Bab 13
Abhidhamma Awal
Saya mengambil langkah yang tidak biasa mempertimbangkan teks-teks Abhidhamma sebelum Sutta-Sutta Satipaṭṭhāna, bahkan ini menjawab urutan historisnya. Ini adalah untuk dua alasan. Satu adalah bahan Abhidhamma tentang satipaṭṭhāna mempertahankan beberapa ciri khas yang lebih kuno daripada Sutta-Sutta. Kedua adalah bahwa saya ingin mendekontruksi persepsi tentang apakah satipaṭṭhāna, persepsi yang dikondisikan oleh penafsiran modern
vipassanāvāda dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda.
Literatur Abhidhamma adalah sistemasi yang diformalisasikan, bersifat skolastik dari Dhamma berdasarkan perspektif aliran-aliran. Sementara literatur Sutta dan Vinaya sebagian besar sama pada semua aliran, Abhidhamma dari aliran-aliran berbeda sangat jauh. Ini karena Sutta-Sutta dan Vinaya berasal dari masa pra-sektarian, sedangkan literatur Abhidhamma bersifat sektarian. Namun dalam pembahasan GIST kita, kita mencatat suatu pengecualian dari aturan ini. Terdapat tiga teks Abhidhamma yang semuanya tampak berasal dari suatu sumber yang sama, yang kita sebut “*Vibhaṅga Mūla”. Teks-teks ini adalah Vibhaṅga dari Theravāda, Dharmaskandha dari Sarvāstivāda,[1] dan Śāriputrābhidharma dari Dharmaguptaka.[2] Inti bersama dari karya-karya ini adalah sebuah
mātikā, matriks atau daftar dari pengelompokan-pengelompokan ajaran, yang dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan dari Sutta-Sutta dan definisi-definisi kata. Karena karya ini dimulai sebelum perpecahan dan Sutta-Sutta belum diselesaikan sampai kemudian, terdapat beberapa tumpang tindih dalam penyusunan Sutta-Sutta dan Abhidhamma-Abhidhamma.
13.1 Vibhaṅga
Vibhaṅga memasukkan suatu pembahasan tentang satipaṭṭhāna sebagai salah satu dari rangkaian bab yang berhubungan dengan 37 sayap menuju pencerahan. Pembahasan itu dibagi ke dalam sebuah “Penguraian Sutta” dan sebuah “Penguraian Abhidhamma”. Penguraian Sutta dalam Vibhaṅga tetap dekat dengan Sutta-Sutta. Penguraian Abhidhamma adalah belakangan dan mengandung bahan Abhidhammik yang tersendiri. Kita akan melihat pada Penguraian Sutta dari Vibhaṅga di sini, dengan menahan pembahasan tentang Penguraian Abhidhamma untuk bab berikutnya.
Vibhaṅga memulai dengan rumusan dasar satipaṭṭhāna, yang diuraikan dengan perenungan internal/eksternal. Struktur yang lebih terperinci kemudian diungkapkan sebagai berikut.
Dalam Vibhaṅga [perenungan terhadap] tubuh diperlakukan sama seperti 31 bagian tubuh. Ini lebih kuno daripada Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda. Meditasi unsur-unsur dan jenazah, yang ditemukan dalam semua ketiga versi Sutta, juga ditemukan dalam Dhammasaṅgaṇī, sehingga tidak jelas mengapa mereka tidak ada di sini. Penyebutan 31 bagian tubuh juga lebih awal, yang ditemukan dalam empat Nikāya; tetapi pada masa Khuddakapāṭha disusun (di Sri Lanka?), otak telah ditambahkan untuk melengkapi 32 bagian yang klasik saat ini. Saya akan membahas perenungan tubuh di bawah, dalam konteks dari Śāriputrābhidharma.
Sebagai tambahan pada analisis berunsur tiga atas perasaan, bahan satipaṭṭhāna memperkenalkan perbedaan antara perasaan “duniawi” dan “spiritual”. Perbedaan ini hanya dijelaskan dalam Vedanā-saṁyutta.[3] Karena “duniawi” dan “spiritual” adalah istilah yang tidak biasa dalam konteks ini, mungkin bacaan Vedanāsaṁyutta dimaksudkan untuk menjelaskan Satipaṭṭhāna Sutta. Ini ditegaskan oleh ciri khas yang tidak biasa lainnya, dimasukkannya “kegiuran” sebagai suatu jenis perasaan. Kegiuran tidak disebutkan dalam bagian perasaan dari Satipaṭṭhāna Sutta, tetapi ia jatuh di bawah perasaan dalam ānāpānasati. Ini menyatakan bahwa Vedanā-saṁyutta mensintesis dan menjelaskan bagian perasaan dalam satipaṭṭhāna dan ānāpānasati.
Tabel 13.1: Struktur dari Vibhaṅga
1. Tubuh | 2. Perasaan | 3. Pikiran | 4. Dhamma |
Bagaimanakah merenungkan tubuh internal? | Bagaimanakah merenungkan perasaan internal? | Bagaimanakah merenungkan pikiran internal? | Bagaimanakah merenungkan dhamma internal? |
Bagian-bagian tubuh internal | 3 perasaan, spiritual/duniawi menyenangkan, dst. Internal | Pikiran dengan nafsu, dst. (16 jenis) internal | 5 rintangan dan 7 faktor pencerahan internal |
Kembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan eksternal | Kembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan eksternal | Kembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan eksternal | Kembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan eksternal |
Bagaimanakah merenungkan tubuh eksternal? | Bagaimanakah merenungkan perasaan eksternal? | Bagaimanakah merenungkan pikiran eksternal? | Bagaimanakah merenungkan dhamma eksternal? |
Bagian-bagian tubuh eksternal | 3 perasaan, dst. Eksternal | Pikiran dengan nafsu, dst. eksternal | 5 rintangan dan 7 faktor pencerahan eksternal |
Kembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan internal/eksternal | Kembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan internal/eksternal | Kembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan internal/eksternal | Kembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan internal/eksternal |
Bagaimanakah merenungkan tubuh internal/eksternal? | Bagaimanakah merenungkan perasaan internal/eksternal? | Bagaimanakah merenungkan pikiran internal/eksternal? | Bagaimanakah merenungkan dhamma internal/eksternal? |
Bagian-bagian tubuh internal/eksternal | 3 perasaan, dst. internal/eksternal | Pikiran dengan nafsu, dst. internal/eksternal | 5 rintangan dan 7 faktor pencerahan internal/eksternal |
Demikianlah seseorang merenungkan tubuh internal/eksternal | Demikianlah seseorang merenungkan perasaan internal/eksternal | Demikianlah seseorang merenungkan pikiran internal/eksternal | Demikianlah seseorang merenungkan dhamma internal/eksternal |
Mendefinisikan: merenungkan, berdiam, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, dunia, ketamakan, penolakan, melenyapkan | Mendefinisikan | Mendefinisikan | Mendefinisikan |
Penjelasan-penjelasan yang kita perhatikan di sini adalah sebagai berikut. Perasaan duniawi adalah perasaan yang berhubungan dengan indera-indera. Kegiuran spiritual terdapat dalam dua jhāna pertama, perasaan menyenangkan spiritual terdapat dalam tiga jhāna pertama, sedangkan perasaan netral spiritual terdapat dalam jhāna keempat. Perasaan menyakitkan spiritual adalah tekanan yang muncul ketika seseorang merindukan pembebasan-pembebasan yang damai yang belum ia realisasikan (suatu perasaan yang saya rasakan lebih familiar ketika buku ini berkembang lebih panjang!). Perasaan-perasaan spiritual terutama didefinisikan sehubungan dengan jhāna, dan dengan demikian pengelompokan yang tidak standar ini diperkenalkan dalam satipaṭṭhāna untuk menekankan pentingnya kebahagiaan samādhi yang telah dimurnikan. Seperti halnya kita tidak dapat mengetahui kegelapan sampai kita telah melihat cahaya, kita tidak dapat mengetahui sifat alami perasaan-perasaan sensual sampai kita memiliki perspektif kebalikannya.
Perenungan terhadap pikiran mengatakan pertama kali pemahaman pikiran dengan dan tanpa keserakahan, kemarahan, dan delusi. Pada umumnya ditinggalkannya hal-hal ini adalah Kearahantaan, tetapi tidak perlu untuk menganggap hal itu di sini. Kadangkala pernyataan jenis ini digunakan dalam konteks samatha langsung, seperti bacaan dari Aṅguttara ini.
“Pada suatu ketika, teman-teman, ketika seorang siswa mulia merenungkan Sang Buddha, pada waktu itu pikiran tidak diliputi dengan nafsu, pikirannya tidak diliputi dengan kemarahan, pikiran tidak diliputi dengan delusi. Pada waktu itu pikirannya lurus – meninggalkan, terbebaskan, dan bangkit dari keserakahan. [“Keserakahan” adalah suatu istilah untuk lima jenis kesenangan indera.] Siswa mulia itu berdiam dengan pikiran sepenuhnya seperti angkasa, luas, mengagungkan, tidak terukur, bebas dari kebencian dan keinginan jahat. Setelah membuat ini sebagai dukungan, beberapa makhluk di sini dimurnikan.”[4]
Perhatikan kesamaannya dengan satipaṭṭhāna, khususnya perenungan terhadap pikiran: praktek itu adalah suatu “perenungan” (
anussati); istilah “pikiran” (
citta) tanpa nafsu, kebencian, dan delusi; dengan melakukan hal ini, pikiran seseorang “terbebaskan”; dan hasilnya adalah “pemurnian makhluk-makhluk”. Oleh sebab itu, aspek subjektif dari perenungan terhadap pikiran adalah sama dengan enam perenungan.
Kembali pada perenungan terhadap pikiran, keseluruhan konteks, struktur progresif dari kotbah itu, dan dimasukkannya pikiran yang “dimampatkan” (oleh kemalasan) dan “diserakkan” (oleh kegelisahan) semuanya menyatakan bahwa di sini kita berhubungan dengan meninggalkan rintangan-rintangan dengan samādhi, sebuah penafsiran yang ditegaskan oleh komentar. Sebuah segi dari bahan satipaṭṭhāna adalah pengalaman langsung dari pikiran yang “mengagungka”, pikiran yang “tak terkalahkan”, pikiran “dalam samādhi”, pikiran yang “terbebaskan” – semua istilah untuk jhāna.
Bagian tentang perasaan dan pikiran berbagi tata bahasa yang sama. Sebagai contoh: “Ketika merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, seseorang memahami ‘Aku merasakan suatu perasaan yang menyenangkan’.” Atau dalam perenungan terhadap pikiran: “Seseorang memahami pikiran dengan nafsu sebagai ‘pikiran dengan nafsu’.” Struktur refleksif ini digunakan bersama dengan ānāpānasati: “Ketika menarik napas panjang, seseorang memahami ‘Aku sedang menarik napas panjang’.”
Ungkapan dalam “tanda kutip” (yang diwakili dengan partikel Pali
iti) mendorong beberapa aliran untuk menyamakan meditasi satipaṭṭhāna dengan pencatatan mental. Tetapi ini adalah suatu penafsiran harfiah yang dibuat-buat. Penggunaan yang sama ditemukan, sebagai contoh, dalam bacaan standar tentang pencapaian-pencapaian tanpa bentuk. Disebabkan oleh cara pengungkapan dalam bahasa Pali, ini sangat sulit diterjemahkan; secara harfiah ini akan menjadi: “‘Ruang adalah tanpa terbatas’, seseorang memasuki dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.” Biasanya penerjemah akan mengatakan sesuatu seperti: “Menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, seseorang memasuki dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.” Jelas di sini meditator telah dengan baik melampaui pemikiran atau pencatatan apa pun. Penggunaan
iti dengan pengulangan-pengulangan dalam konteks demikian mencerminkan sifat refleksif dari perenungan meditatif. Seseorang tidak hanya mengetahui perasaan, tetapi ia sadar
bahwa ia sedang mengetahui perasaan itu.
Perenungan dhamma dalam Vibhaṅga hanya memiliki rintangan-rintangan dan faktor-faktor pencerahan, sepasang yang sekarang menjadi familiar. Tidak seperti Satipaṭṭhāna Sutta, di sini tidak ada kalimat pendahuluan dan penutup untuk memisahkan dan mendefinisikan setiap bagian, seperti: “Dan bagaimanakah seseorang berdiam merenungkan dhamma dalam dhamma sehubungan dengan lima rintangan?” Rintangan-rintangan dan faktor-faktor pencerahan hanya berlanjut ke dalam satu sama lain.[5] Namun selain itu, pengungkapannya sama dengan Sutta.
Perenungan terhadap lima rintangan dan tujuh faktor pencerahan terutama merupakan suatu praktek samatha, dan mengundang perhatian tentang bagaimana bagian ini berbeda dari bagian-bagian lainnya. Sebagai contoh, dua rintangan pertama adalah keinginan indera dan kebencian, yang tampaknya hanya mengulangi perenungan terhadap “pikiran dengan nafsu” dan “pikiran dengan kemarahan”. Tetapi jika kita lihat lebih dekat, beberapa perbedaan mendalam membuat mereka jelas. Hal pertama adalah bahwa dalam perenungan terhadap pikiran, objek langsung dari perenungan adalah pikiran itu sendiri; kualitas-kualitas pikiran, seperti nafsu, kebencian, dst., berfungsi sebagai kata sifat yang mencirikan pikiran. Ini menyatakan bahwa perhatian utama dalam perenungan ini adalah sifat dari yang mengetahui itu sendiri, kekuatan kognitif dari kesadaran dalam berbagai kondisi. Dalam perenungan terhadap dhamma, objek langsung dari perenungan bukanlah pikiran, tetapi kualitas-kualitas mental yang dihubungkan – keinginan indera, dst.
Suatu perbedaan yang jelas adalah pendahuluan dari penyelidikan ke dalam sebab-akibat dalam perenungan terhadap dhamma. Di sini kita membandingkan perenungan terhadap pikiran dan dhamma, dengan mempertahankan terjemahan seharfiah mungkin.
Tabel 13.2: Perenungan terhadap Pikiran dan Dhamma
Perenungan terhadap Pikiran | Perenungan terhadap Dhamma |
Seseorang memahami pikiran dengan nafsu sebagai “pikiran dengan nafsu.” | Terdapat keinginan indera internal, seseorang memahami “Terdapat dalam diriku keinginan indera internal.” |
Seseorang memahami pikiran tanpa nafsu sebagai “pikiran tanpa nafsu.” | Tidak terdapat dikuasai oleh keinginan indera internal, seseorang memahami “Tidak terdapat dalam diriku keinginan indera internal.” |
| Dan seseorang memahami bagaimana keinginan indera yang belum muncul menjadi muncul. |
| Dan seseorang memahami bagaimana keinginan indera yang telah muncul menjadi ditinggalkan. |
| Dan seseorang memahami bagaimana keinginan indera yang telah ditinggalkan menjadi tidak muncul di masa depan. |
Perbedaan utama dalam cara perenungan adalah tiga kalimat terakhir dalam perenungan terhadap dhamma. Ini adalah penyelidikan ke dalam sebab-akibat, ke dalam sebab-sebab di balik muncul dan lenyapnya berbagai kualitas baik dan buruk; lebih lanjut, suatu penyelidikan yang disesuaikan tepatnya untuk melenyapkan sebab dan meninggalkan selamanya kualitas-kualitas buruk. Untuk faktor-faktor pencerahan, tentu saja, situasinya berubah: seseorang harus memahami bagaimana faktor-faktor pencerahan muncul, dan bagaimana mereka dikembangkan sampai pemenuhan. Sebab-sebab untuk meninggalkan rintangan-rintangan tepatnya adalah faktor-faktor pencerahan; dan sebab-sebab yang menghalangi faktor-faktor pencerahan tepatnya adalah rintangan-rintangan. Dengan demikian kedua kumpulan dhamma ini berjalinan, cahaya dan kegelapan pikiran. Maka inilah ciri khas yang membedakan dari perenungan terhadap dhamma: penyelidikan ke dalam sebab-akibat.
Ini tentu saja adalah vipassanā, dan adalah di sini dalam perenungan terhadap dhamma-dhamma bahwa vipassanā menemukan rumah yang tepat dalam satipaṭṭhāna. Tetapi ini tentu saja bukan vipassanā “kering”, bukan pandangan terang yang terpisah dari samatha. Sangat berkebalikan: ini adalah pandangan terang yang muncul dari pemahaman samādhi, mengapa pikiran kadangkala bercahaya dan tenang dan kadangkala tajam dan retak. Tetapi pikiran dalam meditasi, yang kita pelajari melalui latihan satipaṭṭhāna, tidak berbeda sifatnya dari pikiran di luar meditasi: ia hanyalah pikiran yang merespon kondisi-kondisi. Jadi dengan mempelajari untuk memahami proses dari meditasi seseorang belajar memahami pikiran. Seraya pandangan terang melalui perenungan terhadap dhamma matang dan menjadi lebih dalam ia akan secara alami meluas untuk mencakupi semua keadaan pikiran, semua yang dapat diketahui, dan akan matang dalam pandangan terang yang paling dalam. Jadi penyajian perenungan terhadap dhamma dalam Vibhaṅga sangat meyakinkan sebagai suatu penggambaran alami dari proses meditatif.
Dalam Vibhaṅga masing-masing bagian diintegrasikan denan perenungan internal/eksternal, yang di sini diuraikan sedikit dari bentuk standar dalam Saṁyutta. Seseorang harus melatih, mengembangkan, membuat banyak, dan dengan jelas mendefinisikan perenungan tubuh secara internal sebelum melangkah maju menuju perenungan tubuh secara eksternal, dan seterusnya masing-masing tahapan selangkah demi selangkah.
Kemudian diikuti dengan suatu definisi kata, suatu penambahan abhidhammik yang belakangan. Kebanyakan definisi itu, atau agaknya, untaian sinonim, cukup standar. “Dunia” didefinisikan demikian: “Tubuh [perasaan, pikiran, dhamma] ini juga adalah dunia; juga lima kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan kemelekatan adalah dunia.” Sifat mekanis dari definisi ini ditunjukkan dengan penjelasan tentang domanassa, yang mengikuti makna umum dari “kesedihan”, gagal mengenali makna kontekstual dari “penolakan” di sini.
Beberapa bahan sutta tidak ada dalam Vibhaṅga: tidak ada perumpamaan-perumpamaan, yang diharapkan dalam literatur Abhidhamma. Lebih penting lagi, tidak ada pengulangan vipassanā, yang sangat berlawanan dengan pengulangan internal/eksternal yang telah menyatu dengan baik.
Ketiadaan ini memerlukan suatu penjelasan. Satu kemungkinan adalah bahwa para penyusun Vibhaṅga malas; tetapi karya itu sebagai suatu keseluruhan dipersiapkan sangat baik dan tidak memberikan kesan bahwa para penyusunnya tidak dapat membawa sebuah Sutta yang terkenal.
Penjelasan yang lebih masuk akal adalah bahwa bahan yang tidak ada tidak sesuai dalam konteks Abhidhamma. Ini berlaku untuk, katakanlah, latar-latar dan perumpamaan-perumpamaan. Tetapi kebanyakan bahan yang tidak ada sunggu berada di rumahnya dalam Abhidhamma: unsur-unsur, kelompok-kelompok unsur kehidupan, alat indera, dan kebenaran-kebenaran, masing-masing darinya memiliki babnya sendiri dalam Vibhaṅga, dan ditemukan di seluruh Abhidhamma.
Maka mungkin, kasusnya adalah sebaliknya: para penyusun dengan sengaja menghilangkan bahan bergaya Abhidhamma. Ini akan menjadi prosedur yang aneh; pengulangan bukanlah suatu halangan bagi para Ābhidhammika. Lebih lanjut, beberapa bahan yang hilang, seperti perenungan tanah perkuburan, atau kewaspadaan terhadap aktivitas-aktivitas, tidak bersifat Abhidhammik secara khusus. Sangat menggugah rasa ingin tahu adalah hilangnya pertanyaan pembuka yang mendefinisikan lima rintangan dan faktor-faktor pencerahan. Pertanyaan jenis ini sangat berkarakteristik metode Abhidhamma, sedemikian sehingga ini kadangkala didefinisikan sebagai metode “dengan pertanyaan”. Menghilangkan mereka untuk menyesuaikan suatu konteks Abhidhamma tidak dapat dipahami.
Masalah lainnya adalah lokasi dari praktek-praktek yang dipilih. Dalam perenungan terhadap tubuh, Vibhaṅga memiliki praktek keempat dari empat belas praktek dalam Sutta; dalam perenungan terhadap dhamma, ia memiliki yang pertama dan keempat dari lima praktek. Tampaknya aneh bahwa seorang penyunting entah bagaimana menghilangkan semua praktek dengan meninggalkan hanya keempat. Jika Vibhaṅga merupakan hasil dari pemilihan dari Satipaṭṭhāna Sutta, kita akan mengharapkan memiliki praktek pertama disisakan, yang akan menyatakan bahwa sisanya akan dipenuhi.
Kesimpulannya tidak dapat dihindari: ketiadaan bahan dalam Vibhaṅga tidak disebabkan oleh kehilangan dari Satipaṭṭhāna Sutta, tetapi karena para penyusun Vibhaṅga bekerja dengan suatu teks sumber yang lebih pendek.