Opini
MEMERKARAKAN NAMA BUDDHA BAR
Senin, 30 Maret 2009 - 10:02 wib
Oleh: Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah JakartaSemua pemeluk agama dalam melakukan komunikasi dan ritual kepada Tuhan mesti
menggunakan simbol-simbol yang disucikan karena menjadi sarana untuk mendekati
Yang Maha Suci.
Simbol-simbol agama itu dimuliakan karena sebagai perantara untuk mendekati Yang
Maha Mulia. Makanya semua agama memiliki konsep orang suci, kitab suci, tempat
suci, dan simbol-simbol yang suci. Kesucian ini merupakan konsep, ajaran,
doktrin, dan keyakinan yang dipeluk dan dibela oleh mereka yang beriman serta
taat beragama.
Paham sekularisme memang tidak mengenal konsep kesucian. Semuanya profan, tidak
sakral, sehingga tokoh dan simbol yang disucikan oleh umat beragama dianggap
semu dan tidak memiliki signifikansi dalam kehidupan kecuali sebatas sugesti.
Secara filosofis, umat beragama pun yakin bahwa Yang Maha Absolut dan Suci hanya
Tuhan.
Namun kesucian Tuhan bisa melimpah atau beremanasi pada dunia manusia dan
semesta sehingga siapa yang hendak mendekat kepada Tuhan Yang Maha Suci
dianjurkan agar terlebih dahulu menyucikan dirinya dari berbagai pikiran dan
tindakan kotor yang akan menghalangi kedekatan dengan Tuhan.
Lebih dari itu, semua agama juga memiliki tempat-tempat suci yang dijadikan
sarana untuk melantunkan pujian kepada Tuhan karena yakin bahwa pujian dan doa
kepada Tuhan akan lebih didengar jika disampaikan di tempat yang suci, oleh hati
dan pikiran yang suci.
Sedemikian kuatnya umat beragama menjaga konsep tempat suci ini sehingga
perebutan untuk menguasai "tanah suci" di Yerusalem antara umat Yahudi,
Kristiani, dan Islam telah menjadi sumber krisis dunia dari waktu ke waktu.
Begitu pun konflik berdarah-darah yang terjadi di India karena sengketa masjid
dan kuil Hindu.
Di dalam komunitas muslim terdapat tradisi yang sangat kuat untuk menjaga citra
Nabi Muhammad sampai-sampai siapa yang mencoba membuat patung atau gambar pasti
akan menuai protes dari berbagai penjuru dunia. Bahkan dalam film kolosal The
Message sosok nabi Muhammad tidak ditampilkan karena menghormati keyakinan dan
tradisi umat Islam untuk tidak menghadirkan gambar visual Nabi Muhammad.***
Raymond Visan, si pengagum Buddha (BC: Raymond tampaknya seorang
atheist/communist karena dia adalah anak pengungsi Romania yg berhaluan
atheis/komunis), pendiri dan pemilik trade mark Buddha Bar, tentu tidak pernah
membayangkan bahwa bar yang didirikannya pertama kali di negerinya, Prancis,
akan menuai kontroversinya yang sangat menyinggung umat Buddha di Indonesia.
Di beberapa negara seperti Prancis atau kota-kota semisal London, New York,
Dubai, Sao Paulo, Kairo, dan Beirut, bar ini relatif aman dari kecaman dan
kritik penganut Buddha. Namun, di Singapura, Malaysia, dan Thailand franchiseini
ditolak tegas.
Di Indonesia, di mana masyarakatnya memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap
agama, Buddha Bar telah mengundang kontroversi karena menyinggung simbol
toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang kerap didengung-dengungkan oleh
pemerintah dan masyarakat. Protes demi protes pun dilayangkan kepada sang
pemilik bar melalui cara yang simpatik dengan mengirimkan surat untuk bertemu.
Di ranah internasional ada Konvensi Paris 1883 yang memuat ketidaksetujuan
tentang penggunaan simbol-simbol agama sebagai merek dagang. Di ruang nasional
pun ada undangundang (UU) yang menguatkan konvensi tersebut. Ada UU No 15/2001
tentang Merek yang di dalamnya dikatakan bahwa sebuah merek tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama,
kesusilaan, atau ketertiban umum.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah No 42/2007 tentang Waralaba juga menyatakan
bahwa waralaba harus di selenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara
pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.
Hukum yang dimaksud itu diatur dalam UU No 15/2001 tentang Merek..
Dukungan tentang pelanggaran merek ini juga datang dari Menteri Agama RI
Muhammad Maftuh Basyuni. Dia menegaskan, tempat hiburan yang menggunakan simbol
agama seperti Buddha Bar sebaiknya segera ditutup karena telah melukai perasaan
umat beragama.
Dia melanjutkan, "Jika tak ditutup, saya khawatir nanti ada Islam Bar, kr****n
Bar. dan bar-baran lain (semacamnya)," begitu kata Menteri Agama di depan tokoh
masyarakat dan agama di Jambi belum lama ini. Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Buddha pun mendukung pernyataan Menteri Agama tersebut.
Sangha (perkumpulan para bhiksu), majelis agama Buddha sampai dengan Senat
Mahasiswa Sekolah Tinggi Buddha pun turut menolak kehadiran Buddha Bar karena
nama Buddha terlalu suci untuk disandingkan dengan kata "bar" yang menurut kamus
berarti tempat minum-minum, khususnya minuman keras.
Kita sangat memahami bahwa pemeluk agama Buddha di Indonesia merasa dilecehkan
dan tersinggung dengan pembukaan Buddha Bar ini. Nama nabinya yang suci dan
mulia disandingkan dengan bar yang umumnya mereduksi praktik moralitas.. Menurut
kosakata bahasa Pali (India kuno), Buddha berarti orang yang telah mencapai
pencerahan sempurna, bebas dari kekotoran batin, dan pemberi ajaran menuju ke
pembebasan terakhir (nirvana).
Buddha bukan sekadar nama agama, tapi dia pun menjadi gelar nabi suci yang harus
diagungkan. Karena itu, sungguh terasa janggal meletakkan Buddha di sebuah bar
yang menawarkan segala kesenangan hedonistis, bukan spiritualistis. Apalagi
ornamen-ornamen Buddha juga tersebar di hampir semua atribut bar..
Mulai dari piring, gelas, baju pelayan restoran, nama-nama menu hewani (yang
notabene berasal dari hewan). Padahal, umat Buddha mengajarkan untuk menghindari
pembunuhan, termasuk hewan.***
Seorang teman mengadu kepada penulis bahwa di sini agama sudah dikomersialkan
secara murahan. Pencerahan dan ketenangan batin yang menjadi menu utama dalam
ajaran Buddha telah dimanipulasi dengan menu makanan untuk memanjakan selera
lidah yang bersifat sesaat. Inilah penyebab yang sangat menusuk hati penganut
agama ini.
Karenanya, tuntutan umat ini sederhana, jelas, dan konkret. Ganti nama bar
dimaksud dan keluarkan seluruh ornamen dan atribut suci yang ada di dalamnya.
Membuka restoran dengan cara yang simpatik tentu jauh akan lebih baik ketimbang
mesti menyakiti saudara kita umat Buddha.
Kalau saja pemiliknya seorang yang menjunjung tinggi agama atau bahkan taat
beragama, apa pun agamanya, pasti tidak rela kalau nama nabinya dan
ornamen-ornamen yang disucikan dijadikan nama dan pajangan restoran atau bar.
Jadi pelarangan penamaan Buddha Bar sesungguhnya berlaku untuk penamaan bar-bar
lain yang akan menyinggung perasaan umat beragama.Tidak hanya menyinggung, hal
itu juga merendahkan martabat agama itu sendiri.
Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
http://news.okezone.com/read/2009/03/30/58/205812/memerkarakan-nama-buddha-bar