Saya mendukung keduanya. Keduanya perlu digalakkan. Sementara ini, jangankan orang awan para sarjana Buddhist, mereka yang telah lulus dari STAB juga masih belum benar-benar menguasai Tipitaka. Kalau tidak percaya, coba tanya kepada mereka yang telah lulus STAB, berapa sutta yang mereka ketahui. Kalau mereka mampu menyebutkan sepuluh sutta dari Dīgha Nikāya, sepuluh sutta dari Majjhima Nikāya, sepuluh sutta dari Saṃyutta Nikāya itu benar-benar luar biasa. Saya sudah pernah test. Hasilnya sungguh sangat mengecewakan. Ini bukan sebagai cemoohan melainkan sebagai rasa kekecewaan saya. Dalam prinsip saya, mereka yang lulusan STAB adalah yang kita harapkan untuk maju, mendidik anak-anak kita, tetapi mereka masih belum benar-benar menguasai apa yang harus mereka kuasai. Karena itu, saya merasa penting juga untuk menerjemahkan Tipitaka ke dalam bahasa Indonesia.
Untuk kemampuan menulis, memang saya melihat ada suatu titik kelemahan di Indonesia. Tidak banyak yang sanggup menulis. Tidak banyak yang sanggup mengolah kata. Kadang saya melihat, banyak yang sanggup bicara tetapi mereka tidak sanggup menuangkan apa yang mereka ucapkan ke dalam tulisan. Seni menulis berbeda dengan seni berbicara. Karena alasan ini, mungkin banyak orang yang enggan untuk menuangkan gagasan yang mereka miliki ke dalam tulisan.