//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Silsilah Penahbisan dalam Tiga Tradisi: Sumbangsih Terhadap Pemahaman  (Read 8526 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Silsilah Penahbisan dalam Tiga Tradisi: Sumbangsih Terhadap Pemahaman

Judul Asli: Ordination Lineages in the Three Traditions: A Contribution Towards Understanding
Oleh Bhikkhu Sujato
Dari buku “Melihat Tradisi dengan Semangat Sejati”.  2012. Penerbit Dian Dharma.  Diterjemahkan Dharma Kesuma.
Bahasa dan penterjemahan dikoreksi dan diselaraskan ulang.
Sumber asli: https://sites.google.com/site/santipada/parampara

Saat kita melihat para biksu dan biksuni, mereka masing-masing mengenakan jubah-jubah elegan yang berbeda-beda. Adalah alami, jika ingin tahu darimana asalnya beraneka tradisi yang berbeda-beda ini. Dalam tulisan pendek ini, kita akan menelusuri sejarah tradisi monastik Buddhis utama, dimulai dari pangkal mulanya di India

Agama Buddha Pra-Sektarian
Buddha mengajar selama empat puluh lima tahun, dan dalam waktu tersebut telah mengumpulkan banyak pengikut. Dikembangkanlah tata perilaku yang mengatur gaya hidup para pengikut, dan menjadi terformalisasi. Inilah yang kita sebut sebagai ‘Vinaya’.
Bagian inti dari Vinaya adalah:
-00 Aturan-aturan perilaku, ‘Patimokkha’ atau ‘Pratimoksa’ yang terkenal; dan
-00 Prosedur-prosedur berkenaan tindakan-tindakan kebiaraan, khususnya penahbisan, yang disebut ‘kammavaca’ atau ‘karmavacana’.

Sekarang ini, banyak Vinaya dalam beraneka bahasa: Pali, Sansekerta, China, dan Tibet. Tentu saja, kita dapat menemukan beberapa perbedaan di antara mereka. Tetapi terdapat kesamaan besar antar Vinaya tersebut, khususnya Patimokkha dan kammavaca. Para sarjana telah menyimpulkan bahwa semua Vinaya yang ada, berasal dari Vinaya kuno, yang telah dimulai oleh Buddha, dan disusun tidak lama sesudahnya. Beraneka tradisi telah mengembangkannya secara mendetail, tetapi esensinya tetaplah sama. Kita beranggapan bahwa tradisi Buddha paling dini telah memiliki Vinaya. Dipelajari dan dipraktikkan oleh semua biksu dan biksuni sejak zaman Buddha selama sekitar 100 tahun.

Konsili Kedua dan Ketiga
Tak terhindarkan, secara bertahap mulai terjadi perbedaan-perbedaan di dalam praktik. Pada akhirnya, hal itu menyebabkan krisis di dalam Sangha, yang dibahas dalam ‘Konsili Kedua’, dilaksanakan di Republik Vajjian, di kota Vesali, pada masa Raja Kalasoka dari Magadha.

Tema utamanya adalah kelayakan bagi para biksu untuk menggunakan uang. Tema-tema lainnya juga mendapat perhatian, tetapi dianggap sekunder kepentingannya. Para biksu Vesali, dikenal sebagai ‘Vajjiputaka’ (Para Putra Vajji) secara reguler pergi ke kota-kota sambil membawa mangkuk mereka, untuk mengumpulkan uang. Mereka ditentang oleh para biksu dari distrik barat yang disebut Pava; yang dalam penjelasan tentang Vinaya disebut ‘Paveyyaka’ (Mereka yang berasal dari Pava). Terjadi debat besar, yang dihadiri 700 biksu. Konsili tersebut menunjuk satu grup terdiri dari delapan biksu, masing-masing pihak sebanyak empat orang, untuk membandingkan praktik-praktik Vajjiputaka dengan kata-kata Buddha di dalam Sutta maupun Vinaya. Mereka akhirnya mendukung opini-opini Paveyyaka’. Menjadi jelas bahwa, meskipun para biksu dan biksuni di saat itu mungkin berbeda dalam praktiknya, namun mereka semua mendukung ajaran-ajaran serta tata perilaku yang sama, dan ini adalah standar yang diterima umum. Perhatikan bahwa perbedaan muncul dikarenakan pemisahan geografis, dan didamaikan dengan kembali ke sumber bersama.

Semua [versi] Vinaya sepakat bahwa perselisihan di Vesali telah didamaikan tanpa perpecahan. Tetapi beberapa tahun kemudian, terjadi perselisihan lainnya, bukan tentang Vinaya, tetapi tentang doktrin. Bervariasi kisah tentangnya, karena Konsili tersebut tidak ditemukan di di Vinaya dasar, namun dalam sejarah-sejarah belakangan. Tetapi, sepertinya seorang guru (dipanggil Mahadeva oleh beberapa orang) mengajarkan lima ide yang tidak bisa diterima oleh banyak biksu dan biksuni. Tidak perlu diceritakan secara detil disini, tentang bagaimana kelima ide tersebut. Cukup dikatakan bahwa perselisihannya sebagian besar adalah tentang sifat seorang arahat (siswa tercerahkan). Apakah seorang arahat sungguh-sungguh sepenuhnya terbebas dari segala kemelekatan duniawi maupun ketidaktahuan; ataukah dia masih mengalami ketidaksempurnaan halus? Konsili dilangsungkan di Pataliputra, tidak lama SEBELUM masa Raja Asoka [Raja Dharmasoka, kekaisaran Maurya, memerintah kira-kira 269 SM-  232 SM], untuk mendiskusikan poin-poin ini.  Kali ini, pihak-pihak yang bertikai tidak mencapai kesepakatan, dan perpecahan untuk pertama kalinya terjadi sebagai dampaknya.

Kelompok yang mempertanyakan kesempurnaan arahat menjadi mayoritas di pertemuan itu, sehingga disebut sebagai ‘Mahāsaṅghika’. Tidak ada nama yang sungguh-sungguh tepat untuk kelompok satunya, yang mendukung kemurnian mutlak dari arahat. Terkadang, mereka disebut para ‘Thera’ / [Sthavira] (Sesepuh), yang mensiratkan bahwa mereka identik dengan Theravadin dari Sri Lanka. Tetapi, Theravadin hanyalah salah satu cabang dari aliran kuno itu, dan banyak aliran lainnya memiliki pembenaran untuk mengklaim berpangkal dari aliran itu. Karena semua sepakat bahwa kelompok ini memiliki jumlah yang lebih sedikit di Konsili Ketiga [BUKAN Konsili Ketiga versi  Mahavamsa, di masa Asoka  yg diketuai  Mogaliputtatissa] , maka saya menyarankan untuk menyebutnya ‘Culasanghika’ , ‘Sangha Minoritas’, sebagai kebalikan dari ‘Mahasanghika’ , ‘Sangha Mayoritas’.

Beberapa sarjana mencoba mengkoneksikan kejadian Konsili Kedua dengan Ketiga, dan menyatakan bahwa Mahāsaṅghika adalah sama dengan Vajjiputtaka, sementara Culasanghika adalah sama dengan Paveyyaka. Tetapi bukti yang ada tidak mendukung ide tersebut. Ide utama yang diajukan oleh Vajjiputtaka  adalah kelayakan bagi biksu atau bikuni untuk menggunakan uang; tetapi Vinaya dari Mahāsaṅghika persis sama dengan aturan Theravada dan semua aliran lainnya berkenaan dengan penggunaan uang. Bahkan, dalam catatan mereka tentang Konsili Kedua, Mahasanghika secara terbuka mengkritik Vajjiputtaka. Selain itu, pada kedua Vinaya , baik Mahasanghika (lebih awal) maupun Lokuttaravada (lebih belakangan) dari aliran ini, mereka yang berlatih menjadi biksuni diharapkan mematuhi delapan belas aturan, dan bukan enam seperti di aliran-aliran lain; dan di antara ke delapan belas aturan itu, larangan untuk menggunakan uang disampaikan dua kali. Jadi, dalam hal ini, Mahasanghika memiliki larangan yang lebih keras terhadap penggunaan uang dibandingkan kedua aliran lainnya.
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Perpecahan-perpecahan lebih lanjut
Setelah perpecahan pertama, kedua aliran mulai mengalami perpecahan lebih lanjut, yang menghasilkan ‘delapan belas’ aliran awal. Kita tidak mencoba menelusuri perkembangan kedelapan belas aliran tersebut, tetapi berkonsentrasi pada yang terkait dengan tradisi-tradisi Vinaya.

Tidak lama setelah perpecahan pertama, Culasanghika terpecah berkenaan tema doktrinal. Permasalahannya adalah poin filsafat halus berkenaan sifat dasar waktu dan ketidakkekalan. Satu kelompok berpendapat bahwa semua dhamma, masa lalu, masa depan, masa kini, sebagai eksis; dan mereka menyebut dirinya sebagai ‘Sarvastivada’ (doktrin bahwa semuanya eksis). Kelompok lain berpendapat bahwa kita harus ‘membedakan’ antara masa lalu, masa depan, dan masa kini, dan mereka menjadi dikenal sebagai ‘Vibhajjavada’ (doktrin pembedaan). Sarvastivada berkembang menjadi yang paling berpengaruh di semua aliran Agama Buddha India – kita akan lebih banyak mendengar tentang mereka setelah itu.
Sekarang, sekitar abad ketiga SM, di era Raja Asoka. Raja Buddhis agung itu membiayai para misionaris Buddha untuk mengadakan perjalanan jauh, sambil membawa Dhamma toleransi dan welas asih. Sepertinya, Vibbhajjavadin adalah diantara misionaris yang paling sukses.

Satu kelompok, yang dipimpin oleh anak lelaki raja bernama Mahinda, dan anak perempuan raja bernama Sanghamitta, mengadakan perjalanan ke selatan ke pulau Sri Lanka, dimana mereka diterima dengan sukacita.  Pusat kebudayaan Buddhis yang baru dan energik  didirikan di Anuradhapura di Mahavihara. Tradisi ini terkadang disebut ‘Mahaviharavasin’ (para penghuni vihara besar), tetapi biasanya disebut ‘Theravada’ (doktrin para sesepuh). Mereka telah, hingga hari ini, mempertahankan koleksi Sutta, Vinaya, Abhidhamma, dan tafsir-tafsir dalam bahasa Pali.

Seperti tertulis dalam catatan sejarah Sri Lanka, kelompok Vibbhajjavadin kedua mengadakan perjalanan ke India Barat Laut. Mereka dipimpin oleh biksu bernama ‘Yonaka Dhammarakkhita’ , nama yang paling menarik perbincangan. ‘Yonaka’ secara literal berarti Yunani, dan digunakan dalam teks-teks Indic untuk semua orang Barat. Alexander The Great telah memimpin pasukan yunani-nya memasuki India Barat Laut, tidak lama sebelum Asoka. Dia membangun beberapa kota yang disebut ‘Alexandria’, salah satu yang sepertinya menjadi kota asal Yonaka Dhammarakkhita. Jadi, dia mungkin memiliki asal usul dari Yunani atau Barat. Bagian kedua namanya juga sama menariknya. Kata ‘rakkhita’ dan ‘gupta’ memiliki makna yang persis sama: ‘dijaga’.  Sehingga beberapa sarjana modern (Frauwallner, Przyluski) telah melihat koneksi antara aliran ‘Dhammarakkhita’ dan ‘Dharmaguptaka’: Dharmaguptaka adalah cabang dari Vibbhajjavada yang mengikuti Yonaka Dhammarakkhita ke barat laut.

Jadi sepertinya perpecahan antara Mahaviharavasin dan Dharmaguptaka bukanlah dikarenakan Dhamma ataupun Vinaya, tetapi semata geografis. Dharmaguptaka adalah cabang barat laut dari Vibbhajjavada, dan Mahaviharavasin atau Theravadin adalah cabang selatan. Tetapi afinitas antara kedua aliran bahkan mampu mengatasi jarak yang sangat jauh tersebut, dimana catatan sejarah menuliskan bahwa Yonaka Dhammarakkhita dan banyak pengikutnya mengadakan perjalanan ke Sri Lanka untuk upacara pemberkatan inagurasi bagi sebuah Stupa besar.

China
Dharmaguptaka di barat laut, berada dalam situasi ideal untuk menyebar sepanjang Jalan Sutra ke China. Lalu lintas sepanjang rute perdagangan Asia Tengah ini sangat ramai dan beragam, dan Agama Buddha dari beraneka tipe segera membuat kehadirannya terasa. Agama Buddha sampai ke China sekitar 500 tahun setelah Buddha parinirwana. Sepertinya, Dharmaguptaka adalah di antara yang paling pertama didirikan disana, dan yang pertama menerapkan silsilah Vinaya. Orang-orang China kuno mengimpor dan menterjemahkan paling tidak enam Vinaya, yang paling populer adalah Dharmaguptaka dan Sarvastivada.

Komentator China, Tao Xuan (596 – 667 CE) mencatat bahwa di hari-hari awal, Sangha di China telah berpraktik sesuai dengan beragam Vinaya, tetapi telah ada keinginan untuk menyatukan dan menstandarisasi tingkah laku, sehingga hanya ada satu Vinaya yang dipilih untuk mengikat semua Sangha. Terdapat beberapa perdebatan tentang mana yang harus diadopsi. Tetapi, pada akhirnya, disetujui bahwa, karena silsilah penahbisan berpangkal dari Dharmaguptaka, maka semuanya harus mengikuti Vinaya Dharmaguptaka. Hingga hari ini, Vinaya Dharmaguptaka tetap menjadi tata disiplin yang diterima bagi semua Sangha di China dan tradisi-tradisi terkait, seperti Korea, Vietnam, dan Taiwan.

Di periode pertama Agama Buddha China, silsilah penahbisan hanya ditetapkan bagi biksu saja. Belum ada biksuni, sehingga komunitas spiritual empat-unsur yang divisikan oleh Buddha belum berakar. Biksuni pertama ditahbiskan di pertengahan abad keempat. Tetapi penahbisan ini hanya bisa diberikan oleh biksu saja, dan beberapa merasa ini tidak selaras dengan Vinaya. Biksuni Seng-kuo mencatat bahwa sekitar tahun 433 CE, sekelompok biksuni datang dengan kapal dari Sri Lanka. Penahbisan-penahbisan biksuni dilaksanakan oleh para biksuni Sri Lanka bersama dengan para biksu China, yang dibimbing oleh biksu Gunavarman. Dia dikenal telah menterjemahkan sebuah teks Vinaya Biksuni, karmavacana, dari aliran Dharmaguptaka, sehingga sepertinya penahbisan biksuni dilaksanakan selaras dengan Vinaya Dharmaguptaka.
Jadi, silsilah Vinaya Dharmaguptaka China, secara historis memiliki kaitan yang sangat erat dengan Sri Lanka.

Sesungguhnya, kitab suci [kanon] China berisikan sebuah tafsir Vinaya Sri Lanka (sama dengan Samantapadasika Pali), dan juga Vinaya dari aliran Mahisasaka yang dibawa dari Sri Lanka. Tidak pasti apakah para biksuni Sri Lanka adalah dari Theravada (Mahaviharavasin) atau bukan. Pada tahap periode itu, dua aliran lain telah muncul di Sri Lanka: Abhayagirivasin dan Jetavaniya. Kedua aliran itu terpisah dari Mahaviharavasin, dengan saling berkomentar pedas dan marah satu sama lain, yang mensiratkan bahwa politik-politik pribadi ikut berperan. Teks-teks Sri Lanka yang ada dalam terjemahan China (komentar Vinaya dan Vimuttimagga) tidak persis sama dengan pasangannya milik Theravadin, jadi kemungkinan koneksi Sri Lanka – China ini dari salah satu aliran-aliran lainnya, kemungkinan adalah Abhayagirivasin. Namun ini tidak mempengaruhi silsilah penahbisan, karena baik Abhayagirivasin maupun Jetavaniya, keduanya berpangkal pada Mahaviharavasin. Di masa-masa berikutnya, secara diam-diam mereka diterima kembali masuk ke dalam kelompok, sehingga Theravada  yang ada sekarang ini, faktanya adalah penyatuan kembali dari ketiga aliran Sri Lanka kuno. Ini adalah contoh yang indah, betapa Sangha dapat meminggirkan perselisihan-perselisihan dan persaingan masa lalu, demi harmoni.
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Tibet
Di suatu waktu sekitar tahun 780-an, didirikan wihara Tibet pertama, Samye, tetapi yang ada hanyalah biksu India. Raja Trisong Detsen memilih tujuh pria untuk ditahbiskan, sebagai uji coba apakah orang-orang Tibet mampu mempertahankan tradisi Vinaya. Penahbisan dan pelatihan dilaksanakan di bawah pandita India terkemuka, Santaraksita, yang telah ditahbiskan dan belajar di Nalanda, dan yang karyanya, Tattvasaṅgraha, menunjukkan penguasaannya atas ajaran-ajaran dari semua aliran. Eksperimen ini dianggap sukses dan banyak penahbisan lainnya mengikuti

Untuk sumber tekstualnya, orang Tibet menggunakan Vinaya yang berlimpah milik Mulasarvastivadin. Kita belum pernah membahasnya sebelumnya, tetapi seperti diduga dari namanya, mereka sangat terkait dengan Sarvastivada. Dengan kata lain, mereka juga berpangkal dari Culasanghika kuno. Vinaya mereka menjadi sangat populer di periode belakangan Agama Buddha India, kemungkinan karena menggabungkan banyak sutra dan kisah dan juga tradisi bersama dari materi Vinaya. Ini adalah Vinaya satu-satunya yang diterjemahkan dalam bahasa Tibet, yang mengisyaratkan bahwa silsilah penahbisan mereka juga berpangkal dari  Mulasarvastivada. Ordo para biksuni, sejauh yang kita tahu, tidak pernah diperkenalkan di Tibet.

Kita telah mengamati kaitan yang erat antara Sarvastivada dan Dharmaguptaka di China. Juga terdapat afinitas mengejutkan antara silsilah Sarvastivada dan  Theravada. Catatan dari Konsili Kedua merujuk pada sejumlah biksu yang mewakili ‘Paveyyaka’. Salah satunya adalah Sambhuta Sanavasi, murid dari YA Ananda. Beliau muncul sebagai salah satu dari delapan hakim di Konsili Kedua menurut Vinaya Theravāda, Dharmaguptaka, Sarvāstivāda, Mūlasarvāstivāda, dan Mahīśasaka. Tetapi sementara Theravada hanya memiliki sedikit hal lainnya untuk diceritakan tentang Sanavasi, Sarvāstivāda menganggapnya sebagai salah satu sesepuh besar mereka. Beliau muncul dalam banyak kisah, dan di  usia tuanya beliau menahbiskan Upagupta, yang paling terkenal dari semua guru Sarvāstivādin mula-mula. Jadi, Theravāda dan  Dharmaguptaka mengakui Sanavasi sebagai bagian dari kelompok mereka di Konsili Kedua, meskipun beliau adalah pemimpin dari Sarvāstivādin. Kotanya, Mathura, menjadi salah satu pusat terbesar dari  Sarvāstivāda. Pengaruh dari aliran ini masih hidup hingga hari ini. Kunjungilah sebuah vihara Myanmar, dan carilah dengan jeli patung biksu yang sedang makan dari mangkuknya, dan melihat ke belakang pundaknya. Patung menarik ini bukanlah biksu Theravādin, ia tidak lain adalah Upagupta. Pemujaan terhadapnya tersebar luas di kalangan Agama Buddha rakyat di sepanjang Myanmar utara, Thailand, Laos, dan Kamboja, yang menunjukkan pergerakan awal Sarvāstivāda ke utara, sepanjang area-area yang sekarang adalah Theravādin.

Tetapi afinitasnya bahkan lebih dekat lagi dari ini, karena ada seorang guru besar lainnya yang terkenal di Sarvāstivāda yang dianggap memainkan peran kunci dalam pendirian Agama Buddha Sri Lanka. Komentar Vinaya Theravāda mencatat bahwa ketika putra Raja Asoka, Mahinda, menjalani pentahbisan, penahbis / upajjhaya-nya adalah Mogaliputtatissa, tetapi gurunya (ācariya) adalah Majjhantika. Majjhantika yang ini, terkadang dikatakan sebagai upajjhaya dari Sanavasi, terkenal di semua tradisi sebagai misionaris yang membawa Dharma ke wilayah Kashmir, dimana Sarvāstivādin  juga menjadi kekuatan yang besar. Jadi sesepuh pendiri Sarvāstivāda adalah guru dari pendiri Theravāda Sri Lanka di Mahavihara.

Karena orang Tibet mengadopsi silsilah Vinaya Mulasarvastivada, yang sangat jelas kedekatannya dengan Sarvāstivāda,  maka tidaklah mengejutkan kita bahwa terdapat pertukaran secara langsung antara Agama Buddha Sri Lanka dan Tibet di tahun-tahun berikutnya. Kitab suci [kanon] Tibet memasukkan beberapa terjemahan khotbah pertama Buddha, yang salah satunya dibuat langsung dari Pali. Faktanya, manuskrip Pali tertua yang ada, bukan berpangkal dari Sri Lanka, tetapi dari Nepal, berisikan beberapa halaman  Vinaya Theravāda yang membahas tentang penyelesaian pertikaian dan masalah lainnya.

Mahayana
Banyak pembaca mungkin bertanya-tanya: tetapi bagaimana dengan Mahayana? Kemana mereka ketika hal ini berlangsung? Penting untuk disadari bahwa tidak ada yang disebut Vinaya khas ‘Mahayana’. Para Mahayanis selalu mengikuti Vinaya dasar yang sama seperti halnya para biksu dan biksuni lainnya. Tidak pernah diabaikan, namun dilengkapi dengan satu set aturan atau prinsip yang dikenal sebagai “sumpah-sumpah Bodhisattva” , yang adalah bonus terhadap Vinaya yang umum. Saya tidak familiar dengan sumpah-sumpah tersebut, sehingga saya akan menyerahkan pada teman-teman Mahayana untuk menjelaskan arti dan cara kerjanya.

Para sarjana modern sering berkata bahwa Mahayana diturunkan dari Mahāsaṅghika mula-mula, dan Mahāsaṅghika dipersamakan dengan Vajjiputtaka dari Konsili Kedua; karena itu, Mahayana, dikatakan, mewakili pergerakan meninggalkan aturan-aturan monastik yang kaku. Namun, sangat sedikit bukti terhadap rantai penalaran ini. Seperti telah kita saksikan, terdapat alasan untuk meyakini bahwa Vajjiputtaka tidak memiliki kaitan dengan Mahāsaṅghika, dan Vinaya Mahāsaṅghika menunjukkan mereka memiliki sikap yang sama berkenaan Vinaya seperti halnya kelompok-kelompok lainnya. Selain itu, sumber-sumber primer mengkaitkan perpecahan pertama terhadap doktrin, bukan Vinaya. Sumber-sumber yang mengkaitkan Vajjiputtaka dengan Mahasanghika cenderung terlambat, dan kita dapat menduga mereka berniatan polemik.

Saya juga berpikir bahwa keterkaitan antara Mahāsaṅghika dan Mahayana telah dilebih-lebihkan. Bukti-bukti dari naskah-naskah, jurnal-jurnal, dan para penulis Mahayana menunjukkan bahwa Mahāsaṅghika masih ada sebagai sebuah sekte yang berbeda hingga di akhir Agama Buddha India; mereka bukan sekedar melebur ke dalam Mahayana. Sementara doktrin utama Mahāsaṅghika – kesempurnaan Arahat yang tidak sepenuhnya – digemakan dalam banyak karya Mahayana, namun Mahayana tetap berutang banyak pada Sarvāstivāda. Karenanya tradisi Tibet menyuarakan “empat aliran” Agama Buddha India (Sarvāstivāda, Sautrāntika, Cittamātra, Mādhyamaka), dan mengabaikan Mahāsaṅghika. China menerima versi Sarvāstivādin berkenaan kisah kehidupan Buddha, Lalitavistara, sebagai salah satu sutra utamanya, dibandingkan Mahavastu milik Mahāsaṅghika. Abhidharma dari Sarvāstivāda secara luas dipelajari di Tibet dan China, tetapi kita sedikit mendengar tentang Abhidharma Mahāsaṅghika. Debat-debat dari para filsuf Mahayana adalah dengan Sarvāstivāda, bukan dengan Mahāsaṅghika. Mungkin, untuk selanjutnya, kita harus menganggap Mahayana muncul dari trend-trend tertentu yang ditemukan di seluruh aliran, dan bukan diturunkan dari satu aliran spesifik tertentu. Hal ini menjelaskan referensi Hiuen Tsang [Xuan Zang / yang populer dalam kisah perjalanan ke barat] yang menyebutkan “Theravādin Mahāyāna” yang kemungkinan besar adalah para Theravādin yang mengikuti jalan Bodhisattva.

Kesimpulan
Semua tradisi monastik buddhis berasal dari prosedur penahbisan dan gaya hidup yang, dalam esensinya, ditetapkan oleh Buddha. Baik silsilah Vinaya Vajjiputtaka maupun Vinaya Mahāsaṅghika sudah tidak ada lagi di hari ini. Ketiga silsilah Vinaya yang ada berpangkal dari “Culasaṅghika”, yang berseberangan dengan Mahāsaṅghika  dalam pertikaian doktrin di Konsili Ketiga. Tidak ada bukti meyakinkan bahwa perbedaan-perbedaan Vinaya telah menyebabkan perpecahan antara ketiga silsilah; perpecahan (Mula-) Sarvāstivāda adalah berkenaan poin doktrin, dan perpecahan selanjutnya antara Theravāda dan Dharmaguptaka adalah karena geografi semata. Hanya ada sedikit koneksi signifikan antara ketiga tradisi Vinaya ini sepanjang sejarah. Perbedaan-perbedaan perilaku antar monastik buddhis di masa sekarang ini, sebagian dikarenakan sumpah-sumpah bodhisattva, tetapi kebanyakan karena perbedaan iklim, kultur, dan kebiasaan pada periode sejak Agama Buddha telah terusir dari tanah kelahiran asal mulanya, India.
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

 

anything