menurut pendapat pribadi om apakah mungkin ada orang yg dapat melenyapkan LMD sementara orang tersebut masih menikmati kesenagan inderanya?
Menurut saya, ini rumit, tapi saya coba berikan point-point menurut pendapat saya.
Yang sering dapat kita lihat adalah hanya sepotong kecil kehidupan seseorang saja. Contohnya kita lihat kisah semua Bodhisatta yang pada bagian awal kehidupannya menikmati semua kesenangan duniawi yang ada, namun sebentar saja bertapa, langsung mencapai Kebuddhaan. Bodhisatta Gotama di masa kita ini memang memerlukan waktu 6 tahun, namun itu adalah kasus "khusus".
Bodhisatta Kassapa hidup menikmati kesenangan duniawi selama 2000 tahun, kemudian meninggalkannya dan dalam 7 hari langsung mencapai Kebuddhaan.
Kadang kita lihat kok menikmati kesenangan indera begitu lama, tetapi kok bisa langsung mengikis LDM? Itu karena kita "mengabaikan" latihan mereka yang MINIMAL 4 Asankhyeyya + 100.000 Kappa.
Contoh lainnya yang lebih "ekstrem" adalah kisah dalam Dhammapada Atthakatha 142, tentang seorang menteri bernama Santati yang berjasa dan diberikan semua kesenangan duniawi oleh raja. Ia menikmatinya selama 7 hari-7 malam. Keesokan harinya ia bertemu Buddha Gotama, dan pada hari itu juga ia mencapai Arahat dan parinibbana di hadapan Buddha.
Nah, jadi kembali ke pertanyaannya, saya bilang bisa saja JIKA ia memang telah memiliki kematangan bathin yang diperoleh dari latihan moralitas dan pandangan terang. Jika ditanya apakah latihan moralitas dan pandangan terang didukung kondisi menikmati atau menghindari kesenangan indera, maka saya katakan
latihan memperoleh kematangan bathin didukung oleh menghindari kesenangan indera, bukan dengan memuaskan kesenangan indera. Namun apakah padamnya LDM tergantung pada keadaan pada saat itu masih menikmati kesenangan indera atau tidak, saya rasa tidak.
Soal petapa penyiska diri,sy berpendapat; "para bhikku yg dihutan aja¤ ada yg ga bisa melnyapkan LMD,apalagi kita yg dikota(yg dari bangun tidur sudah dimanjakan indranya)"
Sy makin bingung om...
Nah, mengenai hal ini, saya pikir itu karena bawaan dari kamma lampau yang berbeda, maka kita kecocokan latihannya juga berbeda. Jika ada orang yang menjadi bhikkhu hutan karena "gengsi", lalu kehidupan kebhikkhuan itu hanya membuatnya menderita, susah meditasi karena takut dipagut ular atau bertemu hantu, apakah menjadi bhikkhu hutan begitu mendukung atau menghambat kemajuan? Sebaliknya kalau orang menjadi perumahtangga tetapi selalu melatih puas diri, biarpun di tengah fasilitas pemuasan indera tetap menahan diri, bukankah kemajuannya adalah mungkin?
Buddha bukanlah guru ekstrem, tetapi yang membimbing berdasarkan keterkondisan orang tersebut. Jika memang seseorang cocok menjadi bhikkhu, maka Buddha akan mendukung kondisinya agar jadi bhikkhu. Contohnya adalah sepupunya, Nanda (yang kemudian dibawa ke Tavatimsa melihat bidadari) yang "diculik" pada hari perkawinannya untuk jadi bhikkhu. Sebaliknya jika memang cocok dan bisa berkembang dalam kehidupan perumahtangga, Buddha tidak mengajak atau menganjurkan masuk kebhikkhuan. Misalnya Ayahnya, Suddhodana yang juga akhirnya mencapai Arahatta dalam kondisi sebagai perumah-tangga.
Saya pikir kita tidak perlu bingung. Metode praktek dhamma tidak akan pernah bisa diteorikan ke dalam 1 pakem mutlak. Apapun keterkondisian kita, tetap selalu berlatih menyadari fenomena itu.