//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan  (Read 590288 times)

0 Members and 2 Guests are viewing this topic.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Untuk Bro g.citra
« Reply #240 on: 19 October 2009, 10:05:09 AM »
Quote from: g.citra
[at]  bro Kainyn ...

Mulailah menyampaikan ... toh saya akan mendengar ... mgkn di thread berbeda ... gak ada yang salah koq ... semua cuma proses dari bentuk pikiran kita yang terhubung dengan obyek ... berlalu dengan sendirinya ...  :)

Kalau ada yang menganggap anda sebagai "penoda dhamma" (hanya karena thread ini), maka yang pertama kali merespon hal itu adalah saya (kalau saya pas lagi OL...   ;D) , mengapa ?

Alasan saya, TAK ADA SATU ORANG PUN (BAHKAN SAMMA SAM BUDDHA SEKALIPUN) YANG DAPAT MENGUTAK-ATIK DHAMMA ... Semua itulah Dhamma ...  :)

Semoga tidak menjadi salah mengerti yah ...  :)

 _/\_

Saya coba uraikan di sini.
Bagi saya, bahkan seorang Samma Sambuddha pun tidak bisa membuat orang lain mengeri proses dari hukum kamma. Misalnya seperti saya katakan sebelumnya, ada suatu akibat, lalu dijelaskan oleh Buddha sebabnya di masa lampau. Semua orang yang mendengar hal tersebut TETAP TIDAK TAHU APA-APA tentang Hukum Kamma dan cara bekerjanya.

Sekarang cobalah kita pandang dari sudut pandang skeptis di mana kita tidak percaya tentang adanya seorang Buddha. Kemudian ada 2 orang yang mengaku Samma Sambuddha. Mengenai satu akibat, misalnya seseorang dirampok, terdapat 2 pendapat. Satu "Buddha" mengatakan karena dia pernah merampok rumah orang, sedangkan "Buddha" yang lain mengatakan dia pernah mencopet Arahat. Ada yang bisa buktikan yang mana yang benar? Saya rasa tidak. Berdasarkan hal ini, maka saya bilang Hukum Kamma tidak bisa dibuktikan ke orang lain, bahkan oleh seorang Samma Sambuddha pun tidak.

Lalu kepada diri sendiri, walaupun belum ada buktinya, saya percaya seorang Samma-Sambuddha BISA membuktikan hukum kamma dan juga mekanismenya. Lalu, apakah kita masing-masing juga mampu membuktikannya?

Pertanyaan saya sederhana: Bagi yang mengatakan bisa, apakah kita tahu sebab apa saja di masa lampau yang menyebabkan akibat tertentu sekarang? Apakah kita tahu perbuatan yang dilakukan sekarang ini mengakibatkan akibat apa di masa depan? Apakah mengetahui mekanismenya sehingga juga mengetahui berapa kali lipat buahnya dan kapan berbuahnya? Apakah juga mengetahui interaksi kamma lain yang mendukung dan menghambat sehingga mempengaruhi buah kamma tersebut?

Kalau memang ada yang jawab "YA", berarti mungkin memang saya keliru.
Tetapi kalau kita sepakat mengatakan "TIDAK", lalu pembuktian apa yang sudah terjadi sementara apa mengakibatkan apa tidak ada yang tahu?

Hukum kamma bagi saya bukanlah hukum tebak-tebakan berdasarkan logika yang kita ketahui. Bukan tebak-tebakan berdasarkan ilmu sosial, etika, dan sebagainya. Itu adalah probabilitas. Ada orang-orang yang memang bisa "meramalkan" masa depan, walaupun ia bukan seorang Buddha, bahkan bukan orang suci sekalipun. Tetapi itu hanya sebatas "penglihatan" saja. Ia tidak tahu bagaimana itu berproses dan apa saja penyebabnya. Dan yang paling penting, ia pun belum tentu kenal hukum kamma, namun memang dia punya "penglihatan" itu saja. Mungkin analogi paling sederhana adalah seperti orang yang punya pengetahuan "kalau isi bensin, mobil bisa jalan" tetapi tidak tahu mekanismenya.
Hukum kamma adalah berkenaan dengan niat dan pikiran. Jika memang bisa memahami hukum kamma, ketika sebuah niat terlintas di pikiran pun orang tersebut sudah mengetahui akibatnya.

Maksud saya adalah sederhana. Orang percaya pada Tuhan sama sekali bukanlah hal yang konyol. Namun menjadi sangat konyol kalau dia mengatakan sudah memahami Tuhan (seolah-olah mengerti kompleksitas pikiran Tuhan), apalagi mencoba membuktikannya kepada orang lain. Sama halnya dengan hukum kamma. Namun tentu saja hal konyol bagi saya, mungkin adalah sakral bagi orang lain dan saya harus menghargainya. Oleh karena itu saya tidak melanjutkannya.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Untuk Bro xuvie
« Reply #241 on: 19 October 2009, 10:51:45 AM »
Quote from: xuvie
Belum tentu, ada juga orang2 yg tidak percaya meski telah dijelaskan Sang Buddha dan Sang Buddha tidak pernah memaksakan kebenaran tsb. Karena kebenaran, diterima atau tidak, tetaplah tidak mengurangi nilai kebenaran tsb. Dlm beberapa kesempatan Sang Buddha menekankan pentingnya utk melihat dg kacamata yg sama utk mengerti Dhamma yg beliau ajarkan (bukan hanya soal proses hukum kamma dlm thread ini). Bukan mencoba mengerti melalui kacamata yg berbeda, melalui ajaran yg berbeda, melalui guru yg berbeda.
Jika pun mereka menerima dan percaya setelah diberitahu Sang Buddha, belum tentu mereka otomatis dpt mengingat perbuatan2 terdahulu mereka dlm kehidupan sebelumnya. Tapi ada bbrp kasus, yg setelah diberitahu, mereka dpt mengingat kelahiran terdahulu dan perbuatan yg mereka lakukan tsb.

Ini salah satu yang ingin saya bahas. "Mengosongkan cangkir teh sebelum mencoba teh yang baru."
1. Seseorang punya background Nasrani yang memercayai dosa awal, penebusan, hidup hanya sekali dan sebagainya. Ia ingin belajar teori tentang Buddhisme.

2. Seseorang punya pengetahuan logis, pengetahuan umum, psikologi dan sebagainya. Ia ingin belajar teori tentang Buddhisme.

Pertanyaan saya: "mengosongkan cangkir teh" itu diperlukan untuk yang mana? Apakah salah satu, keduanya atau bukan keduanya?


Quote
Utk paragraf ke-2,
Soal pembuktian, seberapapun kompetennya mereka dpt membuktikan, selama masih sebuah teori, maka tidak pernah dpt diterima oleh pihak berseberangan. Penerimaan bumi berbentuk bulat scr penuh hanya stlh pendaratan manusia di bulan. Itu pun hingga hari ini masih ada saja yg tetap kekeuh berpandangan bumi datar. So, what to do?
Hanya info saja, Aryabhata pada abad 5 masehi sudah mengukur keliling bumi. Hasilnya meleset hanya 0.02% dari perhitungan modern. Saat itu, manusia belum ke bulan.


Quote
Korelasinya dg Hukum Kamma adalah, hukum kamma merupakan proses yg terjadi yg tak-kasat-mata. Berbeda dg pembuktian soal bentuk bumi yg konkret. Bagaimana kita dpt membuktikan scr konkret sesuatu yg abstrak spt Hukum Kamma? Tesis apapun akan menghasilkan anti-tesis lagi yg terus terjadi scr sinambung menuju penyempurnaan tesis. Tapi bagaimanapun sempurnanya, tetap saja hanya tesis. Bukan sebuah realisasi pengalaman pribadi. Utk itu, saya lebih memilih berusaha mengalami saja. Sedangkan soal tesis, lebih baik jadi penonton saja yg menyaksikan Anda-Anda sekalian menyempurnakan tesis ini.  ;)
Kalau untuk pembuktian, memang selalu harus ada batasannya untuk diterima. Jika tidak ada batasannya, maka akan ada sanggahan seperti tidak adanya lengkung permukaan air yang membuktikan bumi bulat, atau fosil dinosaurus sengaja diletakkan Tuhan untuk menguji iman kaum kreasionist. Saya sudah membuat batasan. Berikan satu contoh perbuatan tertentu yang menghasilkan suatu akibat tertentu secara pasti, berdasarkan hukum kamma. Saya tidak akan katakan itu kuasa Tuhan atau apa, cukup ditunjukkan saja dan saya akan terima bahwa pembuktian adalah mungkin.

Quote
Dan YA. Memang tidak cukup hanya beralasan, "bisa dibuktikan kalau ada Samma-Sambuddha". Saya pribadi setuju dg pendapat Bro InJulia dan Bro Kain ttg tidak perlu mencoba membuktikan dgn memaksa yg mengakibatkan diri sendiri terperosok. Krn itu saya tulis bahwa jika demikian, saya memilih utk menganggap ini iman. Dan wilayah iman selalu personal dan privat. Jika tidak ingin disentuh, maka tidak perlu menyentuh pula wilayah iman orang lain. Pendapat Bro InJulia dan Bro Kain seharusnya sedikit banyak cukup membuat bbrp teman2 utk mendefinisikan ulang arti Saddha yg selama ini dikenal.  :)

Ya, sepertinya kita sepakat ini sebatas "iman". Di sini, rasanya saya punya "iman" yang sama dengan rekan-rekan di sini. Namun memiliki sikap yang berbeda terhadap "iman" tersebut.


Quote
Oya, harap ingat bahwa pembuktian tsb bukan sekali saja, melainkan melewati proses waktu yg demikian lama dan begitu byk peristiwa yg menghasilkan bukti yg sekarang kita terima scr penuh. Demikian jg ttg Hukum Karma, mari sempurnakan meskipun hanya secara hipotesis belaka.

mettacittena
 _/\_
Saya terbuka untuk pembuktian kamma yang berbuah langsung di kehidupan ini. Boleh dipilih yang paling cepat berbuah, semua akan saya catat, jika memang ada yang bisa menunjukkannya.
 _/\_

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #242 on: 19 October 2009, 11:13:29 PM »
Ini salah satu yang ingin saya bahas. "Mengosongkan cangkir teh sebelum mencoba teh yang baru."
1. Seseorang punya background Nasrani yang memercayai dosa awal, penebusan, hidup hanya sekali dan sebagainya. Ia ingin belajar teori tentang Buddhisme.

2. Seseorang punya pengetahuan logis, pengetahuan umum, psikologi dan sebagainya. Ia ingin belajar teori tentang Buddhisme.

Pertanyaan saya: "mengosongkan cangkir teh" itu diperlukan untuk yang mana? Apakah salah satu, keduanya atau bukan keduanya?
Menurut saya sih kosongkan cangkir nasraninya, pengetahuan umum dsb dan jg pengetahuannya semula ttg buddhisme. Anggaplah seperti belajar dr awal. Memulai kembali dr awal, bukan hal sia2. :)

Ini seperti saya seorang pengemudi truk sampah yg mewarisi profesi dr ayah saya, sedari kecil dunia saya hanya seputar dunia sampah di Bantar Gebang. Guncangan saat mengendarai truk, bau, bising, dlsb suasana yg tidak enak sudah menjadi teman akrab saya. Dan saya tidak pernah naik katakanlah mobil mercy. Jika saya hanya mendengar enaknya mobil mercy ini-itu dari orang lain sementara saya tidak pernah menaikinya tentu akan timbul berbagai pikiran, utamanya sih 2: antara percaya dan berpikir berlebihan bahwa naik mercy serasa di surga, atau sebaliknya tidak percaya dan menolak mentah2. Yg manapun, hanya konsep dan ide, bukan realitasnya hingga saya mencoba naik mercy dan mengetahui kalau lebih 90% pemikiran saya sebelumnya tidak benar. Utk itu, kosongkan cangkirnya dan minum tehnya, kesampingkan perbandingan dan prasangka sementara dan coba selami.

Quote
Hanya info saja, Aryabhata pada abad 5 masehi sudah mengukur keliling bumi. Hasilnya meleset hanya 0.02% dari perhitungan modern. Saat itu, manusia belum ke bulan.
Dan sekedar info juga, hingga hari ini, bbrp kelompok2 fundamentalis Islam salah 1 nya jamaah islamiah di Pakistan (pernah dipost di DC terjemahan wawancara dg wakil pimpinan kelompok tsb) menolak kenyataan bahwa Bumi bulat. Saat itu (berita diluncurkan), manusia sudah lama mendarat di bulan. ;D

Quote
Kalau untuk pembuktian, memang selalu harus ada batasannya untuk diterima. Jika tidak ada batasannya, maka akan ada sanggahan seperti tidak adanya lengkung permukaan air yang membuktikan bumi bulat, atau fosil dinosaurus sengaja diletakkan Tuhan untuk menguji iman kaum kreasionist. Saya sudah membuat batasan. Berikan satu contoh perbuatan tertentu yang menghasilkan suatu akibat tertentu secara pasti, berdasarkan hukum kamma. Saya tidak akan katakan itu kuasa Tuhan atau apa, cukup ditunjukkan saja dan saya akan terima bahwa pembuktian adalah mungkin.
Karena Bro Kain sudah memiliki "iman" yg sama, tentu saya tidak perlu bersusah payah membuktikan lagi bukan? Bukannya saya sudah katakan sebelumnya kalau kekuatan Kamma itu subtil dan tak-kasat-mata? Kalau mau contoh kerja Hukum Kamma yg mutlak terjadi dan dalam waktu singkat, dari segi tindakan, akan susah menemukan 1, jika saya katakan A membunuh B dan akibatnya A dipenjara. Hal ini tdk mutlak, krn ada pula kejadian di mana pembunuh A berhasil meloloskan diri dg cerdiknya dr kejaran hukum. Krn tdk mutlak terjadi dlm kehidupan ini juga, akan susah membuktikan bahwa akibatnya pasti akan terjadi dan diterima A di waktu mendatang. Selagi saya tidak dpt membuktikan, selalu akan ada sanggahan.

Btw, gimana dg contoh dari Mba' Samaneri di thread lain itu? Tidak cukup membuktikankah? Karena Samaneri menanam kebaikan, maka terhindar dr marabahaya. Jangan katakan kalau temannya itu memang cuma berniat makan di Bakmi GM dan merampok di tempat lain (BRI). Apalagi  Sebaliknya krn temannya menanam kejahatan (hingga 3x, dimana sempat mengambil nyawa petugas bank lain), akhirnya dibedil.
Sekadar mengingatkan, di sini saya hanya mencoba mengajak diskusi dg harapan kita dapat menyempurnakan pengertian buddhis ttg Hukum Kamma, bukan utk "menjatuhkan" dlsb. Jadi saya tidak tertarik utk berputar-putar, berkelit dan mencari2 pembenaran.

Quote
Ya, sepertinya kita sepakat ini sebatas "iman". Di sini, rasanya saya punya "iman" yang sama dengan rekan-rekan di sini. Namun memiliki sikap yang berbeda terhadap "iman" tersebut.
Sikap apa yg Bro Kain ambil sehingga berbeda? Mohon jelaskan krn saya ngga mengikuti thread yg berlembar2 itu secara keseluruhan. Lagian lebih enak kalau dikatakan eksplisit. :)

Quote
Saya terbuka untuk pembuktian kamma yang berbuah langsung di kehidupan ini. Boleh dipilih yang paling cepat berbuah, semua akan saya catat, jika memang ada yang bisa menunjukkannya.
 _/\_
Coba kita kembali ke definisi Kamma lagi (jangan cape ya Om) ;D
Di Nibbedhika Sutta, dikatakan oleh Sang Buddha ttg definisi Kamma, "bahwa cetana (kehendak) itulah yg dinamakan kamma (perbuatan). Dan melalui kehendak, orang melakukan kamma melalui 3 saluran perbuatan: pikiran, ucapan dan tindakan."
Karena semua perbuatan dilakukan diawali oleh kehendak, maka perbuatan apapun itu adlh kamma. Saya ambil contoh yg baik2 saja deh. Misal menabung di banknya Samaneri. Dengan niat (kehendak) mengumpulkan uang, maka saya menabung. Akibat dr menabung, uang terkumpul dan saya bisa jadi kaya jika perbuatan ini saya kondisikan menjadi sebuah kebiasaan. Apakah ini bukan termasuk Kamma? Saya sih melihat ini bagian kamma, krn diawali oleh kehendak dan ada perbuatan. Lebih lanjut ada hasil/akibat dr perbuatan ini. CMIIW. :)

_/\_
appamadena sampadetha

Offline g.citra

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.372
  • Reputasi: 31
  • Gender: Male
  • Hidup adalah Belajar, Belajar adalah Hidup
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #243 on: 20 October 2009, 12:41:46 AM »
Ups ... sorry bro Kai ... baru tau anda post disini ... :)

Saya coba uraikan di sini.
Bagi saya, bahkan seorang Samma Sambuddha pun tidak bisa membuat orang lain mengeri proses dari hukum kamma. Misalnya seperti saya katakan sebelumnya, ada suatu akibat, lalu dijelaskan oleh Buddha sebabnya di masa lampau. Semua orang yang mendengar hal tersebut TETAP TIDAK TAHU APA-APA tentang Hukum Kamma dan cara bekerjanya.

Bagi yang masih diliputi KETIDAK TAHUAN, ya saya setuju ... :)
Tapi ada juga yang setelah mengetahui penjelasan Sang Buddha, sudah terbebas dari keraguan terhadap Tiratana ... Dasar dari KEIMANAN BUDDHIS adalah Saddha, dimana prosesnya perlu adanya pembuktian (bukan kepercayaan membuta) ... Dengan terbebasnya batin dari KERAGU-RAGUAN terhadap Tiratana, tentu bisa anda bayangkan saddha yang dimiliki orang tersebut bukan (pastinya telah membuktikan) ? :)

Sekarang cobalah kita pandang dari sudut pandang skeptis di mana kita tidak percaya tentang adanya seorang Buddha. Kemudian ada 2 orang yang mengaku Samma Sambuddha. Mengenai satu akibat, misalnya seseorang dirampok, terdapat 2 pendapat. Satu "Buddha" mengatakan karena dia pernah merampok rumah orang, sedangkan "Buddha" yang lain mengatakan dia pernah mencopet Arahat. Ada yang bisa buktikan yang mana yang benar? Saya rasa tidak. Berdasarkan hal ini, maka saya bilang Hukum Kamma tidak bisa dibuktikan ke orang lain, bahkan oleh seorang Samma Sambuddha pun tidak.

Ya ... hal ini saya setuju ... :)
Bro Kai, sayapun tidak memaksa anda untuk percaya dengan proses pembuktian yang saya jabarkan pada thread lalu ... Tapi karena ada sebuah keyakinan pada diri saya, bahwa anda termasuk orang yang sudah bisa membuktikan cara kerja sederhana dari hukum kamma, dan saya melihat anda membuat tulisan bahwa hukum kamma tidak dapat dibuktikan, disitulah proses pikiran saya bereaksi untukl mengetahui lebih lanjut tentang apa yang anda telah pelajari (maaf, bukan mau ngetes yah ... :) ...)
Dan ternyata, dugaan saya semula TEPAT ... Diskusi kita berdua hanya beda masalah penafsiran dari pembuktian diri sendiri atau dengan orang lain ... itu aja koq ... Boleh saya bilang, ini hanya salah paham ... :)

Lalu kepada diri sendiri, walaupun belum ada buktinya, saya percaya seorang Samma-Sambuddha BISA membuktikan hukum kamma dan juga mekanismenya. Lalu, apakah kita masing-masing juga mampu membuktikannya?

Yup ... anda sudah bisa, saya dan beberapa rekan disini pun demikian ... TAPI, hanya terbatas kepada persoalan-persoalan kecil saja, karena harus kita akui bahwa ketidak tahuan kita itulah yang menyebabkan rangkaian kamma ini terjalin begitu panjangnya dan ketidak tahuan kitalah sebuah bukti konkrit yang seharusnya kita akui sebagai bekal untuk menuju sebuah kesudah tahuan nantinya (dalam hal ini kalau itu tidak diketahui, ini sebenarnya kerja dari sang aku yang tidak mengakuinya) ... :)

Pertanyaan saya sederhana: Bagi yang mengatakan bisa, apakah kita tahu sebab apa saja di masa lampau yang menyebabkan akibat tertentu sekarang? Apakah kita tahu perbuatan yang dilakukan sekarang ini mengakibatkan akibat apa di masa depan? Apakah mengetahui mekanismenya sehingga juga mengetahui berapa kali lipat buahnya dan kapan berbuahnya? Apakah juga mengetahui interaksi kamma lain yang mendukung dan menghambat sehingga mempengaruhi buah kamma tersebut?

Kalau kita mau sama-sama jujur, saya ulangi statement saya bahwa Ketidak tahuan ini yang menyebabkan akibat-akibat saat ini dari masa-masa lampau (sebelum kelahiran sekarang) ... :)

Kalau memang ada yang jawab "YA", berarti mungkin memang saya keliru.
Tetapi kalau kita sepakat mengatakan "TIDAK", lalu pembuktian apa yang sudah terjadi sementara apa mengakibatkan apa tidak ada yang tahu?

Saran saya, jangan terlalu jauh untuk mempertanyakan hal dalam membuktikan sebuah proses sebab-akibat ... Saya pikir, andapun akan setuju kalau ini jelas akan merupakan 'penghambat' kemajuan batin kita yang masih belajar ... Bukan begitu Bro Kai ? :)

Hukum kamma bagi saya bukanlah hukum tebak-tebakan berdasarkan logika yang kita ketahui. Bukan tebak-tebakan berdasarkan ilmu sosial, etika, dan sebagainya. Itu adalah probabilitas. Ada orang-orang yang memang bisa "meramalkan" masa depan, walaupun ia bukan seorang Buddha, bahkan bukan orang suci sekalipun. Tetapi itu hanya sebatas "penglihatan" saja. Ia tidak tahu bagaimana itu berproses dan apa saja penyebabnya. Dan yang paling penting, ia pun belum tentu kenal hukum kamma, namun memang dia punya "penglihatan" itu saja. Mungkin analogi paling sederhana adalah seperti orang yang punya pengetahuan "kalau isi bensin, mobil bisa jalan" tetapi tidak tahu mekanismenya.
Hukum kamma adalah berkenaan dengan niat dan pikiran. Jika memang bisa memahami hukum kamma, ketika sebuah niat terlintas di pikiran pun orang tersebut sudah mengetahui akibatnya.

Saya tidak menolak statement anda bila itu menyangkut pembuktian sebuah proses panjang dari rangkaian kamma (baik masa lampau ataupun yang akan datang) ... Tapi jelas saya akan mendiskusikan kalau saja anda masih meragukan apa yang telah anda buktikan dari sebuah sebab akibat sederhana yang terjadi saat sekarang ... :)

Maksud saya adalah sederhana. Orang percaya pada Tuhan sama sekali bukanlah hal yang konyol. Namun menjadi sangat konyol kalau dia mengatakan sudah memahami Tuhan (seolah-olah mengerti kompleksitas pikiran Tuhan), apalagi mencoba membuktikannya kepada orang lain. Sama halnya dengan hukum kamma. Namun tentu saja hal konyol bagi saya, mungkin adalah sakral bagi orang lain dan saya harus menghargainya. Oleh karena itu saya tidak melanjutkannya.

Nah untuk itulah, sering kali saya menulis diluar DC kurang lebih intinya seperti ini:
JANGAN DEFINISIKAN TUHAN ... karena dengan mendefinisikanNya, orang itu sudah "menyekat" Tuhan kedalam 'Aku' nya dan sudah banyak sekali pro-kontra timbul yang nyata hanya merupakan pembenaran dari ego diri dari yang mencoba mendefinisikannya ... Dengan begini apakah Tuhan masih bisa dikatakan "Yang Universal" atau malah menjadi Tuhan yang "tersekat" oleh ego diri ?

Apakah anda setuju dengan tulisan saya diatas ? :)
« Last Edit: 20 October 2009, 12:51:57 AM by g.citra »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Untuk Bro xuvie II
« Reply #244 on: 20 October 2009, 10:02:55 AM »
Menurut saya sih kosongkan cangkir nasraninya, pengetahuan umum dsb dan jg pengetahuannya semula ttg buddhisme. Anggaplah seperti belajar dr awal. Memulai kembali dr awal, bukan hal sia2. :)
Kalau begitu kita tidak sependapat dalam hal ini.
Buat saya, hal bersifat doktriniah harus dibuang jika mau belajar doktrin lain. Namun hal non-doktriniah seperti logika dan pengetahuan umum, selalu berlaku, KECUALI dalam mempelajari suatu doktrin yang bertentangan dengan logika tersebut yang biasanya bersifat "cuci otak". Logika dan common sense inilah yang menjaga kita dari cengkeraman dogma.


Quote
Ini seperti saya seorang pengemudi truk sampah yg mewarisi profesi dr ayah saya, sedari kecil dunia saya hanya seputar dunia sampah di Bantar Gebang. Guncangan saat mengendarai truk, bau, bising, dlsb suasana yg tidak enak sudah menjadi teman akrab saya. Dan saya tidak pernah naik katakanlah mobil mercy. Jika saya hanya mendengar enaknya mobil mercy ini-itu dari orang lain sementara saya tidak pernah menaikinya tentu akan timbul berbagai pikiran, utamanya sih 2: antara percaya dan berpikir berlebihan bahwa naik mercy serasa di surga, atau sebaliknya tidak percaya dan menolak mentah2. Yg manapun, hanya konsep dan ide, bukan realitasnya hingga saya mencoba naik mercy dan mengetahui kalau lebih 90% pemikiran saya sebelumnya tidak benar. Utk itu, kosongkan cangkirnya dan minum tehnya, kesampingkan perbandingan dan prasangka sementara dan coba selami.
Perumpamaan ini bagi saya tidak tepat. Dalam hal hukum kamma, kita menganggap hukum kamma berlaku untuk semua orang, baik dia kenal teorinya atau pun tidak. Namun dalam perumpamaan ini, si tukang sampah tidak mengalami mobil Mercedes dan hanya tebak-tebakan saja.


Quote
Dan sekedar info juga, hingga hari ini, bbrp kelompok2 fundamentalis Islam salah 1 nya jamaah islamiah di Pakistan (pernah dipost di DC terjemahan wawancara dg wakil pimpinan kelompok tsb) menolak kenyataan bahwa Bumi bulat. Saat itu (berita diluncurkan), manusia sudah lama mendarat di bulan. ;D
Ya, saya tahu mengenai hal tersebut. Itu yang saya singgung mengenai mengukur lengkung permukaan air yang dilakukan oleh pembela doktrin ekstremis bahwa bumi adalah datar.


Quote
Karena Bro Kain sudah memiliki "iman" yg sama, tentu saya tidak perlu bersusah payah membuktikan lagi bukan? Bukannya saya sudah katakan sebelumnya kalau kekuatan Kamma itu subtil dan tak-kasat-mata? Kalau mau contoh kerja Hukum Kamma yg mutlak terjadi dan dalam waktu singkat, dari segi tindakan, akan susah menemukan 1, jika saya katakan A membunuh B dan akibatnya A dipenjara. Hal ini tdk mutlak, krn ada pula kejadian di mana pembunuh A berhasil meloloskan diri dg cerdiknya dr kejaran hukum. Krn tdk mutlak terjadi dlm kehidupan ini juga, akan susah membuktikan bahwa akibatnya pasti akan terjadi dan diterima A di waktu mendatang. Selagi saya tidak dpt membuktikan, selalu akan ada sanggahan.
Itu karena anda dan kebanyakan rekan lain melihat hukum sebab-akibat secara logika sebagai hukum kamma.
Bagi saya, seseorang membunuh, menurut hukum kamma akibatnya adalah berumur pendek, entah lewat penyakit, entah dibunuh orang lain, entah kecelakaan atau apa pun, baik di sini mau pun di kehidupan mendatang, tidak ada yang tahu waktunya. Orang memberi, maka ia pun akan mendapatkan kemurahan, baik di kehidupan ini, bisa juga di kehidupan mendatang.
Sedangkan anda dan kebanyakan rekan di sini melihat konsekwensi logis sebagai hukum kamma. Membunuh = ditangkap. Memberi = ucapan terima kasih. Sekali lagi di sini kita berbeda.


Quote
Btw, gimana dg contoh dari Mba' Samaneri di thread lain itu? Tidak cukup membuktikankah? Karena Samaneri menanam kebaikan, maka terhindar dr marabahaya. Jangan katakan kalau temannya itu memang cuma berniat makan di Bakmi GM dan merampok di tempat lain (BRI). Apalagi  Sebaliknya krn temannya menanam kejahatan (hingga 3x, dimana sempat mengambil nyawa petugas bank lain), akhirnya dibedil.
Sekadar mengingatkan, di sini saya hanya mencoba mengajak diskusi dg harapan kita dapat menyempurnakan pengertian buddhis ttg Hukum Kamma, bukan utk "menjatuhkan" dlsb. Jadi saya tidak tertarik utk berputar-putar, berkelit dan mencari2 pembenaran.
Point ke 3 perbedaan kita, anda mengambil satu contoh sebagai pembuktian universal (pars pro toto). Sedangkan kalau diambil contoh yang bertentangan, anda anggap sebagai sanggahan yang mencari celah. Apalah bedanya dengan kesembuhan rohani yang bisa menyembuhkan sebagian sangat kecil saja, namun meng-klaim bisa menyembuhkan siapa saja asal percaya? Ketika disanggah bahwa banyak yang tidak sembuh, tinggal bilang, "imannya kurang." Beres 'kan? Jika ingin membuktikan suatu hukum, meleset 1 saja dari antara 1 juta orang, maka hukum itu tidak berlaku.


Quote
Sikap apa yg Bro Kain ambil sehingga berbeda? Mohon jelaskan krn saya ngga mengikuti thread yg berlembar2 itu secara keseluruhan. Lagian lebih enak kalau dikatakan eksplisit. :)
Setelah membahas lebih jauh, saya ingin mengubah kesimpulan, yaitu bahwa sebetulnya "iman" saya dan kebanyakan rekan lain (dan mungkin juga anda) adalah sudah berbeda jauh. Saya melihat kamma sebagai sesuatu yang pasti (membunuh mengakibatkan umur pendek), namun tidak mengerti prosesnya (termasuk interaksi dengan kamma lain), hasilnya, dan kapan berbuahnya, dan oleh sebab itu saya katakan saya tidak bisa membuktikannya; sedangkan rekan lain menganggap kamma sebagai hukum konsekwensi logis sederhana saja seperti probabilitas (membunuh: ditangkap, merasa bersalah, dll), yang oleh karena itu jika probabilitasnya kebetulan benar, diklaimlah sebagai bukti hukum kamma. Sedangkan kalau contoh yang tidak mendukung (membunuh tidak tertangkap, tidak merasa bersalah) dianggap suatu usaha mencari celah.

Perbedaan yang paling menonjol adalah seperti yang saya singgung di thread sebelah (dan saya lengkapi satu lagi):
-seseorang memberi "angpau" dengan tulus namun tidak tahu tradisi sehingga menyinggung penerima dan mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan.
-seseorang melakukan pembunuhan terhadap seorang enemy of the states, yang karenanya, bukan hanya bebas dari hukuman penjara, juga mendapatkan hadiah.

Mengikuti pendapat yang menganggap kamma bisa dibuktikan (memberi = ucapan terima kasih), maka kamma memberi, vipakanya bisa jadi suatu penderitaan; kamma membunuh, bisa jadi vipakanya adalah dapat hadiah.
Menurut pendapat saya, kamma memberi dan membunuh, kapan berbuahnya dan apa buahnya tidak bisa dibuktikan. Namun untuk memberi, vipakanya PASTI baik, dan untuk membunuh, vipakanya PASTI buruk. Penolakan pemberian dan keadaan orang itu adalah enemy of the state adalah Vipaka dari kamma lain, BUKAN kamma pemberi dan pembunuh seperti pendapat rekan-rekan lain. Itulah "iman" saya dan perbedaannya.



Quote
Coba kita kembali ke definisi Kamma lagi (jangan cape ya Om) ;D
Di Nibbedhika Sutta, dikatakan oleh Sang Buddha ttg definisi Kamma, "bahwa cetana (kehendak) itulah yg dinamakan kamma (perbuatan). Dan melalui kehendak, orang melakukan kamma melalui 3 saluran perbuatan: pikiran, ucapan dan tindakan."
Karena semua perbuatan dilakukan diawali oleh kehendak, maka perbuatan apapun itu adlh kamma. Saya ambil contoh yg baik2 saja deh. Misal menabung di banknya Samaneri. Dengan niat (kehendak) mengumpulkan uang, maka saya menabung. Akibat dr menabung, uang terkumpul dan saya bisa jadi kaya jika perbuatan ini saya kondisikan menjadi sebuah kebiasaan. Apakah ini bukan termasuk Kamma? Saya sih melihat ini bagian kamma, krn diawali oleh kehendak dan ada perbuatan. Lebih lanjut ada hasil/akibat dr perbuatan ini. CMIIW. :)

_/\_
Saya beri kasusnya orang ingin menabung namun punya pengeluaran tak terduga seperti orang tua sakit, atau usahanya merugi, atau kerampokan, atau mungkin kena bencana alam, yang akhirnya tidak jadi menabung bahkan kehilangan uang. Niat (kamma) menabung sudah ada, bagaimana mungkin anda katakan kemiskinan adalah Vipakanya?

Saya melihat niat menabung memang sebagai kamma. Namun saya tidak melihat tabungan yang bertambah sebagai Vipaka dari niat menabung tersebut, setidaknya bukan vipaka tunggal. Bahkan dari suatu pikiran paling sederhana saja, saya tidak tahu vipakanya, karena saya pun tidak tahu interaksinya dengan kamma lain di masa lalu. Dari pandangan tersebut, saya mengakui bahwa saya tidak bisa membuktikan hukum kamma.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Untuk Bro g.citra II
« Reply #245 on: 20 October 2009, 10:55:15 AM »
Ups ... sorry bro Kai ... baru tau anda post disini ... :)
Tidak apa, saya memang tidak kasih tahu di thread sebelah karena OOT. :)


Quote
Bagi yang masih diliputi KETIDAK TAHUAN, ya saya setuju ... :)
Tapi ada juga yang setelah mengetahui penjelasan Sang Buddha, sudah terbebas dari keraguan terhadap Tiratana ... Dasar dari KEIMANAN BUDDHIS adalah Saddha, dimana prosesnya perlu adanya pembuktian (bukan kepercayaan membuta) ... Dengan terbebasnya batin dari KERAGU-RAGUAN terhadap Tiratana, tentu bisa anda bayangkan saddha yang dimiliki orang tersebut bukan (pastinya telah membuktikan) ? :)
Saya tanya kembali. Ketika Buddha menjelaskan suatu kejadian di masa lalu yang menyebabkan suatu vipaka muncul, apakah dengan sendirinya para bhikkhu yang di antaranya adalah Arahat, orang yang tanpa keraguan pada Tiratana, memiliki kesaktian melihat masa lampau dan membuktikan bahwa adalah benar di masa lalu ia melakukan perbuatan tersebut?   


Quote
Ya ... hal ini saya setuju ... :)
Bro Kai, sayapun tidak memaksa anda untuk percaya dengan proses pembuktian yang saya jabarkan pada thread lalu ... Tapi karena ada sebuah keyakinan pada diri saya, bahwa anda termasuk orang yang sudah bisa membuktikan cara kerja sederhana dari hukum kamma, dan saya melihat anda membuat tulisan bahwa hukum kamma tidak dapat dibuktikan, disitulah proses pikiran saya bereaksi untukl mengetahui lebih lanjut tentang apa yang anda telah pelajari (maaf, bukan mau ngetes yah ... :) ...)
Dan ternyata, dugaan saya semula TEPAT ... Diskusi kita berdua hanya beda masalah penafsiran dari pembuktian diri sendiri atau dengan orang lain ... itu aja koq ... Boleh saya bilang, ini hanya salah paham ... :)
Untuk pembuktian pada orang lain mungkin kita sudah sepaham. Namun untuk diri sendiri, masih ada sedikit perbedaan.
Saya percaya hukum kamma, namun tidak ada satu cetana yang paling sederhana pun yang saya ketahui vipakanya. Saya hanya tahu secara keseluruhan, kebaikan yang dilakukan, bersama berlalunya waktu, menghasilkan kebahagiaan. Namun itu sama sekali tidak cukup untuk mengatakan hukum kamma bisa dibuktikan. 


Quote
Yup ... anda sudah bisa, saya dan beberapa rekan disini pun demikian ... TAPI, hanya terbatas kepada persoalan-persoalan kecil saja, karena harus kita akui bahwa ketidak tahuan kita itulah yang menyebabkan rangkaian kamma ini terjalin begitu panjangnya dan ketidak tahuan kitalah sebuah bukti konkrit yang seharusnya kita akui sebagai bekal untuk menuju sebuah kesudah tahuan nantinya (dalam hal ini kalau itu tidak diketahui, ini sebenarnya kerja dari sang aku yang tidak mengakuinya) ... :)
Seperti saya bilang, tidak bisa, bro g.citra. Bahkan yang paling sederhana pun tidak. Kalau sebab akibat secara logis, saya memang bisa "meramal", diukur dari segala macam segi dan kemungkinan. Namun itu bukan hukum kamma.


Quote
Kalau kita mau sama-sama jujur, saya ulangi statement saya bahwa Ketidak tahuan ini yang menyebabkan akibat-akibat saat ini dari masa-masa lampau (sebelum kelahiran sekarang) ... :)
Seandainya saya mengetahui kelahiran-kelahiran saya di masa lampau, belum tentu saya tahu perbuatan satu menyebabkan akibat satu. Demikian juga untuk kamma sekarang yang berbuah dalam kehidupan ini pun, saya tidak tahu kamma apa saja yang menyebabkan vipaka tertentu.


Quote
Saran saya, jangan terlalu jauh untuk mempertanyakan hal dalam membuktikan sebuah proses sebab-akibat ... Saya pikir, andapun akan setuju kalau ini jelas akan merupakan 'penghambat' kemajuan batin kita yang masih belajar ... Bukan begitu Bro Kai ? :)
Anda keliru. Saya tidak mempermasalahkan pembuktian harus ada. Justru saya menyarankan agar kita menerima kenyataan bahwa kita tidak mampu membuktikannya. Janganlah karena ego "ehipassiko", semua berkenaan dengan dhamma dianggap harus bisa dibuktikan. Kamma secara sangat sederhana BISA dilogikakan dan dikemas dalam suatu konsep. Konsep tersebutlah yang kita peluk berdasarkan kecocokan.



Quote
Saya tidak menolak statement anda bila itu menyangkut pembuktian sebuah proses panjang dari rangkaian kamma (baik masa lampau ataupun yang akan datang) ... Tapi jelas saya akan mendiskusikan kalau saja anda masih meragukan apa yang telah anda buktikan dari sebuah sebab akibat sederhana yang terjadi saat sekarang ... :)
Proses sederhana apa? :) Berdana ("angpau" tanpa pengetahuan tradisi) menghasilkan vipaka penolakan? Kalau anda jelaskan hukum kamma seperti itu pada non-Buddhis, ia akan mengatakan Buddha mengajarkan suatu perbuatan baik hasilnya tidak tentu.
Jika sudah menyangkut kamma, tidak ada yang sederhana sama sekali, Bro g.citra. Sebatas itulah yang telah saya ketahui.


Quote
Nah untuk itulah, sering kali saya menulis diluar DC kurang lebih intinya seperti ini:
JANGAN DEFINISIKAN TUHAN ... karena dengan mendefinisikanNya, orang itu sudah "menyekat" Tuhan kedalam 'Aku' nya dan sudah banyak sekali pro-kontra timbul yang nyata hanya merupakan pembenaran dari ego diri dari yang mencoba mendefinisikannya ... Dengan begini apakah Tuhan masih bisa dikatakan "Yang Universal" atau malah menjadi Tuhan yang "tersekat" oleh ego diri ?

Apakah anda setuju dengan tulisan saya diatas ? :)
Yang ini saya sangat setuju.

Offline g.citra

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.372
  • Reputasi: 31
  • Gender: Male
  • Hidup adalah Belajar, Belajar adalah Hidup
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #246 on: 20 October 2009, 11:44:40 AM »
Saya tanya kembali. Ketika Buddha menjelaskan suatu kejadian di masa lalu yang menyebabkan suatu vipaka muncul, apakah dengan sendirinya para bhikkhu yang di antaranya adalah Arahat, orang yang tanpa keraguan pada Tiratana, memiliki kesaktian melihat masa lampau dan membuktikan bahwa adalah benar di masa lalu ia melakukan perbuatan tersebut?   

Yah begitulah bro Kai ... :)
Seperti telah kita ketahui, tidak semua Arahat mempunyai abhina, tapi mereka telah mengerti sepenuhnya karena mereka telah 'melihat' segala sesuatu perwujudan yang ada (paling nggak diri mereka sendiri), mereka 'melihat' perwujudan itu tidak kekal dimana selalu ada dukkha yang menyelimuti bentuk perubahan tersebut dan mereka telah 'melihat' tak ada suatu inti dari materi yang berwujud itu bersifat kekal ... :)

Dengan mengetahui hal ini, sesungguhnya mereka telah paham (karena telah membuktikan) akan sifat 'timbul ternggelam' dari setiap bentuk perbuatan yang dilandasi keinginan berdasar dari ketidak tahuan akan selalu berakibat (walaupun tidak harus mengetahui hal-hal yang terlalu lampau ataupun kedepan) ... :)

Untuk pembuktian pada orang lain mungkin kita sudah sepaham. Namun untuk diri sendiri, masih ada sedikit perbedaan.
Saya percaya hukum kamma, namun tidak ada satu cetana yang paling sederhana pun yang saya ketahui vipakanya. Saya hanya tahu secara keseluruhan, kebaikan yang dilakukan, bersama berlalunya waktu, menghasilkan kebahagiaan. Namun itu sama sekali tidak cukup untuk mengatakan hukum kamma bisa dibuktikan. 

Bro Kai ... :)
Definisi dari kebaikan akan berakibat kebahagiaan itu hanya terbatas untuk segala macam kegiatan duniawi belaka ... Dalam hal ini tidak ada ukuran pasti mengenai kebaikan ataupun kebahagiaan dari tiap pribadi ... :)

Lepaskan dahulu konsep dualisme yang nyata ini ... baru akan didapati bahwa setiap bentuk cetana yang timbul berdasar dari ketidak tahuan ini akan selalu menimbulkan akibat ... Saya pikir itu saja koq ... :)

Seperti saya bilang, tidak bisa, bro g.citra. Bahkan yang paling sederhana pun tidak. Kalau sebab akibat secara logis, saya memang bisa "meramal", diukur dari segala macam segi dan kemungkinan. Namun itu bukan hukum kamma.

Coba anda mulai perhatikan (dengan kewaspadaan tentunya) saat anda berkeinginan ... saat itu juga akan tampak hasil dari keinginan anda yang anda perbuat dari pikiran, ucapan dan perbuatan ... Butuh proses memang, tapi saya yakin setiap orang akan bisa menyelami ini sepanjang ia sungguh-sungguh memperhatikannya ... :)

Makanya pada thread lalu saya menuliskan, coba perhatikan perasaan yang timbul setelah anda memberi uang kepada orang yang anda ingin berikan ... :) ...

Perasaan apapun itu, itu hasil dari perbuatan kita yang secara langsung kita dapat sebagai akibat dari perbuatan memberi ... Akibat-akibat lainnya itu memang sangat bergantung pada 2 hal lainnya seperti, akibat dari saat anda memberi, dan akibat setelah anda memberi ... tapi akibat karena anda bercetana memberi pastinya anda sudah rasakan akibatnya ... itu saja koq ... :)

Seandainya saya mengetahui kelahiran-kelahiran saya di masa lampau, belum tentu saya tahu perbuatan satu menyebabkan akibat satu. Demikian juga untuk kamma sekarang yang berbuah dalam kehidupan ini pun, saya tidak tahu kamma apa saja yang menyebabkan vipaka tertentu.

Yah karena memang ini ketidak tahuan kita bro ... :))
Makanya saya selalu mengusahakan diri saya untuk tidak berpikir terlalu jauh (kedepan/kebelakang) ... :)

Anda keliru. Saya tidak mempermasalahkan pembuktian harus ada. Justru saya menyarankan agar kita menerima kenyataan bahwa kita tidak mampu membuktikannya. Janganlah karena ego "ehipassiko", semua berkenaan dengan dhamma dianggap harus bisa dibuktikan. Kamma secara sangat sederhana BISA dilogikakan dan dikemas dalam suatu konsep. Konsep tersebutlah yang kita peluk berdasarkan kecocokan.

Dalam berdiskusi membahas hukum kamma atau apapun, sepanjang itu bisa ditangkap oleh logika, sepanjang itulah kita bisa membuktikan (lewat berpikir) kenyataannya sepanjang itu berada dalam logika kita ... :)

Bukti sesungguhnya (kalau kamma yang dilakukan lewat ucapan dan perbuatan), adalah berucap dan berbuat!
Gak ada jalan lain ... :)

Proses sederhana apa? :) Berdana ("angpau" tanpa pengetahuan tradisi) menghasilkan vipaka penolakan? Kalau anda jelaskan hukum kamma seperti itu pada non-Buddhis, ia akan mengatakan Buddha mengajarkan suatu perbuatan baik hasilnya tidak tentu.
Jika sudah menyangkut kamma, tidak ada yang sederhana sama sekali, Bro g.citra. Sebatas itulah yang telah saya ketahui.

Nah karena itulah bro Kai ...
Lambat laun Dhamma yang ditemukan olehNya akan menunjukkan bukti nyatanya kalau segala yang terbentuk, dibentuk, ditemukan akan mengalami perubahan ... :)

Dualisme kenyataan yang sangat nyata di dunia ... kita demikian terobsesi oleh sebuah perhitungan matematis tentang pertambahan dimana plus + plus = plus dan sebaliknya ...

Seharusnya dengan menyadari hal ini, kita semua akan menjadi maklum karena tidak semua Buddhis akan bisa melepaskan diri dari dualisme dan juga tidak semua non Buddhis tidak bisa melepaskan konsep dualisme dimana dalam memperhatikan penjelasan saya pasti tidak akan puas ... :)

Kalau kenyataannya tidak ada yang puas, tidak akan ada pengaruh apa-apa pada saya, karena saya memaklumi tentang hal-hal diatas ... :)

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Untuk Bro g.citra III
« Reply #247 on: 20 October 2009, 03:55:03 PM »
Yah begitulah bro Kai ... :)
Seperti telah kita ketahui, tidak semua Arahat mempunyai abhina, tapi mereka telah mengerti sepenuhnya karena mereka telah 'melihat' segala sesuatu perwujudan yang ada (paling nggak diri mereka sendiri), mereka 'melihat' perwujudan itu tidak kekal dimana selalu ada dukkha yang menyelimuti bentuk perubahan tersebut dan mereka telah 'melihat' tak ada suatu inti dari materi yang berwujud itu bersifat kekal ... :)

Dengan mengetahui hal ini, sesungguhnya mereka telah paham (karena telah membuktikan) akan sifat 'timbul ternggelam' dari setiap bentuk perbuatan yang dilandasi keinginan berdasar dari ketidak tahuan akan selalu berakibat (walaupun tidak harus mengetahui hal-hal yang terlalu lampau ataupun kedepan) ... :)
Demikianlah ajaran Buddha adalah mengenai timbul dan tenggelamnya fenomena yang bisa dibuktikan di sini dan sekarang. Buddha juga mengajarkan bahwa hukum kamma itu ada, namun tidak untuk dibuktikan karena demikian kompleksnya.


Quote
Bro Kai ... :)
Definisi dari kebaikan akan berakibat kebahagiaan itu hanya terbatas untuk segala macam kegiatan duniawi belaka ... Dalam hal ini tidak ada ukuran pasti mengenai kebaikan ataupun kebahagiaan dari tiap pribadi ... :)
Saya memang tidak membahas hukum kamma dari segi meninggalkan duniawi, apalagi adi-duniawi, karena di situ lebih kompleks lagi dan mungkin akan menyinggung Acinteyya satunya lagi, yaitu "jalan pikiran Arahat". Marilah bahas yang sederhana (namun sudah sangat kompleks ini), yaitu berkisar duniawi saja.

Quote
Lepaskan dahulu konsep dualisme yang nyata ini ... baru akan didapati bahwa setiap bentuk cetana yang timbul berdasar dari ketidak tahuan ini akan selalu menimbulkan akibat ... Saya pikir itu saja koq ... :)
Betul, menimbulkan akibat tertentu, yang mana kita tidak tahu apa hasilnya.


Quote
Coba anda mulai perhatikan (dengan kewaspadaan tentunya) saat anda berkeinginan ... saat itu juga akan tampak hasil dari keinginan anda yang anda perbuat dari pikiran, ucapan dan perbuatan ... Butuh proses memang, tapi saya yakin setiap orang akan bisa menyelami ini sepanjang ia sungguh-sungguh memperhatikannya ... :)

Makanya pada thread lalu saya menuliskan, coba perhatikan perasaan yang timbul setelah anda memberi uang kepada orang yang anda ingin berikan ... :) ...

Perasaan apapun itu, itu hasil dari perbuatan kita yang secara langsung kita dapat sebagai akibat dari perbuatan memberi ... Akibat-akibat lainnya itu memang sangat bergantung pada 2 hal lainnya seperti, akibat dari saat anda memberi, dan akibat setelah anda memberi ... tapi akibat karena anda bercetana memberi pastinya anda sudah rasakan akibatnya ... itu saja koq ... :)
(1) Niat memberi, belum tentu disertai dengan pemberian karena keadaan belum tentu mendukung, misalnya mau berdana tapi tidak punya uang, dihalangi orang lain, atau punya uang namun tidak punya akses.
(2) Terdukungnya pemberian tersebut terjadi adalah juga vipaka kamma lampau yang entah apa.
(3) Ketika pemberian dilakukan, maka terjadi lagi persepsi atas situasi yang terjadi, yaitu adanya pemberian. Jika anda bahagia, itu BUKAN vipaka dari pemberian, namun vipaka dari kamma pengembangan mudita bahwa dana telah terjadi.
Lalu apakah niat memberi tersebut tidak membuahkan vipaka?
(4) Niat tersebut TETAP membuahkan hasil, hanya saja saya tidak tahu apa itu.


Quote
Yah karena memang ini ketidak tahuan kita bro ... :))
Makanya saya selalu mengusahakan diri saya untuk tidak berpikir terlalu jauh (kedepan/kebelakang) ... :)
Bagi saya, membuktikan kamma sekarang yang berbuah pada kehidupan sekarang pun terlalu kompleks, maka saya meninggalkan konsep "mampu membuktikan hukum kamma".


Quote
Dalam berdiskusi membahas hukum kamma atau apapun, sepanjang itu bisa ditangkap oleh logika, sepanjang itulah kita bisa membuktikan (lewat berpikir) kenyataannya sepanjang itu berada dalam logika kita ... :)

Bukti sesungguhnya (kalau kamma yang dilakukan lewat ucapan dan perbuatan), adalah berucap dan berbuat!
Gak ada jalan lain ... :)
Kita berbeda lagi di sini. Seperti saya bilang, kita bisa melogikakan secara sederhana konsep hukum kamma, karena "di atas kertas" kita bisa membuat satu keadaan yang tidak kompleks. Ibaratnya kita mengukur debit air secara sederhana tanpa perhitungan gesekan air dengan pipa, tekanan udara penghambat, dlsb. Sementara kenyataannya, sesederhana apapun kamma yang kita lakukan, akan dipengaruhi variable kamma lainnya (yang bisa sedikit, bisa banyak, tergantung masing-masing orang) yang jumlahnya tidak berhingga. Karena itulah pembuktiannya tidak mungkin dilakukan.


Quote
Nah karena itulah bro Kai ...
Lambat laun Dhamma yang ditemukan olehNya akan menunjukkan bukti nyatanya kalau segala yang terbentuk, dibentuk, ditemukan akan mengalami perubahan ... :)

Dualisme kenyataan yang sangat nyata di dunia ... kita demikian terobsesi oleh sebuah perhitungan matematis tentang pertambahan dimana plus + plus = plus dan sebaliknya ...

Seharusnya dengan menyadari hal ini, kita semua akan menjadi maklum karena tidak semua Buddhis akan bisa melepaskan diri dari dualisme dan juga tidak semua non Buddhis tidak bisa melepaskan konsep dualisme dimana dalam memperhatikan penjelasan saya pasti tidak akan puas ... :)

Kalau kenyataannya tidak ada yang puas, tidak akan ada pengaruh apa-apa pada saya, karena saya memaklumi tentang hal-hal diatas ... :)

Saya pribadi tidak menerima penjelasan bahwa suatu perbuatan baik akan berakibat tidak baik adalah karena pengaruh dualisme. Itu akan menjadi seperti "escape mechanism" sesuatu yang baik berakibat tidak baik karena Tuhan punya rencana lain.

Seperti kita tahu perasaan bathin ada menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Kita bisa berkelit mengenai dualisme dan lain-lain. Ini akan sangat kompleks kalau dibahas, maka saya tidak menyinggungnya dan membahas perasan jasmani yang hanya dua, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Apapun yang anda atau rekan lain katakan mengenai dualisme, suatu kamma baik tidak akan mengakibatkan vipaka yang tidak menyenangkan. Jadi jika seseorang memberi dengan ikhlas namun kemudian mendapatkan tamparan (rasa sakit jasmani), itu bukan masalah dualisme dan non-dualisme (atau pun Tuhan punya rencana lain). Itu adalah kamma berbeda dan vipaka yang berbeda, yang tidak saling berhubungan, namun berinteraksi dalam suatu integrasi kamma yang kompleks. Itulah yang saya percaya.


Offline g.citra

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.372
  • Reputasi: 31
  • Gender: Male
  • Hidup adalah Belajar, Belajar adalah Hidup
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #248 on: 20 October 2009, 06:07:52 PM »
Demikianlah ajaran Buddha adalah mengenai timbul dan tenggelamnya fenomena yang bisa dibuktikan di sini dan sekarang. Buddha juga mengajarkan bahwa hukum kamma itu ada, namun tidak untuk dibuktikan karena demikian kompleksnya.

Namun bisa dibuktikan ... Pembahasan diskusi antara saya dan anda ini lah salah satu buktinya ... :)

Saya memang tidak membahas hukum kamma dari segi meninggalkan duniawi, apalagi adi-duniawi, karena di situ lebih kompleks lagi dan mungkin akan menyinggung Acinteyya satunya lagi, yaitu "jalan pikiran Arahat". Marilah bahas yang sederhana (namun sudah sangat kompleks ini), yaitu berkisar duniawi saja.

Baiklah bro Kai ... dengan demikian contoh apalagi (yang sederhana tentunya) yang bisa kita gali pada diskusi kita ini ? :)

(1) Niat memberi, belum tentu disertai dengan pemberian karena keadaan belum tentu mendukung, misalnya mau berdana tapi tidak punya uang, dihalangi orang lain, atau punya uang namun tidak punya akses.
(2) Terdukungnya pemberian tersebut terjadi adalah juga vipaka kamma lampau yang entah apa.
(3) Ketika pemberian dilakukan, maka terjadi lagi persepsi atas situasi yang terjadi, yaitu adanya pemberian. Jika anda bahagia, itu BUKAN vipaka dari pemberian, namun vipaka dari kamma pengembangan mudita bahwa dana telah terjadi.
Lalu apakah niat memberi tersebut tidak membuahkan vipaka?
(4) Niat tersebut TETAP membuahkan hasil, hanya saja saya tidak tahu apa itu.

Tulisan yang dibold itu, bukti atau bukan bro ? darimana anda berasumsi begitu ? bukankah itu sebuah bukti kalau ada kamma cetana (pengembangan mudita) ada vipaka (bahagia) ? :)

Bagi saya, membuktikan kamma sekarang yang berbuah pada kehidupan sekarang pun terlalu kompleks, maka saya meninggalkan konsep "mampu membuktikan hukum kamma".

:)) ... bro Kai ... lihat tulisan anda diatas ... :)) ... Jangan terlalu pesimis dengan menganggap sesuatu serba ribet dan komplekslah bro ... :))

Namun bila itu memang memotivasi anda untuk kemajuan batin anda, monggo aja koq ... Banyak jalan yang ditempuh orang-orang dalam memajukan spiritualnya ... :)

Kita berbeda lagi di sini. Seperti saya bilang, kita bisa melogikakan secara sederhana konsep hukum kamma, karena "di atas kertas" kita bisa membuat satu keadaan yang tidak kompleks. Ibaratnya kita mengukur debit air secara sederhana tanpa perhitungan gesekan air dengan pipa, tekanan udara penghambat, dlsb. Sementara kenyataannya, sesederhana apapun kamma yang kita lakukan, akan dipengaruhi variable kamma lainnya (yang bisa sedikit, bisa banyak, tergantung masing-masing orang) yang jumlahnya tidak berhingga. Karena itulah pembuktiannya tidak mungkin dilakukan.


Kalau contoh kasus itu dikembangkan ... ya saya setuju ! ... Kalau tidak dikembangkan ? Apakah masih begitu kompleks ?

Saya pribadi tidak menerima penjelasan bahwa suatu perbuatan baik akan berakibat tidak baik adalah karena pengaruh dualisme. Itu akan menjadi seperti "escape mechanism" sesuatu yang baik berakibat tidak baik karena Tuhan punya rencana lain.

Seperti kita tahu perasaan bathin ada menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Kita bisa berkelit mengenai dualisme dan lain-lain. Ini akan sangat kompleks kalau dibahas, maka saya tidak menyinggungnya dan membahas perasan jasmani yang hanya dua, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Apapun yang anda atau rekan lain katakan mengenai dualisme, suatu kamma baik tidak akan mengakibatkan vipaka yang tidak menyenangkan. Jadi jika seseorang memberi dengan ikhlas namun kemudian mendapatkan tamparan (rasa sakit jasmani), itu bukan masalah dualisme dan non-dualisme (atau pun Tuhan punya rencana lain). Itu adalah kamma berbeda dan vipaka yang berbeda, yang tidak saling berhubungan, namun berinteraksi dalam suatu integrasi kamma yang kompleks. Itulah yang saya percaya.

Mengenai tulisan yang anda bold:
Kata "baik" dan "menyenangkan" inilah yang menyekat anda sehingga anda begitu terobsesi olehnya... :)
Dari sini bisa saya simpulkan, bahwa kata itulah yang mendefinisikan Hukum kamma sehingga kehilangan ke-universal-annya (ini sama halnya dengan definisi tentang Tuhan) ... Ukuran baik dan menyenangkan menurut anda, belum tentu sama dengan baik dan menyenangkan menurut ukuran saya ... gak universal kan ?

Sementara sebab-akibat yang saya buktikan, lebih kepada sebab-akibat langsung (dimana bisa menimbulkan saddha pada diri saya) dan saya mengimaninya karena merasakan bukti nyata dari proses sebab-akibat tersebut ...

Mungkin hal ini sangat sulit (atau semakin sulit) anda terima (misal saja di pikiran anda saat baca tulisan saya: "ini orang koq au-ban banget yah" atau dll), wajar ... :) ... itu akibat yang saya terima berbuahnya dari sebab yang anda buat (berpikir) ... Akibat dari apa ? Akibat dari sebuah sebab yang saya perbuat >>> menulis dan berdiskusi dengan anda ...


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #249 on: 21 October 2009, 09:12:06 AM »
Demikianlah ajaran Buddha adalah mengenai timbul dan tenggelamnya fenomena yang bisa dibuktikan di sini dan sekarang. Buddha juga mengajarkan bahwa hukum kamma itu ada, namun tidak untuk dibuktikan karena demikian kompleksnya.

Namun bisa dibuktikan ... Pembahasan diskusi antara saya dan anda ini lah salah satu buktinya ... :)

Saya memang tidak membahas hukum kamma dari segi meninggalkan duniawi, apalagi adi-duniawi, karena di situ lebih kompleks lagi dan mungkin akan menyinggung Acinteyya satunya lagi, yaitu "jalan pikiran Arahat". Marilah bahas yang sederhana (namun sudah sangat kompleks ini), yaitu berkisar duniawi saja.

Baiklah bro Kai ... dengan demikian contoh apalagi (yang sederhana tentunya) yang bisa kita gali pada diskusi kita ini ? :)

(1) Niat memberi, belum tentu disertai dengan pemberian karena keadaan belum tentu mendukung, misalnya mau berdana tapi tidak punya uang, dihalangi orang lain, atau punya uang namun tidak punya akses.
(2) Terdukungnya pemberian tersebut terjadi adalah juga vipaka kamma lampau yang entah apa.
(3) Ketika pemberian dilakukan, maka terjadi lagi persepsi atas situasi yang terjadi, yaitu adanya pemberian. Jika anda bahagia, itu BUKAN vipaka dari pemberian, namun vipaka dari kamma pengembangan mudita bahwa dana telah terjadi.
Lalu apakah niat memberi tersebut tidak membuahkan vipaka?
(4) Niat tersebut TETAP membuahkan hasil, hanya saja saya tidak tahu apa itu.

Tulisan yang dibold itu, bukti atau bukan bro ? darimana anda berasumsi begitu ? bukankah itu sebuah bukti kalau ada kamma cetana (pengembangan mudita) ada vipaka (bahagia) ? :)

Bagi saya, membuktikan kamma sekarang yang berbuah pada kehidupan sekarang pun terlalu kompleks, maka saya meninggalkan konsep "mampu membuktikan hukum kamma".

:)) ... bro Kai ... lihat tulisan anda diatas ... :)) ... Jangan terlalu pesimis dengan menganggap sesuatu serba ribet dan komplekslah bro ... :))

Namun bila itu memang memotivasi anda untuk kemajuan batin anda, monggo aja koq ... Banyak jalan yang ditempuh orang-orang dalam memajukan spiritualnya ... :)

Kita berbeda lagi di sini. Seperti saya bilang, kita bisa melogikakan secara sederhana konsep hukum kamma, karena "di atas kertas" kita bisa membuat satu keadaan yang tidak kompleks. Ibaratnya kita mengukur debit air secara sederhana tanpa perhitungan gesekan air dengan pipa, tekanan udara penghambat, dlsb. Sementara kenyataannya, sesederhana apapun kamma yang kita lakukan, akan dipengaruhi variable kamma lainnya (yang bisa sedikit, bisa banyak, tergantung masing-masing orang) yang jumlahnya tidak berhingga. Karena itulah pembuktiannya tidak mungkin dilakukan.


Kalau contoh kasus itu dikembangkan ... ya saya setuju ! ... Kalau tidak dikembangkan ? Apakah masih begitu kompleks ?

Saya pribadi tidak menerima penjelasan bahwa suatu perbuatan baik akan berakibat tidak baik adalah karena pengaruh dualisme. Itu akan menjadi seperti "escape mechanism" sesuatu yang baik berakibat tidak baik karena Tuhan punya rencana lain.

Seperti kita tahu perasaan bathin ada menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Kita bisa berkelit mengenai dualisme dan lain-lain. Ini akan sangat kompleks kalau dibahas, maka saya tidak menyinggungnya dan membahas perasan jasmani yang hanya dua, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Apapun yang anda atau rekan lain katakan mengenai dualisme, suatu kamma baik tidak akan mengakibatkan vipaka yang tidak menyenangkan. Jadi jika seseorang memberi dengan ikhlas namun kemudian mendapatkan tamparan (rasa sakit jasmani), itu bukan masalah dualisme dan non-dualisme (atau pun Tuhan punya rencana lain). Itu adalah kamma berbeda dan vipaka yang berbeda, yang tidak saling berhubungan, namun berinteraksi dalam suatu integrasi kamma yang kompleks. Itulah yang saya percaya.

Mengenai tulisan yang anda bold:
Kata "baik" dan "menyenangkan" inilah yang menyekat anda sehingga anda begitu terobsesi olehnya... :)
Dari sini bisa saya simpulkan, bahwa kata itulah yang mendefinisikan Hukum kamma sehingga kehilangan ke-universal-annya (ini sama halnya dengan definisi tentang Tuhan) ... Ukuran baik dan menyenangkan menurut anda, belum tentu sama dengan baik dan menyenangkan menurut ukuran saya ... gak universal kan ?

Sementara sebab-akibat yang saya buktikan, lebih kepada sebab-akibat langsung (dimana bisa menimbulkan saddha pada diri saya) dan saya mengimaninya karena merasakan bukti nyata dari proses sebab-akibat tersebut ...

Mungkin hal ini sangat sulit (atau semakin sulit) anda terima (misal saja di pikiran anda saat baca tulisan saya: "ini orang koq au-ban banget yah" atau dll), wajar ... :) ... itu akibat yang saya terima berbuahnya dari sebab yang anda buat (berpikir) ... Akibat dari apa ? Akibat dari sebuah sebab yang saya perbuat >>> menulis dan berdiskusi dengan anda ...



Seperti saya duga, anda memang tidak mengerti maksud saya. Saya tidak bilang anda lebih "bodoh" atau apa, tetapi memang kita tidak nyambung. Itu saja.

 _/\_

Offline g.citra

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.372
  • Reputasi: 31
  • Gender: Male
  • Hidup adalah Belajar, Belajar adalah Hidup
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #250 on: 21 October 2009, 11:23:22 AM »
^ Disini asumsi anda timbul lagi bro Kai ...

Penilaian, itu proses pikiran anda ... Menjudge saya tidak mengerti ataupun mengerti akan maksud anda merupakan cetana anda ... dan itulah akibat yang saya terima karena kita disini sama-sama menghadapi sebuah obyek (diskusi) ...

Ini saya anggap bukti dan anda mungkin menganggapnya lain ... Itu semua pilihan masing-masing dari kita ... :)

Hanya saja, kalau memang Hukum kamma tidak bisa dibuktikan, berarti ada kesalahan dalam penulisan PARITTA DHAMMANUSSATI ... "Mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko)" ... Karena tentunya anda sepakat bahwa Hukum Kamma juga bagian dari Dhamma ... :)

_/\_

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #251 on: 21 October 2009, 11:51:22 AM »
dhammanussati yang dimaksud hukum kamma atau dukkha dan lenyapnya dukkha?
gw minum kopi tadi pagi juga dhamma...
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline g.citra

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.372
  • Reputasi: 31
  • Gender: Male
  • Hidup adalah Belajar, Belajar adalah Hidup
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #252 on: 21 October 2009, 12:10:31 PM »
dhammanussati yang dimaksud hukum kamma atau dukkha dan lenyapnya dukkha?
gw minum kopi tadi pagi juga dhamma...

Apa dengan begini hukum kamma bukan termasuk Dhammanussati yah bro ? :D

Jadi kalau begitu, saya salah pemahaman yah ?
Oke deh ... yang diatas saya biarin, tapi yang dibawah saya rubah jadi pertanyaan ... :))

Sebelum Pangeran Siddharta lahir, orang-orang juga mengenal hukum kamma, tapi Sang Buddhalah yang menemukan dan merumuskannya dengan sempurna dan masih dikenal sampai sekarang ini ...

Ada sebuah buku yang disusun oleh Bhante Narada (Sang Buddha dan Ajaran-ajaranNya jilid 2) menuliskan, bahwa hukum kamma juga merupakan dasar ajaran Buddha (bukunya kuning tulisannya dihal. 49), nah dari hal ini apakah hukum kamma tidak merupakan dhammanussati ?

btw, gw juga ngopi dulu ah ... :))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #253 on: 21 October 2009, 02:32:42 PM »
^ Disini asumsi anda timbul lagi bro Kai ...

Penilaian, itu proses pikiran anda ... Menjudge saya tidak mengerti ataupun mengerti akan maksud anda merupakan cetana anda ... dan itulah akibat yang saya terima karena kita disini sama-sama menghadapi sebuah obyek (diskusi) ...

Ini saya anggap bukti dan anda mungkin menganggapnya lain ... Itu semua pilihan masing-masing dari kita ... :)

Hanya saja, kalau memang Hukum kamma tidak bisa dibuktikan, berarti ada kesalahan dalam penulisan PARITTA DHAMMANUSSATI ... "Mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko)" ... Karena tentunya anda sepakat bahwa Hukum Kamma juga bagian dari Dhamma ... :)

_/\_


Baiklah, saya coba untuk yang terakhir kalinya. Semoga memang saya yang hanya "asumsi".
(1) Saya melihat anak kucing kelaparan dan memberi makan daging. Namun ternyata umurnya belum cukup untuk mencerna makanan tersebut dan meninggal.

(2) Saya pergi untuk mencari alat kebutuhan saya sehari-hari dan mendapatkannya.

Dari kedua hal ini, menurut anda, bagaimanakah kamma dan vipakanya?


Dan anda juga tidak mengerti maksud gachapin. Kamma memang tidak terpisah dari ajaran Buddha, tetapi Dhammanussati merujuk pada Buddha-dhamma, bukan semua dhamma. 
« Last Edit: 21 October 2009, 02:35:53 PM by Kainyn_Kutho »

Offline g.citra

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.372
  • Reputasi: 31
  • Gender: Male
  • Hidup adalah Belajar, Belajar adalah Hidup
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #254 on: 21 October 2009, 03:03:55 PM »
Baiklah, saya coba untuk yang terakhir kalinya. Semoga memang saya yang hanya "asumsi".
(1) Saya melihat anak kucing kelaparan dan memberi makan daging. Namun ternyata umurnya belum cukup untuk mencerna makanan tersebut dan meninggal.

(2) Saya pergi untuk mencari alat kebutuhan saya sehari-hari dan mendapatkannya.

Dari kedua hal ini, menurut anda, bagaimanakah kamma dan vipakanya?

#1. Yang memberi makan itu siapa bro ? anda atau emaknya ?
#2. cetananya : Anda ingin mecari ... vipakanya : anda mendapatkannya ... Lalu bagaimana kalau tidak mendapatkan ? itu juga vipaka anda karena anda bercetana mencari ... itu saja yang bisa saya tuliskan ...
Kalau anda menanyakan kamma-kamma apa yang menyebabkan anda mendapatkan/tidak mendapatkan, itulah yang saya asumsikan sebagai muter-muter pada thread sebelah ... Semoga memberikan kejelasan (cetana saya) ... Puas atau enggak respon anda itu vipaka saya ... itu aja koq ... gak ribet-ribet ... :)

Dan anda juga tidak mengerti maksud gachapin. Kamma memang tidak terpisah dari ajaran Buddha, tetapi Dhammanussati merujuk pada Buddha-dhamma, bukan semua dhamma.  

Dear bro Kai ... :)
Kamma yang telah di rumuskan dengan sempurna itulah yang saya asumsikan bagian dari Buddha-Dhamma ...
Lalu dari sini dimana lagi ke tidak-nyambungan saya mengenai tulisan bro Gachapin ?
Kalau Hukum Kamma yang telah dirumuskan dengan sempurna oleh Sang Bhagava itu bukan termasuk Buddha-Dhamma, lalu mengapa ada pembahasan-pembahasan mengenai cara bekerjanya, waktu berbuahnya dsb dalam Buddha-Dhamma ?

_/\_
« Last Edit: 21 October 2009, 03:06:06 PM by g.citra »