaan Bhikkhu Ananda kepada Buddha jika beliau menjadi pembantu tetap Buddha, seharusnya khotbhah2 Sang Buddha kepada Bhikkhuni yang tidak didengar Bhikkhu Ananda diucapkan kembali kepada bhikkhu Ananda karena ini merupakn satu permintaan bhikkhu Ananda kepada Buddha jika harus menjadi pembantu tetap Buddha.

Quote
Lalu, mengapa justru banyak ajaran yang disampaikan kepada umat awam wanita di dalam Tipiṭaka? Hal ini  MUNGKIN adalah karena frekuensi bertemunya Buddha dengan umat awam wanita lebih sering dibandingkan dengan frekuensi pertemuan dengan para bhikkhuni.  Kita ambil contoh mudahnya saja tentang pemberian dana makanan. Saya pikir, di zaman kehidupan Buddha pun, pemberian dana juga melibatkan wanita. Dan dari peristiwa pemberian dana makanan inilah, kemungkinan Buddha memberikan Dhamma kepada para wanita yang juga didengar oleh bhikkhu yang lainnya. 

Saya setuju dengan pendapat bahwa tampaknya frekuensi pertemuan Sang Buddha kepada umat awam lebih banyak ketimbang pertemuaanya dengan para bhikkkhuni. Salah satunya adalah pada saat berdana umat awam wanita justru bertemu Sang BUddha dan mendapat kesempatan mendengarkan Dhamma. Justru saya berpendapat bahwa mengapa wejangan Buddha kepada para bhikkhuni sangat sedikit, karena sesuai dengan peraturan vinaya, para bhikkhuni akan mendapatkan nasehat dari bhikkhusangha setiap dua minggu sekali dihari uposatha. Dan umumnya yang terpilih untuk memberikan wejangan kepada para bhikkhuni bukan Sang BUddha sendiri, melainkan murid2 beliau. Oleh karena itu, kesempatan para bhikkhuni untuk mendengarkan wejangan Sang Buddha justru sedikit. Sang Buddha berdiam di vihara dikelilingi para bhikkhu, shingga hanya para bhikkhu memperoleh kesempatan banyak untuk mendengarkan Dhammanya. Sementara itu, mengapa umat awam justru memperoleh kesempatan lebih banyak mendengarkan Dhamma Sang Buddha? Karena pertama setiap kali Sang Buddha menerima undangan dana makanan, beliau tidak akan lupa memberikan anumodanakatha (khotbah2 sebagai ucapan terimakasih). Kedua, dalam kitab komentar, ada tradisi yang mengatakan bahwa setiap sore umat datang yang siangnya berdana kepada para bhikkhu akan datang ke vihara dan menemui Sang BUddha untuk memperoleh wejangan. Ketiga, Sang Buddha menggunakan keseluruhan waktunya kecuali masa vassa untuk mengembara dari satu tempat ke tempat lain,sehingga umat awampun berkesempatan mendengarkan Dhamma lebih banyak. Para bhikkhuni tidka mendapatkan kesempatan lebih banyak karena selain peraturan memperoleh nasehat dua minggu sekali, mereka tidak bebas berasosiasi dengan para bhikkhu termasuk Buddha. Mereka tidak bebas berkeluyuran di Vihara2 di mana Sang Buddha berdiam. Mereka juga tidak bisa mengikuti sang Buddha dalam pengembaraan.

Quote
Dan sebaliknya, jarang sekali ada bhikkhu yang pergi dengan Buddha pada saat membabarkan Dhamma kepada para bhikkhuni. Dengan demikian, pada saat Buddha membabarklan Dhamma kepada bhikkhuni, Dhamma-Dhamma tersebut tidak didengar oleh para bhikkhu, yang akhirnya tidak diulang di dalam konsili dan tidak tertuliskan didalam Tipiṭaka.

Meskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni, seharusnya sang Buddha akan mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda. :D

Just my opinion.

Offline NOYA

  • Teman
  • **
  • Posts: 66
  • Reputasi: 7
  • Gender: Female
  • I still need to learn more.
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #13 on: 06 August 2010, 04:07:22 PM »
Quote
Meskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni, seharusnya sang Buddha akan mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda.

Tadi disebutkan "MENILIK TIPIṬAKA", pertanyaan saya, apakah Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah sama persis dengan apa yang diulang oleh Bhante Ananda pada saat konsili pertama???

 _/\_

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #14 on: 06 August 2010, 04:09:37 PM »
Quote
Meskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni, seharusnya sang Buddha akan mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda.

Tadi disebutkan "MENILIK TIPIṬAKA", pertanyaan saya, apakah Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah sama persis dengan apa yang diulang oleh Bhante Ananda pada saat konsili pertama???

 _/\_


menjawab "sama" sama mustahilnya dengan menjawab "tidak sama", tapi terlepas dari sama atau tidak sama, yg menjadi patokan kita tentu adalah Tipitaka yg masih ada sekarang, bukan yg tidak ada

 

anything