Untuk menganalisa ini, cobalah kita renungkan [mudah-mudahan ini bisa dianggap bagian dari ehipasiko] hal ini dari beberapa aspek. Yang paling membanggakan dari Buddhisme sebenarnya adalah penekanannya yang besar pada transformasi pikiran dan perbuatan [seperti biasanya, teori lebih mudah dikatakan daripada dibuktikan]. Ini yang membuat Buddhisme menjadi gudangnya segala pernak-pernik metode-metode spiritual. Dari aspek ini, apakah yang membuat seseorang mula-mula tertarik pada Budhadharma? Jika seseorang belum tahu apa-apa tentang Buddhadharma, tentunya saja ia terpaksa cuma bisa mengatakan ia hanya percaya!
Mengetahui sedikit dan kemudian tertarik, mungkin lebih baik, tetapi dapatkan ia dengan yakin mengaku telah mengetahui semua. Untuk mengurangi rasa malu dan terhormat, ia dapat tetap mengatakan bahwa ia telah melakukan ehipasiko terbatas [sebenarnya tidak perlu malu juga akan hal ini], sesuatu hal yang sudah dianggap tugas wajib seorang prajurit Buddhis. Mengetahui banyak dan kemudian tertarik, ini yang sering diagungkan. ehipasiko: memilih yang terbaik dari yang terbaik. Hanya saja biasanya ia akan dapat dengan mudah dikecutkan oleh pertanyaan seorang meditator sejati. Apakah kamu mengetahui betul apa yang disebut Nibbana? Apakah kamu mengetahui betul pengalaman Samadhi?
Sungguh mengherankan, sekarang ini kelihatan ada gerakan Buddhis yang mereduksi arti ehipasiko Cuma sekedar menjadi pembuktian nalar. Walaupun begitu, begitu ia disodok pembuktian nalar dari argumen lain, dikatakan bahwa sumber yang digunakan tidaklah sahih. Ini dikatakan memang mirip-mirip dengan debat terpelajar, tetapi kemiripan ini agak meragukan untuk dapat disebut sebagai debat akademik, mungkin lebih mirip disebut debat terpelajar yang sedang minum kopi di pasar. Omong-omong, mungkin memang soal spiritual itu terlalu khayal untuk didebatkan, oleh karenanya sangat jarang melihat ada sebuah debat yang membawa kembali pulang tujuan asal Buddhisme: transformasi diri.