//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: SANG BUDDHA  (Read 2322 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline F.T

  • Sebelumnya: Felix Thioris, MarFel, Ocean Heart
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.134
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • • Save the Children & Join with - Kasih Dharma Peduli • We Care About Their Future • There Are Our Next Generation.
SANG BUDDHA
« on: 11 October 2007, 10:32:26 PM »
TENGAH malam itu ia bangkit, dan menyeberangi lorong istana yang lengang,
menuju ke kamar istrinya. Dibukanya pintu. Di ranjang sana, dalam cahaya
redup, ia lihat wanita itu tidur. Salah satu tangannya seperti tengah
mengelus kepala sang bayi, anak mereka - yang akan harus ia tinggalkan.
Sekejap ingin diangkatnya anak itu, untuk dipeluknya terakhir kali. Tapi ia
khawatir sang ibu muda akan terbangun. Maka ia mengurungkan niatnya. Ia
telah memutuskan pergi. Perlahan - lahan ia pun melangkah ke luar kamar, ke
luar istana, keluar kota, menuju hutan.

Ia, Pangeran Siddhartha, tahu: ia tak akan kembali lagi sebagai dirinya
dulu. Dalam usia 29 tahun, ia berangkat mengembara mencari jawab atas
pertanyaan ini: apa yang harus dilakukan manusia, bila hidup hanya
penderitaan.
Hidup, sebagaimana disaksikannya sendiri, memang hanya kesementaraan,
melalui sakit, usia tua dan mati. Dengan kata lain, suram.
Tentu saja ada kecenderungan melebih-lebihkan dalam pandangan seperti ini.
"Dalam seluruh sejarah pemikiran", tulis Radhakrishnan di bab ke-15 Indian
Philosophy, "tak seorang pun mengecat kenestapaan eksistensi manusia dalam
warna yang lebih hitam dan dengan lebih berperasaan ketimbang Buddha".
Pangeran yang jadi orang suci itu memang ingin menanam kerinduan pada hati
manusia agar melepaskan diri dari dunia ini. Karena itu, dalam kata-kata
Radhakrishnan, "warna hitamnya sedikit agak berlebihan".
Sedikit berlebihan atau banyak ajaran sang Budha 2.000 tahun yang silam,
seperti ajaran agama yang datang sebelum dan sesudahnya, pada dasarnya
menggamit manusia untuk menahan diri dari hasrat yang berlebihan. Kejahatan
dasar bagi Budhisme ialah tanha, keinginan yang mementingkan diri sendiri.

Dalam hal ini Buddha tak sendiri, bahkan tak orisinal - kalaupun ada
jaringan yang boleh dikatakan 100 % orisinal. Ketika ia tumbuh dewasa konon
ia bisa menyaksikan betapa jalanan, balairung, juga hutan India penuh dengan
para paribbajaka atau pengembara. Mereka berpindah - pindah, melontarkan
ajaran, mencari murid, berdebat sengit. Di antara mereka nampak kaum
nihilis, kaum materialis - yang menafikan dewa - atau kaum agnostik. Ketika
Siddhartha meninggalkan kraton ia pun sebenarnya mengikuti cara paribbajaka
itu.

Tapi ia juga tak pernah mengklaim diri sebagai pendurhaka kepada Upanishad,
kitab suci itu. Menyaksikan begitu banyak perdebatan, jor-joran ajaran,
keresahan orang yang serba sangsi dan kebingungan orang yang toleran, Buddha
menghindari persoalan metafisika dan ketuhanan. Ia menyodorkan pedoman
moralitas. Ia tak mengacuhkan ritual ataupun pemujaan; ia memurnikan hati.
Mungkin karena itu Budhisme juga bisa dianggap tak memuaskan oleh sebagian
orang: ajaran ini tak hendak memperbaharui atau memperbaiki dunia, melainkan
justru mengambil jarak daripadanya. "Sebagaimana setangkai teratai putih tak
ternoda oleh air, demikian pula aku tak terkenai oleh dunia". Itukah rasa
bahagia sejati yang disebut nirwana - sesuatu yang tak dicapai dengan
revolusi, pengambil - alihan kekuasaan, penyingkiran, pelaksanaan rencana ke
arah suatu surga di bumi ?

Barangkali. Tapi itu tak berarti dalam sejarahnya Buddhisme bisa bebas betul
dari keniscayaan - keniscayaan yang menyebabkan ajaran menjadi besar dan
menegakkan bendera. Bunga teratai itu pun mau tak mau harus basah. Tanpa
hasrat mendapat keagungan, Borobudur mungkin tak akan dibangun. 1.001 patung
di kuil Sangjusangan-do di Kyoto tak akan ada. Manusia memuja dan bersama
itu sering ingin pula dipuja, seraya meninggalkan jejak dalam
kesementaraannya.

Barangkali karena nasib yang seperti itulah banyak ajaran berseru kembali
tentang "pemurnian". Kita tak pernah tahu apa itu akhirnya di dunia yang
penuh tugas sedih ini.

26 Februari 1983

Gunawan Mohammad
"Catatan Pinggir"





Save the Children & Join With :
Kasih Dharma Peduli ~ Anak Asuh
May all Beings Be Happy


Contact Info : Kasihdharmapeduli [at] yahoo.com

Offline kosdi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 102
  • Reputasi: 2
Re: SANG BUDDHA
« Reply #1 on: 25 October 2007, 01:09:19 PM »
Quote
Barangkali. Tapi itu tak berarti dalam sejarahnya Buddhisme bisa bebas betul
dari keniscayaan - keniscayaan yang menyebabkan ajaran menjadi besar dan
menegakkan bendera. Bunga teratai itu pun mau tak mau harus basah. Tanpa
hasrat mendapat keagungan, Borobudur mungkin tak akan dibangun. 1.001 patung
di kuil Sangjusangan-do di Kyoto tak akan ada. Manusia memuja dan bersama
itu sering ingin pula dipuja, seraya meninggalkan jejak dalam
kesementaraannya.

Barangkali karena nasib yang seperti itulah banyak ajaran berseru kembali
tentang "pemurnian". Kita tak pernah tahu apa itu akhirnya di dunia yang
penuh tugas sedih ini.
yang mbangun kan para umat awan yang ingin mengagungkan sang buddha bukan sang buddha sendiri...