^ ^ ^ Tentang melihat 'objek apa adanya' sepertinya sulit ya. Kalo pake perumpamaan cahaya tadi, maka melihat dengan cara demikian adalah bukan “melihat” bayangan yang dihasilkan tapi “melihat” objek itu sendiri?
Kalo dihubungkan dengan menghormat bhikkhu, memang cukup sulit untuk melihat 'objek apa adanya', karena pikiran senantiasa mendiskriminasi berdasarkan pendapat orang/pribadi atau spekulasi pikiran sendiri ya.. Bahkan sampe skrg kita mungkin bingung "apa adanya" itu sebetulnya bagaimana.. hmm... memang gak mudah ya, atau justru terlalu mudah sampe kita gak bisa
Kita tidak mungkin menghormat bhikkhu "apa adanya" yang berupa tulang-daging dibungkus jubah. Tetapi kita mnghormat "bayangan" sila dan vinaya yang biasa dijalankan oleh orang yang mengenakan jubah tersebut. Kalau untuk saya pribadi, penghormatan ke petapa itu bukan menghormati "bayangan" pribadinya, karena kalau kepribadian, banyak juga selain bhikkhu yang pribadinya baik, misalnya para Anagami perumahtangga. Jadi sepertinya tidak tepat. Bukannya berarti kepribadian tidak perlu dihormati, namun dengan cara dan konteks berbeda.
Mengenai melihat apa adanya memang sulit. Salah satu metode Ajaran Buddha tentan persepsi objek apa adanya, ada di Bahiya Sutta (Udana I.10).
kalau ada objek nya bukankah diperlukan kebijaksanaan untuk menghormati yang perlu di hormati dan tidak menghormati yang tidak perlu.
kalau main tembak terus bisa berbahaya
Melakukan segala sesuatu, memang harus dengan kebijaksanaan. Mungkin ada yang patut dihormati, tetapi tempat dan waktunya tidak tepat, maka kita tidak melakukannya. Mungkin tidak ada yang patut dihormati, namun sesuai kondisi tertentu, kita tetap menghormat.