Beberapa hari yang lalu film Eat, Pray, Love tayang di TV. Sebetulnya saya sudah baca novelnya, tapi saya penasaran dengan filmnya yang mungkin bisa membuat kisah ini lebih hidup. Sayangnya, filmnya justru terasa flat dan hambar. Ini saya ceritakan sekilas, yang sebagian tidak ada di filmnya.
_________
Perjalanan Liz di tiga negara, dipicu oleh depresi dan kehampaan yang dirasakannya menjelang dan pasca perceraian. Alasan mereka bercerai tidak ia ceritakan. Tapi Liz sempat mengatakan bahwa setelah 8 tahun menikah, ia akhirnya menyadari bahwa ia tidak ingin mempunyai anak. Dan setelah suaminya menandatangani surat cerai, perjalanan itu pun dimulai.
Italia. Italia adalah negara pertama yang dikunjungi (untuk empat bulan pertama). Mengapa Italia? karena Liz suka bahasa Italia, yang menurutnya lebih indah daripada mawar. Selain itu Liz ingin tinggal sebentar dalam budaya yang menghargai kesenangan dan keindahan. Dikatakan bahwa orang Italia adalah rajanya bel far niente. Bel far niente adalah keindahan dalam tidak melakukan apa-apa.
India. Empat bulan kedua, Liz tinggal di Ashram di India. Salah satu teman Liz di sana adalah Richard dari Texas. Richard adalah orang yang tidak mengkhawatirkan banyak hal. Baginya, apa pun yang akan terjadi adalah oke-oke saja. Jika tidak oke, paling tidak lucu. Liz dipanggil dengan sebutan Groceries oleh Richard karena porsi makan Liz yang sangat banyak, walaupun Liz berusaha membela diri bahwa ia makan dengan disiplin dan dengan niat.
Liz pergi ke India karena ia ingin belajar di bawah bimbingan Guru. Tapi saat Liz di India, si Guru justru sedang ke Amerika, jadi Liz berlatih sendiri. Sebelumnya Liz pernah mengikuti semacam kebaktian di New York, yaitu perkumpulan umat-umat pengikut Guru. Dan kalo saya lihat di filmnya, sepertinya bukan Buddhism.
Liz belajar meditasi dengan melafalkan mantra Om Namah Shivaya (yang artinya: I honor the divinity that resides within me. Divinity=keilahian?). Di pagi hari, biasanya ada ritual pembacaan Gurugita, seperti mantra juga, tapi lebih panjang. Liz tidak menikmati ini semua. Ia tidak bisa berkonsentrasi dan pikirannya kacau, bahkan kadang ia menjadi pemarah. Ia seringkali keluar dari ruang meditasi dengan wajah kusut seperti baru selesai melakukan pekerjaan berat.
Ada seorang teman Liz yang bernama Corella. Liz menanyakan padanya, bagaimana cara melafalkan mantra tsb sambil bermeditasi. Apakah saat menarik nafas, atau menghembuskan. Atau setelah keduanya, atau bagaimana. Corella mengatakan: tidak perlu macam-macam, ‘ucapkan’ saja. Corella menutup mata dan mengucapkan mantra tsb. Kemudian Liz berkata: “apa tidak bosan”? Corella lalu membuka mata dan mengatakan: “sudah 10 detik, apakah kita sudah bosan?”
Ada satu mantra lain yaitu: ham-sa (harafiahnya berarti: Saya adalah Itu). Mantra ini terasa lebih mudah bagi Liz (haahhhmmm saat menarik nafas, dan sa, saat menghembuskan nafas). Mantra Om Namah Shivaya lebih “resmi”, tapi ada seseorang yang berkata pada Liz untuk terus saja menggunakan ham-sa jika mantra itu membantu dalam meditasi. “Bermeditasilah atas apa saja yang menyebabkan revolusi pada pikiranmu.”
Indonesia. Empat bulan terakhir dihabiskan Liz di Bali. Ia mengunjungi Ketut Liyer, dukun ke-9 dari keturunan dukun Bali. Ketut sudah sangat tua dan banyak giginya yang sudah tanggal. Liz berteman dengan Ketut. Liz mengajar bahasa inggris untuk Ketut, dan Ketut mengajarkan Liz cara meditasi. Caranya sederhanya yaitu senyum dengan wajah dan senyum dengan pikiran. Jangan terburu-buru, dan jangan terlalu keras berusaha. Terlalu serius dapat membuatmu sakit. Kamu dapat mendatangkan energi baik dengan tersenyum.
_________