//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - williamhalim

Pages: 1 [2] 3 4 5 6 7 8 9 ... 192
16
Maka dari itu, sejak awal saya sudah tulis bahwa ini terlalu jauh dibahas, tapi beberapa anggota forum seperti menggiring pembahasan ke arah ini, padahal belum ada sangkut pautnya (sejauh yang saya tangkap) dari topik yang dibawakan Sdr. William.


Kan anda sudah menjelaskan hukum sebab-akibat.
IMO, tiak salah orang2 berpikiran begitu (termasuk saya) krn anda sendiri yg mulai menulis: "puthujjana hanya tau baik-buruk secara dogma, cobalah untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya"

Kalimat ini jelas menunjukkan dimana posisi anda dan dimana posisi saya (dan yg lain)..
Sy pun segera menanggapi pemikiran anda ini, krn dalam diskusi yg kita fokuskan adalah materi, bukan kamu puthujjana dan saya bukan

Quote
Kalau mau sedikit menggunakan nalar, sebenarnya yang dibahas akan bermanfaat bila sama-sama bisa dibuktikan, bisa diamati bersama. Kalau sebatas teori dan ajaran belaka, hanya akan berakhir debat keyakinan bila sama-sama kukuh walau belum mampu membuktikan.


Sudah brp kali sy tulis, bahwa pendapat sy juga menggunakan nalar dan sudah dibuktikan, sudah diamati.. Sy justru belum jawaban yg tegas:

"apakah perbuatan seorang ibu yg membakar diri dan anak2nya, krn motivasi ingin mulia ingin anak2nya tidak menanggung malu dan kelaparan, termasuk kamma baik, kamma netral, atau kamma buruk?"

(jika keberatan dengan kata "baik-buruk" -krn dualitas menurut anggapan anda- maka tukar saja dengan kata "lurus-tidak lurus)

Untuk pertanyaan yg mudah ini, pertanyaan yg mendasar -tidak usah orang beragamapun- mudah menjawabnya, anda belum menjawab secara tegas

Ditunggu jawabannya Bro

::

17
Bang William, jangan keliru, anda harus bisa membedakan antara seorang puthujjana dan bukan puthujjana, dalam hal ini anda telah menyamakan seorang mulia dengan puthujjana.

Tadinya sy pikir sy aj yg menduga Bro Surya berpikir dirinya bukan puthujjana, ternyata Bro Indra menduga demikian juga

::

18
Saya prihatin karena banyak umat Buddha tidak mampu melihat secara non-dualitas. Itu saja.

Yang benar adalah: mereka tau kapan mesti bicara secara bahasa sehari2 dan kapan bicara kebenaran-hakiki

[/quote]
Kalau berputar di perbuatan salah dan benar itu orang awam juga sangat mudah tahu dan mempelajarinya (tinggal buka kitab, hafalkan mana yang baik dan buruk, lalu lakukan/praktekkan). Tapi jika bicara pandangan yang lebih tinggi (bersifat mutlak/hakiki), semua itu akan jadi kebenaran konvensional saja. Mungkin Anda sulit terima, tidak apa-apa. Saya sulit menjelaskan sesuatu yang tidak dialami sendiri oleh orang yang bersangkutan, kecuali ada jalan/usaha yang ditempuh untuk mencapai pemahaman tersebut.

Semua perbuatan itu dinilai dari situasi dan kondisi, bukan langsung vonis perbuatan ini salah atau benar. Konsep kosong dan pengertian netral juga sudah saya berikan penjelasannya. Jika masih diterjemahkan sebagai "bebas berbuat apa saja", "semua tidak ada artinya", "absurd", itu adalah pengertian/pemahaman Anda sendiri. Semoga terhindar dari pengertian yang salah.
[/quote]

Saya belum melihat anda memberikan defenisi apa itu "perbuatan netral"

::

19
Sudut pandang. Anda bertanya, saya mengajukan pilihan: Anda mau melihat secara konvensional atau mutlak (hakiki)?

Kalau konvensional, jawabannya sudah Anda miliki. Di agama lain juga seperti ini (saya mantan penganut monoteistik), di taraf umat awam mereka selalu bertanya ini salah atau benar, melanggar hukum agama atau tidak, dsb. Pada taraf mulai mahir (advanced), mereka menyadari bahwa tiada segala sesuatu yang mutlak, semua kemungkinan bisa saja terjadi. Di ajaran Buddha sendiri, ada 4 hal yang tidak terpikirkan oleh pikiran makhluk awam, diantaranya: Akibat/buah dari sebuah perbuatan (sebab banyak kompleksitas yang terjadi, ada akumulasi, ada ahosi, pupus habis, dsb).

Oke, semoga dimengerti. Salam.  _/\_

Semua yg anda tulis itu, saya mengerti, ada di kitab dan dogmatis juga tentunya menurut anda.. gpp

Yg tidak sy mengerti bagaimana anda menilai perbuatan ibu yg membakar anaknya adalah perbuatan netral? BAhkan jika motivasi si Ibu mulia, maka akan menjadi perbuatan yg mulia?  :hammer:



::

20
Saya sudah menjelaskan, konsep karma yang sesungguhnya hanya rangkaian sebab akibat. Jika Anda memberi label baik dan buruk (dari referensi manapun) itu adalah hak Anda.

Oh, ada defenisi koreksi baru untuk  kamma: "hanya rangkaian sebab-akibat, tidak ada kusala dan akusala kamma"
Anda menerima konsep kamma, konsep sebab-akibat, namun tidak menerima konsep ada kamma yg bermanfaat dan ada kamma yg merugikan

Quote
Untuk koreksi definisi Puthujjana terima kasih. Tapi untuk mengeneralisasi bahwa saya dan Anda sama-sama Puthujjana, belajar dari buku, pengalaman, dsb... mungkin saya kira agak terburu-buru (kalau tidak mau disebut lancang).

Anda kan yg pertama menulis bahwa para puthujjana hanya mengetahui baik-buruk secara dogmatis semata, sementara anda 'beda'.. anda melihat segala sesuatu sebagaimana adanya

Reply #27
Quote
Yang dipermasalahkan (Anda dan William mungkin) cenderung pada justifikasi perbuatan sesuai atau tidak dengan sila. Ini masalah dogma ..cut...
....Non dualitas, lihat sesuatu apa adanya. Cuma itu kata kuncinya.

Saya hanya mencoba mengemukakan bahwa prasangka anda bisa saja salah, bahwa pandangan mereka ternyata cocok dengan kitab, bukan berarti mereka dogmatis.. juga mencoba menyadarkan anda dengan kemungkinan bisa saja anda masih puthujjana seperti yg lain disini... coba renungkan baik2 dulu..

Quote
Kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari penampilan, apalagi hanya kata-kata di dunia maya.

Dan kenapa anda bisa menilai saya (dan yg lainnya) sebagai orang dogmatis, kan anda dan sy hanya terkoneksi dengan kata2 di dunia maya saja?

Quote
Saya (khususnya yang saya tulis disini) tidak belajar dari buku, pengalaman hidup, dsb... saya lebih cenderung menggunakan pendekatan spiritual (praktek). Kalau hanya teoritis (maaf kalau menyindir), di forum ini banyak, ahli kitab dan sutta banyak, tapi minim penembusan langsung (praktek).

Dari mana anda bisa menilai bahwa yg lain2 disini hanya teoritis?
Apakah krn kata2 mereka sesuai dengan kitab, sehingga dijustifikasi sebagai teoritis?

Dan untuk tampil non-teoritis harus berbeda dari kitab, begitu?

Ukuran penilaian anda sangat lucu

Quote
Tentang peranan motivasi dan perbuatan, tentu keduanya berperan. Sudah saya jelaskan di halaman pertama, bahwa dalam aktivitas bodhisattva, niat yang kuat itu diperlukan, untuk memaksimalkan hasil dan mengurangi dampak. Contohnya: Seorang Bodhisattva membunuh perampok yang akan menghabisi korbannya, tentu niat/motivasi Bodhisattva harus bersih, lurus dan kuat. Jika salah sedikit, tentu neraka adalah konsekuensinya. Maka itu di aliran lebih spesifik lagi (Tantrayana) disebutkan bila seorang praktisi Tantra salah melangkah, neraka avicci taruhannya. Ini adalah ungkapan singkat untuk niat yang kurang lurus tersebut. High risk high gain, low risk low gain - ini istilah lebih membumi dan dipahami banyak orang. Nah, bila belum sanggup paham maupun belum lurus dalam niat, tentu jalan teraman ikuti aliran paling dasar, yakni yang sifatnya masih konvensional dan cenderung dualitas (baik-buruk, benar-salah, melanggar tidak melanggar, dst). Ini tidak salah, hanya beda jalur saja.

Tidak hanya boddhisatva, manusia biasa juga harus mempunyai niat yg lurus dan kuat <--- anda kelihatan menghindari menggunakan kata baik-buruk, anda menggantikan dengan kata lurus/tidak lurus  :))

Gpp Bro, yg sy maksud dengan baik-buruk itu sama dengan yg anda maksud lurus/tidak lurus
Hanya beda kata2 diranah konsep, samalah kita bro: anda ternyata juga masih dualitas: lurus-tidak lurus  ;D

Quote
Motivasi dominan berperan, sebab pikiran adalah pelopor. Andai orang kurang waras membunuh, dengan pembunuh dengan dendam yang membara... walau tindakannya sama-sama membunuh menggunakan pisau dapur, dengan 20 tusukan, dengan gaya membunuh serta tempat dan waktu yang hampir persis sama... tentu lebih berat karma vipaka pembunuh(an) dengan dendam membara.

Betul..
Dan si Dendam-Membara melakukan pembunuhan ini, menimbulkan kamma apa Bro?
Kamma tidak-lurus 'kan?  :P

Quote
Saya kira sudah jelas.

Mengenai dualitas dan non-dualitas, ini adalah jawaban saya atas sumber/referensi perbuatan buruk dan baik yang bersumber dari doktrin/dogma. Saya mengatakan itu pandangan dualitas, dan ada tahapan lebih tinggi yakni non-dualitas, itu saja.

Ok, setuju
Baik-Buruk: adalah dualitas
Bagaimana dengan istilah anda: lurus-tidak lurus? Dualitas juga bukan?
Sama dong kita

::

21
Anda keliru (2 hal):
1. Saya justru yang sering mengingatkan murid-murid saya untuk bisa membedakan antara kebenaran mutlak dan kondisional. Sebagai informasi, saya masih beraktivitas seperti manusia lain dan saya juga mengalami kurang lebih apa yang Anda dan manusia lain alami (masalah kehidupan, ekonomi, sosial, keluarga, dsb).

Kalau boleh tau, Bro Sunya membuka pendidikan apakah?
Apakah Guru meditasi atau apa?

Quote
2. Anda keliru memahami konsep kosong. Ini sudah sering diajarkan dalam Buddhisme Mahayana, bahwa kosong itu berpotensi salah pengertian, bahwa kita bebas berbuat apa saja. Ini semacam peringatan yang sering dilontarkan di buku-buku maupun ceramah-ceramah dan diskusi. Mirip seperti konsep nibbana yang sering disalahpahami sebagai ketiadaan (nihilisme), konsep kosong ini juga sering disosialisasikan karena rawan salah pengertian.

Bro Sunya sendiri yg menulis bahwa perbuatan2 adalah netral, termasuk perbuatan ibu yg membakar anaknya... alasannya: sunyata

(Oh ya, bukankah Sunyata tertulis juga di kitab2? berarti Bro sendiri dogmatis juga?)

Quote
Tentang netral yang saya jelaskan sudah Anda pahami atau belum? Kalau sepertinya sulit diterima (bukan sulit paham, saya yakin itu) akan lebih sulit mengerti konsep kosong dalam pandangan Mahayana (Emptiness/Kekosongan/Sunyata).

Oke, selamat belajar dan semoga mencapai apa yang dicita-citakan. Salam.  _/\_

Perbuatan Netral yg saya pahami adalah perbuatan yg tidak dilandasi cetana LDM sehingga tidak berakibat apapun, benar?

Atau adakah penjelasan lain: 'Perbuatan Netral'?

::

22
Jika Anda ingat, saya pernah menulis lewat PM bahwa perbuatan salah dan benar ini bersifat dogma, atau kebenaran konvensional, bukan absolut (mutlak).

Sejak awal kita memang membahas secara kebenaran konseptual.
Jangan dicampur adukkan diskusi sammuti sacca dan diskusi paramatha sacca
Bahasanya berbeda

Quote
Jika bicara dalam tahap lebih tinggi (seperti Anda sebut, bahwa melihat sesuatu harus momen ke momen, bukan parsial ataupun dicampur aduk), maka sebenarnya suatu saat Anda akan paham, maksud dari netral itu adalah non-justifikasi, tidak terikat dualitas konvensional. Ini semua nanti mengerucut pada ajaran Buddha, Anda jangan khawatir (seolah saya mau membawa Anda jauh ke pemahaman Non-Buddhisme). Semua ini kaitannya dengan perbuatan dan cara pandang Buddha dan Arahat, melihat sesuatu apa adanya, netral, dan melakukan perbuatan tanpa tendensi apa-apa (hanya perbuatan saja; kiriya), serta juga kondisi spiritual saat Vipassana-Bhavana, yakni: Hanya mengamati (tidak menghakimi, tidak terikat, tidak memberi nama). Semua hanya proses dari saling-keterkaitan. Apa yang mau dilabeli sebagai jahat dan baik? :)

Untuk membahas kebenaran absolut, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, kekosongan, tiada penilaian mungkin lebih baik di thread lain

Bahasanya beda Bro, kita sedang membahas hal2 yg konvensional

Quote
Sesungguhnya saya (maaf) agak prihatin.

ya, sebentar bahas kamma, sebentar bahas non-dualitas.. tentu saja bingung dan jadi prihatin

Quote
Di forum kepercayaan (agama) lain, istilah non-dualitas ini cukup sering digunakan, dan cukup populer di kalangan para spiritualis yang sudah menempuh perjalanan spiritual taraf tertentu (jika tidak ingin disebut tinggi, khawatir disebut penilaian saya belaka). Mereka yang disegani dalam forum agama lain ini, banyak bicara cara pandang netral dan tidak terikat konsep konvensional ini.

Banyak orang yg paham konsep non-dualitas, tapi mereka paham juga mana yg benar dan mana yg salah.. jangan tercampur aduk

Quote
Saya tadinya berpikir, jika agama Buddha mengajarkan Kemutlakan, dan ini satu-satunya keunggulan ajaran Buddha, idealnya tentu penganutnya sangat memperhatikan cara pandang spiritual Non-Duality View ini. Terlebih di agama Buddha sudah jelas ada Vipassana. Kalau ini masih juga luput dari perhatian, sungguh disayangkan.

Jadi, hasil Vipassana adalah melihat bahwa perbuatan ibu membakar anak2nya adalah kosong belaka, perbuatan yg netral?


::

23

Yang dipermasalahkan (Anda dan William mungkin) cenderung pada justifikasi perbuatan sesuai atau tidak dengan sila. Ini masalah dogma, bukan substansial menurut saya. Misalnya membunuh disebut perbuatan buruk. Jika seorang Bodhisattva membunuh demi menyelamatkan yang dibunuh maka upaya-Nya termasuk perbuatan buruk, sebab membunuh itu salah, tidak sesuai sila, melanggar ajaran, dsb. Jika hanya ini tolok ukurnya, tentu saja terlalu sempit cara pandangnya. :)

Non dualitas, lihat sesuatu apa adanya. Cuma itu kata kuncinya.  _/\_

agak kacau pembahasan nih, sebentar bicara sammuti-sacca (kebenaran konvensional), sebentar lagi pindah ke paramatha-sacca (kebenaran absolut)

Back to topik, Bro:
~ Apakah perbuatan seorang ibu yg membakar diri sendiri dan anak2nya, yg dimotivasi agar anak2nya tidak kelaparan dan menanggung malu adalah kusala kamma ataukah akusala kamma

Ini aj dulu, baru kita melebar ke non-dualitas

::

24
Baik, ini penjelasan saya:
1. Tentang kombinasi.
Penjaga toko itu dengan terpaksa memberikan 4 angka kombinasi untuk membuka brankas kepada perampok yang menodongkan senjata api padanya.
Kue lapis yang dibuat Ibu, terdiri dari kombinasi tiga warna; merah, kuning dan putih.

Nah, sampai disini jelas pendapat saya tentang karma vipaka?
Masing-masing karma memiliki hasilnya, namun bisa saja yang satu lebih kuat dari yang lain tergantung niat/motivasi yang mendasari perbuatan tersebut.

Pernyataan Bro Sunya: Masing2 kamma memiliki hasil

Bisa saya artikan bahwa masing2 perbuatan adalah kamma masing2, memiliki motivasi yg mulia adalah kamma-baik dalam bentuk pikiran dan membakar anak adalah kamma-buruk dalam bentuk pikiran dan perbuatan.

Mana yg dominan, kita nggak tau, tapi logikanya 'pikiran yg diikuti dengan perbuatan' mempunyai kamma yg lebih kuat ketimbang hanya berpikir2 saja, sehingganya perlakuan si Ibu yg membakar anaknya menelorkan kamma-buruk yg lebih dominan ketimbang motivasi mulianya.

Benar begitu?

Quote
2. Tentang awam.
Maksud saya puthujjana, bukan orang tidak beragama. Benar salah memang bisa darimana saja: Tradisi, kebudayaan, aturan keluarga, konstitusi, dlsb.

Puthujjana adalah orang yg belum mencapai tingkat kesucian, termasuk di dalamnya umat beragama dan atheist.
Sehingga Bro tidak bisa menggeneralisasi semua puthujjana mendapatkan moralitas mereka dari dogma agama.

Sy pikir tidak ada bedanya puthujjana dan Bro Sunya... kita semua belajar dari buku2, belajar dari pengalaman dan bisa memisahkan mana yg baik dan mana yg buruk... tidak melulu dogmatis kan?

Quote
3. Tentang netral.
Saya ingin bertanya dulu, "Apakah Anda setuju jika ada ungkapan bahwa Buddha melihat sesuatu apa adanya, atau jika seseorang telah mencapai kesempurnaan maka Ia melihat melampaui dualitas yang dilihat makhluk belum tercerahkan?"

Dari apa yg saya baca, benar begitu

Quote
Karena Anda terus membagi perbuatan berdasarkan buruk dan baik, yang telah saya sebutkan dan asumsikan Anda setuju bahwa tolok ukur baik dan buruk adalah dari doktrin agama (selama pembahasan kita), maka amat sulit melihat kemuliaan ajaran Buddha; tidak menghakimi, bersifat analistis, non-dualitas (mutlak), serta melihat sesuatu secara lebih obyektif bukan parsial (sebagian). Jika ini dipahami, niscaya pembahasan atau perdebatan mengenai dualitas dan hakikat ini akan sirna. Karma itu bekerja apa adanya, jika melakukan ini maka hasilnya itu. Jika melakukan yang lain, hasilnya akan lain juga. Cuma sesederhana itu 'kan? Tanpa perlu labelisasi perbuatan buruk maupun baik, karma toh tetap bekerja. Benar?

Awalnya diskusi, materinya adalah: apakah kamma baik/buruk tergantung motivasi saja (perbuatan dianggap netral) ataukah motivasi dan perbuatan sama2 melahirkan kamma masing2...

Bukan hanya saya yg berbicara baik-buruk, bro dan saya, awalnya kita sama2 tidak mempermasalahkan baik-buruk, yg kita bahas adalah dimana peranan kamma: apakah di motivasi doang ataukah motivasi dan perbuatan dua2nya berperan.

Sebaiknya kita fokus soal itu dulu

Mengenai dualitas dan non-dualitas, itu cerita lain dan bisa dibuka thread tersendiri

::


25
Sebelum terlalu jauh masuk dalam konsep sekte, ada baiknya kita mengkaji secara mendasar (ajaran Buddha secara umum), yakni dalam hal ini yang terkait adalah konsep anatta.

Jika benar konsep ini merupakan salah satu corak/ciri kehidupan, apakah benar ada Hitler yang sadis dan obsesif?

Apakah benar ada Hitler sebagai sosok (individu) yang berdiri sendiri, independen, lepas dari yang lain dan dapat didikotomikan?

Atau, apakah Hitler lahir sebagai terusan (lanjutan) dari rentetan sebab-sebab lampau yang saling terkait (Paticcasamuppada)?

Beramai-ramai Buddhis sering kali menggadang konsep anatta, bahwa semua diri kosong dari sifat hakiki, tanpa kecuali Hitler dan diri kita masing-masing.

Tapi dalam melihat kasus khusus (tertentu), rupanya banyak perasaan subyektif yang bermain, dan menyimpulkan bahwa ada sosok hakiki (atta) yang berada dibalik suatu peristiwa atau fenomena.

Saran dari saya, jika agak sukar melihat sisi netral suatu fenomena, coba kita tempatkan diri kita dalam sudut pandang yang lain; misalnya kekejaman dan arogansi suku tertentu pada masa lalu, walaupun bukan itu alasan pembenaran untuk genosida dan tindak non-humanis lainnya. Segala sesuatu memiliki sebab, dan dalam kombinasi yang kompleks dengan sebab-sebab (pendukung) lain, maka akan melahirkan sebuah tindakan/perbuatan (action), yang sering kita nilai secara sepihak (tanpa melihat secara keseluruhan). Bisa diibaratkan; ada seorang bapak menabrak seorang anak muda dengan sepeda, malah memaki dan mau memukul anak muda tersebut. Ketika anak muda tersebut mau mencoba membela diri, saat itulah kita (pengamat parsial dan subyektif) muncul, dan kesimpulan kita: Anak muda ini kurang ajar sekali, mau memukul bapak-bapak. Seperti itulah pandangan moha dan avijja seorang makhluk... melihat tidak secara lengkap.

 _/\_

Sy agak takut melihat cara anda memahami konsep Anatta

Sy teringat cerita Zen mengenai seorang murid yg menjawab bahwa segala sesuatu adalah kosong dan saat si guru memukul kepalanya, si murid berteriak kesakitan, dan si guru mengatakan kalau segala sesuatu adalah kosong, mengapa kau berteriak kesakitan saat kupukul kepalamu?

Anatta mengajarkan kita untuk tidak melekati segala sesuatu krn sifat tanpa intinya, tanpa kepemilikan, sehingga kita tidak menderita.. bukannya mengajarkan kita untuk bisa berbuat apa saja karena segala sesuatu adalah kosong...

::

26
Jika mengacu pada sutra maka kita mungkin tidak akan menemukan arti dari Upaya Kausalya, tetapi hanya contoh ataupun perumpamaan dari Upaya Kausalya, dapat kita temukan di Saddharmapundarika Sutra. Jadi agak sulit menentukan istilah sebenarnya.

Satu-satunya cara adalah mengartikannya secara etimologi (asal kata). Upaya Kausalya dalam bahasa Sanskerta sama dengan Upaya Kusala dalam bahasa Pali.

Upaya, kata ini disadari atau tidak, terdapat dalam bahasa Indonesia, yaitu berarti usaha; ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dsb). Usaha berarti kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud.

Kausalya/Kusala/Kosala, bisa berarti baik, terampil, atau cerdas.

Jadi, Upaya Kausalya berarti usaha yang baik, terampil atau cerdas untuk memecahkan persoalan.

Kalo pengartian Upaya Kausalya adalah seperti yg Bro jabarkan, sy sangat setuju.
Pengertian ini mirip dengan Sati Sampajanna yg sering dibabarkan oleh Bhante Pannavaro: yakni perbuatan yg baik dan benar yg dilandasi oleh kebijaksanaan... Bahwa perbautan baik dan benar saja tidak cukup, namun tetap perlu kebijaksaan agar tidak merugikan makhluk lain dan diri sendiri.. saya setuju

Quote
Dalam Saddharmapundarika Sutra, perumpamaan dari usaha yang baik, terampil, cerdas, adalah usaha seorang ayah yang dapat mengeluarkan 3 anaknya dari dalam rumah dengan cara membujuk mereka. 

Kemudian Avalokitesvara yang dapat merubah dirinya menjadi berbagai rupa sebagai usaha menyelamatkan makhluk.

Kemudian di literatur Pali,  kisah Kisa Gotami, ketika Sang Buddha menyuruhnya mencari biji lada dari rumah yang belum pernah ada yang meninggal di dalamnya.

Ketiga contoh Upaya Kausalya ini tidak mengindikasikan adanya pelegalan perbuatan jahat/buruk demi menyelamatkan makhluk lain.

cocok dan setuju

Quote
Kemungkinan pengertian Upaya Kausalya kemudian menjadi bias dan dipahami secara tidak benar saat diterjemahkan ke bahasa lain khususnya di Tibet. Saya memperkirakan hanya ada dalam literatur Tibet yang melegalkan perbuatan buruk untuk melakukan perbuatan baik.

Bagaimana mungkin suatu usaha dikatakan baik jika melakukan hal yang tidak baik? Bagaimana mungkin dikatakan usaha yang terampil dan cerdas jika solusinya adalah harus merugikan salah satu pihak?

Sy sepaham dengan pandangan anda.

Dan sy melihat pendapat yg berbeda dari Bro Sunya..
Ini yg masih perlu sy diskusikan dengan rekan tsb, bahwa semua motivasi mulia harus juga dilakukan dengan perbuatan yg benar dan baik. Bahwa motivasi mulia saja, namun jika disusul dengan perbuatan yg salah, tetap saja perbautan itu salah, tidak peduli motivasinya mulia/tidak...

::

27
Dalam semua contoh kasus yang diberikan TS (Sdr. William), parameternya mudah saja. Niat bisa saja baik, tapi apa perbuatannya dilandasi dengan lobha, dosa, moha atau tidak? Dari sini bisa disimpulkan sendiri apakah perbuatan itu baik atau tidak baik (sesuai parameter agama Buddha).

- Niat (maksud anda motivasi seseorang kali yah?)= baik... ok jelas
- Perbuatan menjadi baik/tidak baik, tergantung LDM = ok jelas

Nah, disini kembali anda memisahkan motivasi seseorang dan perbuatannya untuk menindaklanjuti motivasi tsb.
Kembali ke contoh: si Ibu yg membakar anaknya, dimotivasi tidak ingin anaknya menahan malu dan kelaparan.
Berarti anda telah setuju bahwa:
- motivasi si Ibu adalah: baik (kamma baik dalam bentuk pikiran)
- perbuatan membakar anak = dilandasi moha dan dosa, adalah buruk (kamma buruk dalam bentuk perbautan)

Nah, menghasilkan dua kamma yg berbeda
 kalo ini kita klop

dimana perbuatan = NETRAL seperti yg anda jelaskan? Ujung2nya semuanya cocok dengan yg Buddha ajarkan kan?


Quote
Di luar semua konsep (termasuk agama Buddha), tindakan itu sendiri netral (tergantung dilihat dari sudut pandang apa), dan dalam pengamatan momen ke momen, sebuah perbuatan itu bisa terjadi karena dasar/landasan/sebab. Tidak mungkin (mustahil) sebuah perbuatan hanya murni dari niat pelaku saat itu. Ini yang dimaksud (dalam Mahayana, jika boleh saya wakili/aspirasikan) semua perbuatan itu netral, sebab merupakan rentetan dari sebab-sebab lalu, tercipta karena ada landasannya (dalam bahasa lebih mudah, semua perbuatan ada alasannya).

 [at] Bro Kelana: dapat anda lihat, bukan sy yg mengatakan bahwa ini adalah Ajaran Mahayana, tapi lawan diskusi sy dan krn sy tdk mendalami Mahayana, silahkan Bro Kelana yg lebih memahami Ajaran Mahayana melontarkan argumen atas pendapat Bro Sunya ini.. Bahwa semua tindakan adalah netral

Yg sy pahami bahwa semua OBJEK lah yg netral dan akan menjadi menyenangkan/tidak tergantung bagaimana kita mempersepsikannya
Sedangkan tindakan tidaklah netral krn semua tindakan ada cetana nya (lobha, dosa, moha, alobha, adosa, amoha)

::

28
Membahas yang begini, cara berpikirnya harus runut (koheren), sehingga logika berpikir tidak terbolak-balik atau berputar-putar di silogisme yang keliru.

Menurut saya, langkah pertama pembahasan, harus didefinisikan dengan jelas dulu, apa itu 'niat' yang dimaksud dalam kalimat di atas.

Yang saya ketahui, ada dua pengertian (dari pembahasan yang sudah-sudah):
1. Niat dalam arti landasan pikiran yang mendahului sebuah perbuatan.
Contoh: Mengambil air di bak mandi, dimulai dari niat mengayunkan tangan menuju gayung untuk mengambil air dalam bak.
2. Niat dalam arti motivasi, maksud atau harapan dalam sebuah perbuatan.
Contoh: Mengambil air di bak mandi, niatnya adalah untuk mandi, membersihkan lantai, atau menyiram kecoak ke kloset, dsb.

Mempersingkat diskusi, dalam pendapat saya, karma vipaka (akibat/buah) sebuah perbuatan adalah kombinasi dari kedua poin tersebut; utamanya dalam Mahayana, kekuatan motivasi lebih mendominasi sebuah perbuatan. Misal: Ketika seorang teroris sedang mau menarik picu senjata atau bom, kita yang berada di dekatnya bisa menabraknya atau mungkin melukainya jika itu diperlukan (ada urgensinya). Tindakan ini (menurut hemat saya), ada dua kategori karma yang berbuah nantinya, yaitu melukai teroris, serta menyelamatkannya dari karma buruk meledakkan bom yang bisa melukai/membunuh puluhan hingga ratusan orang.

Pernyataan anda tidak konsisten Bro.
- Pertama anda menulis: karma vipaka (akibat/buah) sebuah perbuatan adalah kombinasi dari kedua poin tersebut
lalu anda menulis:
- Tindakan ini (menurut hemat saya), ada dua kategori karma yang berbuah nantinya, yaitu melukai teroris, serta menyelamatkannya dari karma buruk meledakkan bom yang bisa melukai/membunuh puluhan hingga ratusan orang.
Nah, lebih spesifik, dalam upaya seorang bodhisattva, niat dan pikiran yang lurus bisa meminimalisir dampak dari sebuah perbuatan; sehingga karma vipaka dari perbuatannya, lebih dominan di niat dalam pengertian kedua (niat sebagai harapan, maksud, motivasi).

"Kombinasi" bisa sy artikan dua hal yg berbeda namun menanam satu kamma..
Mis: Membakar anak
- motivasi mulia: ingin anak tidak malu dan kelaparan
- tindakan buruk: membakar dan membunuh
~ kamma dan vipakanya hanya satu (kombinasi-kan?): yakni kamma-vipaka baik

Sedangkan "dua kategori kamma yg berbuah" merujuk kepada dua perbuatan, dua moment yg berbeda menghasilkan kamma yg berbeda, tidak dapat disebut kombinasi.
Mis: Membakar anak
- motivasi mulia: ingin anak tidak malu dan kelaparan
- tindakan buruk: membakar dan membunuh
~ kamma-vipakanya ada dua, masing2 moment menghasilkan kamma masing2: motivasi agar anak tidak malu dan kelaparan adalah kamma baik dalam bentuk pikiran dan perbuatan membunuh akan membentuk kamma buruk tersendiri pula

Jadi, dua pernyataan anda ini sy nilai tidak konsisten. Mana pernyataan yg benar menurut anda?

Quote
Hal yang lain; perbuatan buruk dan baik yang diketahui awam selama ini, berasal dari doktrin agama, sebagai perbuatan buruk, melanggar sila, berdosa/haram, dlsb.

Iya dan Tidak
Orang beragama mungkin mengetahui baik dan buruk dari ajaran agamanya
Sedangkan orang yg tidak beragama mengetahui baik dan buruk juga, namun tidak dari ajaran agama.

Quote
Maka itu, dalam pengertian lebih luas, semua perbuatan itu cenderung netral, tergantung apa motivasi dibaliknya.

Misalkan: motivasi si Ibu yg ingin agar anaknya tidak malu dan kelaparan (krn sang ayah masuk penjara), akhirnya membakar diri sendiri dan anak2nya... perbuatan ini netral, namun krn motivasinya baik, maka perbuatan ini menjadi baik?

::

29
Baiklah, jika demikian mari kita lihat apakah yang mengaku Mahayanis akan menggunakan istilah Upaya Kausalya sebagai dasar pemikirannya mengenai “Niat” ini. Ini berarti kita akan kembali lagi ke pembahasan mengenai Upaya Kausalya yang menurut saya merupakan suatu bentuk kemampuan untuk melakukan kegiatan/perbuatan, bukan membahas mengenai Niat itu sendiri.



Apakah arti Upaya Kausalya yg sebenarnya?

::

30
Sdr. Williamhalim. bagaimana kita mengetahui secara benar bahwa pendapat seseorang itu adalah dari konsep Mahayana? Apakah dengan berdasarkan klaim seseorang semata yang mengatakan: “ …berdasarkan Mahayana” atau “…dalam Mahayana”?
Tanpa acuan yang benar, maka diskusi ini akan menjadi debat kusir, toh akhirnya kita tidak tahu pendapat seseorang itu Mahayana atau bukan, jangan-jangan malah ajaran agama tetangga, Zoroastrianism misalnya. Bagaimana menurut anda?

Sudah saya tulis:

"Meskipun ada yg berpendapat ini adalah pola pikir Mahayana, sy masih tetap beranggapan ini adalah konsep pemikiran pribadi, bukan konsep Mahayana"

Artinya: Ia berpendapat ini adalah konsep pemikiran Mahayana, dan sy tidak setuju..

Untuk itu sy letakkan di board Mahayana agar bisa jelas benar/tidak konsep ini selaras dengan pemikiran Mahayana? Silahkan Bro Kelana menyumbang acuan yg benar

::

Pages: 1 [2] 3 4 5 6 7 8 9 ... 192