terima kasih om isaacus atas kehadirannya yang menghibur teman2 di sini.
anda sangat sabar dan konsisten walaupun mendapat beberapa celaan maupun hujatan.
saya pikir, om isaacus di sini memberi kita sebuah cermin untuk melihat bagaimana efek dari sebuah dogma dan kelekatan kepada doktrin. kita bisa memeriksa ke dalam, apakah saya memiliki prejudice dan kelekatan yang sama, yang bagi orang lain terlihat sebegitu jelas sebesar gajah, namun tak tampak di mata kita sendiri.
dalam hal ini, saya melihat halangan utama untuk belajar ataupun mencari kebenaran adalah "kebenaran" yg dilekati dan dianggap sudah final, tertutup untuk sesuatu yang baru.
RAKSASA DI SUNGAI
Imam di desa terganggu doanya karena anak-anak ramai bermain-main di sebelah rumahnya. Untuk menghalau anak-anak itu ia berseru: 'Hai, ada raksasa mengerikan di sungai di bawah sana. Bergegaslah ke sana! Nanti kamu akan melihatnya sedang menyemburkan api lewat lubang hidungnya.'
Sebentar saja semua orang di kampung sudah mendengar tentang munculnya raksasa itu. Mereka cepat-cepat berlari menuju sungai. Ketika imam melihat hal ini, ia ikut bergabung bersama banyak orang. Sambil berlari sepanjang jalan menuju ke sungai yang enam kilometer jauhnya, ia kembali berpikir: 'Memang benar, aku sendiri yang membuat cerita. Tetapi, barangkali benar juga, ... siapa tahu.'
Jauh lebih mudah percaya kepada 'tuhan' ciptaan kita sendiri, kalau kita berhasil meyakinkan orang lain, bahwa 'tuhan' memang ada.
(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)
Beginilah jika diri sendiri sudah terdoktrin oleh "tuhan'. Jika menolak keberadaan,nya', berarti merasa bersalah pada diri sendiri dan pada tuhan yang diciptakan. Karena memang konsep itu tertanam dalam pikiran begitu kuat. Bahkan ' tuhan " itu telah jadi KARAKTER, yakni menuhankan diri sendiri dan berperan sebagai tuhan ( yang diciptakan ) yang tahu segalanya ( Maha Sok Tahu )