//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kumpulan kisah-kisah Dhamma ( kutip dari buku dan majalah )  (Read 22330 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Kisah Tiga Pertapa
« Reply #30 on: 10 August 2008, 05:17:01 PM »
        Suatu ketika terjadi di Savatthi, satu-satunya putra dari sebuah keluarga, pertama kali menjadi seorang bhikkhu, kemudian sang ayah mengikuti menjadi bhikkhu, dan akhirnya sang ibu menjadi seorang bhikkhuni. Mereka sangat dekat satu sama lainnya sehingga mereka jarang tinggal terpisah. Keluarga itu tinggal di vihara seperti tinggal di rumah sendiri, berbicara dan makan bersama, membuat bhikkhu-bhikkhu lain merasa terganggu. Bhikkhu lain melaporkan kelakuan mereka kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha memanggil mereka.

        Sang Buddha berkata, "Sekali kamu telah bergabung dalam pasamuan Sangha, kamu seharusnya tidak lagi tinggal bersama seperti sebuah keluarga. Jangan melihat mereka yang kaucinta dan melihat mereka yang tidak kaucinta, kedua hal itu merupakan penderitaan, maka kamu seharusnya tidak tergantung kepada seseorang atau sesuatu yang kamu cintai".

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 209, 210, dan 211 berikut ini:

Orang yang memperjuangkan apa yang seharusnya dihindari, dan tidak memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan; melepaskan apa yang baik dan melekat pada apa yang tidak menyenangkan, akan merasa iri terhadap mereka yang tekun dalam latihan.

Janganlah melekat pada apa yang dicintai atau yang tidak dicintai.
Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai dan bertemu dengan mereka yang tidak dicintai, keduanya merupakan penderitaan.

Oleh sebab itu janganlah mencintai apapun, karena berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan. Tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas dari mencintai dan tidak mencintai.

***

[Dhammapada Atthakatha XVI, 1-3]
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Kisah Mara
« Reply #31 on: 10 August 2008, 05:20:10 PM »
        Pada satu kesempatan, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, melihat lima ratus gadis dari Desa Pancasala yang akan mencapai tingkat kesucian sotapatti. Oleh karena itu Sang Buddha pergi dan tinggal di dekat desa tersebut. Kelima ratus gadis pergi mandi ke sungai; setelah selesai mandi mereka pergi ke desa dengan berpakaian lengkap, karena hari itu hari festival.

        Pada waktu yang bersamaan, Sang Buddha memasuki Desa Pancasala untuk berpindapatta, tetapi tidak seorang pun penduduk desa memberi dana kepada Sang Buddha karena mereka telah dipengaruhi oleh Mara.

        Pada saat perjalanan pulang Sang Buddha bertemu dengan Mara, yang dengan cepat bertanya pada Sang Buddha apakah Sang Buddha sudah menerima dana makanan cukup?

        Sang Buddha melihat kedatangan Mara bersamaan dengan kegagalan Beliau untuk mendapatkan dana makanan pada hari itu dan berkata, "Kamu Mara jahat, adalah kamu yang menyuruh penduduk desa untuk menolak saya. Karena kamu telah mempengaruhi mereka untuk tidak memberi dana makanan pada saya. Apakah Saya bersalah?"

        Mara tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi dia berpikir akan memperolok Sang Buddha dengan membujuk-Nya kembali ke desa, sehingga penduduk desa akan menghina Sang Buddha dengan memperolok-olokNya.

        Maka Mara menyarankan, "O Buddha, mengapa Kamu tidak kembali ke desa lagi? Kali ini Kamu pasti akan mendapatkan makanan".

        Sejenak kemudian, kelima ratus gadis desa tiba di tempat itu dan menghormat kepada Sang Buddha.

        Di tengah kehadiran mereka, Mara mengejek Sang Buddha, "O Buddha, kamu tidak menerima dana makanan pagi ini, kamu pasti merasa sakit karena kelaparan!"

        Kepada Mara, Sang Buddha menjawab, "O Mara jahat, meskipun kami tidak mendapatkan makanan, seperti brahma Abhassara yang hidup dengan kepuasan yang sangat menyenangkan (piti) dan kebahagiaan (suka) pemusatan pikiran (jhana), kami hidup dengan kepuasan yang menyenangkan dan kebahagiaan dalam Dhamma".

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 200 berikut:

Sungguh bahagia hidup kita ini apabila sudah tidak terikat lagi oleh rasa ingin memiliki.
Kita akan hidup dengan bahagia bagaikan dewa-dewa di alam yang cemerlang.


        Lima ratus gadis mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***

[Dhammapada Atthakatha XV, 4]
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Kisah Subhadda Si Pertapa Pengembara
« Reply #32 on: 10 August 2008, 05:26:20 PM »
        Subhadda, si pertapa pengembara sedang menetap di Kusinara ketika mendengar bahwa Buddha Gotama akan mangkat, mencapai parinibbana pada waktu jaga terakhir malam itu. Subhadda mempunyai tiga pertanyaan yang telah lama membingungkannya. Ia telah menanyakan pertanyaan tersebut kepada guru-guru agama yang lain, misalnya Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccayana, Sancaya Belatthaputta, dan Nigantha Nataputta, tetapi jawaban mereka tidak memuaskan baginya. Ia belum bertanya kepada Buddha Gotama, dan ia merasa bahwa Sang Buddha-lah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

        Maka, ia bergegas pergi ke hutan pohon Sala, tetapi Y.A. Ananda tidak mengizinkannya bertemu dengan Sang Buddha, karena saat itu kondisi kesehatan Sang Buddha sangat lemah. Sang Buddha mendengar percakapan mereka dan Beliau berkenan untuk menemui Subhadda. Subhadda menanyakan tiga pertanyaan, yaitu:
1.   Apakah ada jalan di langit?
2.   Apakah ada bhikkhu-bhikkhu suci (samana) di luar ajaran Sang Buddha? dan
3.   Apakah ada suatu hal berkondisi (sankhara) yang abadi?

        Jawaban Sang Buddha terhadap semua pertanyaan tersebut adalah "tidak ada".

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 254 dan 255 berikut ini:

Tidak ada jejak di angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma.
Umat manusia bergembira di dalam belenggu, tetapi Para Tathagata telah bebas dari semua itu.

Tidak ada jejak di angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma.
Tidak ada hal-hal berkondisi yang abadi.
Tidak ada lagi keragu-raguan bagi Para Buddha.


        Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Subhadda mencapai tingkat kesucian anagami, dan atas permohonannya, Sang Buddha menerima Subbhadda sebagai anggota Pasamuan Bhikkhu (Sangha).

        Subhadda adalah orang terakhir yang menjadi bhikkhu pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama. Akhirnya, Subhadda mencapai tingkat kesucian arahat.***

[Dhammapada Atthakatha XVIII, 20-21]
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Kisah Uggasena
« Reply #33 on: 10 August 2008, 05:29:20 PM »
        Suatu saat rombongan pemain drama keliling yang terdiri atas lima ratus penari dan beberapa pemain akrobat datang ke Rajagaha. Mereka mengadakan pertunjukan di dalam lingkungan istana Raja Bimbisara selama tujuh hari. Di sana seorang penari muda yang merupakan putri seorang pemain akrobat bernyanyi dan menari di atas sebuah galah bambu yang panjang.

        Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan, jatuh cinta dengan penari itu. Orang tuanya tidak dapat mencegah keinginan putranya untuk menikah dengan gadis tersebut. Ia menikahi penari muda itu dan mengikuti rombongan tersebut. Karena Uggasena bukan seorang penari juga bukan pemain akrobat maka ia benar-benar tidak berguna bagi rombongan tersebut. Sehingga saat rombongan itu pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia hanya membantu mengangkut kotak-kotak, mengemudikan kereta, dan lain-lainnya.

        Pada suatu saat seorang anak laki-laki lahir dari pasangan Uggasena dan istrinya, sang penari. Kepada anak laki-lakinya, penari tersebut sering menyanyikan sebuah lagu seperti ini: "O kamu, putera seorang lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan buntelan-buntelan! O kamu, putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat melakukan apapun!"

        Uggasena mendengar lagu itu. Ia mengetahui bahwa istrinya menujukan hal itu kepadanya dan hal ini membuat ia sangat terluka dan tertekan. Maka ia pergi menemui ayah mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar diajari bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi pemain akrobat yang trampil.

        Suatu ketika, Uggasena kembali ke Rajagaha, dan diumumkan bahwa Uggasena akan memperlihatkan ketrampilannya di muka umum selama tujuh hari. Pada hari ke tujuh, sebatang galah yang panjang digunakan dan Uggasena berdiri di atasnya. Dengan tanda-tanda yang diberikan dari bawah, ia berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu. Saat itu Sang Buddha melihat Uggasena dalam batin Beliau dan mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

        Kemudian Sang Buddha memasuki Kota Rajagaha, berusaha agar orang-orang (penonton) mengalihkan perhatiannya kepada Beliau, dan bukan bertepuk tangan untuk Uggasena atas prestasi akrobatiknya. Ketika Uggasena melihat bahwa ia sedang diabaikan dan tidak diacuhkan, ia hanya duduk di atas galah, merasa sangat tidak puas dan tertekan.

        Sang Buddha menyapa Uggasena, "Uggasena, orang bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada kelompok-kelompok kehidupan (khandha), dan berjuang untuk mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir".

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 348 berikut:

Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang, maupun yang sekarang (kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan) dan capailah 'Pantai Seberang' (nibbana).
Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu, maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.


        Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Uggasena yang masih berada di atas galah, mencapai tingkat kesucian arahat. Ia turun dan segera diterima dalam pasamuan bhikkhu oleh Sang Buddha.***


[Dhammapada Atthakatha XXIV, 15]
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Kisah Kumbhaghosaka, Seorang Bankir
« Reply #34 on: 10 August 2008, 05:34:36 PM »
        Suatu ketika ada suatu wabah penyakit menular menyerang kota Rajagaha. Di rumah bendahara kerajaan, para pelayan banyak yang meninggal akibat wabah tersebut. Bendahara dan istrinya juga terkena wabah tersebut. Ketika mereka berdua merasa akan mendekati ajal, mereka memerintahkan anaknya Kumbhaghosaka untuk pergi meninggalkan mereka, pergi dari rumah dan kembali lagi pada waktu yang lama, agar tidak ketularan. Mereka juga mengatakan kepada Kumbhaghosaka bahwa mereka telah mengubur harta sebesar 40 crore. Kumbhaghosaka pergi meninggalkan kota dan tingal di hutan selama 12 tahun dan kemudian kembali lagi ke kota asalnya.

        Seiring dengan waktu, Kumbhaghosaka tumbuh menjadi seorang pemuda dan tidak seorang pun di kota yang mengenalinya. Dia pergi ke tempat di mana harta karun tersebut disembunyikan dan menemukannya masih dalam keadaan utuh. Tetapi dia menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengenalinya lagi. Jika dia menggali harta tersebut dan menggunakannya, masyarakat mungkin berpikir seorang lelaki miskin secara tidak sengaja telah menemukan harta karun dan mereka mungkin akan melaporkannya kepada raja. Dalam kasus ini hartanya akan disita dan dia sendiri mungkin akan ditangkap. Maka dia memutuskan untuk sementara waktu ini tidak menggali harta tersebut dan untuk sementara dia harus mencari pekerjaan untuk membiayai penghidupannya.

        Dengan mengenakan pakaian tua Kumbhaghosaka mencari pekerjaan. Dia mendapatkan pekerjaan untuk membangunkan orang. Bangun awal di pagi hari dan berkeliling memberitahukan bahwa saat itu adalah saat untuk menyediakan makanan, untuk menyiapkan kereta, ataupun saat untuk menyiapkan kerbau dan lain-lain.

        Suatu pagi Raja Bimbisara mendengar suara orang membangunkannya. Raja berkomentar, "Ini adalah suara dari seorang laki-laki sehat".

        Seorang pelayan, mendengar komentar raja. Ia mengirimkan seorang penyelidik untuk menyelidikinya. Dia melaporkan bahwa pemuda itu hanya orang sewaan. Menanggapi laporan ini raja kembali berkomentar sama selama dua hari berturut-turut. Sekali lagi, pelayan raja menyuruh orang lain menyilidikinya dan hasilnya tetap sama. Pelayan berpikir bahwa ini adalah hal yang aneh, maka dia meminta pada raja agar memberikan ijin kepadanya untuk pergi dan menyelidikinya sendiri.

        Dengan menyamar sebagai orang desa, pelayan dan putrinya pergi ke tempat tinggal para buruh. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah pengelana, dan membutuhkan tempat untuk bermalam. Mereka mendapat tempat bermalam di rumah Kumbhaghosaka untuk satu malam. Tetapi mereka merencanakan memperpanjang tinggal di sana. Selama periode tersebut, dua kali raja telah mengumumkan bahwa akan diadakan suatu upacara di tempat tinggal para buruh, dan setiap kepala rumah tangga harus memberikan sumbangan. Kumbhaghosaka tidak mempunyai uang untuk menyumbang. Maka dia berusaha untuk mendapatkan beberapa koin (kahapana) dari harta simpanannya.

        Ketika melihat Kumbhaghosaka membawa koin-koin tersebut, pelayan raja berusaha agar Kumbhaghosaka mau menukarkan koin-koin itu dengan uangnya. Usahanya berhasil dan pelayan itu mengirimkan koin-koin itu kepada raja. Setelah beberapa waktu, pelayan tersebut mengirimkan pesan kepada raja untuk mengirim orang dan memanggil Kumbhaghosaka ke pengadilan. Kumbhaghosaka merasa tidak senang, dengan terpaksa pergi bersama orang-orang tersebut. Pelayan dan putrinya juga pergi ke istana.

        Di istana, raja menyuruh Kumbhaghosaka untuk menceritakan kejadian sebenarnya dan menjamin keselamatannya. Kumbhaghosaka kemudian mengakui bahwa kahapana itu adalah miliknya dan juga mengakui bahwa ia adalah putra seorang bendahara di Rajagaha, yang meninggal karena wabah dua belas tahun yang lalu. Dia kemudian juga menceritakan tentang tempat di mana harta karun tersebut disembunyikan. Akhirnya, semua harta karun tersebut dibawa ke istana; raja mengangkatnya menjadi seorang bendahara dan memberikan putrinya untuk dijadikan istri.

        Setelah itu, raja membawa Kumbhaghosaka mengunjungi Sang Buddha di Vihara Veluvana dan mengatakan kepada Beliau bagaimana pemuda tersebut memperoleh kekayaan, dengan mengumpulkan hasil pekerjaannya sebagai buruh, dan bagaimana dia diangkat menjadi seorang bendahara.

        Mengakhiri pertemuan itu, Sang Buddha membabarkan syair 24 berikut ini:

Orang yang penuh semangat, selalu sadar, murni dalam perbuatan, memiliki pengendalian diri, hidup sesuai dengan Dhamma dan selalu waspada, maka kebahagiaannya akan bertambah.
***

[Dhammapada Atthakatha II, 4]
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Masalah Serius
« Reply #35 on: 13 September 2008, 09:19:49 PM »
Aku ingin memahami mengapa kebanyakan dari kita dapat hidup dalam bayangan usia tua, sakit, mati, lahir kembali… seakan-akan mereka tidak benar-benar ada, seakan-akan mereka tidak akan pernah datang terhadap anda dan aku. Aku sangat ingin memahaminya, dan secara spiritual “tergugah” sehingga aku cukup serius bercita-cita untuk melampaui usia tua, sakit, mati dan lahir kembali.

Mengapa masalah utama ini bukan pertimbangan utama kita? Bahwa kita tidak benar-benar cukup serius mengenai masalah ini, adalah masalah yang sungguh serius.


Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), A Serious Problem, p. 126
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline san

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 475
  • Reputasi: 35
Re: Kumpulan kisah-kisah Dhamma ( kutip dari buku dan majalah )
« Reply #36 on: 15 September 2008, 08:54:51 PM »
Kebanyakan orang berpikir, bahwa lahir adalah sebuah anugrah. Karena itu mereka justru berbahagia dalam menyambut kelahiran, baik apakah itu anak2 mereka, cucu mereka. Karena pola itu sudah terbentuk sedemikian lama.

Kemudian seorang anak yang melihat orang tuanya bahagia menyambut kelahiran anaknya yang baru lahir, secara tidak langsung memiliki pemahaman bahwa kelahiran adalah sumber kebahagiaan. Karena inilah banyak orang memiliki anggapan bahwa kelahiran bukanlah hal yang harus ditakuti, namun malah harus dirayakan.

Seperti yang kita ketahui, hampir tidak ada satu orang pun di dunia yang tidak pernah merasakan sakit, baik sakit secara fisik maupun secara mental (cth: marah). Karena hal ini hampir dialami oleh semua orang, maka sebagian besar orang menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar.

Tua. Seseorang yang memiliki usia cukup panjang akan mengalaminya. Anggapan bahwa orang tua adalah orang yang dihormati, disegani, dan kaya pengalaman, membuat beberapa/ sebagian besar orang asia menyadari bahwa menjadi tua adalah menjadi dewasa dalam sikap dan perbuatan. Sesuatu yang tidak terlalu menakutkan bukan? Kenyataannya tua menjadi sesuatu yang wajar bagi hampir setiap orang.

Kematian bukanlah sesuatu yang mudah diterima bagi setiap orang, meskipun hal ini dianggap wajar oleh mereka. Namun untuk mencari kebahagiaan, melepaskan penderitaan dari kesedihan akan kematian, sebagian besar orang mencari perlindungan di balik keyakinan dan kata-kata mereka. Semoga yang ditinggalkan dilahirkan di alam yang lebih baik, sorga, disisi-Nya, dan sebagainya. Karena sikap seperti itulah maka sebagian besar orang menganggap kematian adalah suatu hal yang wajar yang tidak perlu ditakuti.

Karena kepercayaan akan adanya kebahagiaan di setiap kelahiran, sakit, tua dan mati, banyak orang tidak terlalu peduli akan hal itu. Mereka akan selalu berpikir, itu masalah nanti. Lagipula kita tidak sendiri. Setiap orang akan mengalaminya. Karena itulah mereka tidak menjadikan 4 hal tersebut sebagai fokus utama. Daripada menyadari adanya penderitaan yang ditimbulkan dari 4 hal tersebut sebagian besar dari kita berusaha meraih kebahagiaan, mengejar kebahagiaan, yang membuat kita melupakan kesedihan kita, penderitaan kita.

Lebih mudah untuk mengejar kebahagiaan daripada menghadapi kenyataan bahwa hidup ini adalah penderitaan.

Entah kapan setiap orang dari kita menyadari penderitaan yang timbul berasal dari diri kita sendiri, menemukan sebabnya dan mengakhirinya........

Mungkin karena itulah sang Buddha mengatakan pada Angulimala:

 "Aku telah berhenti, Angulimala. Engkaulah yang belum berhenti." :)

_/\_
be happy ^^

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Kumpulan kisah-kisah Dhamma ( kutip dari buku dan majalah )
« Reply #37 on: 15 September 2008, 09:48:50 PM »
Lebih mudah untuk mengejar kebahagiaan daripada menghadapi kenyataan bahwa hidup ini adalah penderitaan.

Entah kapan setiap orang dari kita menyadari penderitaan yang timbul berasal dari diri kita sendiri, menemukan sebabnya dan mengakhirinya........

Mungkin karena itulah sang Buddha mengatakan pada Angulimala:

 "Aku telah berhenti, Angulimala. Engkaulah yang belum berhenti." :)

_/\_



 _/\_  :lotus:
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Kumpulan kisah-kisah Dhamma ( kutip dari buku dan majalah )
« Reply #38 on: 15 September 2008, 10:06:56 PM »
 _/\_
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Mara
« Reply #39 on: 10 October 2008, 11:36:30 PM »
Did the Buddha fight Mara?
No--He watched him...
real closely...
and he was vanquished.

Are you fighting your inner demons?
Why not just stand aside and watch them?
Just observe--but see them very clearly.

Something strange but wonderful happens--
they disappear in the light of mindfulness.


Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Mara, p. 71
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Mengosongkan Lagi Cangkirmu
« Reply #40 on: 11 October 2008, 07:37:21 PM »
Saya yakin banyak di antara kalian telah mendengar cerita terkenal ini… Seorang profesor universitas mengunjungi Guru Zen Nan-in untuk menanyakan tentang Zen, yang menghidangkan teh. Guru itu mengisi cangkir pengunjungnya dan lalu tetap menuang. Profesor memandang luapan teh itu sampai ia sendiri dapat menahannya tidak lama kemudian. “Itu terlalu penuh. Tidak akan masuk lagi.” “Seperti cangkir ini”, Nan-in berkata, “kamu penuh dengan pendapat dan spekulasimu sendiri. Bagaimana saya bisa menunjukkanmu Zen jika kamu tidak pertama-tama mengosongkan cangkirmu?”

             Paling menarik bahwa banyak yang “mengosongkan cangkir mereka” dari pendapat dan spekulasi saat mereka menyadari pelajaran penting dalam cerita tersebut. Dan dengan “cangkir kosong” dari keterbukaan-pikiran yang baru diperoleh, mereka mungkin secara tanpa sadar memulai lagi menerima dan mengumpul pendapat dari orang lain. Dengan cepat, cangkir mereka terisi penuh hingga ke pinggiran lagi. Mereka mungkin kemudian percaya mereka telah “menemukan” Kebenaran atau setidaknya jalan menujunya, dan dengan keras kepala melekat padanya di samping kenyataan merupakan yang lain. Ini adalah kegagalan dari menjaga pikiran yang terbuka, terbuka!

             Apakah kita mengosongkan lagi cangkir kita dari waktu ke waktu? Bagi kebanyakan dari kita, pikiran kita buka dan tutup secara siklis, mempercayai dan tidak mempercayai, mengambil spekulasi dan menyerahkan spekulasi. Bisa jadi jerat yang tidak perlu dan lengah ini, yang merintangi kita dari menjadi lebih dekat dengan Pencerahan. Kita perlu untuk melampaui berpendapat-semata melalui berpenembusan-sejati.

             Mungkin membantu untuk dicatat bahwa keterbukaan-pikiran yang luar biasa dari Buddha yang mendorong-Nya, saat masih mempraktikkan pertapaan, untuk mencari metoda benar yang membawa pada Pencerahan—dari beberapa guru—walaupun mereka meninggalkan-Nya kekecewaan, mendesak-Nya untuk mencari jalan-Nya sendiri kemudian.

***


Re-Emptying Your Cup

I’m sure many of you have heard this famous story… A university professor visited Zen Master Nan-in to inquire about Zen, who served tea. He filled his visitor’s cup and then kept on pouring. The professor watched the overflowing until he could restrain himself no longer. “It is too full. No more will go on.” “Like this cup”, Nan-in said, “you are full of your own opinions and speculations. How can I show you Zen unless you first empty your cup?”

            It is most interesting that many “empty their cups” of opinions and speculations when they realise the important lesson in the story. And with their newly acquired “empty cup” of open-mindedness, they might unmindfully restart receiving and collecting the opinions of others. In no time, their cups are filled to the brim again. They might then believe they have “found” the Truth or at least the way to it, and stick stubbornly to it despite reality being otherwise. This is the failure of keeping the open mind open!

            Do we re-empty our cups from time to time? For most of us, our minds open and close cyclically, believing and disbelieving, taking up speculations and giving up speculations. It could be this unnecessary and mindless loop that hinders us from getting closer to Enlightenment. We need to transcend having mere opinions by having true realisations.

            It might be helpful to note that it was the Buddha’s remarkable open-mindedness that encouraged him, when still a practising ascetic, to seek the right method that led to Enlightenment—from several teachers—though they left him disillusioned, urging him to seek his own way later.


Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Re-Emptying Your Cup, p.64
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Ribuan
« Reply #41 on: 12 October 2008, 11:04:02 PM »
Ini adalah syair yang sulit ditemukan di antara ribuan syair yang lainnya—

“Daripada seribu kata yang tak berarti
Adalah lebih baik sepatah kata yang dapat memberi kedamaian.

Daripada seribu syair yang tak berarti
adalah lebih baik sebait syair yang dapat memberi kedamaian.

Daripada seribu bait syair yang tak berarti
adalah lebih baik satu kata Dhamma, membawakan kedamaian.

Lebih baik menaklukkan diri-sendiri
daripada memenangkan ribuan pertempuran.”

—Dhammapada (Sang Buddha)

***


Thousands

Here are verses hard to find amongst thousand of others—

“Better than a thousand hollow words
is one word that brings peace..

Better than a thousand hollow verses
is one verse that brings peace.

Better than a thousand hollow lines
is one line of the law, bringing peace.

It is better to conquer one-self
than to win a thousand battles.”

—Dhammapada (The Buddha)


Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Thousands, p. 108
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Membiarkan Berlalu
« Reply #42 on: 18 October 2008, 12:00:20 AM »
Seseorang pernah berkata bahwa semua ajaran Buddhisme dapat disimpulkan dalam satu bait—“Tidak ada, apapun juga, yang patut dilekati.” Ini merupakan satu ajaran utama yang harus dikuasai oleh masing-masing dari kita hingga kita bisa memperoleh Pencerahan. Meskipun demikian, karena “tidak ada, apapun juga, yang patut dilekati”, bahkan ajaran ini tidak patut dilekati. Itulah yang dikatakan, kita tidak seyogyanya melekat pada “tidak melekat”. Dengan kata lain, biarkan berlalu, dan biarkan berlalu ‘membiarkan berlalu’ tersebut. Ini bukan permainan kata-kata. Tidak ada yang saling bertentangan. Dapat dilakukan dan harus dicapai untuk memperoleh kebebasan akhir.

      Ada dua bentuk kemelekatan—yang mana membawa pada lebih melekat, mengakibatkan berputar-putar dalam lingkaran Samsara yg buruk, atau melekat yang membawa pada pembebasan dari tidak-melekat—bagaikan bergantung pada sebuah alat penyelamat hidup, hanya selama waktu yang seperlunya. Pastikan kemelekatan apapun yang anda miliki pada saat itu adalah yang belakangan.


Letting Go

Someone once said that all the teachings of Buddhism can be summarised by one line—“Nothing, whatsoever, should be clung to.” This is one major teaching that each and every one of us has to master before we can attain Enlightenment. However, since “nothing, whatsoever, should be clung to”, even this teaching should not be clung to. That is to say, we should not cling to “not clinging”. In other words, let go, and let go of letting go. This is not playing with words. Neither is it a paradox. It can be done and has to be achieved in order to attain ultimate freedom.

      There are two forms of clinging—that which leads to more clinging, resulting in swirling in the rounds of Samsara in a vicious cycle, or clinging that leads to the freedom of non-clinging—like hanging on to a life-saver, for only long enough. Just ensure any clinging you have at the moment is of the latter.


Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Letting Go, p. 252
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Sila Ketiga
« Reply #43 on: 19 October 2008, 10:08:29 PM »
Sila ketiga kadang-kadang diajarkan dalam arti “Menghindari perilaku menyimpang akan nafsu (bukan hanya seksual).” Ini sangat menarik karena memperluas lingkup akan hal yang bersinggungan dengan tidak mematuhi sila (di samping “hubungan di luar nikah” umumnya…). Saya yakin anda setuju bahwa dalam sebuah tindakan seks memuaskan semua indra secara bersamaan.

      Renungan pribadi terhadap “perilaku menyimpang akan nafsu” adalah bahwa sepanjang seseorang memuaskan secara berlebihan salah satu dari keenam indra (penglihatan, pendengaran, penciuman, kecapan, sentuhan, pemikiran), atau memanjakan salah satu indra secara berkelanjutan dalam kesenangan nafsu, seseorang dianggap melanggar sila itu. Ini termaksud hal-hal seperti makan-berlebihan (pemuasan berlebihan dan pemanjaan terhadap indra kecapan), “kecanduan” terhadap jenis-jenis musik tertentu (pemuasan berlebihan dan pemanjaan terhadap indra pendengaran)…

      Kita harus ingat tujuan dari mematuhi sila ini—belajar menjadi puas (bukannya menjadi gila-kenikmatan), sehingga menyalurkan energi yang lebih terpusat ke arah pengembangan batin.



The Third Precept

The third precept is sometimes taught to mean “To avoid sensual (not just sexual) misconduct.” This is very interesting because it widens the scope of what pertains to not observing the precept (besides the usual “no extramarital affairs”…). Am sure you agree that in the single act of sex exists pleasures of all the senses simultaneously.

      A personal reflection on “sensual misconduct” is that as long as one abuses any one of the six senses (of sight, hearing, smelling, taste, touch, thinking), or indulges any one sense continuosly in sensual pleasure, one is deemed to be breaking the precept. This would include things like over-eating (abuse and indulgence of the sense of taste), “addiction” to certain types of music (abuse and indulgence of the sense of hearing)…

      We should remember the purpose of observing this precept—to learn to be content (instead of being pleasure-crazed), so as to channel more focused energy towards spiritual cultivation.


Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), The Third Precept, p. 79
« Last Edit: 19 October 2008, 10:16:36 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline mitta

  • Teman
  • **
  • Posts: 55
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
Re: Kumpulan kisah-kisah Dhamma ( kutip dari buku dan majalah )
« Reply #44 on: 19 October 2008, 10:35:30 PM »
sumber nya bagus tuh....
boleh minta ebook nya gak nih????
dalam english ya ato bilingual?
translate sendiri yah?
kuerennnnnnn.

 

anything