Ketika mengetahui bahwa saya (Ioanes Rakhmat) sedang memasuki kehidupan kaum Buddhis (dengan salah satu tujuannya nanti bisa menulis sebuah buku akademik berjudul Sains dan Buddhisme), seseorang di sebuah komentar dalam sebuah status saya di Facebook baru saja menulis, “Kok orang cerdas mau menyembah patung?” Saya tahu, komentarnya ini ditujukan ke diri saya. Nah, tulisan di bawah ini adalah jawaban saya terhadap komentarnya yang nyinyir itu. Salam
Maksud anda tentunya kaum Buddhis menyembah patung-patung ya. Sangkaan anda ini salah. Juga pasti anda akan mencibir orang ka****k, karena anda menganggap mereka juga menyembah patung (Bunda Maria). Tapi sangkaan anda ini juga salah. Sebelum anda menjatuhkan judgment atas suatu agama lain, masuklah dulu ke dalam worldview dan kehidupan umat beragama lain itu; jika cara ini anda tempuh, maka anda mulai lebih bijak, karena bisa memahami orang lain dengan empatetis. Anda perlu memakai sepatu orang lain, lalu mulai melangkah.
Tak ada orang manapun di zaman modern ini yang berpikir atau berkeyakinan bahwa jika sebuah patung disembah dan dipuja, patung itu akan jadi hidup, lalu melangkah mendatangi si penyembah untuk melindungi dan memberkatinya. Begitu juga kaum Buddhis, pikiran sehat mereka masih berjalan; jadi ketika mereka sungkem dan sujud di hadapan patung Gautama Buddha (atau patung-patung lain), mereka tak berpikiran bahwa patung Gautama Buddha itu akan hidup lalu memberkati dan menolong serta melindungi mereka.
Saya mau pakai analogi dari kekr****nan, jika anda kr****n (mungkin ya anda kr****n, dilihat dari cara anda berkomentar). Anda tokh di gereja anda secara berkala merayakan sakramen perjamuan kudus, atau ekaristi (dalam Gereja ka****k). Nah, dalam perjamuan kudus, gereja anda memakai potongan roti tawar (atau hosti, dalam Gereja ka****k) dan air anggur yang dipandang suci oleh kalian sebagai orang kr****n. Nah, benda-benda yang dimakan dan diminum dalam perjamuan kudus ini bukan sekadar benda-benda duniawi yang mati, tetapi, dalam ritual perjamuan kudus gereja anda, dipandang sebagai benda-benda yang suci, bermakna dan bernilai, karena menunjuk pada tubuh Yesus yang dipaku pada kayu salib dan pada darah Yesus Kristus yang tercurah ketika dia disalibkan, dan gereja anda meyakini kematian Yesus ini menebus dosa-dosa kaum kr****n.
Nah, pada ekaristi itu, anda diminta oleh pendeta anda supaya JANGAN MELEKAT pada benda-benda roti dan anggur, tapi, lewat tatapan anda ke roti dan anggur, dan lewat sentuhan tangan anda atas dua benda ini dan lewat kunyahan roti di dalam mulut anda dan lewat rasa pada lidah ketika mereguk anggur dalam cawan, anda diminta mengarahkan hati dan pikiran anda kepada diri Yesus Kristus yang dulu hidup, lalu mati disalibkan untuk (dalam kepercayaan gereja) menebus dosa kaum kr****n. Dengan melakukan ritual ini, anda diharapkan semakin real lagi mengalami apa yang dipercaya gereja anda sebagai keselamatan, bahwa dosa anda sudah dihapuskan oleh pengurbanan Yesus di kayu salib, bahwa Yesus Kristus adalah sang Tuhan yang mengasihi anda karena dia telah rela berkurban buat anda demi keselamatan anda. Dalam Gereja ka****k, dengan doktrin trans-substansiasi mereka (bahwa dalam ritual ekaristi, hosti dan anggur berubah betulan menjadi daging dan darah Yesus), penghayatan umat ka****k bahwa Yesus Kristus hadir kembali lewat ekaristi, jauh lebih diperkuat dan dikongkretisasi, ketimbang penghayatan umat Protestan atas ritual perjamuan kudus gereja mereka (yang memegang doktrin kon-substansiasi, bahwa bersama potongan roti dan anggur yang tak berubah, Yesus Kristus hadir juga di tengah umat).
Nah, saya mau bertanya pada anda, Apakah dalam ritual perjamuan kudus anda menyembah potongan roti dan anggur atau anda percaya bahwa roti dan anggur itu punya kekuatan magis pada dirinya sendiri? Tentu saja karena anda punya akal sehat, anda akan menjawab: Tentu saja tidak; roti dan anggur hanya media untuk membuat anda bisa lebih menghayati perjumpaan diri anda (lewat iman) dengan Yesus Kristus, suatu figur yang anda pandang sudah mentransendir zaman kehidupannya sendiri (di abad pertama, di Palestina) sehingga bisa hadir secara spiritual dalam kehidupan anda (pada abad ke-21 di Indonesia)! Apakah memang betulan Yesus hadir lagi secara rohani dalam kehidupan anda sekarang, itu soal yang lain; yang pasti, karena anda dengan kuat mempercayai dia hadir lagi, kepercayaan anda ini berpengaruh pada kehidupan dan gerak langkah anda ke depan! Bisa berpengaruh negatif, atau juga berpengaruh positif, bergantung pada apa yang anda harapkan terjadi dari kehadirannya yang anda percayai betul terjadi. Berpengaruh negatif, ketika kepercayaan anda yang kuat pada kuasa Yesus yang hadir dalam kehidupan anda, membuat anda kehilangan akal sehat dan pasrah total, tak mau berbuat apa-apa.
Begitulah juga halnya dengan penghayatan umat Buddhis ketika mereka sungkem, bersujud di hadapan patung indah Buddha Gautama (atau patung-patung lain). Mereka dengan sadar tidak menyembah patung-patung mati pada dirinya sendiri; tetapi lewat sungkem dan sujud dan lewat tatapan mata ke patung sang Buddha dan lewat ucapan-ucapan dalam batin atau ucapan lisan yang terdengar, di hadapan patung sang Buddha yang menawan, umat Buddhis sedang menghayati secara intens perjumpaan mereka (lewat kepercayaan dan pikiran) dengan sang Buddha sendiri, figur agung, sang guru suci, yang kini dipercaya sudah mentransendir zaman dan tempat kehidupannya sendiri (di sub-benua India, tahun 563 SM-483 SM), sehingga bisa hadir (secara spiritual kognitif dalam hati dan pikiran) pada masa kini di abad 21 di Indonesia. Apakah memang betulan Siddhartha Gautama hadir lagi secara rohani dalam kehidupan umat Buddhis sekarang, itu soal yang lain; yang pasti, karena mereka dengan kuat mempercayai dia hadir lagi, kepercayaan mereka ini berpengaruh pada kehidupan dan gerak langkah mereka ke depan! Bisa berpengaruh negatif, atau juga berpengaruh positif, bergantung pada apa yang mereka harapkan terjadi dari kehadirannya yang mereka percayai betul terjadi.
Anda juga jangan lupa, dalam Buddhisme ada satu ide esensial yang dinamakan nekkhamma, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “non-attachment” atau “disengagement” atau “detachment” atau “letting-go”; dalam bahasa Indonesia kata nekkhamma diterjemahkan "ketidakmelekatan", kondisi tidak lekat pada hal atau fenomena apapun dalam dunia ini. Ide ini dijadikan salah satu fondasi terpenting dalam seluruh doktrin dalam Buddhisme. Kaum Buddhis menyadari bahwa hidup ini adalah penderitaan, suffering, pain, dukkha. Kesadaran ini sangat kuat muncul dalam kesadaran Siddhartha Gautama dulu (konon menurut legenda, kesadaran ini muncul dan mengganggunya karena di luar istana kerajaan ayahnya, dia menemukan dan dibuat kaget oleh kenyataan bahwa orang itu bisa sakit, bisa tua, lalu mati dengan memedihkan hati). Kesadaran dan penemuannya ini telah mendorongnya meninggalkan kehidupan mewah, mudah dan menyenangkan di dalam istana kerajaan, lalu dalam usia sangat muda (29 tahun) memutuskan diri untuk memasuki kehidupan tapa brata penuh untuk mencari jawab dan jalan keluar dari dukkha yang mengikat semua kehidupan. Akhirnya Gautama mendapatkan pencerahan budi di bawah naungan sebuah pohon boddhi, yang membuatnya menemukan akar-akar penyebab adanya duka lara dan jalan-jalan mengatasi dukkha, yang lalu disebarkannya bersama sahabat-sahabatnya, pendekatan yang dinamakan Jalan Tengah.
Salah satu jalan terpenting untuk keluar dan menang dari dukkha adalah nekkhamma. Dalam pemahaman kaum Buddhis, penderitaan kita alami dan rasakan karena kita melekat pada sesuatu yang membuat kita menderita atau merasakan penderitaan; nah, jika kita, dalam pikiran, tidak melekatkan diri pada hal atau fenomena apapun dalam dunia ini, segala hal yang terkait dengan diri kita tidak akan membuat kita menderita. Ketika anda sangat melekat pada uang anda atau harta anda, maka ketika ekonomi negara ambruk atau bisnis anda gagal total, dan anda karenanya kehilangan uang atau harta anda, ludes semuanya, maka anda akan sangat menderita, sangat berduka, yang bisa mendorong anda putus asa lalu membunuh diri. Ketika anda sangat melekat pada anak-anak anda sebagai biji-biji mata anda, maka ketika anak-anak anda berubah jadi tidak berbakti pada anda, maka anda menjadi sangat stressful, marah, kecewa berat, kehilangan gairah kehidupan, lalu masuk rumah sakit, dan anda betul-betul terbenam dalam dukkha yang sedang menghancurkan kehidupan anda. Tapi jika pikiran anda tidak melekat kepada uang atau harta anda atau kepada anak-anak anda, maka jika semua hal yang buruk itu terjadi pada anda, anda tidak akan dikalahkan, anda tidak akan berduka, dan anda akan tetap bisa hidup dengan teguh, dan tetap bisa tersenyum dan tertawa, dengan tentunya anda harus berjuang menuju kemenangan ini, dengan menata dan membentuk isi pikiran anda dari waktu ke waktu.
Nah, ide tentang nekkhamma dalam Buddhisme juga diperkuat oleh ide bahwa segala sesuatu yang ada dalam jagat raya ini, semua fenomena yang muncul dan lenyap dalam dunia ini, adalah ilusi semata-mata, tak real. Banyak orang mengkritik ide ini dalam Buddhisme, dan mereka menuduh bahwa ajaran tentang segala sesuatunya adalah ilusi, telah menjadi penyebab kaum Buddhis menarik diri dari dunia dan tidak mau perduli pada usaha-usaha memperbaiki dunia ini. Kritik dan tuduhan ini sebetulnya salah sama sekali. Ide Buddhis bahwa segala sesuatunya adalah ilusi tak bisa dilepaskan dari ide tentang nekkhamma (dan ide-ide lain yang tak dibicarakan dalam tulisan ini), yang bertujuan untuk memenangkan orang dari deraan dukkha.
Jika anda memandang segalanya adalah ilusi, termasuk diri anda sendiri, termasuk penderitaan anda sendiri, maka problem adanya dukkha yang sedang menimpa anda, juga lenyap, tak real. Karena dukkha itu tak real, maka anda tidak usah melekat pada apapun yang menjadi sumber dan penyebab penderitaan anda. Dengan begitu, sebagai individu anda telah menang dari deraan duka, dan anda tetap menjadi seorang yang tangguh. Ketika secara kognitif, dalam pikiran, anda telah mengalami pembebasan dari dukkha, maka selanjutnya anda dapat dengan tenang memperbaiki segala sesuatu yang bisa diperbaiki dalam dunia ini, dan, sementara berkarya, anda tetap bisa mempertahankan nekkhamma dalam segala usaha anda.
Nah, ide tentang nekkhamma tentu saja juga membuat kaum Buddhis tidak bisa melekatkan diri pada patung indah sang Gautama Buddha. Sungkem dan sujud di depan patung Gautama Buddha adalah suatu akta ritual untuk membantu menghayati persekutuan lebih mendalam antara seorang Buddhis dengan sang guru agung Buddha Gautama, yang telah mengajarkan mereka untuk tak melekat pada hal apapun, dus juga tidak melekat kepada diri sang Buddha sendiri. Mereka harus menolong diri mereka sendiri untuk mengatasi dukkha, dengan salah satu caranya adalah hidup ber-nekkhamma dan berlatih meditasi untuk mengenali dan memurnikan pikiran, tak dibuat kotor dan kacau oleh semua fenomena yang hanya ilusi saja. Pendekatan ini sangat berbeda dari pendekatan anda sebagai seorang kr****n ketika anda berusaha menghadapi penderitaan: ketika menderita, anda sebagai orang kr****n diajarkan untuk melekatkan diri anda pada kitab suci anda, pada diri Yesus Kristus yang anda percaya telah menanggung hukuman bagi dosa-dosa anda lewat kematiannya di kayu salib, dan untuk semakin kuat beriman, dan anda sama sekali tak berpaling ke pikiran anda untuk menatanya kembali.
Jakarta, 21 Juli 2012, Ioanes Rakhmat.
http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/07/apakah-umat-buddhis-menyembah-patung.html