(2) Semangat Berani Puṇṇa[Sang Buddha berkata kepada bhikkhu Puṇṇa:] “Sekarang aku telah memberikan nasihat singkat kepadamu, Puṇṇa, di negeri manakah engkau akan menetap?”
“Bhante, aku akan menetap di negeri Sunāparanta.”
“Puṇṇa, orang-orang Sunāparanta ganas dan kasar. Jika mereka mencaci dan mengancam engkau, apakah yang akan engkau pikirkan?”
“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta mencaci dan mengancam aku, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan tinju.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”
“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan tinju, apakah yang akan engkau pikirkan?”
“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menyerangku dengan tinju, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan bongkahan tanah.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”
“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan bongkahan tanah, apakah yang akan engkau pikirkan?”
“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menyerangku dengan bongkahan tanah, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan tongkat.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”
“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan tongkat, apakah yang akan engkau pikirkan?”
“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menyerangku dengan tongkat, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak menyerangku dengan pisau.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”
“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menyerangmu dengan pisau, apakah yang akan engkau pikirkan?”
“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menusukku dengan pisau, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini baik, sungguh baik, sehingga mereka tidak membunuhku dengan pisau tajam.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”
“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta membunuhmu dengan pisau tajam, apakah yang akan engkau pikirkan?”
“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta membunuhku dengan pisau tajam, maka aku akan berpikir: ‘Ada para siswa Sang Bhagavā yang, karena merasa malu dan jijik dengan jasmani ini dan dengan kehidupan, telah mencari bagaimana agar kehidupan mereka dirampas dengan pisau. Tetapi aku telah menyebabkan kehidupanku dirampas dengan pisau bahkan tanpa mencari.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”
“Bagus, bagus, Puṇṇa! Dengan memiliki pengendalian diri dan kedamaian demikian, engkau akan mampu berdiam di negeri Sunāparanta. Sekarang, Puṇṇa, adalah waktunya engkau melakukan apa yang perlu engkau lakukan.”
Kemudian, setelah dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, Yang Mulia Puṇṇa bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, pergi dengan menjaga beliau tetap di sisi kanannya. Kemudian ia merapikan tempat tinggalnya, dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia melakukan perjalanan menuju negeri Sunāparanta. Dengan berjalan secara bertahap, ia akhirnya tiba di negeri Sunāparanta dan menetap di sana. Kemudian, selama masa pengasingan musim hujan, Yang Mulia Puṇṇa menegakkan lima ratus umat awam laki-laki dan lima ratus umat awam perempuan dalam praktik, dan ia sendiri mencapai tiga pengetahuan sejati.[2] Beberapa waktu kemudian, Yang Mulia Puṇṇa mencapai Nibbāna akhir.
(dari MN 145, MLDB 1118–19)
(3) Auman Singa SāriputtaPada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada beliau: “Bhante, aku telah menyelesaikan masa berdiam musim hujan di Sāvatthī. Aku ingin pergi dalam suatu perjalanan menuju daerah pedalaman.”
“Engkau boleh pergi, Sāriputta, sesukamu.”
Kemudian Yang Mulia Sāriputta bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi beliau dengan sisi kanannya menghadap beliau, dan pergi. Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Sāriputta pergi, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, Yang Mulia Sāriputta memukulku dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu tertentu: “Pergilah, bhikkhu, panggil Sāriputta.”
“Baik, Bhante,” bhikkhu itu menjawab. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan berkata: “Sang Guru memanggilmu, teman Sāriputta.”
“Baik, teman,” Yang Mulia Sāriputta menjawab.
Pada saat itu Yang Mulia Mahāmoggallāna dan Yang Mulia Ānanda membawa kunci dan mendatangi tempat tinggal demi tempat tinggal, [sambil menyerukan]: “Datanglah, para mulia! Datanglah, para mulia! Sekarang Yang Mulia Sāriputta akan mengaumkan auman singanya di hadapan Sang Bhagavā!”
Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Sāriputta, salah satu dari para bhikkhu temanmu telah mengajukan keluhan terhadapmu bahwa memukulnya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”
(1) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka membuang benda-benda yang murni maupun tidak murni ke atas bumi – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah — namun bumi ini tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti bumi, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(2) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka mencuci benda-benda yang murni maupun tidak murni di air—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun air itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti air, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(3) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya api membakar benda-benda yang murni maupun tidak murni—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun api itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti api, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(4) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya udara meniup benda-benda yang murni maupun tidak murni—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun udara itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti udara, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(5) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya sebuah kain lap yang menghapuskan benda-benda yang murni maupun tidak murni—kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah—namun kain lap itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti sehelai kain lap, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(6) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang anak laki-laki atau anak perempuan dari kasta buangan, yang berpakaian dari kain bertambalan dan memegang kendi, memasuki sebuah desa atau pemukiman dengan pikiran rendah hati; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti anak laki-laki dari kasta buangan itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(7) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seekor banteng dengan tanduk terpotong, yang lembut, yang dijinakkan dengan baik dan dilatih dengan baik, berkeliaran dari jalan ke jalan dan dari lapangan ke lapangan tanpa melukai siapa pun dengan kaki atau tanduknya; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran bagaikan pikiran banteng yang tanduknya terpotong itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(8 ) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang perempuan atau laki-laki - muda, berpenampilan muda, dan menyukai perhiasan, dengan kepala dicuci—akan terusir, malu, dan jijik jika bangkai ular, anjing, atau manusia, dikalungkan di lehernya; demikian pula, Bhante, aku terusir, malu, dan jijik oleh tubuh busuk ini.
(9) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seseorang yang membawa mangkuk retak dan berlubang berisi cairan lemak yang tumpah dan menetes; demikian pula, Bhante, aku membawa tubuh yang retak dan berlubang ini yang tumpah dan menetes.
“Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian pada jasmani mungkin memukul seorang bhikkhu temannya di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”
Kemudian bhikkhu penuduh itu bangkit dari duduknya, merapikan jubahnya di satu bahunya, bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku telah melakukan pelanggaran karena aku begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas alasan yang tanpa dasar. Bhante, sudilah Sang Bhagavā menerima pelanggaranku yang dilihat sebagai pelanggaran demi pengendalian di masa depan.”
“Tentu saja, bhikkhu, engkau telah melakukan pelanggaran karena engkau begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas alasan yang tanpa dasar. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sebagai pelanggaran dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, kami menerimanya. Karena adalah kemajuan dalam disiplin Yang Mulia bahwa seseorang melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, melakukan perbaikan sesuai Dhamma, dan melakukan pengendalian di masa depan.”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sāriputta maafkanlah manusia kosong ini sebelum kepalanya pecah menjadi tujuh keping tepat di sana.”
“Aku akan memaafkannya, Bhante, jika ia meminta maaf kepadaku.”
(AN 9:11, NDB 1261–64)
(4) Sakka dan Yakkha Pemakan KemarahanSang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau sesosok yakkha cacat yang buruk rupa duduk di atas tempat duduk Sakka, raja para deva. Kemudian, para deva Tāvatiṃsa mengetahui hal ini, menggerutu, dan mengeluhkan, dengan berkata: ‘Sungguh mengagumkan, tuan! Sungguh menakjubkan, tuan! Yakkha cacat yang buruk rupa ini duduk di atas tempat duduk Sakka, raja para deva!’ Tetapi semakin para deva Tāvatiṃsa itu menggerutu dan mengeluhkan hal ini, yakkha itu menjadi semakin tampan, semakin menarik, semakin terlihat agung.
“Kemudian, para bhikkhu, para deva Tāvatiṃsa itu mendatangi Sakka dan berkata kepadanya: ‘Di sini, Baginda, yakkha cacat yang buruk rupa telah menduduki tempat dudukmu … Tetapi semakin para deva menggerutu … yakkha itu menjadi semakin tampan, semakin menarik, semakin terlihat agung.’ — Dia pasti yakkha pemakan kemarahan.’
“Kemudian, para bhikkhu, Sakka, raja para deva, mendekati yakkha pemakan kemarahan itu. Setelah mendekat, ia merapikan jubah atasnya di satu bahu, berlutut dengan lutut kanan menyentuh tanah, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada yakkha itu, ia menyebutkan namanya tiga kali: ‘Aku, Tuan, adalah Sakka, raja para deva! Aku, Tuan, adalah Sakka, raja para deva!’ Semakin Sakka menyebutkan namanya, yakkha itu menjadi semakin buruk dan buruk dan menjadi lebih cacat hingga ia lenyap dari sana.
“Kemudian, para bhikkhu, setelah duduk di tempat duduknya sendiri, dengan memberikan instruksi kepada para deva Tāvatiṃsa, Sakka, raja para deva, pada kesempatan itu mengucapkan syair-syair ini:
“‘Aku tidak terganggu dalam pikiran,
ataupun tidak mudah terpengaruh oleh pusaran kemarahan.
Aku tidak pernah marah dalam waktu yang lama,
ataupun kemarahan tidak bertahan lama dalam diriku.
“‘Ketika aku marah, aku tidak mengucapkan kata-kata kasar
dan aku tidak memuji kebajikanku.
Aku menjaga diriku senantiasa terkendali baik
demi kebaikanku sendiri.’”
(SN 11:22, CDB 338–39)
Catatan Kaki:[1] Dhp 184:
Khantī paramaṃ tapo titikkhā.[2] Pengetahuan tentang kehidupan lampau seseorang, pengetahuan tentang bagaimana orang lain meninggal dan terlahir kembali menurut kamma mereka, dan pengetahuan atas penghancuran noda-noda, yaitu, kearahantan.