Not Sure - The Standard Of The Noble Ones
Pada suatu ketika ada seorang bhikkhu Barat, seorang murid saya. Setiap kali ia melihat para bhikkhu dan samanera Thai lepas jubah ia akan berkata, "Oh, betapa memalukan! Mengapa mereka melakukan itu? Mengapa begitu banyak bhikkhu dan samanera Thai lepas jubah?" Ia terkejut. Ia bersedih atas lepas jubahnya para bhikkhu dan samanera Thai, karena ia baru saja mengenal agama Buddha. Ia tergugah, ia merasa mantap. Menjadi bhikkhu merupakan satu-satunya hal yang harus dilakukan, ia berpikir ia tak akan pernah lepas jubah. Siapa pun yang lepas jubah adalah orang bodoh. Ia akan melihat masyarakat Thai mengenakan jubah sebagai bhikkhu dan samanera pada awal Masa Vassa dan lepas jubah pada akhir masa itu… "Oh, betapa menyedihkan! Saya merasa amat prihatin kepada para bhikkhu dan samanera Thai itu. Bagaimana bisa mereka melakukan hal itu?"
Nah, dengan berjalannya sang waktu beberapa di antara bhikkhu Barat mulai lepas jubah, akhirnya ia melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak begitu penting. Pada awalnya, ketika ia mulai berlatih, ia gelisah karenanya. Ia pikir menjadi seorang bhikkhu merupakan sesuatu yang sangat penting. Ia pikir akan mudah menjalaninya.
Ketika orang tergugah, semua tampak begitu tepat dan baik. Tidak ada yang bisa mengukur perasaan mereka, jadi mereka terus melangkah dan memutuskannya untuk diri mereka sendiri. Tetapi mereka sebenarnya tidak mengerti bagaimana sesungguhnya praktek itu. Mereka yang mengerti akan mempunyai landasan yang benar-benar kuat di dalam hati mereka —meskipun begitu mereka tidak perlu memamerkannya.
Untuk saya sendiri, ketika pertama kali saya ditahbiskan, sesungguhnya saya tidak melakukan banyak praktek, tetapi keyakinan saya begitu besar. Saya tak tahu mengapa, mungkin ia sudah ada sejak lahir. Para bhikkhu dan samanera yang ditahbiskan bersama saya, pada akhir Masa Vassa, semuanya lepas jubah. Saya berpikir sendiri, "Eh? Ada apakah gerangan dengan orang-orang ini?" Akan tetapi, saya tidak berani mengatakan apapun kepada mereka karena saya sendiri belum yakin terhadap perasaan saya, saya sangat bingung. Tetapi di dalam hati saya merasa bahwa mereka semua bodoh. "Adalah sulit untuk bisa ditahbiskan, tapi mudah untuk lepas jubah. Orang-orang ini tidak banyak memiliki kebajikan, mereka pikir jalan duniawi lebih bermanfaat daripada jalan Dhamma". Saya berpikir seperti itu tetapi saya tidak mengatakan apapun, saya hanya mengamati batin saya sendiri.
Saya akan melihat para bhikkhu yang ditahbiskan bersama saya silih berganti lepas jubah. Kadangkala mereka berdandan serta kembali ke vihara untuk pamer. Saya akan melihat mereka dan berpikir bahwa mereka gila, tetapi mereka berpikir mereka tampak rapi. Saya katakan pada diri sendiri bahwa cara berpikir seperti itu salah. Meskipun begitu saya tidak mengatakannya, karena saya sendiri masih ragu-ragu. Saya masih tak yakin berapa lama keyakinan saya ini akan bertahan.
Ketika semua teman saya sudah lepas jubah saya singkirkan semua keprihatinan, tak ada lagi yang tersisa untuk saya perhatikan. Saya mengambil Patimokkha (Pokok aturan keviharaan, yang dibaca dalam bahasa Pali setiap dua minggu sekali.) dan tekun mempelajarinya. Tidak ada lagi yang mengganggu dan membuang waktu saya, saya curahkan perhatian pada praktek. Saya tetap tidak mengatakan apapun karena saya merasa bahwa untuk berlatih sepanjang hidup, mungkin tujuh puluh, delapan puluh atau bahkan sembilan puluh tahun serta mempertahankan usaha yang gigih tanpa menjadi lamban atau kehilangan ketetapan hati, tampaknya sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan.
Mereka yang telah pernah ditahbiskan akan ditahbiskan lagi, mereka yang telah pernah lepas jubah akan lepas jubah lagi. Saya hanya mengamati mereka semua. Saya tidak peduli apakah mereka tinggal atau pergi. Saya akan melihat teman-teman saya pergi, tetapi perasaan di dalam diri saya mengatakan bahwa orang-orang tersebut tidak melihat dengan jelas. Bhikkhu Barat itu mungkin berpikir begitu. Ia akan melihat orang menjadi bhikkhu hanya untuk satu Masa Vassa, dan ia menjadi sedih.
Selanjutnya ia mencapai tingkatan yang kita sebut… jemu; jemu dengan Kehidupan Suci. Ia meninggalkan praktek dan akhirnya lepas jubah.
"Mengapa kamu lepas jubah? Sebelumnya, ketika kamu melihat para bhikkhu Thai lepas jubah kamu akan berkata, "Oh, memalukan! Betapa menyedihkan, betapa memilukan! Sekarang, ketika kamu sendiri ingin lepas jubah, mengapa kamu tidak merasa menyesal?"
Ia tidak menjawab. Ia hanya berjalan tersipu-sipu.
Ketika sampai pada latihan batin, sangatlah sulit untuk menemukan ukuran yang baik jika kalian belum mengembangkan "kesaksian" di dalam diri kalian. Dalam banyak persoalan luar kita bisa mengandalkan umpan balik pihak lain, ada ukuran dan contohnya. Tetapi ketika semua menggunakan Dhamma sebagai patokan… Apakah kita telah memiliki Dhamma? Apakah kita berpikir dengan benar atau tidak? Dan seandainya itu benar, apakah kita tahu bagaimana melepaskan kebenaran atau apakah kita tetap melekat padanya?
Kalian harus merenungkan sampai kalian mencapai titik di mana kalian melepaskan, inilah hal yang penting… sampai kalian mencapai titik di mana tak ada apapun yang tersisa, di mana di sana bukanlah baik bukan pula buruk. Kalian tinggalkan. Ini berarti kalian melepaskan segalanya. Jika semua sudah lenyap maka tak ada yang tersisa; jika masih ada yang tersisa maka itu belum lenyap semuanya.
Jadi mengenai latihan batin ini, kadangkala kita mungkin mengatakan mudah. Memang mudah untuk mengatakan, tetapi sulit untuk melakukannya. Ia sulit karena ia tidak memuaskan keinginan-keinginan kita. Kadang-kadang tampaknya seolah-olah ada bidadari-bidadari (Devaputta mara —si Mara, atau Penggoda, yang muncul dalam bentuk yang tampaknya penuh kebaikan.) yang membantu kita. Semua berjalan baik, apapun yang kita pikirkan atau ucapkan tampaknya selalu benar. Selanjutnya kita pergi dan melekat pada kebenaran itu dan tak lama kemudian kita salah melangkah dan semua jadi buruk. Inilah kesulitannya. Kita tidak memiliki norma/standar untuk mengukurnya.
Orang-orang yang memiliki keyakinan besar, diberkahi dengan keyakinan dan perasaan tetapi kurang di dalam kebijaksanaan, mereka bisa jadi sangat baik di dalam samadhi tetapi mereka kurang memiliki pengertian. Mereka hanya melihat satu sisi saja, serta sungguh-sungguh mengikutinya. Mereka tidak merenungkannya. Ini merupakan keyakinan yang membuta. Di dalam agama Buddha itu kita sebut Saddha adhimokkha, keyakinan yang membuta. Mereka sudah mempunyai keyakinan tetapi tidak timbul dari kebijaksanaan. Tetapi mereka tidak melihatnya pada saat itu, mereka percaya bahwa mereka mempunyai kebijaksanaan, sehingga mereka tidak melihat di mana kesalahan mereka.
Oleh karena itu, mereka mengajar tentang Lima Kekuatan (Bala): Saddha, viriya, sati, samadhi, pañña. Saddha berarti keyakinan; viriya berarti usaha yang gigih; sati berarti kesadaran; samadhi berarti terpusatnya pikiran; pañña berarti pengetahuan yang mencakup semuanya. Jangan katakan pañña sebagai pengetahuan saja, tetapi pañña mencakup semuanya, pengetahuan yang sempurna.
Sang Bijaksana telah memberi kita lima langkah ini sehingga kita bisa mempergunakannya, pertama sebagai bahan untuk dipelajari, selanjutnya sebagai norma pembanding pada keadaan praktek kita sendiri. Misalnya, saddha —keyakinan. Apakah kita memiliki keyakinan, apakah kita sudah mengembangkannya? Viriya: apakah kita memiliki usaha yang gigih atau tidak? Apakah usaha kita betul atau salah? Kita harus memperhatikan ini. Setiap orang mempunyai semacam usaha, tetapi apakah usaha kita mengandung kebijaksanaan atau tidak?
Sati juga sama. Bahkan seekor kucing pun mempunyai sati. Ketika ia melihat seekor tikus, ada sati di sana. Mata si kucing menatap pasti pada si tikus. Inilah sati seekor kucing. Setiap orang memiliki sati, hewan mempunyainya, para penjahat mempunyainya, para bijaksana memilikinya.
Samadhi, terpusatnya pikiran —setiap orang juga mempunyai ini. Seekor kucing mempunyainya ketika pikirannya terpusat untuk menangkap tikus dan memakannya. Ia mempunyai perhatian yang satu. Sati si kucing adalah sati yang semacam ini; samadhi, perhatian yang satu pada apa yang dikerjakan, juga ada di sana. Pañña, pengetahuan: seekor kucing juga mempunyainya, tetapi bukan suatu pengetahuan yang luas, seperti yang dimiliki oleh manusia. Ia tahu sebagaimana seekor hewan tahu, ia mempunyai cukup pengetahuan untuk menangkap tikus sebagai makanan.
Kelima hal ini disebut "Kekuatan". Sudahkah kelima Kekuatan ini muncul dari Pandangan Benar, sammaditthi, atau tidak? Saddha, viriya, sati, samadhi, pañña —sudahkah mereka timbul dari Pandangan Benar? Apakah Pandangan Benar itu? Apakah norma kita untuk mengukur Pandangan Benar? Kita harus memahaminya secara jelas.
Pandangan Benar adalah pengertian bahwa segala sesuatu tidaklah pasti. Oleh karena itu Sang Buddha dan semua Para Ariya tidak melekat kuat padanya. Mereka menggenggam, tetapi tidak melekat. Mereka tidak membiarkan penggenggaman itu menjadi sebagai diri/suatu identitas. Penggenggaman yang tidak membawa pada suatu perwujudan adalah keadaan yang tidak dicemari oleh hawa nafsu. Tanpa mencari untuk menjadi ini atau itu, yang ada hanyalah praktek itu sendiri. Ketika kalian melekat pada suatu keadaan tertentu adakah kalian melekat pada kesenangan itu? Jika ada ketidaksenangan, apakah kalian melekat pada ketidaksenangan itu?
Sebagian pandangan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengukur praktek kita secara lebih tepat. Misalnya mengetahui bahwa pandangan-pandangan seperti demikian: pandangan yang ini lebih baik daripada yang lainnya, atau sama dengan yang lainnya, atau lebih bodoh daripada yang lainnya; semua itu adalah pandangan yang salah. Kita bisa merasakan hal ini tetapi kita juga mengetahuinya dengan kebijaksanaa, bahwa mereka hanya timbul dan tenggelam. Mengira bahwa kita lebih baik daripada yang lain tidaklah benar; mengira bahwa kita sama dengan yang lain adalah tidak benar; mengira bahwa kita lebih rendah daripada yang lain adalah tidak benar.
Pandangan yang benar adalah pandangan yang menembus semua ini. Jadi ke mana kita akan pergi? Jika kita berpikir bahwa kita lebih baik daripada yang lain, timbul kesombongan. Ia ada di sana tetapi kita tidak melihatnya. Jika kita pikir bahwa kita sama dengan yang lain, maka kita akan lalai mengungkapkan rasa hormat dan kerendahan hati pada saat-saat yang tepat. Jika kita berpikir bahwa kita lebih rendah daripada yang lain, kita akan merasa tertekan, dengan berpikir bahwa kita rendah, terlahir dengan kehidupan buruk dan sebagainya. Kita masih melekat pada Lima Khandha (Lima Khandha: Bentuk (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sañña), gagasan atau bentuk-bentuk pikiran (sankhara), dan kesadaran-indera (vññana). Ia membentuk pengalaman batin-jasmani yang dikenal sebagai "diri".), yang semuanya hanyalah proses perwujudan/dumadi dan kelahiran.
Inilah satu patokan/standar untuk mengukur diri kita sendiri. Yang lainnya adalah: jika kita menemui pengalaman yang menyenangkan, kita merasa bahagia; jika kita menemui pengalaman buruk, kita tidak senang. Apakah kita mampu melihat pada hal-hal yang kita sukai dan yang tidak kita sukai sebagai memiliki nilai yang sama? Ukurlah diri kalian dengan patokan ini. Dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai pengalaman yang kita jumpai, jika kita mendengar sesuatu yang kita sukai, apakah suasana hati kita berubah? Jika kita menjumpai suatu pengalaman yang tidak kita sukai, apakah suasana hati kita berubah? Ataukah batin kita tidak goyah? Melihat tepat di sini, kita mempunyai satu ukuran.
Pahamilah diri kalian sendiri, inilah saksi kalian. Janganlah membuat keputusan ketika dipengaruhi oleh nafsu kalian. Nafsu bisa melambungkan kita ke dalam pemikiran bahwa kita adalah sesuatu, yang sebenarnya bukan. Kita harus sangat berhati-hati.
Ada begitu banyak sudut dan aspek yang harus dipertimbangkan, tetapi jalan yang benar adalah tidak mengikuti nafsu kalian, melainkan Kebenaran. Kita harus mengetahui yang baik dan yang buruk, dan ketika kita mengetahuinya, lepaskanlah mereka. Jika kita tidak melepaskan, kita tetap berada di situ, kita tetap "ada" kita tetap "punya". Jika kita tetap "ada" maka di sana terdapat sisa, ada timbunan proses dumadi dan kelahiran.
Oleh karena itu Sang Buddha mengatakan agar hanya menilai diri sendiri, jangan menilai orang lain, tidak peduli betapa baik atau jahatnya mereka. Sang Buddha hanya menunjukkan sang Jalan, dengan mengatakan "Seperti inilah Kesunyataan". Sekarang, apakah batin kita seperti itu atau tidak?
Misalnya, seandainya seorang bhikkhu mengambil sesuatu milik bhikkhu lain, lalu bhikkhu yang lain itu menuduhnya, "Kamu mencuri barang-barang saya". "Saya tidak mencurinya saya hanya mengambilnya". Lalu kita meminta bhikkhu ketiga untuk memutuskan. Bagaimana ia harus memutuskannya? Beliau mungkin harus meminta bhikkhu yang bersalah untuk menghadap sidang Sangha. "Ya, saya mengambilnya, tapi saya tidak mencurinya". Atau berdasarkan aturan lain, seperti pelanggaran-pelanggaran parajika atau sanghadisesa: "Ya, saya melakukannya, tapi saya tidak mempunyai kehendak". Bagaimana kalian bisa mempercayai itu? Ini rumit. Jika kalian tidak bisa mempercayai, yang bisa kalian lakukan adalah menyerahkan tanggung-jawab kepada si pelaku, itu terserah padanya.
Tetapi kalian harus mengetahui bahwa kita tidak dapat menyembunyikan hal-hal yang muncul di dalam batin kita. Kalian tidak bisa menutupinya, baik itu perbuatan salah maupun benar. Apakah perbuatan itu baik atau buruk, kalian tidak bisa meniadakannya hanya dengan mengabaikannya, karena hal-hal ini cenderung untuk mengungkapkan dirinya sendiri. Mereka menyembunyikan dirinya sendiri, mereka mengungkapkan dirinya sendiri, mereka muncul dan lenyap sendiri. Mereka semua otomatis. Beginilah cara kerja mereka.
Janganlah mencoba untuk menebak atau berspekulasi terhadap hal-hal ini. Selama masih ada avija (ketidaktahuan), mereka belumlah tuntas. Pada suatu ketika seorang Kepala Dewan Kebersihan bertanya kepada saya, "Luang Por, apakah batin seorang anagami (Anagami (yang tidak kembali lagi): "Tingkat" kesucian yang ketiga, yang dicapai dengan membebaskan diri dari lima "belenggu yang lebih rendah" (semuanya berjumlah sepuluh), yang mengikat batin pada keberadaan duniawi. Dua "tingkat" yang pertama adalah sotapanna ("pemasuk arus") dan sakadagami (yang kembali satu kali lagi), dan yang terakhir adalah arahat ("Yang telah selesai atau yang sempurna").) sudah bersih?"
"Ia sebagian bersih".
"Eh? Seorang anagami sudah membuang keinginan-keinginan inderawinya, bagaimana bisa batinnya belum bersih?"
"Ia mungkin telah melepaskan keinginan-keinginan inderawinya, tetapi di sana masih ada sesuatu yang tersisa, bukan? Masih ada avijja. Jika masih ada sesuatu yang tersisa maka tetap ada sesuatu yang tersisa. Itu bagaikan mangkuk makan para bhikkhu. Terdapat mangkuk-besar ukuran besar, mangkuk-besar ukuran sedang, mangkuk-besar ukuran kecil; lalu mangkuk-sedang ukuran besar, mangkuk-besar ukuran sedang, mangkuk-sedang ukuran kecil; selanjutnya ada mangkuk-kecil ukuran besar, mangkuk-kecil ukuran sedang, mangkuk-kecil ukuran kecil… Tidak peduli betapa kecilnya itu tetap ada mangkuk di sana, bukan? Demikianlah halnya dengan sotapanna, sakadagami, anagami. Mereka memang sudah melenyapkan kekotoran tertentu, tetapi hanya sebatas tingkatan mereka. Apapun yang tetap tertinggal, para suci itu tidak melihatnya. Jika mereka mampu, mereka semuanya telah menjadi Arahat. Mereka masih belum bisa melihat semuanya. Avijja merupakan yang tidak terlihat. Jika batin sang anagami sepenuhnya diluruskan maka ia bukan lagi seorang anagami, tetapi ia sudah sepenuhnya sempurna (Arahat). Jadi di sana masih ada sesuatu yang tersisa.
"Apakah batin dia suci?" "Benar, agak suci, tetapi tidak 100%".
Apalagi yang bisa saya jawab? Ia berkata kelak ia akan datang lagi dengan bertanya lebih lanjut tentang hal itu. Ia bisa memeriksa hal itu, standarnya ada di sana.
Janganlah lengah, waspadalah. Sang Buddha menasihati agar kita waspada. Berkenaan dengan latihan batin ini, saya juga mengalami saat-saat tergoda, kalian tahu. Saya kerapkali tergoda untuk mencoba banyak hal. Tetapi mereka selalu seperti tidak sampai pada sang Jalan. Ini sungguh bagaikan berlaga di dalam batin seseorang, semacam keangkuhan. Ditthi —pandangan-pandangan, dan mana —kesombongan, ada di sana. Cukup sulit untuk hanya menyadari keberadaan kedua hal ini.
Suatu ketika ada seseorang yang ingin menjadi bhikkhu di sini. Ia membawa jubahnya, memutuskan untuk menjadi seorang bhikkhu untuk mengenang almarhumah ibunya. Ia memasuki vihara, meletakkan jubahnya, dan, tanpa memberi hormat kepada bhikkhu-bhikkhu lainnya, ia memulai dengan meditasi jalan tepat di depan ruang utama… bolak-balik, bolak-balik, ia seperti akan menunjukkan kesanggupannya.
Saya pikir, "Oh, jadi ada juga orang seperti ini!" Ini disebut saddha adhimokkha —keyakinan yang membuta. Ia pasti sudah memutuskan untuk mencapai pencerahan sebelum senja atau semacam itu, ia pikir hal itu sangat mudah. Ia tidak melihat siapapun, hanya menundukkan kepala dan berjalan bagaikan kehidupannya bergantung pada hal itu. Saya biarkan ia meneruskannya, tetapi saya pikir, "Oh, teman, kamu pikir sesederhana itukah?" Pada akhirnya saya tidak tahu untuk berapa lama ia bertahan, saya bahkan tidak berpikir ia telah ditahbiskan.
Begitu batin memikirkan sesuatu kita mengeluarkannya, mengeluarkannya setiap saat. Kita tidak menyadari bahwa itu hanyalah kebiasaan perkembangbiakan batin. Ia menyamarkan dirinya sebagai kebijaksanaan dan tercetak keluar dalam bagian yang sangat rinci. Perkembangbiakan batin ini tampak sangat cerdik, jika kita tidak mengetahuinya kita akan mengartikannya sebagai kebijaksanaan. Tetapi jika ia tiba pada saat yang genting, ia bukanlah hal yang sebenarnya. Ketika muncul penderitaan, di manakah yang disebut kebijaksanaan itu? Apakah ia bermanfaat? Akhirnya ia hanyalah perkembangbiakan saja.
Jadi tetaplah bersama Sang Buddha. Seperti yang sudah saya katakan berkali-kali, dalam praktek kita harus melihat ke dalam dan menemukan Sang Buddha. Di manakah Sang Buddha? Sang Buddha masih tetap hidup sampai dengan hari ini, periksalah dan temukan beliau. Di manakah beliau? Di anicca, periksa dan temukanlah beliau di sana, pergilah dan sembahlah beliau: anicca, ketidakpastiaan. Bagi para pemula, kalian bisa berhenti tepat di sana.
Jika batin berusaha mengatakan padamu, "Saya seorang sotapanna sekarang", pergi dan menyembahlah pada sang Sotapanna. Ia akan mengatakan padamu, "Semuanya tidak pasti". Jika kalian bertemu seorang sakadagami, pergi dan hormatilah dia. Jika ia melihatmu ia hanya akan mengatakan, "Bukan satu hal yang pasti!" Jika ada seorang anagami, pergi dan sembahlah dia. Ia hanya akan mengatakan satu hal… "Tidak pasti". Bahkan jika kalian bertemu seorang arahat, pergi dan sembahlah dia, dia bahkan akan lebih tegas mengatakan, "Semuanya bahkan lebih tidak pasti!" Kalian akan mendengar kata-kata Para Suci… "Segala sesuatu tidak pasti, jangan melekat pada apapun".
Jangan hanya memandangi Sang Buddha seperti seorang yang tolol. Jangan melekat pada segala sesuatu, mencengkeram kuat tanpa melepaskan. Lihatlah segala sesuatu sebagai fungsinya Yang Tertampak kini, kemudian alihkan mereka pada Yang Melebihinya. Itulah yang harus kalian lakukan. Harus ada Yang Tertampak dan harus ada Yang Melebihinya.
bersambung...