Dhammacitta Daily
Sumedha ( Therigatha - 73 )
SUMEDHA - PENGANTIN YANG ENGGAN
Dulu saya adalah Putri Sumedha
Anak perempuan Raja Koncha
Terampil dalam Ajaran-Ajaran Sang Buddha
Saya memandang dunia ini dengan mata kebijksanaan
Pada hari pernikahanku,
Saya mendengar genderang dan seruling
Mengumandangkan datangnya pengantin pria
Anikadattha-raja Varanavathi,
Dia adalah pilihan orang tuaku.
Saya menghadap orang tuaku,
mantap sampai kepada intinya,
Saya memberitahu mereka;
'Bebaskanlah saya dari ikatan-ikatan kehidupan duniawi,
Keinginanku adalah mencapai tanpa-kematian - pantai tanpa-kelahiran
Yang dipuji oleh Sang Buddha.
Saya tidak peduli pada kesenangan jasmani yang hanya sekejap;
Jika para makhluk surgawi pun tidak mengalami kebahagiaan yang abadi,
Apa pula yang bisa dikatakan tentang ikatan dan kekayaan duniawi?
Semuanya tidak-kekal, semuanya akan berakhir dengan kematian.
Hanya orang tolol yang bergembira dalam kesenangan jasmani.
Bagaikan memegang ular di kepalanya.
Lepaskanlah; dan ia menggigit. Seperti itu pula
Mereka yang mencari kesenangan indera
Dihancurkan oleh apa yang mereka cari.
Tubuh, ucapan, dan pikiran yang tak-terkendali
Membawa menuju kesengsaraan;
Dan orang tolol bersukacita,
Mata pedang memang berkilau, bersinar, terang
Tetapi siapa yang akan menekan ke sisi badannya?
Ibu, Ayah, biarkanlah saya meninggalkan kehidupan duniawi,
Hentikan musik upacara pernikahan itu, itu bukan untukku,
Biarlah saya pergi mencari jalan kedamaian
Untuk membebaskan diri dari kelahiran dan kematian,
Serta berjuang.
Kesenangan apa yang dapat saya peroleh dalam tubuh yang penuh kotoran ini?
Keyakinan apa yang saya punya dalam gerakan yang memperkuat kelahiran
Bila pikiranku telah terarah pada jalan yang diambil para bijak,
Yang bajik, tanpa-nafsu, dan tenang?
Saya akan berpuasa sampai mati sebelum menyerah,
Jadi hentikan musik pernikahan itu dan biarkanlah saya sendiri.'
Orangtuaku yang panik tidak mau mendengarku
Mereka memohon sambil berlutut dan menangis.
"Engkau dijanjikan untuk seorang raja, gadis tolol,
Dia tampan, berkuasa, dan sangat mencintaimu.
Mengapa menyia-nyiakan kemudaanmu dalam jubah kafan yang kasar?
Jika kain-kain sutera menunggu bentukmu yang belia?"
'Bentukku, katamu? Tubuhku?
Wadah terbungkus kulit yang penuh dengan kotoran bau yang sering meresap kedalam sari-sari busuk yang menyengat ini?
Apakah selendang sutera akan menekan bau itu? Kotoran itu?
Saya menolak sangkar berkulit ini, makanan belatung ini, gumpalan daging yang menjadi makanan burung nasar, bahkan kalian pun akan menolak barang berantakan yang menjijikkan ini ketika ia mati tergeletak seperti sebatang kayu.
Kalian akan membawa -tubuh- ini ke rumah mayat
Kemudian kalian pun mandi agar bebas dari bau menyengat dari -tubuh- ini, yang sekarang mayat.
Ibu, Ayah, apakah kalian masih akan memelukku?
Apa yang disebut tubuh ini hanyalah satu wadah kotoran
Semuanya melapuk, tak satu pun yang tidak berubah dalam proses menjadi bau. Dan orang tolol memanjakan apa yang tersembunyi dibalik bungkusnya, seandainya saja mereka dapat membalik tubuh ini yang didalam berada di luar..
Mengapa memaksaku mencari kesenangan-kesenangan daging jasmani?
Bila saya percaya bahwa daging ini menjijikkan, busuk
Dan membawa mereka yang merindukan api sensual
Menuju kelahiran-kelahiran, kerusakan, dan kematian tanpa-henti.'
Kemudian saya mendengar musik menggelegar dan berputar,
Gembreng ditepukkan dalam kegirangan yang menggilakan,
Genderang menghasilkan harmoni yang tidak selaras, Raja Anikadhatta telah tiba!
Saya menutup pintu dan memotong rambut hitamku yang panjang dengan pedang yang ditinggalkan ayahku karena tergesa-gesa, saya menutup mata dan masuk dengan bahagia ke dalam tingkat penyerapan penuh yang pertama.
Anikadhatta, megah dengan mahkota dan permata
Menaiki anak tangga; wewangian, karangan bunga, musik, tarian mendahului dia; saya duduk merenungkan mayat-mayat yang menjijikkan, gembung, tergerogoti, dipenuhi belatung, busuk.
Raja, yang melihat pengantinnya gundul, duduk bersila, menerawang dalam pemikiran, berkata
"Kerajaanku adalah milikmu, nikmatilah kekayaannya, berdanalah, jadilah luhur, tetapi menikahlah dengan saya hari ini."
Dan Sumedha menjawab
'Kaisar Mandhatu dari cerita kuno berpesta pora dalam semua kesenangan yang dikenal manusia, tetapi apakah dia puas? Tidak. Dia mati sebagai orang yang merindukan lebih banyak lagi. Kesenangan sensual membosankan, kosong, sekejap, tidak pernah terpenuhi. Itu adalah racun yang menggerogoti hati dan pikiran; suatu mimpi, khayalan belaka, jubah pinjaman, api, tombak, kepala ular yang menggigit ketika dilepas.
Tak satu pun dalam kehidupan ini yang saya sebut milikku, bahkan tidak juga tubuh ini. Apalagi barang-barang dan kekayaan dunia. Saya tidak punya apa-apa untuk diberikan kepadamu; tidak tubuh tidak pikiran, silakan pergi, Anikadhatta, hentikan musik itu dan pergilah.
Kepalaku terbakar, waktuku tinggal sedikit. Kelapukan dan kematian datang terengah-engah, bergegas mendekat, saya harus menemukan jalannya, saya harus membebaskan ikatan yang menghasilkan kelahiran untuk memenangjan kematian satu kali terakhir ini.
Kematian sudah selalu menjadi pemenang, berzaman-zaman, saya yang terkalahkan; selalu mati, selalu lahir untuk diperangkap dalam pelukannya yang beku. Tidak ada kekayaan maupun kehidupan yang telah menyelamatkanku dari cakar-cakarnya yang tak diharapkan.
Begitu banyak ibu, begitu banyak ayah, begitu banyak suami, yang sudah saya punyai dalam perjalanan panjang melalui kehidupan-kehidupan, siapa yang mengambil semuanya? Siapa yanh memisahkan mereka dariku? Kematian yang kejam. Dan saya menangis setiap kali kehilangan. Air mata untuk mengisi samudera, darah untuk membasahi seluruh bumi telah ditumpahkan atas namaku.
Wahai peminang agung, Ayah Bunda, dengarlah permohonanku, jangan pernah memanjakan tubuh ini, barang kotor yang memperkaya kuburan, hewan yang selalu rakus, yang tak pernah puas ini.
Kembangkan kewaspadaan_ dan engkau akan melihat keadaan dari hal-hal sebagaimana adanya. Jangan biarkan kegembiraan duniawi mengalahkan keadaan kebahagiaan ini.
Dalam kehidupan yang tanpa-nafsu, tanpa apa-apa.'
Anikadhatta pun teryakinkan, dia menapak kesamping dan memohon kepada orangtuanya : "Biarkan dia, biarkan dia menemukan pembebasan yang hanya dapat kita nikmati didalam apa yang dia temukan."
Sumedha_ dengan restu orangtuanya hari itu melepaskan jeratan-jeratan pengantin untuk jubah kuning sederhana.
Dia kenakan dengan keanggunan kerendahan hati, dan hidup menjadi Pemenang Kematian _ Yang Tidak Kembali Lagi pada waktunya..
Instagram
http://instagram.com/dhammacittaPage
http://www.fb.com/DhammacittaDaily