Perlu bantuan informasi tentang proses2 jadi Bhiksu? Lebih detail lebih baik
Ringkasan Upasampada Bhikkhu Menurut Vinaya Pitaka Pali
Vinaya Pitaka adalah bagian kitab suci Tipitaka yang membahas mengenai aturan-aturan kebhikkhuan termasuk syarat-syarat serta proses pentahbisan atau upasampada seorang bhikkhu.
Sebagai umat awam tidak ada salahnya bagi kita untuk mengetahui isi Vinaya Pitaka. Pada kesempatan kali ini, kita akan mengulas mengenai seluk beluk upasampada seorang bhikkhu menurut Vinaya Pitaka Pali.
Tiga jenis metode upasampada dalam sejarah Buddhadhamma :
1. Ehi-bhikkhu upasampadaPentahbisan oleh Buddha dengan ucapan, "Ehi bhikkhu, svakkhato dhammo caro brahmacariyam samma dukkhasa antakiriyaya" - "Marilah bhikkhu,Dhamma telah dibabarkan dengan baik, hiduplah sebagai brahmacariya untuk mengakhiri dukkha ini selamanya." Setelah ucapan itu diperdengarkan,orang yang berminat menjadi bhikkhu itu diterima dan bergabung dengan Sangha. Pentahbisan ini dikenal sebagai Ehi-bhikkhu upasampada yang berarti "Pentahbisan dengan ucapan Marilah Bhikkhu!"
2. TisaranagamanupasampadaPentahbisan dilakukan di hadapan para siswa utama Buddha. Para calon bhikkhu diharuskan mencukur terlebih dahulu rambut dan janggut mereka serta mengenakan jubah kasaya (berwarna kuning) sebagai pertanda niat mereka untuk bergabung dengan Sangha. Selanjutnya, mereka mengucapkan dengan tulus rumusan Berlindung Pada Tiga Permata dengan sikap hormat. Setelah melakukan tatacara ini, calon bhikkhu diterima dan bergabung dengan Sangha sebagai bhikkhu seutuhnya. Oleh karena itu, pentahbisan semacam ini disebut Tisaranagamanupasampada, yang berarti Pentahbisan dengan Berlindung pada Tiga Permata.
3. Natti-catutthakamma-upasampadaPentahbisan dilakukan di hadapan anggota Sangha, dimana kumpulan sejumlah bhikkhu yang jumlahnya ditentukan berdasarkan tugasnya berkumpul dalam sebuah sima (yakni suatu tempat dengan batasan-batasan tertentu). Mereka memaklumkan penerimaan calon bhikkhu ke dalam anggota Sangha yang kemudian disetujui oleh para bhikkhu lainnya.
Berdasarkan ketiga metode di atas, kita mengenal tiga jenis bhikkhu berdasarkan metode pentahbisannya; yakni bhikkhu yang diupasampadakan dengan metode pertama, kedua,dan ketiga.
Lima syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat diupasampadakan (sampatti):- Orang yang berhasrat untuk menerima upasampada haruslah pria.
- Ia harus mencapai usia 20 tahun sebagaimana yang disyaratkan, dimana usia ini dihitung semenjak mulainya pembuahan (dengan menganggap bahwa janin berada dalam kandungan ibunya selama 6 bulan menurut penanggalan lunar).
- Tubuh orang itu hendaknya mencerminkan seorang pria yang sempurna. Seorang kasim dengan demikian tidak diizinkan menjadi bhikkhu. Selain itu, organ-organ tubuh lainnya harus sempurna dan lengkap. Inilah yang dimaksud dengan terbebas dari kecacatan.
- Ia hendaknya tidak pernah melakukan kejahatan-kejahatan sangat berat, seperti membunuh ibu, membunuh ayah, dan lain sebagainya.
- Ia hendaknya tidak pernah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dianggap berat oleh Buddhasasana, seperti melanggar aturan aturan parajika sebelum ditahbiskan sebagai bhikkhu. Atau, kendati ia sebelumnya pernah menjadi bhikkhu, tetapi memiliki pandangan salah dan menganut keyakinan lainnya.
Langkah-langkah menuju kesempurnaan upasampadaAgar upasampada seorang bhikkhu dapat dikatakan sempurna masih ada beberapa hal lagi yang harus dipertimbangkan:
a. Vatthu-sampatiJika seseorang pernah melakukan pelanggaran serius atau terlahir sebagai seorang wanita, maka orang itu tidak dapat menerima upasampada dan pentahbisan mereka disebut sebagai vatthu-vipatti,yang secara harafiah berarti "tidak sempurna atau rusak secara materil."
Apabila sangha dengan sadar atau atau tidak sadar mentahbiskan orang-orang yang tidak memenuhi kelima kriteria di atas secara sempurna,maka penerima upasampada itu tidak akan menjadi bhikkhu yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan Sang Buddha. Begitu sangha mengetahui adanya pelanggaran terhadap kriteria di atas, orang yang telah "ditahbiskan" tersebut harus diusir dari sangha.
Sebaliknya, orang yang memenuhi kelima kriteria di atas disebut vatthu-sampatti (sempurnanya seluruh kriteria) dan boleh diupasampada oleh sangha. Meskipun demikian, seseorang telah memenuhi kriteria di atas tetap harus diuji lebih lanjut secara seksama oleh sangha sebelum upasampada diberikan, demi menghindari ditahbiskannya para pencuri, penjahat, atau orang orang yang bereputasi buruk di tengah-tengah masyarakat.
Selanjutnya, yang perlu pula dihindari adalah orang-orang yang memiliki rajah-rajah (tatto) pada tubuhnya (sebagai tanda hukuman di zaman dahulu) sesuai dengan kejahatan yang telah mereka lakukan,atau memiliki luka-luka akibat cambukan pada punggungnya, dan begitu pula dengan orang yang menderita cacat fisik atau penyakit kronis sehingga tidak dapat mengemban tugas mereka sebagai bhikkhu.
Orang yang memiliki penyakit menular atau berada di bawah perlindungan dan kekuasaan orang lain, seperti orang tua, pemerintah, pejabat, majikan,dan pemberi hutang, juga tidak dapat menerima upasampada. Namun, bila mereka diberi izin oleh pemberi perlindungan atau orang yang berkuasa atas mereka, barulah upasampada dapat diberikan.
Sebagai contoh adalah seorang anak yang telah mendapat restu orang tuanya, pejabat pemerintah yang berwenang memberikan izin baginya, sang majikan membebas-tugaskannya, atau orang itu telah melunasi segenap hutang-hutangnya.
Orang-orang semacam ini tidaklah tertutup sama sekali kemungkinannya untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu (berbeda dengan orang yang tidak memenuhi kelima kriteria wajib di atas),dan bila sangha secara tidak sadar telah mentahbiskan orang-orang semacam itu, maka upasampadanya tetap sah dan mereka tidak perlu diusir dari sangha.
b. Parisa-sampattiBila sangha hendak memberikan upasampadanya,para bhikkhu yang telah ditetapkan jumlahnya haruslah hadir, inilah yang disebut parisa-sampatti (sempurnanya jumlah bhikkhu yang diperlukan).
Tetapi, bila jumlah bhikkhu yang hadir kurang dari yang seharusnya, hal ini disebut parisa-vipatti (ketidak-sempurnaan dalam hal jumlah), dan konsekuensinya upasampada juga tidak dapat dilangsungkan.
c. Sima-sampattiUpasampada adalah suatu kegiatan dimana seluruh bhikkhu harus berperan serta di dalamnya.Apabila di dalam suatu daerah yang telah ditentukan batas-batasnya (sima), terdapat bhikkhu-bhikkhu dengan jumlah lebih banyak dibandingkan dengan yang telah ditetapkan, tetapi mereka tidak seluruhnya mengikuti acara upasampada itu dan tidak pula peduli dengannya, maka meskipun jumlah bhikkhu telah memadai, upasampada tetap tidak dapat diberikan. Inilah yang disebut dengan simavipatti(ketidak sempurnaan dalam hal sima).
Karenanya, anggota sangha dengan jumlah yang sesuai dengan ketentuan haruslah berkumpul dalam suatu tempat yang telah ditetapkan batas-batasnya pula. Dengan demikian barulah upasampada akan menjadi sah, dimana hal ini disebut sebagai simasampatti(sempurnanya sima).
d. Kammavaca-sampattiSebelum upasampada dapat dilangsungkan,masih ada lagi langkah pendahuluan yang perlu diambil. Orang yang berniat menjadi bhikkhu harus diuji terlebih dahulu kualitas pribadinya (dimana dalam pengujian ini sangha harus disertai oleh satu atau dua acariya, yakni guru yang membacakan pertanyaannya). Pertanyaan yang ditanyakan oleh guru itu meliputi satu kelompok pelanggaran pelanggaran saja. Mungkin juga pertanyaan pertanyaan [mengenai pelanggaran] paling serius telah dipilih (untuk ditanyakan di hadapan sangha).
Barangkali pada masa awal perkembangannya, hanya pelanggaran-pelanggaran sangat berat semacam ini sajalah yang ditanyakan pada calon bhikkhu,sedangkan pelanggaran lain yang lebih ringan ditambahkan kemudian.
Seorang calon penerima upasampada memerlukan seorang bhikkhu untuk merekomendasikan dan membawa dirinya ke hadapan sangha, dimana bhikkhu ini disebut upajjhaya.
Seorang upajjhaya hendaknya seorang bhikkhu senior yang mumpuni, sehingga dapat mengajar bhikkhu baru tersebut setelah ia diupasampadakan. Selain itu, ia juga harus menanyakan apakah kebutuhan-kebutuhan wajib atau parikkhara sang calon, seperti jubah dan mangkuk, telah tersedia. Jika belum, ia harus mengusahakannya. Sangha harus memerintahkan seorang bhikkhu untuk menanyakan pada calon bhikkhu mengenai barang-barang keperluan ini.Upasampada hanya boleh diberikan bila orang itu memang bersedia menerimanya dan tidak dapat dipaksakan. Sudah menjadi tradisi bahwa seorang calon bhikkhu mengutarakan permohonannya agar diterima sebagai anggota sangha.
Semua ini adalah langkah-langkah pendahuluan sebelum upasampada dapat dilangsungkan. Jika syarat-syarat pendahuan ini ada yang kurang sempurna, tetapi calon tidak pernah melakukan pelanggaran-pelanggaran serius,upasampada-nya tetap dianggap sah, hanya saja tidak sesuai dengan tradisi.
Ketika segala sesuatunya telah sempurna(sampatti), tibalah saatnya untuk mengumumkan penerimaan calon bhikkhu ke dalam komunitas sangha. Seorang bhikkhu yang memiliki pengetahuan memadai ditugaskan untuk membacakan pernyataan itu di hadapan sangha. Pernyataan itu sendiri dibagi menjadi empat tahap.
Pertama-tama disampaikan pemberitahuan(natti) bagi sangha serta permohonan agar calon diterima. Ketiga pernyataan berikutnya disebut dengan anusavana, yang berisikan hasil perundingan antar anggota sangha, dimana masing-masing anggota berhak untuk berbicara. Apabila ada salah seorang bhikkhu yang menentang permohonan itu,penerimaan akan dibatalkan tetapi bila seluruh anggota sangha berdiam diri, hal itu dapat diartikan bahwa mereka semua telah sepakat menerima sang calon ke dalam komunitas sangha.
Jika seluruh anggota telah sepakat, pernyataan penerimaan oleh sangha diumumkan dan seorang guru (atau dua orang guru bila kedua acariya yang membacakannya) mengatakan bahwa ia akan mengingat hal ini. Pada kesempatan tersebut, nama calon bhikkhu serta upajjhaya yang merekomendasikannya kepada sangha, dan juga sangha itu sendiri tidak boleh lupa disebutkan. Ini merupakan suatu keharusan dan bukan sebaliknya.
Bila segenap hal ini telah dilakukan dengan benar dan sempurna, barulah dapat disebut sebagai Kammavaca-sampatti (sempurnanya segenap pernyataan). Sangha yang hendak memberikan upasampada haruslah melaksanakannya berdasarkan kelima sampatti ini, sehingga tatacara pentahbisan tersebut selaras dengan apa yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha.
Rangkuman Empat Kondisi yang Harus Dipenuhi1. Vatthu-sampatti - berkenaan dengan kualitas pribadi calon bhikkhu
2. Parisa-sampatti - berkenaan dengan jumlah para bhikkhunya
3. Sima-sampatti - berkenaan dengan tempat pentahbisan yang telah ditetapkan batasannya(sima)
4. Kammavaca-sampatti - berkenaan dengan pernyataan penerimaan
Sementara itu, butir terakhir dapat dibagi menjadi dua, sehingga secara keseluruhan terdapat lima sampatti:
4. Natti-sampatti - berkenaan dengan permohonan
5. Anusavana-sampatti - berkenaan dengan penerimaan calon bhikkhu tersebut
Disarikan dari buku The Entrance to The Vinaya(Vinayamukha) jilid 1 oleh Somdetch Phra Maha Samana Chao Krom Phraya Vajirananavarorasa. Source :
http://www.ceriwis.us/showthread.php?t=87242