//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: BANGGA MAKAN SINGKONG: SEBUAH LOCAL WISDOM TTG KETAHANAN PANGAN  (Read 2855 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline NOYA

  • Teman
  • **
  • Posts: 66
  • Reputasi: 7
  • Gender: Female
  • I still need to learn more.
BANGGA MAKAN SINGKONG: SEBUAH LOCAL WISDOM TTG KETAHANAN PANGAN

By Ninuk M. Pambudi



Kompas.com. Suasana di mulut Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, seperti kampung biasa. Beberapa anak remaja berkumpul di saung di mulut kampung. Ada yang membawa motor, ada yang asyik dengan telepon selulernya.

Enci (17) yang baru lulus SMA tanpa banyak tanya menunjukkan jalan ke rumah ketua adat, Emen, tak jauh dari mulut kampung.

Jalan di dalam kampung lebarnya 1-2 meter, terbuat dari semen. Rumah-rumah berdinding batu berdiri bersisian. Kali kecil mengalirkan air jernih di tengah kampung yang teduh oleh pohon besar.

Di luar yang tampak permukaan, Cireundeu memiliki keistimewaan. Separuh warga masih teguh menjaga wejangan nenek moyang mereka sejak 1924 untuk tidak makan nasi beras.

Sebagai ganti, mereka mengonsumsi rasi sebagai sumber karbohidrat. Rasi atau nasi singkong dibuat dari ampas singkong yang dijadikan tepung. Untuk menjadi rasi, tepung itu diberi air, lalu diaduk dengan tangan hingga berbulir-bulir mirip nasi beras, kemudian dikukus.

Bila harus bepergian keluar kampung, mereka akan membawa rasi yang bisa tahan dua hari. Bila pergi lebih lama, mereka membawa tepung rasi atau memakan pangan lain kecuali beras. ”Banyak umbi-umbian lain. Ada ubi, singkong, kentang,” kata Emen, ketua adat yang mantan kepala sekolah dasar.

Kemandirian

Menurut Emen, awal mula warga menolak beras adalah nasionalisme. Saat itu para tetua adat mencari hal paling hakiki dari kemandirian di tengah penjajahan Belanda.

Saat itu, tambah Asep, untuk makan nasi beras berarti bekerja sama dengan penjajah yang ujungnya akan meminta imbalan berupa informasi. Menolak bekerja sama, akhirnya tetua adat mengajak warga memanfaatkan yang ada di sekitar mereka dan tidak mengonsumsi beras.

”Lagi pula, sekeliling kampung ini gunung, tanahnya banyak batu. Padi sawah tidak mungkin,” tambah Emen.

Hampir seratus tahun kemudian, Asep merasa keputusan nenek moyang mereka benar. Mereka tak bergantung pada beras dan tidak pernah merasa malu tak makan beras.

”Sekarang di mana-mana banyak orang miskin, raskin. Indonesia negara agraris, kok tidak bisa makan. Beras sampai impor,” kata Emen.

Mereka memegang wejangan ”tak ada sawah asal ada padi, tak ada padi asal ada beras, tak ada beras asal menanak nasi, tak menanak nasi asal makan, tidak bisa makan asal kuat”. Artinya, tidak makan nasi, beras pun tak apa karena sumber kekuatan bukan hanya beras.

Relevan

Sebagai komunitas yang menyebut diri orang Sunda yang tetap memelihara keaslian budaya dan penghayat kepercayaan, warga juga mengamalkan hidup selaras dengan lingkungan.

Hutan warga seluas 500 hektar dibagi tiga areal: luweng larangan (hutan lindung) yang sama sekali tak boleh disentuh, luweng tutupan untuk hutan produksi, dan luweng baladahan untuk budidaya singkong dan palawija. Areal yang ditinggali hanya 6 hektar.

Sejak 2002, Asep, sarjana teknik elektro dari Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi, yang juga ketua kelompok tani di sana, mengajak warga menanami bukit di sekitar kampung yang ditumbuhi alang- alang dengan pohon tahunan.

Di kampung yang terdiri dari satu RW dan 5 RT itu, separuh warganya, kira-kira 70 keluarga yang terdiri dari 200-an orang, menurut Asep, memegang teguh ajaran nenek moyang mereka. Yang lain, juga warga pendatang, memakan beras atau mencampur beras dengan rasi.

Warna beras rasi kecoklatan, di mulut terasa kenyal, dan rasa singkongnya tak kentara. ”Mengukus rasi itu pagi-pagi dan bisa tahan sampai malam,” tutur Ny Cicih, istri Emen, sambil menawari rasi.

Warga menanam singkong racun karena patinya banyak. Asam sianida dihilangkan dengan merendam semalam pati parutan singkong, membuang airnya, kemudian menjemur hingga kering. Ampasnya dijemur, digiling menjadi tepung, lalu diolah jadi rasi.

Menurut Emen, warga tidak pernah kekurangan pangan sebab singkong dipanen bergan- tian. Tapioka dijual Rp 5.000 per kilogram dan menjadi penghasilan warga selain ternak kambing.

Tidak ada yang terbuang. Daunnya dijadikan sayur atau jadi pakan kambing. Kotoran kambing digunakan untuk memupuk singkong dan palawija.

Mulai tahun lalu, kelebihan tepung rasi mulai dijual seharga Rp 3.000 per kg. Beberapa bulan lalu, dengan binaan Pemerintah Kota Cimahi, tepung rasi diolah menjadi bermacam kue kering yang rasanya tak jauh beda dari kue berbahan tepung terigu.

Kampung ini oleh Badan Ketahanan Pangan (BPK) Kementerian Pertanian (Kemtan) dijadikan contoh komunitas mandiri pangan. ”Kami mendorong komunitas seperti ini yang mandiri pangan,” kata Kepala BPK Kemtan Achmad Suryana.

Sejak 2006, Kemtan sudah membina 1.926 desa dengan tujuan menurunkan jumlah orang miskin. Warga dibantu memanfaatkan sumber daya di sekelilingnya agar mandiri pangan.

Kemandirian pangan seperti yang ditunjukkan warga Cireundeu semakin relevan saat ini karena perubahan iklim memengaruhi produksi pangan, seperti padi yang jadi andalan konsumsi masyarakat. Lahan pertanian produktif juga terus menyusut, penduduk bertambah, dan pasar dalam negeri semakin terkait dengan pasar global sehingga mudah dipengaruhi gejolak harga pangan internasional.

Di tengah perhatian pemkot, pemprov, hingga pemerintah pusat, Asep mengharapkan kampungnya dapat menjadi pusat penelitian dan pelatihan pemanfaatan singkong.

Dia berharap, lahan bekas tempat pembuangan sampah Leuwigajah yang bertetangga dengan kampung itu ditanami berjenis singkong. Penelitian mulai dari budidaya hingga pemanfaatan untuk pangan, energi, dan industri.

”Yang penting ada pengakuan pada kearifan Cireundeu dalam kemandirian pangan. Jangan sampai nanti negara lain mengaku sebagai pemilik kearifan ini,” kata Asep. ”Jangan hanya seremonial lagi.”

Offline johan3000

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 11.552
  • Reputasi: 219
  • Gender: Male
  • Crispy Lotus Root
Re: BANGGA MAKAN SINGKONG: SEBUAH LOCAL WISDOM TTG KETAHANAN PANGAN
« Reply #1 on: 16 October 2010, 06:44:29 AM »
bangga koq makan singkong ya?....

bangga kalau tidak korupsi, nepotisme, rasis......

tapi kreatif gitu lho
(menghasilkan pangan yg murah, mutu baik dan terjangkau bagi seluruh rakyat)
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

Offline kullatiro

  • Sebelumnya: Daimond
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.155
  • Reputasi: 97
  • Gender: Male
  • Ehmm, Selamat mencapai Nibbana
Re: BANGGA MAKAN SINGKONG: SEBUAH LOCAL WISDOM TTG KETAHANAN PANGAN
« Reply #2 on: 16 October 2010, 09:41:54 PM »
ini kan supaya tidak impor beras makan rasi gitu, tetap saja lebih sulit soalnya rasi ini hasil olahan dari singkong membutuhkan air (kalau lagi kemarau gimana kan lagi sulit air) jatuh nya tidak murah juga daripada beras.

Offline wiithink

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.630
  • Reputasi: 32
  • Gender: Female
Re: BANGGA MAKAN SINGKONG: SEBUAH LOCAL WISDOM TTG KETAHANAN PANGAN
« Reply #3 on: 17 October 2010, 03:56:29 PM »
bangga donk, apa lagi malemnya bisa lomba tembak tembakan  ;D

 

anything