//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Razita

Pages: [1]
1

Tionghoa Indonesia : Sebagai bentuk perkuat hubungan persaudaraan dan persahabatan, maka dibentuklah komunitas bernama Alumni Sekolah Menengah Pertama (SMP) Santa Maria Juanda Jakarta. Belum lama ini mengadakan kumpul bersama.

Yang datang merupakan angkatan tahun 1977. Mengangkat tajuk “40th Mini Reunion SMP Santa Maria”. Acara yang di adakan di Restoran Li Yen, Jalan Batu Tulis, Jakarta Pusat ini berlangsung meriah.

Sebanyak 46 orang alumni SMP Angkatan 77 dan dua orang guru menghadiri acara tersebut. Melepas kerinduan saat menempuh pendidikan di SMP Santa Maria Juanda.

Beragam rangkaian acara dilakukan diantaranya misa syukur di Kapel Biara Ursulin Santa Maria. Dilanjutkan dengan mengunjungi Museum Santa Maria dan berakhir dengan acara makan siang dan games di Restoran Li Yen.

Menurut Rini, ketua panitia, acara bertujuan menjaga tali silahturahmi. “Selain itu, kami juga memanfaatkan media sosial untuk tetap dapat saling berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya,” ujarnya.

Rini menambahkan, harapan kedepan dengan adanya acara ini adalah bisa mengadakan acara reuni akbar. “Karena kami belum pernah mengadakan acara reuni akbar untuk angkatan 1977 ini. Baru kali ini kami bisa berkumpul dengan 46 orang alumni lainnya dan dua guru yang hadir. Kami akan mengadakan kegiatan sosial,” pungkasnya.

Info Tionghoa Indonesia Lainnya : Sumber



2

Tionghoa Indonesia Sebanyak 11 wanita Tionghoa di Semarang, Jawa Tengah, sepakat membentuk sebuah perkumpulan. Mereka sama-sama memiliki leluhur dari daerah yang sama. Dari Fuqing, Fujian, Tiongkok, dan kini menetap di Semarang.

Pembentukan komunitas ini awalnya, karena 11 wanita tersebut suka dengan kegiatan amal. Setelah itu, mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kota Semarang. Agar diberikan kesempatan menjadi organisasi sosial.

Setelah mendapatkan restu dari Pemerintah Kota Semarang, maka dibentuklah komunitas dengan nama Perkumpulan Sosial Wanita Semarang Indonesia (PSWSI). Tujuannya mewarisi budi pekerti wanita Tionghoa.

Lalu, mengembangkan semangat rukun dan bersahabat, memperhatikan kelompok rentan dan mendorong keharmonisan antar berbagai suku di Semarang. Tak ada gesekan antara yang satu dengan lain.

Dengan adanya PSWSI, maka wanita Tionghoa di Semarang bisa ikut mengembangkan kekuatan yang dimiliki Kaum Hawa. Menyediakan sebuah platform komunikasi kepada sesama etnis Tionghoa. Agar kehidupan menjadi semakin berwarna dan bermakna.

Untuk tanggal berdiri disesuaikan dengan hari peresmian komunitas yaitu 29 Juli 2017. Pada acara peresmian, dihadiri oleh Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu, Wakil Konsul Jenderal Tiongkok untuk Surabaya Peng Yimu, dan Ketua Federasi Asosiasi Futsing Dunia Alim Markus.

Berita Tionghoa Indonesia Lainnya : Sumber


3


Budaya Tionghoa : PADA penyelenggaraan tahun ini, Festival Perahu Naga di Cisadane, Tangerang, Banten berbeda dengan sebelumnya. Diikuti peserta dari seluruh Banten. Awalnya, festival ini merupakan perayaan etnis Tionghoa.

Tapi kini telah berubah menjadi ajang bagi semua kalangan, tanpa memandang etnis dan agama. Bahkan dijadikan sebagai salah satu penarik wisatawan lokal dan mancanegara. Pemerintah Kota Tangerang, jeli melihat ini sehingga didukung sepenuhnya.

Jika penyelenggaraan awal, hanya sebuah lomba perahu naga, tapi sekarang sudah dibarengi dengan pertunjukan seni lintas etnis.

Rina Hernaningsih, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tangerang, mengatakan, pembeda perayaan tahun ini dengan sebelumnya adalah panitia mengundang semua kota dan kabupaten di Banten.

Dipersilakan mempertunjukkan seni dan budaya masing-masing wilayah. Sehingga menarik untuk disaksikan oleh berbagai kalangan. Tak hanya budaya Tionghoa. “Lokasinya masih di Jalan Benteng Jaya. Untuk kegiatan utama lomba perahu hias,” tuturnya.

Penyelenggaraan Festival Cisadane, sambungnya, selain menarik wisatawan, dan memelihara budaya leluhur, juga menjaga lingkungan sungai, serta memberdayakan usaha kecil dan menengah. Penyelenggaraan ini berlangsung dari 22 Juli sampai 29 Juli 2017.

Untuk diketahui, lomba perahu naga asalnya dari Tiongkok, bertepatan dengan perayaan Peh Cun atau Festival Bakcang. Akan tetapi, di Tangerang diadakan sesuai dengan kalender wisata. Mengarungi sungai sejauh 500 meter.

Perayaan Peh Cun sebenarnya telah lewat sejak beberapa bulan yang lalu. Peh Cun berasal dari kata Pe Liong Cun yang artinya mendayung perahu naga. Berdasarkan tradisi, Tionghoa mengadakan perayaan ini untuk memperingati menteri Qu Yuan.

Ia merupakan pejabat yang bersih, tapi diusir karena fitnah. Lalu dia menjalani ritual agama, pergi menggunakan perahu dan menceburkan diri di sungai. Sejak saat itu, warga yang mendambakan sosoknya, mencari dengan menyusuri Sungai Bek Lo di Tiongkok.

Sejak saat itu, mulai menjadi kebiasaan warga di Tiongkok, lalu dibawa oleh mereka yang melakukan hijrah ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Hingga sekarang sosoknya masih dianggap sebagai pejabat panutan, dan perlu diikuti oleh semua orang terutama yang punya kedudukan.

Budaya Tionghoa Lainnya : Sumber


4

Tradisi Cina di Indonesia tentang Festival Kedatangan Cheng Ho, tujuan festival ini adalah untuk mengenang kedatangan Laksaman Cheng Ho dengan berbagai atraksi budaya dan seni.

Warga Semarang terlihat antusias dalam menyambut perayaan 112 tahun kedatangan Cheng Ho kali ini. Bukan hanya warga Tionghoa saja yang memeriahkan festival ini, tetapi etnis lain juga terlibat dalam memeriahkan kehadiran Sang Laksamana, pembawa peradaban dari Tiongkok.

Sama dengan perayaan tahun sebelumnya, yakni diadakan arak-arakan yang dimulai dari Klenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok, menuju Klenteng Sam Poo Kong di Simongan, Semarang. Aneka atraksi budaya yang terdiri dari seni suara dan seni tari berlangsung serentak di kedua kelenteng tersebut.

Peserta yang hadir dalam festival ini berasal dari berbagai daerah. Mereka semua mengikuti semua proses festival ini, mulai dari penyalaan lilin besar, hingga kirab atau berjalan sepanjang 1 kilometer. Membawa berabagai arak-arakan berupa kim sien atau patung dewa.

Diiringi berbagai kesenian khas warga Tionghoa, seperti barongsai, liong, pengawal kuda atau bhe kun, hingga tarian Topeng Ireng.

Menurut panitia kirab yang bernama Khong Santoso, ritual peringatan kedatangan Laksamana Cheng Ho sudah berajalan sejak puluhan tahun yang lalu. “Kami ingin ritual ini tetap lestari, karena sudah menjadi bagian dari agenda budaya Kota Semarang,” tuturnya.

Menurut cerita, Cheng Ho datang ke Semarang pada tanggal 30 bulan 6 tahun Imlek 112 tahun yang lalu. Atas dasar itu, warga merayakan kedatangan Cheng Ho dan berdasarkan penanggalan Imlek. Karena hal itulah yang membuat festival ini berbeda bulan setiap tahun.

Tidak hanya kirab saja yang dilakukan, ada juga ritual doa dan panggung hiburan. Guna memberikan acara yang menarik bagi wisatawan. Kirab ini berlangsung pada Sabtu 22 Juli 2017. Dimulai sejak pukul 05.00 WIB, dan itu rutin setiap tahun mulai di pagi hari.

Festival kedatangan Cheng Ho pada tahun ini berlangsung lebih sederhana dari penyelenggaraan sebelumnya. Akan tetapi, maknanya tetap sama, yaitu untuk mengenang kedatangan seorang laksamana dari negeri Tiongkok.

Demikian informasi tradisi Cina di Indonesia tentang Festival Kedatangan Cheng Ho.


Info tradisi Cina di Indonesia yang lainnya : Sumber

5

Sejarah Cina di Indonesia kali ini membahas tentang Klenteng Tjen Ling Kiong di Yogyakarta yang sekarang sudah berusia 136 tahun.

Klenteng ini merupakan klenteng tertua di Yogyakarta, karena itu warga Tionghoa merasa cukup bangga dengan keberadaan Klenteng Tjen Ling Kiong. Baru saja merayakan ulang tahun ke-136, terdapat makna yang dalam bagi etnis Tionghoa di Yogyakarta.

Menurut keterangan dari salah seorang pengurus klenteng yang bernama Gotama Fantoni, pembangunan tempat ibadah bagi Tridharma ini merupakan andil dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII. “Klenteng ini didirikan atas jasa Raja Yogyakarta yang menghibahkan tanah keraton,” menurut pengurusnya belum lama ini.

Awalnya, pada  tahun 1860-an kawasan utara Tugu Yogyakarta ditetapkan sebagai kawasan pecinan yang dulunya bernama De Chinese Bevolking. Kemudian Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, memberikan tanah seluas 6.244 meter persegi kepada orang Tionghoa.

“Dalam prasasti tertulis dalam aksara Mandarin, klenteng dibangun pada tanggal 24 bulan 6 tahun Imlek,” kata pengurus klenteng.

Pada tahun 1881, Klenteng kauw lang teng didirikan, tempat ini juga digunakan sebagai tempat mendidik warga Tionghoa. Kemudian pada tahun 1907 kelompok Tionghoa membangun sekolah modern pertama yang bernama Tiong Hoa Hak Tong atau THHT.

Tetapi pada tahun 1940 THHT kalah bersaing dengan Holland Chinesche School atau HCS. Lembaga pendidikan ini sengaja didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan tujuan untuk mematikan THHT. Tanah tempat THHT bediri kemudian dikembalikan full kepada pimpinan Klenteng Poncowinatan.

Pada zaman Jepang, sekolah Tionghoa dibuka kembali. Aset klenteng kembali dipinjamkan kepada Sekolah Rakyat Tionghoa Pertama Yogyakarta atau Ri Re Zhong Hua Di Yi Xiao Xie (Di Yi Xiao). Dikelola oleh Yayasan Pendidikan Chung Hwa Yogyakarta.

Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1970 pengelolaan sekolah dikuasai oleh Yayasan Budaya Wacana atau YBW. Sekarang kembali milik klenteng dan dijadikan pusat ibadah bagi Konghucu, Tao dan Buddha.

Arsitektur dari bangunan ini masih sama dengan saat pertama kali dibangun, yakni bangunannya masih berbentuk persegi panjang yang melebar ke samping serta bagian atap yang dihiasi oleh dua buah patung naga berhadapan.

Pintu masuk klenteng ini dihiasi dengan lukisan Dewa Pintu Men Shen. Selain itu, ada patung Qilin yang terbuat dari batu. Warna merah mendominasi bangunan ini, karena melambangkan kebahagiaan menurut tradisi Tionghoa.

Klenteng ini dibangun bertepatan dengan hari lahir Kwan Kong atau Dewa Tuan Rumah. Karena itu setiap ulang tahun klenteng, selalu dibarengi dengan sejit Kwan Kong.

Demikian Informasi Sejarah Cina di Indonesia mengenai Klenteng Tjen Ling Kiong Yogyakarta.

Info Sejarah Cina di Indonesia Hari Ini yang lain : Sumber

6

Komunitas masyarakat Tionghoa kali ini membahas tentang Xin Hwa, komunitas ini memiliki kegiatan utama asah vokal. Namun, aktif juga dalam melestarikan budaya dan beramal.

XIN Hwa atau Sin Hoa merupakan komunitas paduan suara Mandarin, komunitas ini mulai berdiri pada awal Reformasi. Pimpinan dari kelompok paduan suara ini adalah Tanto Nugroho atau yang biasa disebut dengan nama Cun Hai, Ia merupakan tokoh Tionghoa dari Lampung.

Komunitas masyarakat Tionghoa ini pertama kali pentas pada perayaan HUT ke-47 Kemerdekaan RI, lebih tepatnya pada tanggal 18 Agustus 2002. Perayaan tersebut berlokasi di Sesat Agung, Pendopo Gubernuran Lampung.

Pada awalnya, paduan suara Xin Hwa dibimbing, dibina dan dilatih oleh seorang musisi dari Taman Budaya Lampung yang bernama Sutarko. Tetapi Sutarko tidak lama dalam membina dan melatih paduan suara tersebut karena Ia terkendala bahasa, akhirnya Ia mengundurkan diri. Kemudian Ia digantikan oleh Romey, Ia merupakan istri dr. Popo Mandala, pada tanggal  17 November 2003.

Kelompok Xin Hwa di bawah konduktor dari Ibu Romey ini, menjadi satu-satunya kelompok paduan suara Mandarin klasik yang bisa mengumandangkan lagu legendaris Hwang He Ta He Chang. Mengisahkan tentang sejarah perjuangan rakyat Tiongkok di Sungai Kuning melawan penjajahan Jepang.

Kelompok ini berhasil menyanyikan lagu Hwang He Ta He Chang 7 lagu nonstop tanpa jeda. Selain itu Istimewannya, semua penyanyi merupakan orang Indonesia. Kelompok lain biasanya dibantu oleh penyanyi yang didatangkan khusus dari Chung Kok (Tiongkok).

Tanto Nugroho mengatakan, tujuan dibentuknya dari kelompok paduan suara Xin Hwa ini untuk silaturahmi, melestarikan budaya Tionghoa dan juga lagu Mandarin.

Grup paduan suara yang rutin latihan pada hari Senin - Kamis di Gedung Dharma Bakti ini bisa menyanyi dalam bahasa Mandarin, Indonesia, dan Inggris.

Selain itu, Xin Hwa merupakan perkumpulan etnis Tionghoa yang peduli terhadap sesama, bentuk kepeduliannya diwujudkan dalam konser amal untuk membantu sesama. Anggota tetap komunitas ini mencapai 40 orang.

Demikian informasi tentang komunitas masyarakat Tionghoa kali ini yang membahas tentang Xin Hwa, Komunitas Asah Vokal.

Info komunitas masyarakat Tionghoa yang lain : Sumber

7

Tradisi Cina di Indoensia kali ini akan membahas tentang upacara pattidata, pattidata merupakan salah satu upacara dan doa bersama yang sering dilakukan oleh umat Buddha.

Upacara ini diadakan sebagai bentuk pelimpahan jasa kepada keluarga yang sudah meninggal dunia. Biasanya menggunakan sarana pohon kebajikan. Umat yang ingin berdana berupa uang, meletakkan di pohon tersebut. Tetapi bisa juga memberikan nasi.

Pemberian uang dan nasi tersebut merupakan simbolis. Nantinya dana dari para umat ini akan didoakan oleh biksu, sebagai bentuk pelimpahan jasa.

Menurut salah satu pengurus di Vihara Girinaga Makassar, “Upacara ini dilakukan oleh sanak keluarga yang masih hidup. Dimana dengan niat mereka yang tulus mempersembahkan dana. Semoga dengan jasa kebajikan yang dilakukan diterima oleh sanak keluarga yang telah meninggal. Semoga mereka berbahagia,”.

Upacara pattidana atau sering disebut juga sebagai upacara pelimpahan jasa ini merupakan bentuk penghormatan kepada yang sudah meninggal dunia.

Perayaan pattidana bermula pada masa Sang Buddha. Latar belakang dari upacara ini berasal dari dua kisah dimulainya pelimpahan jasa. Kisah pertama yaitu, seorang murid Buddha yang paling sakti  bernama Bhante Moggalana atau dikenal juga dengan nama Mu Lien Ciu Mu.

Ketika Moggalana sedang meditasi, mata batinnya menembus alam gaib, melihat surga dan neraka. Tak disangka, kemudian ia melihat ibunya yang sudah meninggal tetapi keadaannya kurus dan kering.

Maka Moggalana berusaha memberikan petolongan, akan tetap ia gagal. Setelah meditasi, Moggalana langsung menghadap Sang Buddha dan langsung menceritakan semua kejadian tersebut. Ia akhirnya disarankan untuk membuat pelimpahan jasa, dengan memberikan materi kepada biksu.

Melalui biksu itu, akan disampaikan kepada ibunya. Setelah mengikuti saran Buddha, ia kembali meditasi dan benar, ibunya sudah tidak kurus lagi. Akhirnya sejak saat itu, mulai dikenal pattidana.

Kisah kedua, dalam kitab Tri Pitaka, Raja Bimbisara mengundang Buddha dan biksu untuk berkunjung ke kerajaan.

Sang Raja memberikan persembahan berupa jubah dan uang kepada tamu mulia itu. Setelah itu, Bimbisara merasakan kebahagian lahir dan batin. Akan tetapi, pada malam hari, ia mendengarkan jeritan menyakitkan, dan itu mengganggu tidur raja.

Karena kejadian tersebut pada keesokan harinya, Bimbisara datang ke Buddha dan menceritakan pengalamannya itu. Sang Buddha mengatakan, bahwa teriakan kesakitan tersebut merupakan anggota keluarga yang sudah meninggal dunia.

Semasa hidup, keluarga tersebut pernah berbuat keburukan. Setelah kematian, terlahir di alam menderita atau alam setan kelaparan. Oleh karena itu, kemudian raja disarankan untuk mengundang biksu dan melakukan persembahan berupa uang, makanan dan jubah.

Raja menuruti saran tersebut dan saat itu tak terdengar lagi teriakan kesakitan. Pattidana yang dilakukan  Bimbisara itu kemudian terus dilestarikan oleh umat Buddha hingga sekarang ini.

Demikian informasi mengenai Upacara Pattidana yang merupakan Tradisi Cina di Indonesia.

Info Tradisi Cina di Indonesia yang lain : Sumber

8

Komunitas Tionghoa di Jakarta kali ini membahas tentang Indosurya Foundation. Komunitas ini berfungsi untuk meringankan beban manusia.

Indosurya Foundation adalah komunitas non-profit yang berbasis pada kegiatan kemanusiaan. Mengutamakan konsep kesehatan dan pendidikan. Diawali oleh keinginan untuk berbagi.

Pada tahun 2015 dibentuklah organisasi ini. Menurut Julie, anggota Indosurya Foundation, visi yang diemban menjadi penyalur berkat yang peduli terhadap pendidikan, kesehatan serta sosial.

Didasarkan pada kasih persaudaraan yang tulus dan tanpa pamrih. Sedangkan misi dari komunitas ini yaitu menjalankan semuanya dengan hati yang tulus dan penuh dengan kasih.  Indosurya Foundation, memberikan perhatian secara khusus kepada mereka yang lebih membutuhkan dan kurang beruntung.

“khususnya anak-anak yatim piatu, terlantar dan yang memiliki kebutuhan khusus baik fisik ataupun mental. Memberikan program beasiswa, membantu menciptakan kualitas sumber daya manusia secara langsung maupun tidak langsung,” ujar Julie.

Komunitas yang berada di Gedung Graha Surya Jakarta ini memiliki beberapa program yang rutin diadakan setiap tahunnya. Indosurya Foundation tergerak untuk melakukan perubahan besar dalam bidang sosial, kesehatan dan dunia pendidikan sesuai dengan visi dan misi.

Julie juga mengatakan, bahwa para anggota Indosurya Foundation berlatar belakang profesi yang berbeda. Ada yang berprofesi sebagai dokter, pengacara, pengusaha dan ada juga yang guru.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komunitas ini cukup beragam yang di antaranya mengunjungi dan memberikan sumbangan ke panti asuhan, panti jompo, event kegiatan sosial dan memberikan pengobatan gratis kepada anak-anak berkebutuhan khusus.

Melayani sesama bukan hanya sebatas pencapaian, tetapi juga merupakan perjalanan kasih tanpa akhir. Maka diperlukan proses yang berkesinambungan untuk dapat mewujudkannya.

Hal tersebut memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Kebersamaan tercipta atas orang-orang dengan dasar yang sama. Memiliki panggilan yang sama, dan bergerak bersama-sama, tidak mengatasnamakan pribadi atau golongan, akan tetapi lebih kepada suatu komunitas dasar.

Demikian informasi tentang Komunitas Tionghoa di Jakarta yang kali ini membahas, Indosurya Foundation.

Info Komunitas Tionghoa di Jakarta hari ini yang lainnya : Sumber

9

Sejumlah muda mudi Tionghoa Indonesia berbagi dengan masyarakat kurang mampu di panti asuhan. Tujuannya untuk bangkitkan rasa empati semua kalangan.

Sejumlah anak muda Tionghoa yang tergabung dengan Muda Mudi Bhakti Putera atau MMBP mengadakan bakti sosial. MMBP Berbagi dengan kalangan kurang mampu di Panti Asuhan Al Furqon di daerah Bantul Yogyakarta.

Kus Sentono selaku Ketua Umum dari MMBP, mengatakan bakti sosial yang dilakukan ini bertujuan untuk mengajak semua kalangan, khususnya generasi muda, agar memiliki rasa prihatin terhadap warga yang kurang mampu.

“Bakti sosial ini kami lakukan dengan tujuan bisa berkumpul bersama. Lalu mengembangkan empati anggota MMBP,” tutur Kus Sentoso belum lama ini.

Selain itu, sambungnya, kegiatan sosial ini dilakukan agar orang mengetahui keberadaan MMBP dan Paguyuban Warga Tionghoa Bhakti Putera. Sebagai organisasi yang secara berkesinambungan berbagi kebaikan di tengah masyarakat yang membutuhkan.

“Kami rutin menggelar bakti sosial setiap 3 bulan sekali sejak November 2016.  Pada bakti sosial kali ini, kami berikan beras, snack, minyak goreng, gula, deterjen, sabun dan kebutuhan lainnya,” jelas Kus Sentoso.

Semua pengurus MMBP turut ikut dalam kegiatan bakti sosial, seperti Wakil Ketua Herman S, Sekretaris Ratna S,  dan 12 orang anggota. Ada juga pengurus inti dari Paguyuban Warga Tionghoa Bhakti Putera. Dari pihak panti asuhan, diikuti Ketua Yayasan Al Furqon Zafry Fausan, dan pengurus panti asuhan.

Demikian Info mengenai muda mudi Tionghoa Indonesia yang berbagi untuk membangkitkan empati.

Info Tionghoa Indonesia yang lainnya : Sumber

Pages: [1]