Pertama, kita harus menegaskan: "Jika U mau berdebat, U harus konsisten". Contoh:
~ soal Hukum Kamma yg menurut mereka adalah Fatalisme (no. 2).
Mereka tau hukum kamma adalah: apa yg kita perbuat akan kita terima hasilnya. Namun pengertiannya dibelokkan (entah sengaja atau benar2 bodoh) menjadi: kita hanya menerima kamma lampau sedangkan kamma hari ini dan kamma barusan seakan2 tidak berpengaruh. Padahal jika mereka konsisten: kamma yg 'barusan' kita buat juga berperan, sehingga setiap detik perbuatan kita menjadi penting. Karena perbuatan 'saat ini' berpengaruh, sehingga efek kamma bisa diubah, artinya: hukum kamma bukanlah fatalisme karena senantiasa berubah dipengaruhi perbuatan kita saat ini.
~ Harus ada sebabnya (no. 7)
Disini jelas sekali inkonsistensi mereka. Jika mereka konsisten bahawa harus ada sebabnya, maka teori Tuhan Pencipta yg mereka percayai juga otomatis runtuh.
Sebab lainnya, terdapat sedikit perbedaan pola pikir antara Buddhisme dan Agama Samawi.
Agama Samawi lebih menekankan pada faktor diluar diri, lihat saja keseluruhan pertanyaan mereka:
- Hukum Kamma HO HOPE = hope adalah harapan, artinya bergantung pada pihak lain.
- Hidup ini harus penuh makna = artinya karya2 yg dihasilkan, sosialiasi luaran,tolak ukurnya faktor2 diluar.
- Cintakasih ditujukan Pada apa? = sasaran / melihat objek suatu perbuatan... harus ada objeknya
- Yesus Penyelamat = lagi2 berharap pada figur diluaran
- Siapa / apa yg menciptakan?
Sedangkan pada Buddhisme, tolak ukurnya adalah 'diri sendiri', atau 'respon2 batin kita'.
Dan pertanyaan2 mereka tsb mencampurkan antara 2 perspektif yg berbeda ini, sehingga menjadi sulit didebatkan.
Contoh:
Buddha hanya menunjukkan Jalan, sedangkan Yesus Menyelamatkan (no. 8 )
~ Ini jelas 'campur aduk', memakai patokan suatu Ajaran untuk menanyakan Ajaran lain. Ya jelas nggak klop. Ajaran Buddha memang 'diri sendiri' sehingga memang pantas Buddha hanya menunjukkan sehingga diri sendiri juga yg harus menjalani, sedangkan Ajaran K adalah Keselamatan sehingga pantas juga jika butuh figur Yesus.
Penderitaan (tidak harus dipadamkan) (no. 4)
~ Ini juga contoh pertanyaan 'campur aduk'. Jika mereka mau konsisten, Ajaran Buddha memang mengajarkan dukkha, sehingga sebab2 dukkha harus dikikis. Sedangkan Agama K mengajarkan 'ada sosok penebus' yg menebus dengan darah dosa2 yg kita perbuat, dan menjamin keselamatan jika percaya pada 'Nya'. Jika memang percaya sudah ada yg akan menyelamatkan, tentu saja tidak perlu memusingkan penderitaan dan penyebabnya. Pertanyaan ini tidak dalam koridor yg sama.
Kesimpulannya, untuk berdebat dengan mereka kita harus terlebih dahulu mengajak duduk bersama, dan kemudian menetapkan syarat2 yg harus dipatuhi oleh ke 2 belah pihak, yakni:
1. Harus KONSISTEN
2. Hanya membahas suatu Ajaran dari PERSPEKTIF AJARAN ITU SENDIRI
3. Referensi yg digunakan harus disepakati, biasanya TIPITAKA untuk membahas BUDDHISME dan ALKITAB untuk membahas Ajaran K.
Jika mereka tidak mau menyepakati syarat2 itu, mendingan tidak usah didebatkan karena pasti akan sulit dan menjadi debat kusir yg tidak bermanfaat.
::