Betul, kebanyakan hanya spekulasi.
Dan dengan modal spekulasi itu, orang meminta pihak lainnya menerima kebenarannya, kadang dengan sikap ekstrim.
Katanya, dengan tidak menerima kebenarannya, kita bisa tidak selamat, kita orang yang buta dalam hidup, kita egois, tidak terberkahi, akan masuk neraka dan sebutan-sebutan intimidasi lainnya.
Agama Buddha menekankan ehipassiko (lihat, datang dan buktikan).
Jika hanya dengan modal buku dan teori, kita mau berharap orang percaya kebenaran kita, rasanya terlalu naif.
Ada perbedaan antara; orang yang sudah melihat kucing, dengan orang yang baru mendengar desas-desus tentang bentuk kucing.
Buku dan kitab suci itu pedoman (untuk melihat kebenaran tertentu), bukan kebenaran itu sendiri.
Kebenaran; dilihat, dialami, dan dibuktikan sendiri, bukan "katanya-katanya" (termasuk kata kitab yang dianggap suci).
Itu pesan dari Buddha sendiri, selayaknya-lah pengikut-Nya menerapkannya dalam proses pembelajaran.
Semoga bisa direnungkan bersama.
Salam sukses selalu (dalam dharma dan kehidupan).
saya QUOTE tulisan member Fabian C. saja....
-----------
Logika Aneh Umat Buddha
Ehipassiko… betapa lantang dan sering terdengar kata-kata ini… gaung sepotong kata ehipassiko seakan akan bagai kata sakti yang merupakan seluruh inti ajaran Sang Buddha.
Logika kata sakti ini menyebabkan ada sebagian orang yang merasa apabila ada ajaran dalam Tipitaka yang tidak bisa di “ehipassiko”kan seolah-olah bukan berasal dari Sang Buddha.
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual” untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.
Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,
"So, as I said, Kalamas: 'Don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, "This contemplative is our teacher." When you know for yourselves that, "These qualities are unskillful; these qualities are blameworthy; these qualities are criticized by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to harm & to suffering" — then you should abandon them.' Thus was it said. And in reference to this was it said.
"Now, Kalamas, don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, 'This contemplative is our teacher.' When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
(Kalama sutta AN 3.65)[/i]
Ini adalah sutta yang baik yang patut kita teladani, cuma terkadang ada yang terlewat dari perhatian, pada intinya memang sutta ini mengatakan jangan mudah percaya terhadap segala sesuatu, tetapi harus diingat bahwa jangan percaya ini juga termasuk terhadap “LOGICAL CONJECTURE”
Yang berarti” logika berdasarkan kesimpulan yang tidak lengkap”, “INFERENCE” yang berarti kesimpulan yang berdasarkan kata-kata orang lain, “ANALOGIES” yang berarti berdasarkan perumpamaan atau perbandingan, “AGREEMENT THROUGH PONDERING VIEW” yang berarti berdasarkan pandangan yang didasari perenungan.
Hanya setelah kita tahu sendiri (dari praktek) bahwa hal ini tak tercela, hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal ini jika diikuti dan dipraktekkan akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan, maka kita lakukan dan kita jadikan pegangan.
Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:
"Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."
4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.”
(Digha Nikaya, Mahaparinibbana Sutta
Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,
“Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak.”
Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu
“para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.”
Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?
Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinaya
Tetapi banyak juga orang-orang yang mengartikan bahwa apabila satu sutta tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka (atau batas pengetahuan mereka) dianggap sutta tersebut harus ditolak. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat sutta tersebut yaitu: membandingkannya dengan Dhamma dan Vinaya, yang dalam hal ini berarti harus kita bandingkan dengan kitab suci Tipitaka itu secara keseluruhan (apakah sejalan atau tidak).
BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA…!!!
Kembali pada Ehipassiko, sering kita mendengar kata ehipassiko di artikan dengan kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ehipassiko adalah datang dan buktikan, padahal seharusnya diartikan datang dan lihat atau datang dan alami, karena passiko berasal. Dari kata PASSATI (tolong dikoreksi bila salah) yang berdasarkan Pali-English dictionary yang disusun oleh YM. Buddhadatta Mahathera berarti melihat (sees), menemukan (finds) dan mengerti (understands). Jadi maksudnya disini (menurut pendapat saya) adalah melihat dan mengalami sehingga timbul pengertian.
Kesimpulan:
Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka, tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.
Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.
Semoga kita semua berbahagia
sukhi hotu,
Fabian
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,4873.0/nowap.html