BAGIAN VPada tahun 1952 Imlek bulan 5 tanggal 15 saudara Jeo Chai Kui dan Oei Yaw Kee diangkat menjadi pandita. Kemudian pada tahun 1953, seorang pedagang yang bernama He Kuang Chang memohon Ketuhanan di Vihara Yen Ming di Pasuruan lalu pedagang He ini pun membangun Vihara Fa Kuang dan vihara lainnya di Surabaya. Sejak itulah M.S. Maitreyawira menjadi semakin sibuk. Beliau harus berkeliling memberikan bimbingan dharma ke Surabaya, Pasuruan, Semarang dan kota-kota lainnya. Kemudian atas welas asih Ibunda Suci, M.S. Maitreyawira dibantu oleh Sesepuh Shiau Kuang yang berhasil memperkenalkan jalan Ketuhanan kepada pemuda Wang Sing Yen. Seorang pemuda yang luar biasa berkharisma, tegar, tahan derita, berani berkorban dan berloyalitas tinggi. Di bawah bimbingan M.S. Maitreyawira, pemuda Wang ini lalu berjuang membangun Vihara Yung Kuang (Dana Maitreya) dan vihara-vihara lainnya. Pemuda Wang inilah yang kemudian dikenal sebagai Sesepuh Cahaya Maitreya. Pada tahun 1954 berkat bimbingan M.S. Maitreyawira, Sesepuh Yeo dari Pasuruan mendirikan Vihara Sun Ming di Palmerah, Jakarta Selatan. Di vihara inilah M.S. Maitreyawira berhasil membina banyak kader-kader handal antara lain yaitu saudara Jeo Cui Guan. Seorang umat yang luar biasa dengan pribadi yang tegar, jujur, rendah hati dan penuh kasih serta berkorban. Beliau inilah yang kemudian merintis pengembangan vihara di daerah Sumatra Utara dan Riau dengan vihara induknya di Medan yang bernama Vihara Che Kuang (Ksanti Maitreya).
Pedagang Jeo Cui Guan inilah yang kemudian dihormati sebagai Sesepuh Prajnamitra. Dari Vihara Sun Ming ini juga berhasil dicetak kader-kader handal lainnya seperti Pandita Lin Cung Lan yang mendirikan vihara-vihara di Pontianak; Kalimantan Barat; Pandita Li Cin Hong (Nasrung Lupolo) beserta istri yang kemudian mendirikan Vihara Cen Kuang, Tambora ; Jakarta dan vihara-vihara lainnya; dan Pandita Chai Yin Ing yang kemudian membangun Vihara Ming Kuang, Teluk Gong; Jakarta dan vihara-vihara lainnya. Hingga tahap ini M.S. Maitryawira dengan dibantu oleh Sesepuh Yang, Huang, Fuh, Wang, Pandita Cin dan para kader Ketuhanan lainnya telah berhasil mengembangkan Wadah ketuhanan sampai ke banyak wilayah di seluruh Indonesia. Pada akhirnya tahun 1954 M.S. Maitreyawira beserta Sesepuh Yang, Hwang dan Pandita He Kuang Chang pergi ke Hongkong untuk menjumpai Ibunda Suci. Pada kesempatan itu juga mereka berkenalan dengan Pimpinan Ketuhanan Cang U Fu, Maha Sesepuh Li Min Te dari group Ci Chu, Maha Sesepuh Shi Phi Chen dari group Cing Kuang, Maha Sesepuh Wang Yu Te dari group Phu Kuang, Maha Sesepuh Shi Ce Cou dari group Pau Kuang, dan mendapat banyak wejangan yang penuh cinta kasih dari Ibunda Suci.
Sejak merintis Wadah Ketuhanan di Indonesia, M.S. Maitreyawira berjuang keras ke seluruh penjuru demi menyelamatkan umat manusia hingga terlampau letih dan jatuh sakit. Pada tahun 1971-1972 beliau menderita penyakit lambung yang parah sampai muntah darah dan terbaring di tempat tidur selama setengah tahun. Berkat Rahmat Tuhan beliau dapat melewati masa-masa yang kritis. Keadaan ini diketahui oleh Ibunda Suci dan beliau merasa prihatin. Karena kasih sayang yang besar kepada siswanya maka Ibunda Suci menancapkan seikat dupa dan bersujud memohon kasih Tuhan dan perlindungan Tuhan agar kesehatan siswanya segera pulih. Ibunda Suci juga mengutus tiga maha sesepuh senior yaitu Maha Sesepuh Shi Ce Cou, Chen Hwi Ru dan Liang Chen Kau untuk dapat membantu M.S. Maitreyawira membentuk Dewan Sesepuh. Dewan ini diketuai oleh M.S. Maitreyawira, wakilnya adalah Sesepuh Yang, sedangkan anggotanya terdiri dari Sesepuh Hwang, Wang, Fuh dan Pandita Cin. Tujuan dibentuknya Dewan Sesepuh ini adalah untuk membantu pengembangan Wadah Ketuhanan di Indonesia. Pada waktu itu M.S. Maitreyawira baru sembuh dari sakit, tiga maha sesepuh senior yang diutus Ibunda Suci yaitu Maha Sesepuh Shi, Chen, dan Liang sempat berunding dengan M.S. Maitreyawira mengenai penerus beliau di kemudian hari. Mereka sepakat bahwa Sesepuh Fuh Ik Chun (M.S. Gautama Hardjono) lah yang menjadi sesepuh penerus. Dan pada tahun 1972 hal ini disampaikan kepada Ibunda Suci.
Pada tahun 1973 Yang Arya Maha Sesepuh Wang Hao Te (Sesepuh Ong) yang menjadi wakil Ibunda Suci bersama tiga maha sesepuh lainnya yaitu Maha Sesepuh Shi Ce Cou, Chen Hwi Ru, dan Lian Chen Kao, datang atas titah Ibunda Suci untuk mengadakan bimbingan dharma, membantu Wadah Ketuhanan di Indonesia. Setelah kembali ke Taiwan Maha Sesepuh Wang Hao Te melaporkan keadaan Wadah Ketuhanan di Indonesia kepada Ibunda Suci seraya bertanya apakah tahun depan masih harus berkunjung ke Indonesia lagi. Ibunda Suci menanggapi dengan penuh cinta kasih, "Tahun depan masih harus pergi ke Indonesia, sampai kapan pun kamu harus tetap pergi ke Indonesia untuk membantu pengembangan Ketuhanan di sana." Inilah titah langsung dari Ibunda Suci dan Maha Sesepuh Maitreyawira menyampaikan bahwa usia beliau telah lanjut, sulit untuk melaksanakan tugas berat, mohon Ibunda Suci memberi petunjuk. Ibunda Suci berpesan kepada M.S. Maitreyawira agar jangan khawatir dan secara langsung mengatakan, "Saya akan mengutus Saudara Wang (Maha Sesepuh Wang Hao Te) untuk pergi ke Indonesia membantu kamu."
Pada tahun 1976 Yang Arya Maha Sesepuh Wang Hao Te dan Maha Sesepuh Chen Hwi Ru datang ke Indonesia untuk meninjau keadaan Wadah Ketuhanan. Mengingat M.S. Maitreyawira telah lanjut usia dan kondisi badan semakin lemah, tak bisa berkeliling mengembangkan Ketuhanan lagi maka Maha Sesepuh Wang dan Chen dua kali berunding dengan Maha Sesepuh Maitreyawira dan berkesimpulan bahwa Sesepuh Fuh Ik Chun masih muda dan berbadan sehat, dapat mengemban tugas berat sehingga diputuskan beliaulah sebagai Ketua Dewan Sesepuh yang bertugas membantu Maha Sesepuh Maitreyawira mengembangkan Wadah Ketuhanan di Indonesia.
Pada tahun 1982 Imlek bulan 7 tanggal 22, Maha Sesepuh Maitreyawira menulis mandat yang mengangkat Sesepuh Fuh Ik Chun sebagai Pemimpin Wadah Ketuhanan di Indonesia menggantikan beliau. Dalam surat mandatnyam Maha Sesepuh Maitreya menyampaikan empat pesan penting untuk ditaati dan diamalkan oleh seluruh jajaran dalam Wadah ketuhanan di Indonesia. Empat pesan tersebut adalah sebagai berikut:
[LIST=1]
- Setiap pembina Ketuhanan harus menjunjung Firman Tuhan dan semua umat yang telah meneguhkan ikrar harus menghormati Guru dan mengutamakan Ketuhanan.
- Tujuan membina Ketuhanan adalah memulihkan moral kebajikan laksana kehidupan di zaman yang menjunjung etika kesusilaan. Segala-galanya harus berpedomanan pada Firman Tuhan maka Wadah Ketuhanan baru bisa tentram.
- Dalam membina Ketuhanan harus senantiasa berpegang teguh pada Benang Emas - Firman Tuhan. Bila Benang Emas terputus akan terjerumus ke dalam kungkungan iblis.
- Dalam membina Ketuhanan harus memahami hukum kebenaran, memahami ikatan luhur antara guru dengan murid. Jika selalu bersaing untuk mencari kekuasaan dan keuntungan, membelakangi Ketuhanan, tidak setia dan tidak berprikebenaran, maka sia-sialah dalam membina dan hanya menambah dosa saja.
Pada tahun 1983 yaitu tepatnya pada Hari Keagungan Tuhan Yang Maha Esa musim dingin pukul 8 malam lebih, Yang Mulia Maha Sesepuh Maitreyawira menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan damai dalam usia genap 90 tahun. Selama 30 tahun beliau telah berjuang dengan segala jerih-payah, mengorbankan jiwa raga, harta kekayaan, kesenangan pribadi, waktu dan kesehatannya! Beliau telah memberikan segala-galanya demi Wadah Ketuhanan Buddhisme Maitreya Indonesia. Sedih, letih dan sakit beliau tanggung sendiri. Tak pernah ada sepatah kata keluhan pun yang keluar dari mulutnya.
Dari kota ke kota, pulau ke pulau, sampai desa ke desa. Dari Jawa Timur ke Jawa Tengah, ke Jawa Barat, Lampung, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Riau, Bali, Lombok, Balikpapan, Samarinda dan sebagainya telah dipenuhi oleh jejak dan keringatnya. Dari usia muda dengan tubuh yang sehat kekar hingga tua sakit-sakitan beliau terus menapakkan derap kakinya untuk menunaikan tugas Tuhan Yang Agung padanya. Berkat keringat, air mata dan darahnya yang mulia, maka menyebar dan berkembanglah Wadah Ketuhanan Buddhisme Maitreya di Indonesia. Budi jasa dan kasihnya menerangi relung hati semua umat Maitreya Indonesia. Sunngguh besar budi jasanya, sungguh mulia pribadinya. Kini beliau telah tiada. Beliau telah berhasil menunaikan tugas suci yang telah diamanatkan kepadanya. Beliau telah mencapai kesempurnaan agung abadi di sisi Tuhan, dan meninggalkan goresan pena sejarah sebuah perjuangan yang agung untuk kita kenang selamanya". Pada tahun 1990 Yang Mulia almarhum Maha Sesepuh Maitreyawira telah datang untuk memberikan amanat suci kepada kita semua. Beliau telah mencapai kesempurnaan Bodhisatva dan Tuhan telah menganugrahkan kesempurnaan kedudukan spiritualnya dengan gelar Hong Cang (Mahanta Kitti).
Selesai