Perkenalkan saya Indra, anggota baru.
Saya suka membaca buku2 sutra2 Mahayana & membaca buku2 Budhism lainnya, semua saya baca tidak terbatas pada aliran, karena dengan cara ini lebih memperluas wawasan.
Salah seorang teman baik yang Muslim menceritakan, bahwa di Islam ada yang disebut TAFSIR Al Quran, dan yang menafsirkan adalah memang orang yang berkompeten sekali, mengingat pencerapan / pengertian umat yang berbeda2, dan ajaran agama itu sangat dalam.
Adakah di lingkungan Budhism orang2 intelektual / yang tercerahkan yang sudah melakukan TAFSIR atas Sutra/pelajaran Budhism, dengan BAHASA SEDERHANA / AWAM dan MODERN atau cara apapun sehingga mudah dimengerti.
Sebagai contoh, saya barusan membaca Sutra Teratai, bahasanya memang sederhana, tapi diulang2, saya yang sederhana ini belum menangkap intisarinya, secara jujur ini bertele2 tidak to the point.
Kalau ada mohon dapat diberikan informasi, seperti judul2 buku mengenai TAFSIR tsb.
Kiranya sekian dulu, nanti kita sambung lagi. Terima kasih.
Kalau pelajari kitab-kitab berbahasa Pali, seperti-nya tidak perlu penafsiran yang luar biasa. Semua-nya cukup jelasyang diperlukan hanya ketahanan banting untuk membaca pengulangan-pengulangan yang terkadang agak merepotkan..
Untuk sutta-sutta Pali sudah ada kitab komentar (atthakatha) yang ditulis oleh para komentator terkemuka seperti Bhikkhu Buddhaghosa dan yang lainnya, yang dianggap sebagai penjelasan terhadap sutta-sutta yang diterima secara resmi oleh aliran Theravada saat ini. Kitab komentar ini disusun berdasarkan komentar kuno yang diyakini berasal dari masa Sang Buddha sendiri oleh para siswa langsung Beliau.
Komentar itu termasuk tafsiran atau bukan?
Komentar itu termasuk tafsiran atau bukan?
Setahu saya tidak ada ajaran Buddha yang disebut dengan hinayana.
Jadi kalau ditanya apakah ada kitab tafsir ajaran hinayana maka jawabannya jelas: tidak ada.
Sengaja saya tidak mengomentari ttg penggunaan istilah Hinayana ini krn TS tidak bermaksud membahas hal tersebut.... :)
Istilah "Hinayana" sebaiknya tidak digunakan untuk menunjuk pada Buddhisme awal (Nikaya Buddhism sebelum perpecahan aliran2) ataupun Theravada saat ini. Dari segi arti katanya, istilah "hina" bermakna "rendah", sedangkan "maha" bermakna "besar, agung". Jika istilah "hina" dijadikan sebagai lawan kata dari "maha", ini jelas salah krn lawan kata "maha" adalah "cula" (kecil), bukan "hina". Jadi dari segi makna kata sudah berbeda artinya.....
Sengaja saya tidak mengomentari ttg penggunaan istilah Hinayana ini krn TS tidak bermaksud membahas hal tersebut.... :)
Istilah "Hinayana" sebaiknya tidak digunakan untuk menunjuk pada Buddhisme awal (Nikaya Buddhism sebelum perpecahan aliran2) ataupun Theravada saat ini. Dari segi arti katanya, istilah "hina" bermakna "rendah", sedangkan "maha" bermakna "besar, agung". Jika istilah "hina" dijadikan sebagai lawan kata dari "maha", ini jelas salah krn lawan kata "maha" adalah "cula" (kecil), bukan "hina". Jadi dari segi makna kata sudah berbeda artinya.....
kalau di Saddharmapundarika Sutra ada tuh ajaran Hinayana...
jadi culayana !
Seharusnya jg spt itu. Tapi kalo istilah tsb jg dianggap "mengecilkan", jadinya sama saja dengan istilah "Hinayana"..... :)
Agama sebenarnya netral, tergantung praktisi yang menjalaninya. Kalau ada ajaran/aliran/agama yang ingin dianggap besar, mulia, agung, dst, sebenarnya itu adalah keinginan dari umatnya, bukan representasi dari (isi) ajaran apalagi keinginan dari pendiri/perintis-nya.
_/\_
Benar, tetapi bukankah meninggikan diri sendiri tidak harus dengan merendahkan yang lain....
Seharusnya jg spt itu. Tapi kalo istilah tsb jg dianggap "mengecilkan", jadinya sama saja dengan istilah "Hinayana"..... :)
hoi jadi OOT
Saudara indras apakah cukup jelas atau masih ada pertanyaan?
Jika saya punya mobil dengan kapasitas 4000 cc, dan saya sebut punya Anda 2000 cc, jika ini adalah kenyataan, apakah ini disebut merendahkan?
Persepsi sering kali mengecoh. Waspadalah...
_/\_
bold : dengan angka tidak bisa jadi contoh kalimat
contoh kalimat ini lebih cocok,
demikian kami punya kendaraan besar, anda punya kendaraan kecil.
apakah menghina atau membanding ?
justru' pengarangnya dadakan' sehingga benar2 terjadi persepsi negatif atau memang benar adanya pengecilan.
Sekarang begini, rekan Adi Lim, dalam Mahayana jelas tujuannya adalah Samma Sambuddha melalui jalur Bodhisattva-Mahasattva, sedang dalam aliran lain (saya hindari penyebutan agar tidak dikatakan pengecilan) jelas juga tujuannya adalah Arahat/Arahanta/Arhat. Bila paham kedua definisi tersebut (Samma Sambuddha dan Arahat) tentu sudah dapat menarik sendiri kesimpulan.
Seperti halnya sarjana S1 dan Profesor, serta ukuran mesin mobil, apakah jika yang satu disebut lebih kecil adalah sebuah penghinaan?
Saya kira realita lebih penting dari persepsi. Misalnya saya berberat badan 100 kg, tentu saya boleh mengatakan Anda lebih kecil jika hanya berbobot 50 kg atau dibawah 100 kg. Jika ini disebut mengecilkan atau merendahkan, bukankah itu sudah masuk dalam ranah persepsi (penilaian subyektif)?
Lihat sesuatu apa adanya, realita memang hanya demikian adanya.
_/\_
stop stop stop jadi OOT kan
lanjutin aja di tempat lain debat klasik begitu
Sekarang begini, rekan Adi Lim, dalam Mahayana jelas tujuannya adalah Samma Sambuddha melalui jalur Bodhisattva-Mahasattva, sedang dalam aliran lain (saya hindari penyebutan agar tidak dikatakan pengecilan) jelas juga tujuannya adalah Arahat/Arahanta/Arhat. Bila paham kedua definisi tersebut (Samma Sambuddha dan Arahat) tentu sudah dapat menarik sendiri kesimpulan.
Seperti halnya sarjana S1 dan Profesor, serta ukuran mesin mobil, apakah jika yang satu disebut lebih kecil adalah sebuah penghinaan?
Saya kira realita lebih penting dari persepsi. Misalnya saya berberat badan 100 kg, tentu saya boleh mengatakan Anda lebih kecil jika hanya berbobot 50 kg atau dibawah 100 kg. Jika ini disebut mengecilkan atau merendahkan, bukankah itu sudah masuk dalam ranah persepsi (penilaian subyektif)?
Lihat sesuatu apa adanya, realita memang hanya demikian adanya.
_/\_
Oleh karena itu saya pribadi menganggap sutra tersebut adalah sutra "tempaan" (forge). :backtotopic: :whistle:
Sekarang begini, rekan Adi Lim, dalam Mahayana jelas tujuannya adalah Samma Sambuddha melalui jalur Bodhisattva-Mahasattva, sedang dalam aliran lain (saya hindari penyebutan agar tidak dikatakan pengecilan) jelas juga tujuannya adalah Arahat/Arahanta/Arhat. Bila paham kedua definisi tersebut (Samma Sambuddha dan Arahat) tentu sudah dapat menarik sendiri kesimpulan.
Seperti halnya sarjana S1 dan Profesor, serta ukuran mesin mobil, apakah jika yang satu disebut lebih kecil adalah sebuah penghinaan?
Saya kira realita lebih penting dari persepsi. Misalnya saya berberat badan 100 kg, tentu saya boleh mengatakan Anda lebih kecil jika hanya berbobot 50 kg atau dibawah 100 kg. Jika ini disebut mengecilkan atau merendahkan, bukankah itu sudah masuk dalam ranah persepsi (penilaian subyektif)?
Lihat sesuatu apa adanya, realita memang hanya demikian adanya.
_/\_
justru hanya melihat realita adanya itu adalah mengecilkan ^-^
Jika Anda pendek dan saya katakan pendek apakah itu mengecilkan?
Salam. _/\_
Justru itu, kalau baca lagi Sutr Intan, Tidak ada yang namanya dhamma sempurna, tidak ada makhluk yang dibebaskan...
Justru karena bahkan untuk "keinginan mulia" (chanda) untuk mencapai annutara sammasambuddha, Petapa Sumedha harus menjalani 4 assankheya kappa + 100.000 kappa di dalam samsara (mengalami kelahiran dan kematian berulang2) lagi.
JADI TIDAK ADA YANG NAMA-nya ANNUTARA SAMYAKSAMBUDDHA (Baca Sutra Intan).
Anda paham makna hakiki (mutlak) dan makna konvensional (kondisional/situasional) tidak?
Anda tentu paham analogi berikut (di luar konteks, tapi serupa dengan penafsiran pragmatis Anda di atas):
1. Mobil itu ada, nyata dan bisa saya lihat dan sentuh.
2. Mobil itu tidak ada, terdiri dari mur, baut, besi, karet, busa, kaca, stiker, cat, lem, plastik, dsb.
Nah, perumpamaan di atas adalah analogi untuk anatta, tiada inti kekal. Tapi dalam keseharian kita, toh kita masih menggunakan terminologi mobil untuk mewakili suatu obyek yang kita tunjuk/maksudkan.
Jadi, tulisan Anda di atas, dipahami sebagai poin kedua dari analogi serupa yang saya berikan tidak?
Kalau Anda telan mentah, dan dicampur aduk, tentu saja Anda tidak akan pernah mencerna (dharma) dengan baik.
Bicara sesuai konteks,
bertindak dan berperilaku sesuai kondisi dan aturan.
Belajar dharma sesuai koridor, kebenaran mutlak atau kebenaran konvensional (Paramattha Sacca atau Sammuti Sacca).
Begitu, semoga bisa dipahami.
Salam. _/\_
Jika Anda pendek dan saya katakan pendek apakah itu mengecilkan?
Salam. _/\_
Belajar dharma sesuai koridor, kebenaran mutlak atau kebenaran konvensional (Paramattha Sacca atau Sammuti Sacca).
Begitu, semoga bisa dipahami.
Salam. _/\_
Emang-nya Buddha (Tathagatha) bisa membebaskan makhluk lain ?
bagaimana pula kosong = isi, isi = kosong ?
Emang-nya Buddha (Tathagatha) bisa membebaskan makhluk lain ?
Tergantung dalam pengertian (konteks) apa.
Jika Sakyamuni tidak memutar roda dharma di bumi ini, apakah hari ini ada Dhammacitta.org?
Jika saja di dunia ini tidak pernah ada Pangeran Siddharta yang mencapai Penerangan Sempurna, apakah hari ini ada saya dan Anda sedang berbicara tentang Buddha, Tathagatha, Triratna, Anatta, dll?
Bahkan vihara saja tidak ada, apalagi bhikkhu dan kitab sucinya.
Namun, jika bicara tentang pelatihan diri dan pembebasan, berhubung adanya free will (keinginan bebas), maka tentunya setiap makhluk bertanggung jawab atas semua pilihan hidupnya (terlahir dan mewarisi karmanya masing-masing).
Jadi, tergantung konteks. Semoga dapat dipahami.
Salam. _/\_
Tergantung dalam pengertian (konteks) apa.
Jika Sakyamuni tidak memutar roda dharma di bumi ini, apakah hari ini ada Dhammacitta.org?
Jika saja di dunia ini tidak pernah ada Pangeran Siddharta yang mencapai Penerangan Sempurna, apakah hari ini ada saya dan Anda sedang berbicara tentang Buddha, Tathagatha, Triratna, Anatta, dll?
Bahkan vihara saja tidak ada, apalagi bhikkhu dan kitab sucinya.
Namun, jika bicara tentang pelatihan diri dan pembebasan, berhubung adanya free will (keinginan bebas), maka tentunya setiap makhluk bertanggung jawab atas semua pilihan hidupnya (terlahir dan mewarisi karmanya masing-masing).
Jadi, tergantung konteks. Semoga dapat dipahami.
Salam. _/\_
Apakah semua makhluk tercerahkan ketika bertemu (dan sampai mendapat / mendengar khotbah dhamma) dengan Buddha (Tathagatha) ? Bagaimanakah Nasib Cinca (penfitnah Buddha) ? Bagaimanakah nasib Devadatta ?
Namun, jika bicara tentang pelatihan diri dan pembebasan, berhubung adanya free will (keinginan bebas), maka tentunya setiap makhluk bertanggung jawab atas semua pilihan hidupnya (terlahir dan mewarisi karmanya masing-masing).