Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika melihat hutan rekreasi Pangeran Jeta, tidak terlalu jauh dari desa … cocok untuk bermeditasi, dan melihatnya, ia mendatangi Pangeran Jeta; setelah datang ia berkata kepada Pangeran Jeta: “berikanlah kepadaku, Tuan muda, hutan rekreasi untuk dijadikan vihara.”
“Hutan rekreasi tidak akan diberikan, perumah tangga, bahkan dengan harga seratus ribu.”
“Tuan muda, vihara itu dibeli.”
“Vihara tidak dibeli, perumah tangga.” Mereka menanyakan kepada Menteri Keadilan, dengan mengatakan: “Apakah vihara itu dibeli atau tidak dibeli?” menteri itu berkata: [158] “Vihara itu dibeli dengan harga yang telah engkau tentukan, Tuan muda.” Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika, setelah membawa koin-koin emas dengan menggunakan kereta, menutupi seluruh Hutan Jeta dengan nilai seratus ribu. ||9||
Koin-koin emas yang dibawa pertama tidak mencukupi untuk menutup sepetak kecil di dekat teras. Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika memerintahkan orang-orang, dengan berkata: “Kembalilah, orang-orang baik, bawa (lebih banyak lagi) koin-koin emas, aku akan menebarkannya menutupi bagian yang terbuka ini.” kemudian Pangeran Jeta berpikir: “Ini bukan karena persoalan biasa sehingga perumah tangga ini menghabiskan begitu banyak koin emas,” dan ia berkata sebagai berikut kepada perumah tangga Anāthapiṇḍika:
“Cukup, perumah tangga; biar aku saja yang menutup bagian terbuka ini, berikan bagian terbuka ini untukku, aku akan menyerahkan persembahanku.”
Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika berpikir: “Pangeran Jeta adalah seorang yang terkenal, termashyur; tentu saja keyakinannya dalam dhamma dan disiplin dari seorang yang terkenal sepertinya akan sangat efektif,” mengalihkan bagian terbuka itu untuk Pangeran Jeta. Kemudian Pangeran Jeta membangun sebuah teras di tempat terbuka itu. Perumah tangga Anāthapiṇḍika membangun tempat-tempat tinggal, ia membangun kamar-kamar … teras-teras … aula-aula pertemuan … ruang perapian … gubuk-gubuk untuk apa yang diperbolehkan … jamban-jamban … tempat berjalan mondar-mandir … sumur-sumur … ruangan dalam sumur … kamar mandi … ruangan di dalam kamar mandi … kolam-kolam teratai … ia membangun gudang-gudang. ||10||4||
Kemudian Sang Bhagavā, setelah menetap di Rājagaha selama yang Beliau kehendaki, pergi menuju Vesālī. Akhirnya, dengan berjalan kaki dalam perjalanan itu, Beliau tiba di Vesālī. Sang Bhagavā berdiam di aula beratap lancip. Pada saat itu orang-orang sedang melakukan perbaikan dengan saksama untuk para bhikkhu yang memerlukan perbaikan dan mereka juga melayani dengan saksama, dengan kebutuhan-kebutuhan jubah, makanan, tempat tinggal dan oat-obatan bagi yang sakit. Kemudian seorang penjahit miskin berpikir: “Sekarang ini tentu bukan persoalan biasa sehingga orang-orang ini melakukan perbaikan dengan saksama. Bagaimana jika aku juga melakukan perbaikan?” kemudian penjahit miskin itu, setelah mengadon lempung, setelah menumpuk bata, mendirikan tembok ranting dan dicat dengan tidak rapi. Tetapi karena ia tidak ahli, tumpukan itu miring dan tembok itu rubuh. Dan untuk ke dua kalinya … Dan untuk ke tiga kalinya … tembok itu rubuh. ||1||
Kemudian penjahit miskin itu … menyebarkan, dengan mengataka: “Para petapa ini, [159] para putera Sakya, menasihati, menginstruksikan mereka yang mempersembahkan jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan bagi yang sakit, dan mereka yang melakukan perbaikan untuk mereka. Tetapi aku miskin. Tidak ada yang menasihati, menginstruksikan atau mengharapkan perbaikan dariku.” Para bhikkhu mendengar kata-kata penjahit miskin itu ketia ia … meyebarkan. Kemudian para bhikkhu itu mengadukan hal itu kepada Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā dalam kesempatan ini, sehubungan dengan hal ini, setelah membabarkan khotbah, berkata kepada para bhikkhu:
“Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk menyerahkan tanggung jawab perbaikan pada (seorang bhikkhu). Bhikkhu yang bertanggung jawab atas perbaikan harus berusaha, memikirkan, ‘Bagaikanakah agar tempat-tempat tinggal ini cepat diselesaikan?’ dan ia harus memulihkan bagian-bagian yang rusak. ||2||
“Dan beginilah, para bhikkhu, mereka diserahi tanggung jawab: Pertama, seorang bhikkhu harus diminta; setelah diminta, Saṅgha harus diberitahu oleh seorang bikkhu yang berpengalaman dan berkompeten, yang mengatakan: ‘Yang Mulia, mohon Saṅgha mendengarkan saya. Jika baik menurut Saṅgha, biarlah Saṅgha menyerahkan tanggung jawab perbaikan tempat tinggal perumah tangga itu kepada bhikkhu itu. ini adalah usul. Yang Mulia, mohon Saṅgha mendengarkan saya. Saṅgha menyerahkan tanggung jawab perbaikan … kepada bhikkhu itu. jika penyerahan tanggung jawab kepada bhikkhu itu, atas perbaikan tempat tinggal perumah tangga itu, sesuai keinginan Yang Mulia, maka Yang Mulia cukup berdiam diri; ia yang tidak menginginkan silahkan berbicara. Perbaikan tempat tinggal perumah tangga itu diserahkan kepada bhikkhu itu. ini sesuai kehendak Saṅgha; oleh karena itu Saṅgha berdiam diri. Demikianlah saya memahami hal ini’.” ||3||5||
Kemudian Sang Bhagavā, setelah menetap di Vesālī selama yang Beliau kehendaki, pergi menuju Sāvatthī. Pada saat itu para bhikkhu yang adalah siswa dari Kelompok Enam Bhikkhu, setelah berjalan di depan para bhikkhu yang dipimpin oleh Yang Tercerahkan, menguasai tempat-tempat tinggal, mereka menguasai tempat-tempat tidur, dengan mengatakan: “Ini untuk penahbis kami, ini untuk guru kami, ini untuk kami.” Kemudian Yang Mulia Sāriputta, yang berjalan di belakang para bhikkhu yang dipimpin oleh Yang Tercerahkan, tidak mendapatkan tempat tidur – tempat-tempat tinggal telah dikuasai, tempat-tempat tidur telah dikuasai – duduk di bawah sebatang pohon. Kemudian Sang Bhagavā, bangun pada malam hari menjelang pagi itu, batuk. Yang Mulia Sāriputta juga batuk.
“Siapakah di sana?”
“Ini Aku, Bhagavā, Sāriputta.”
“Mengapa engkau duduk di sini, Sāriputta?” kemudian Yang Mulia Sāriputta memberitahukan persoalannya kepada Sang Bhagavā. ||1||
Kemudian Sang Bhagavā pada kesempatan ini, sehubungan dengan hal ini, setelah mengumpulkan para bhikkhu, bertanya kepada para bhikkhu: “Benarkah, dikatakan, para bhikkhu, [160] bahwa para bhikkhu yang adalah murid-murid … ‘ … ini untuk kami’?”
“Benar, Bhagavā.” Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā menegur mereka dengan mengatakan:
“Bagaimana mungkin, para bhikkhu, orang-orang dungu ini, setelah berjalan di depan … mengatakan ‘ … ini untuk kami’? ini bukanlah, para bhikkhu, untuk menyenangkan mereka yang tidak senang …” dan setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu:
“Siapakah, para bhikkhu, yang layak mendapatkan tempat duduk terbaik, Air terbaik (untuk mencuci), persembahan terbaik?” Beberapa bhikkhu menjawab: “Siapapun, Bhagavā, yang meninggalkan keduniawian dari keluarga mulia, ia layak menerima … persembahan terbaik.” Beberapa bhikkhu menjawab: “Siapapun, Bhagavā, yang meninggalkan keduniawian dari keluarga brahmana … “Siapapun, Bhagavā, yang meninggalkan keduniawian dari keluarga perumah tangga … Siapapun, Bhagavā, yang mengetahui suttanta … yang menguasai disiplin … yang merupakan guru dhamma … yang memiliki meditasi pertama … yang memiliki meditasi ke dua … yang memiliki meditasi ke tiga … yang memiliki meditasi ke empat … yang adalah seorang pemasuk-arus … yang adalah seorang yang-kembali-sekali … yang adalah seorang yang-tidak-kembali … yang sempurna … seorang dengan tiga kebijaksanaan … seorang dengan enam pengetahuan, ia layak menerima tempat duduk terbaik, air terbaik (untuk mencuci), persembahan terbaik.” ||2||
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Sebelumnya, para bhikkhu, dulu terdapat sebatang pohon banyan besar di lereng Himalaya. Tiga sahabat menetap di sana: seekor ayam hutan, seekor monyet, dan gajah besar. Mereka hidup dengan ramah, saling menghormati, sopan antara satu dengan yang lain. Kemudian, para bhikkhu, para sahabat ini berpikir: ‘Sekarang mari kita mencari tahu siapa di antara kita yang paling tua berdasarkan kelahiran. Kita harus menghormatinya dan menuruti nasihatnya.’ Kemudian, para bhikkhu, ayam hutan dan monyet bertanya kepada gajah: ‘Engkau, sahabat, hal paling lama apakah yang engkau ingat?’
“’Ketika aku, sahabat, masih muda aku biasanya melangkahi pohon banyan ini di antara kedua kakiku, dan pucuk yang paling atas menyentuh perutku. Ini, sahabat, adalah hal paling lama yang kuingat.”
“Kemudian, para bhikkhu, ayam hutan dan gajah bertanya kepada monyet: ‘Engkau, sahabat, hal paling lama apakah yang engkau ingat?’
“’Ketika aku, sahabat, masih muda aku duduk di tanah, aku biasanya memakan pucuk pohon banyan ini. Ini, sahabat, adalah hal paling lama yang kuingat.”
“Kemudian, para bhikkhu, monyet dan gajah bertanya kepada ayam hutan: ‘Engkau, sahabat, hal paling lama apakah yang engkau ingat?’
“’Sahabat, di suatu ruang terbuka terdapat sebatang pohon banyak besar. Aku, setelah memakan salah satu buahnya, kemudian buang air di tempat itu, dan pohon banyak ini tumbuh dari situ. Jadi, sahabat-sahabat, aku adalah yang tertua berdasarkan kelahiran” [161]
“Kemudian, para bhikkhu, monyet dan gajah itu berkata kepada ayam-hutan: ‘Engkau sahabat, adalah yang tertua berdasarkan kelahiran. Kami akan menghormatimu dan menuruti nasihatmu.’
“Kemudian, para bhikkhu, ayam hutan itu menasihati minyet dan gajah untuk menlaksanakan lima kebiasaan bermoral dan ia juga turut melaksanakan lima kebiasaan bermoral. Mereka setelah hidup dalam keramahan, saling menghormati, sopan antara satu dengan yang lain, pada saat hancurnya jasmani setelah kematian terlahir kembali di alam bahagia, alam surga. Ini, para bhikkhu, dikenal sebagai perjalanan-Brahma ayam hutan.”
“Mereka yang menghormati yang lebih tua – mereka adalah ahli dalam dhamma,
Layak dipuji di sini dan saat ini dan terlahir di alam bahagia setelah kematian. ||3||
“Maka, para bhikkhu, jika binatang, yang bernafas, dapat hidup dengan ramah, saling menghormati, sopan antara satu dengan yang lain, demikian pula kalian, biarlah cahayamu bersinar di sini, dehingga kalian, yang meninggalkan keduniawian dalam dhamma dan disiplin yang telah dibabarkan dengan sempurna, hidup seperti demikian, ramah, saling menghormati, sopan antara satu dengan yang lain. Ini bukanlah, para bhikkhu, untuk menyenangkan mereka yang tidak senang …” setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu:
“Aku mengizinkan, para bhikkhu, menyapa, bangkit dari duduk, merangkapkan tangan sebagai penghormatan, memberi hormat selayaknya, tempat duduk terbaik, air terbaik (untuk mencuci), persembahan terbaik menurut senioritas. Tetapi, para bhikkhu, apapun yang menjadi milik Saṅgha tidak boleh diberikan menurut senioritas. Siapapun yang melakukan (demikian), maka ia melakukan pelanggaran perbuatan-salah. ||4||
“Para bhikkhu, terdapa sepuluh ini yang tidak perlu disapa: seorang yang ditahbiskan belakangan tidak perlu disapa oleh orang yang ditahbiskan lebih dulu; seorang yang tidak ditahbiskan tidak perlu disapa; seorang yang berasal dari komunitas lain tidak perlu disapa (bahkan) jika ia lebih senior (namun) mengatakan apa yang bukan-dhamma; seorang perempuan tidak perlu disapa; seorang kasim … seorang dalam masa percobaan … seorang yang layak dikembalikan ke awal … seseorang yang layak menerima mānatta … seorang yang sedang melaksanakan mānatta … seorang yang layak menerima rehabilitasi tidak perlu disapa. Ini, para bhikkhu, adalah sepuluh yang tidak perlu disapa. Tiga ini, para bhikkhu, adalah harus disapa: seorang yang ditahbiskan lebih dulu harus disapa oleh orang yang ditahbiskan belakangan; seorang yang berasal dari komunitas lain harus disapa (bahkan) jika ia lebih senior dan mengatakan apa yang merupakan dhamma ; dan, para bhikkhu, seorang Penemu-Kebenaran, Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna, harus disapa di dunia ini bersama dengan para deva, bersama dengan Māra dan para Brahmā, oleh makhluk-makhluk dengan para petapa dan brahmana, dengan para deva dan manusia. Tiga ini, para bhkkhu, harus disapa. ||5||6||
Pada saat itu orang-orang mempersiapkan tempat bernaung untuk para bhikkhu, mereka mempersiapkan selimut, mereka mempersiapkan lahan. [162] para bhikkhu yang adalah murid-murid dari Kelompok Enam Bhikkhu berkata: “Hanya apa yang menjadi milik Saṅgha yang tidak diperbolehkan menurut senioritas oleh Sang Bhagavā, bukan apa yang dibuat untuk tujuan diserahkan kepada Saṅgha,” setelah berjalan di depan para bhikkhu uang dipimpin oleh Yang Tercerahkan, mereka menguasai selimut, menguasai lahan, berpikir: “Ini untuk penahbis kami, ini untuk guru kami, ini untuk kami.” Kemudian Yang mulia Sāriputta, yang berjalan di belakang para bhikkhu yang dipimpin oleh Yang Tercerahkan, tidak berkesempatan mendapatkan lahan terbuka – lahan telah dikuasai, selimut telah dikuasai. duduk di bawah sebatang pohon. Kemudian Sang Bhagavā, bangun pada malam hari menjelang pagi itu, batuk. Yang Mulia Sāriputta juga batuk.
“Siapakah di sana?”
“Ini Aku, Bhagavā, Sāriputta.”
“Mengapa engkau duduk di sini, Sāriputta?” kemudian Yang Mulia Sāriputta memberitahukan persoalannya kepada Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā pada kesempatan ini, sehubungan dengan hal ini, setelah mengumpulkan para bhikkhu, bertanya kepada para bhikkhu: “Benarkah, dikatakan, para bhikkhu …’ … setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu:
“Para bhikkhu, bahkan apa yang dibuat untuk tujuan dipersembahkan kepada Saṅgha tidak boleh dikuasai menurut senioritas. Siapapun yang menguasai (demikian) maka ia melakukan pelanggaran perbuatan-salah.” ||7||