lha kan dalam paticcasamuppada secara ringkas kan di terang kan timbul ini, timbul itu, lenyap ini, lenyap itu..interdependensi pun kan cuma ilusi dan bisa dipatahkan harusnya.....
nihilisme kan menganggap habis mati, selesai sudah...
kalau pandangan saya kan, memang dari awal tidak ada apa2, jadi mana bisa jadi lenyap (nihilis), timbul saja tidak kok...
toh Buddha juga nda pernah bilang saat sudah parinibbana, akan tetap ada kasih dan kebijaksanaan....kan parinibbana itu kan tidak terkondisi, sedangkan kasih dan panna itu berkondisi....jadi kasih dan panna pun sebenarnya ilusi juga kan...toh Buddha tidak pernah bilang, "Setelah parinibbana, kasih-Ku akan tetap terpancar dsb..."
nibbana menurut saya bukan pelenyapan diri...karena diri ini pun tidak ada dan tidak pernah timbul, bagaimana bisa lenyap?
unsur2 yang membentuk diri dan konsep aku itu pun kan hanya ilusi semua....
apa benar begitu?
Menurut saya, bukan seperti itu. Pertama, paticcasamuppada bukan ilusi. Ia merupakan proses sebab akibat yang nyata. Kedua, "dari awalnya tidak ada apa2" juga menunjukkan pandangan nihilisme.
Ketiga, Parinibbana = Nibbana tanpa sisa (tanpa sisa-sisa pancakkhanda apa pun) sehingga tidak terdefinisi (bukan ada juga bukan tidak ada) sehingga tidak bisa dikatakan apakah ada kebijaksanaan dan kasih setelah parinibbana maupun tidak ada keduanya. Sedangkan saat Pertapa Gotama berada di bawah pohon Bodhi mencapai Pencerahan, Beliau mencapai Nibbana dengan sisa (masih memiliki pancakkhanda) sehingga ada kebijaksanaan dan kasih yang timbul dari kiriya citta (kesadaran yang bebas dari kusala dan akusala).
Keempat, unsur-unsur yang membentuk diri (disebut dhamma) bukan tidak nyata, tetapi tidak substansial karena ia tidak dapat berdiri sendiri tanpa interdependensi dengan unsur lainnya. Sebuah kutipan dari artikel yang diposting di
http://www.wi ha ra.com/forum/ruang-dharma/7201-hubungan-antara-sunyata-dan-paticcasamuppada.html:
Untuk memahami pengertian filosofis dari istilah kekosongan (śūnyatā ), marilah kita mengambil objek padat yang sederhana, seperti sebuah mangkuk. Kita biasanya mengatakan bahwa sebuah mangkuk kosong jika ia tidak mengandung cairan atau benda padat apa pun. Ini adalah pengertian awam dari kekosongan. Namun sebuah mangkuk yang kosong dari cairan atau benda padat tidak masih berisi udara. Tepatnya, kita harus menyatakan bahwa mangkuk itu kosong dari apa. Sebuah mangkuk yang berada di ruang hampa tidak mengandung udara, tetapi masing mengandung ruang kosong, cahaya, radiasi, dan substansi mangkuk itu sendiri. Oleh sebab itu, dari cara pandang fisik, mangkuk selalu penuh dengan sesuatu [tidak pernah kosong]. Tetapi dari cara pandang Buddhis, mangkuk selalu kosong. Pengertian Buddhis atas kekosongan berbeda dengan pengertian fisik. Mangkuk kosong karena ia sama sekali tanpa keberadaan yang inheren/melekat (devoid of inherent existence).
Walaupun dari cara pandang Buddhis semua hal adalah tidak kekal, tetapi tidak berarti bahwa mangkuk itu tidak ada. Mangkuk sesungguhnya ada, namun seperti segala sesuatu di dunia ini, keberadaannya bergantung pada fenomena lainnya. Tidak ada sesuatu dalam mangkuk yang melekat pada mangkuk tertentu secara umum. Sifat seperti berlubang, bulat, silinder, atau tahan bocor tidak hakiki pada mangkuk. Benda-benda lain yang bukan mangkuk juga memiliki sifat yang sama, seperti vas bunga dan gelas. Sifat dan unsur dari mangkuk bukan mangkuk itu sendiri ataupun tidak menyatakan persepsi kita atas mangkuk atas sifat mangkuk itu sendiri. Materi bukan mangkuk itu sendiri. Bentuk bukan mangkuk itu sendiri. Fungsinya bukan mangkuk itu sendiri. Hanya semua aspek ini bersama-sama yang membentuk mangkuk. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa untuk sebuah objek yang menjadi mangkuk, kita membutuhkan sekumpulan kondisi tertentu agar menjadi ada. Hanya jika semua kondisi ini ada bersamaan maka pikiran menghubungkan label mangkuk pada objek itu. Jika salah satu kondisi lenyap, sebagai contoh, jika bentuk mangkuk berubah karena dihancurkan, mangkuk tersebut kehilangan beberapa atau semua atributnya dan pikiran kita tidak dapat mengenalinya sebagai mangkuk lagi. Dengan demikian, keberadaan mangkuk bergantung pada keadaan luar. Esensi fisiknya tetap sulit dipaham.
Adalah pikiran kita yang mengenali sifat dari sebuah objek dan menghubungkan atribut-atribut seperti mangkuk menjadi satu objek dan meja menjadi objek lain. Adalah pikiran yang menyadari mangkuk dan meja. Kiranya, pikiran tidak dapat mengenali mangkuk dan meja jika tidak ada sensasi penglihatan dan perabaan. Namun, tidak ada sensasi penglihatan dan perabaan jika tidak ada objek fisik. Dengan demikian persepsi bergantung pada kehadiran sensasi, yang kemudian bergantung pada kehadiran objek fisik. Kita harus memahami bahwa esensi mangkuk bukan berada dalam pikiran, juga ia tidak pernah ditemukan pada objek fisik. Jelasnya, esensi atau inti objek tersebut bukan fisik maupun mental. Karena inti suatu objek tidak dapat ditemukan baik pada dunia eksternal kita maupun pada pikiran kita.
Jika ini adalah kasus untuk objek sederhana, seperti mangkuk, maka ia juga pasti berlaku pada benda-benda yang lebih rumit/majemuk, seperti mobil, rumah, dan mesin. Sebagai contoh, sebuah mobil membutuhkan motor (penggerak), roda, poros roda, roda gigi dan banyak hal lain untuk berfungsi. Kita juga memandang perbedaan antara objek-objek buatan manusia, seperti mangkuk, dengan fenomena alamiah, seperti bumi, tumbuhan, hewan, dan manusia. Seseorang mungkin berpendapat bahwa ketiadaan keberadaan yang inheren tidak berlaku sama untuk fenomena alam dan makhluk hidup. Dalam hal seorang manusia, terdapat tubuh, pikiran, kepribadian, sejarah perbuatan, kebiasaan, perilaku, dan hal-hal lain untuk menggambarkan seseorang. Kita bahkan dapat menguraikan karakteristik ini lebih jauj menjadi sifat yang lebih mendasar. Sebagai contoh, kita dapat menganalisa pikiran dan melihat bahwa terdapat persepsi, kesadaran, perasaan, dan bentuk pikiran [yang membentuk pikiran itu].Pandangan cenderung nihilistik (segalanya tidak ada) mungkin dikarenakan anda terlalu banyak mempelajari definisi sunyata sebagai sifat sejati dari realitas empiris (True Nature of Empirical Reality). Padahal menurut Mahayana sendiri, definisi sunyata bukan hanya itu, tetapi meliputi:
a. Śūnyatā as the True Nature of Empirical Reality
b. Śūnyatā as Pratityasamutyāda
c. Śūnyatā as the Middle Way
d. Śūnyatā as Nirvāṇa
e. Śūnyatā as the Negative Attitude or Indescribable
f. Śūnyatā as the Means of the Relative Truth and the Ultimate truth
(selengkapnya bisa dibaca di
Bodhisattva and Sunyata oleh Bhikkhuni Gioi-Huong bab 6)
Untuk definisi yang terakhir (sunyata sebagai alat kebenaran relatif dan kebenaran mutlak), kebenaran relatif (samutti sacca/samvrti satya) bahwa "segala sesuatu itu ada/nyata" dan kebenaran mutlak (paramattha sacca/paramartha satya) bahwa "segala sesuatu itu hanya perpaduan unsur yang saling bergantungan" diperlukan untuk mendapatkan pemahaman dan praktek yang benar terhadap sunyata.
Here we see the vital point that the Two Truths should never be treated as two separate entities in two distinct and divided categories. Worldly truth, though not unconditional, is essential for the attainment of the ultimate truth and nirvāṇa; according to Nāgārjuna’s Middle Treatise, "without worldly truth, ultimate truth cannot be obtained." Relative truth is not useless in achieving enlightenment, nor can it be said that there is no relation between worldly and ultimate truths. Transcendental truth is explained by speech, and speech is conventional and conditional. The Bodhisattva knows and practices this teaching of the twofold truth. He uses words and concepts, but realizes that they neither stand for, nor point to, anything substantial. He employs Pratītyasamutpāda to refute extreme views, and recognizes that they are all empty. It is this skill-in-means (upāya, 方 便) which enables him to live in conditional and transcendental worlds simultaneously, and hence to save and benefit himself and others equally.Karena menurut kebenaran relatif, semua makhluk itu ada/nyata, maka para Bodhisattva yang memahami sunyata tidak memandang tidak perlu untuk membantu para makhluk lepas dari penderitaan; karena menurut kebenaran relatif, nilai-nilai kehidupan itu ada dan esensial, maka para Bodhisattva tidak melanggar sila pembunuhan (misalnya karena berpandangan bahwa semuanya kosong, maka tidak ada yang dinamakan kehidupan itu, oleh karena itu membunuh/menghancurkan kehidupan itu sama dengan menghancurkan tidak ada).
Saya tidak dapat memahami bagaimana semua orang yang mengaku memahami sunyata tidak merawat dirinya, tidak mengobati penyakit yang menyerang dirinya, tidak membantu orang lain yang terkena masalah, bahkan tidak melakukan apa-apa karena menganggap "dari awalnya tidak ada apa-apa, jadi untuk apa melakukan semua itu" adalah benar-benar seseorang yang mempraktekkan ajaran sunyata.