Betul, memang ada kontradiksi. Bahkan sesama Buddhis pun, masih ada lain pendapat, bukan?
Bagi saya, asal moralitas bukanlah dari sebuah larangan dan anjuran yang diatur oleh ajaran agama, melainkan berasal dari sebuah kesadaran. Saya pernah diskusi dengan seorang Atheis yang mengatakan bahwa jika seseorang melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan hanya karena disuruh oleh agamanya, orang itu tidaklah menjalankan moralitas sesungguhnya, namun hanya anak-anak yang ditakut-takuti dengan neraka, dan diiming-imingi sorga. Saya langsung setuju dengannya.
Semua kesadaran ini, secara umum, pasti bersesuaian satu dengan lainnya. Intinya adalah tidak merugikan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Benar. Moralitas yang sering ditawarkan oleh banyak aliran dan agama lain adalah moralitas dalam konsep. Oleh karenanya banyak konsep moralitas antaragama yang berseberangan maupun bertentangan. Dalam Ajaran Sang Buddha, moralitas ditekankan pada awal pemahaman benar dan pandangan benar terlebih dahulu. Makanya moralitas dalam Buddhadhamma bukanlah suatu konsep yang ditulis dengan harga mati di Tipitaka. Moralitas yang dianjurkan untuk perumah-tangga adalah Pancasila. Dan bila seorang perumah-tangga memiliki kesadaran moral yang baik di dalam Dhamma, dia bisa menjalankan moralitas itu tanpa dipaksa-paksa maupun dianjurkan oleh orang lain. Moralitas adalah tindakan susila yang membedakan antara seorang yang benar-benar hidup atau seorang yang hanya pernah ada.
Kalimat yang cetak tebal itu sudah saya setujui sejak saya pertama kali membaca Pancasila Buddhis.
Ini saya setuju. Menghafalkan & mengerti secara teoritis dan realisasinya adalah hal yang sama sekali berbeda. Ini yang sepertinya tidak akan diakui oleh sebagian besar umat Buddha kalau sebenarnya kita masih "belum tahu apa2". Saya beri contoh yang sangat sederhana. Kita tahu bahwa semua keinginan indriah tidak mengantarkan kita pada pembebasan. Semua juga tahu teorinya. Lalu, mengapa masih sibuk mencari pasangan?
Namun, apakah berarti mengejar kenikmatan indriah secara benar tidak sesuai dengan Buddhisme? Tidak juga. Hanya saja itu sebenarnya membuktikan bahwa kita sendiri belum merealisasikan apa itu "pandangan benar/kebenaran mutlak" tersebut, maka kita masih berputar-putar dalam nafsu yang fana.
Tentu saja. Sebenarnya JMB8 yang diajarkan Sang Buddha adalah Jalan Tengah untuk mencapai Pembebasan. Dalam konteksnya, Jalan ini sebenarnya panduan sistematis untuk orang-orang yang ingin menjalankan kehidupan suci. Namun aplikasinya dapat pula dijalankan oleh para perumah-tangga yang masih ingin menikmati kepuasan indria. Bagi perumah-tangga, JMB8 ini juga menjadi panduan dasar untuk menjalani kehidupan sebagai umat awam, di samping juga melatih diri dalam praktik "Jalan Tengah yang sebenarnya".
Saya telah melakukan keempat Satipatthana sebelum saya mengenal Buddhisme sama sekali. Dengan begitu saya tidak akan mengklaim menjalankan dhamma harus mengenal Buddhisme terlebih dahulu. Dan saya pun sangat-sangat ragu kalau saya hanya satu-satunya yang demikian. Seperti saya bilang, "benar" atau tidaknya jalan seseorang, bukan dari agamanya, tetapi dari kecenderungan pola pikir dan perilakunya. Menurut saya, hal itulah yang dimaksud "sedikit/banyak debu di matanya".
Jika kita yakin bahwa Buddhisme (baca : Buddhadhamma) adalah Ajaran yang mampu mengantar pada Pembebasan Sejati, maka saya bisa menyatakan bahwa Buddhisme adalah peta. Orang yang membaca peta ini (mengenal Buddhisme), adalah lebih beruntung. Orang yang tidak pernah membaca peta ini bukan berarti tidak bisa mencapai Pembebasan. Dia hanyalah orang yang kurang beruntung karena belum mendapatkan peta ini. Hanya itu saja.
Membaca sekilas kisah Anda, saya berani mendiagnosa bahwa Anda adalah seorang pemikir bebas. Oleh karena itu, saya tentu saja tidak meragukan orang-orang seperti ini bisa mencapai Pembebasan Sejati dengan atau tanpa mengenal Buddhadhamma sekalipun.
Ini juga saya setuju. Seperti saya katakan, (dari sudut pandang Buddhis,) semua yang melakukan kebenaran, pasti perilakunya bersesuaian dengan JMB 8, walaupun dia sendiri tidak tahu format ajaran JMB 8 atau Buddhisme. Dan kalaupun dia bertemu dengan ajaran itu, pasti akan menyetujuinya.
Betul.
Membandingkan seseorang dengan objektif memang tidak bertentangan dengan Buddha-dhamma. Jika orang bodoh, ketahuilah dia sebagai bodoh; jika orang bijaksana, ketahuilah dia sebagai bijaksana. Sikap ini juga membantu kita agar jangan bergaul dengan orang bodoh dan sebaliknya, mendekati orang bijaksana. Tetapi kalau mendiskriminasikan seseorang karena kepercayaannya (karena Buddhis, baru bisa mencapai nibbana) saya rasa kurang tepat.
Saya tidak mendiskriminasi seseorang dengan status agamanya; apakah bisa atau tidak mencapai Nibbana. Bahkan menurut saya, saya tidak pernah mengeluarkan pernyataan bernada seperti itu.
Kembali lagi, jika kita memakai kacamata Buddhisme, jika kita yakin bahwa Pembebasan Sejati hanya bisa direalisasi dengan JMB8, maka kita harus mengacu pada Jalan ini. Saya akan menyatakan hal ini dengan tegas, bahwa agama lain di luar Buddhisme tidak mengajarkan "jalan tengah" sebagaimana Jalan Mulia Beruas 8 versi Sang Buddha. Oleh karena itu bagaimana mungkin orang yang masih mempraktikkan ajaran agama lain bisa merealisasi Pembebasan. Ini logikanya. Dan sekali lagi, ini pernyataan yang saya keluarkan dari kacamata Buddhis.
Bisa saja seorang dari agama lain merealisasi Pembebasan. Asalkan dia tidak terdogma oleh agamanya untuk: memercayai surga-neraka saja, meyakini bahwa tujuan hidupnya hanyalah berbuat baik untuk kelak menghuni kediaman indah nun jauh di sana, menganggap filsafat-teoritis adalah sesat karena mempertanyakan Tuhan, menggenggam pandangan bahwa kehidupan suci adalah berbuat baik di dalam agamanya, ataupun mempelajari Ilmu Psikologi dan mengobservasi batinnya secara tendensius (namun terkungkung oleh teoritis semata).
Karena... Orang yang masih menggenggam pandangan-pandangan seperti itu jelas sudah berjalan ke arah 180° dari "tujuan". Kecuali orang-orang itu mampu melepaskan pandangannya dan mulai menapaki JMB8; meski dia tahu atau tidak tentang sistematikanya. Nah kalau sudah begini, orang itu jelas sudah tidak bisa disebut sebagai "umat" dari agamanya. Saya lebih suka menyebut kelompok orang seperti itu sebagai "pemikir bebas".
Saya tidak akan menyangkal kalau saya berpendapat "Buddhis memang cenderung lebih terbuka dan tidak dogmatis". Tetapi dari pengalaman saya, minoritas di agama lain juga rata-rata begitu. Karena biasanya mereka tidak terlalu mendapatkan tempat di komunitasnya (dikucilkan sebagai setengah sesat), maka kita jarang bertemu dengan mereka. Saya beruntung telah bertemu banyak dari mereka. Karena itu, walaupun hanya 1 di antara 1 juta, saya tetap menghitung itu "ada". Demikian juga mengapa saya katakan bahwa umat lain bisa mencapai kesucian.
Ya, seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Jika mereka sampai disebut "setengah sesat", artinya mereka butuh "setengah" lagi untuk benar-benar "sesat" dari agamanya. Setelah itu, mereka bisa berjalan sebagai "pemikir bebas". Dan saya tidak meragukan orang itu kalau dia bisa merealisasi Pembebasan.
Maaf kepada semuanya jika ada kata-kata yang kurang sopan.