8. Apakah yang delapan itu? Jalan Mulia Berunsur Delapan
Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan jalan praktek utama dalam ajaran Buddha untuk mencapai akhir dukkha. Seperti yang telah dibahas pada bagian 4 bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan terdiri atas 8 faktor/unsur yang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok pelatihan. Sekarang kita akan membahas satu per satu kedelapan faktor tsb.
I. Pandangan Benar (Samma ditthi)
Ketika memperoleh keyakinan pada Sang Buddha sebagai guru junjungan tertinggi menuju pembebasan, seorang praktisi Buddhis harus pertama-tama memahami konsep dan pengetahuan yang benar dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan, kesedihan, usia tua, penyakit, kematian, munculnya keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Inilah pandangan benar muncul pada tahap awal menapaki sang jalan.
Pandangan benar merupakan cara pandang terhadap segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu mengetahui hakekat sesungguhnya dari semua fenomena fisik dan mental dalam kehidupan kita. Dengan pandangan benar, seseorang memahami 3 jenis realitas kehidupan yang sejati, yaitu:
1. Terdapat hukum sebab akibat moral (hukum karma) yg berlaku di dunia ini: perbuatan baik berakibat pada kebaikan dan kebahagiaan serta perbuatan buruk berakibat pada keburukan dan ketidakbahagiaan.
2. Tiga karakteristik kehidupan (tilakkhana): semua yg muncul dari perpaduan unsur-unsur dan sebab akibat yang saling bergantungan adalah tidak kekal (anicca) dan oleh sebab itu, tidak menyenangkan atau tidak memuaskan (dukkha); segala sesuatu adalah bukan aku (anatta), diriku, dan milikku.
3. Empat Kebenaran Mulia: kebenaran tentang dukkha, sebab dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya dukkha (lihat bagian 4)
II. Pikiran Benar (Samma samkappa)
Pandangan benar mengubah motif dan tujuan seorang praktisi, yang membelokkannya dari pikiran yang penuh nafsu, permusuhan/kebencian, dan kekerasan/kekejaman menjadi pelepasan nafsu, kelembutan/kehendak baik, dan belas kasih. Inilah kehendak/pikiran benar (samma samkappa). Di sini seseorang berusaha melepaskan keinginan duniawi untuk mendedikasikan diri pada kemajuan spiritual serta mengembangkan cinta kasih dan belas kasih terhadap semua makhluk.
III. Ucapan Benar (Samma vaca), IV. Perbuatan Benar (Samma kammanta), dan V. Mata Pencaharian Benar (Samma ajiva)
Dituntun oleh pikiran benar, seorang praktisi menjalankan ketiga faktor etis dari sang jalan yang dimasukkan dalam kelompok moralitas (sila), yaitu ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar.
Ucapan benar adalah ucapan yg bebas dari dusta, fitnah, kata-kata kasar dan menyakitkan, kata-kata kosong dan tidak bermanfaat.
Perbuatan benar adalah perbuatan jasmani yang bebas dari pembunuhan, pencurian, dan perbuatan seksual yang salah. Bagi mereka yang hidup berumah tangga, perbuatan seksual yang salah meliputi perbuatan seksual yang dilakukan bukan dengan pasangan resmi, hubungan seksual dengan orang-orang yang dilarang secara hukum dan adat, hubungan sesama jenis, dan hubungan seksual dengan makhluk bukan manusia.
Mata pencaharian benar adalah penghidupan yang bebas dari cara yang salah, yaitu yang melibatkan pembunuhan, pencurian, dan ucapan yang salah. Bagi umat awam, dalam hal perdagangan terdapat 5 jenis mata pencaharian yang tidak seharusnya dijalankan: berdagang senjata, manusia (perdagangan wanita, anak di bawah umur, dan prostitusi), hewan untuk dibunuh, minuman keras (termasuk obat-obatan terlarang), dan racun. Bagi mereka yang meninggalkan kehidupan berumah tangga, mata pencaharian yang salah adalah semua cara mendapatkan empat kebutuhan pokok (tempat tinggal, pakaian, makanan, obat-obatan) yang tidak sesuai dengan aturan kehidupan monastik (Vinaya).
Moralitas merupakan landasan utama dalam menapaki jalan menuju kebahagiaan sejati. Dengan moralitas saja, seseorg dapat terlahir di alam bahagia (surga) setelah kematiannya. Moralitas mengatur perbuatan jasmani dan ucapan dari hal-hal yang tidak bermanfaat (akusala), yang diperlukan untuk pengembangan batin yang lebih tinggi. Dengan demikian, adalah sangat penting untuk menjaga moralitas bahkan bagi mereka yang tidak bermaksud untuk mencari kedamaian spiritual.
VI. Upaya Benar (Samma vayama)
Berdiri di atas landasan moralitas, seorang praktisi melatih pikirannya untuk mencegah munculnya hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat yang belum muncul, meninggalkan dan melenyapkan hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat yang telah muncul, memunculkan hal-hal yang baik dan bermanfaat yang belum muncul, serta mempertahankan hal-hal yang baik dan bermanfaat yang telah muncul. Inilah awal pelatihan konsentrasi (samadhi) yang disebut upaya benar.
VII. Perhatian Benar (Samma sati)
Kemudian sang praktisi berlatih agar selalu sadar dan perhatian pada semua fenomena yang terjadi pada jasmani dan pikirannya. Ini dilakukan dengan mengembangkan empat landasan perhatian (satipatthana), yaitu perhatian terhadap jasmani, perasaan, pikiran, dan fenomena. Dalam praktek ini seseorang merenungkan keempat faktor ini sebagai tidak kekal, tidak menyenangkan, dan tidak memuaskan.
Dari keempat landasan perhatian ini, perhatian terhadap jasmani adalah yang umum dilakukan para meditator. Ada beberapa metode perhatian terhadap tubuh ini, tetapi yang populer saat ini adalah perhatian terhadap pernapasan (anapanasati) atau meditasi pernapasan. Melalui meditasi ini juga semua 4 landasan perhatian dapat dikembangkan seperti yang dibahas pada bagian 7 sebelumnya.
VIII. Konsentrasi Benar (Samma samadhi)
Dengan mengembangkan perhatian benar, maka tercapai pemusatan pikiran yang penuh terhadap objek yang diperhatikan. Inilah konsentrasi benar. Pada tahap ini, dengan meninggalkan/melepaskan nafsu indera, keinginan jahat/kebencian, kemalasan, kegelisahan, dan keraguan, seorang meditator memasuki tingkat pemusatan pikiran (jhana) pertama di mana faktor-faktor mental yang menyertainya adalah pikiran yang mengarah pada objek (vitakka), pikiran yang mengevaluasi objek (vicara), kegiuran/kenikmatan (piti), kegembiraan (sukha), dan keterpusatan pikiran (ekaggata).
Setelah meninggalkan pikiran yang mengarah pada objek dan pikiran yang mengevalusi objek, ia memasuki jhana kedua di mana hanya terdapat kegiuran, kegembiraan, dan keterpusatan pikiran. Meninggalkan kegiuran, ia memasuki jhana ketiga yang dibentuk oleh faktor mental yang tersisa, yaitu kegembiraan dan keterpusatan pikiran. Ketika kegembiraan ditinggalkan dan digantikan dengan keseimbangan batin (upekkha), maka hanya terdpt keseimbangan batin dan keterpusatan pikiran, yang membawa sang meditator memasuki jhana keempat.
Pencapaian jhana melalui praktek konsentrasi hanya melemahkan kekotoran batin sesaat saja. Ketika seseorg tidak berada dalam kondisi jhana, kekotoran batin dapat timbul kembali. Oleh sebab itu, diperlukan pandangan terang (vipassana) untuk menghancurkan kekotoran batin sepenuhnya dan mencapai Penerangan Sempurna.
Sekarang sang praktisi harus menggunakan pikiran yang terkonsentrasi untuk menjelajahi sifat pengalaman/fenomena fisik dan mental. Ia merenungkan/menganalisa bahwa apa yang disebut makhluk itu tak lain hanyalah perpaduan jasmani dan batin yang selalu berubah. Dengan demikian, ia memahami bahwa tidak ada aku, diri, atau jiwa selain dari perpaduan jasmani dan batin ini. Tidak ada sesuatu di dunia ini yg tidak dikondisikan oleh sebab yang berasal dari ketidaktahuan (avijja), keinginan (tanha), kemelekatan (upadana), perbuatan (kamma/karma), dan makanan.
Kemudian ia memahami sebagaimana adanya bahwa semua yang berkondisi adalah tidak kekal (anicca) dan tidak memuaskan (dukkha) serta semua fenomena adalah bukan aku, diriku, atau milikku (anatta). Inilah pandangan benar pada tataran yang lebih tinggi yang disebut pandangan terang.
Ketika praktik sang jalan matang sepenuhnya, seluruh 8 faktor menyatu dan menggabungkan kekuatan, memulai penembusan Dhamma yang dengannya sang praktisi secara langsung melihat Empat Kebenaran Mulia dan mencapai tingkat kesucian batin yang pertama dengan melenyapkan pandangan salah tentang aku/diri, keragu-raguan terhadap Sang Guru (Buddha), ajarannya (Dhamma) dan perkumpulan para siswa mulia yang telah mengikuti ajaran-Nya dan mencapai pencerahan batin yang sama (Sangha), serta pandangan salah bahwa dengan ritual atau upacara dapat membawa pada kebahagiaan. Pada tahap ini ia memasuki arus kesucian menuju kebahagiaan sejati dan disebut Sotapanna (pemasuk arus). Dalam tujuh kehidupan berikutnya, ia tidak akan jatuh dari jalan menuju Nibbana dan pasti akan mencapai tujuan akhir tersebut.
Selanjutnya dengan melemahkan nafsu indera dan keinginan jahat, ia menjadi seorang Sakadagami (ia yang kembali sekali), di mana ia hanya akan terlahir kembali di alam manusia sekali lagi untuk kemudian mencapai Nibbana. Melenyapkan sepenuhnya nafsu indera dan keinginan jahat, ia menjadi seorang Anagami (ia yang tak akan kembali), di mana ia tidak akan terlahir kembali di alam manusia maupun surga, melainkan alam kediaman murni (suddhavasa) utk mencapai Nibbana di sana.
Akhirnya, dengan melenyapkan kemelekatan pada alam bentuk, kemelekatan pada alam tak berbentuk, kesombongan, kemalasan, dan ketidaktahuan, ia mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahant, yang setara dengan seorang Buddha di mana sebab kelahiran kembali telah diputuskan dan Nibbana telah tercapai dalam kehidupan ini juga. Seorang Arahant memiliki 8 kualitas dari sang jalan, lengkap dengan pengetahuan dan kebebasan sejati (akan dibahas pada bagian 10), tetapi bagi seorg Arahant tidak ada lagi yang harus dikembangkan karena tujuan pengembangan sang jalan telah tercapai.
Demikianlah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini dapat membawa seseorg pada tujuan akhir, kebahagiaan spiritual tertinggi, bahkan dalam kehidupan ini juga.
"Di antara semua jalan, Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah yang terbaik. Di antara semua kebenaran, Empat Kebenaran Mulia adalah yang terbaik. Di antara semua keadaan, keadaan tanpa nafsu (Nibbana) adalah yang terbaik. Di antara semua makhluk, orang yang telah melihat adalah yang terbaik.
Inilah satu-satunya jalan, tiada jalan lain yang dapat membawa pada kemurnian pandangan. Ikutilah jalan ini, yang dapat mengalahkan mara (godaan).
Dengan mengikuti jalan ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Dan jalan ini pula yang Ku-tunjukkan setelah Aku mengetahui bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran batin)." (Dhammapada syair 273-275)