//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Sunyata, Alaya  (Read 16810 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Sunyata, Alaya
« on: 28 December 2010, 02:08:09 PM »
Sekalian scr tidak lgsg menjawab pertanyaan sdr, Thema, mgkn bsia disimpulkan sendiri,

Pada dasarnya semua fenomena di dunia ini adalah Shunyata dan Anatman (kosong dan tanpa diri yang berdiri sendiri). Namun Shunyata itu bukanlah kosong song melompong tetapi Shunyata justru adalah suatu konsep yang sangat sangat positif, Thich Nhat Hanh pernah berkata:

If we are not empty, we become a block of matter.
We cannot breathe, we cannot think.
To be empty means to be alive, to breathe in and to breathe out.
We cannot be alive if we are not empty.
Emptiness is impermanence, it is change.
We should not complain about impermanence,
because without impermanence, nothing is possible.

(Komentar Prajnaparamita Sutra)

Ya Shunyata bukanlah pengertian yang nihilistik, tetapi merupakan suatu "proses" yang kreatif, yang dapat memunculkan banyak potensi. Shunyata membuat kita dapat hidup dan berubah, kalau semuanya permanen dan tidak berubah, maka manusia tidak akan ada bedanya dengan benda mati yang konstan / membatu.

Thich Nhat Hanh mengisahkan sebuah cerita. Ada seorang ayah yang terus mengeluh tentang konsep kekosongan (shunyata) dalam agama Buddha. Lalu kemudian anak perempuannya berkata, “Ayah, tolong berhenti mengeluh! Kalau bukan karena shunyata, aku tidak akan tumbuh menjadi sebesar ini.” Ya shunyata mengandung arti anitya juga. Bukankah melihat anak tumbuh besara adalah sesuatu yg indah?? Maka dari itu shunyata bukanlah konsep yang negatif. Bahkan Tsem Tulku Rinpoche mengatakan oleh karena ketidakkekalan maka kita dapat merubah diri kita menjadi lebih baik, bahkan dalam organisasi Soka Gakkai, karena shunyatalah maka seseorang dapat menggapai cita-cita dan mengembangkan talenta yang dimiliki. Semua ini karena shunyata. Seandainya semua itu punya aku yang berdiri sendiri dan permanen, maka dunia akan menjadi hambar dan kaku.

Thich Nhat Hanh mengaitkan Shunyata dengan Inter-being (ketersalinggantungan - karma dan Pratityasamutpada). Shunyata berarti kosong akan Diri (Aku) yang berdiri sendiri, tetapi PENUH akan semua hal di dunia ini (Inter-Being). Seseorang tidak mungkin terpisah dari yang lain atau dengan dunia, semua saling berkaitan, semua saling bergantungan dan satu hal muncul karena hal yang lain muncul, sebab akibat.

Nah sesuatu yang kreatif ini merupakan basis dari semua maka dari itu Shunyata memiliki istilah lain yaitu Buddha-Nature atau Tathagatagarbha atau alaya –vijnana atau amala vijnana.

Arsitek dunia Kisho Kurokawa yang mendasarkan konsep arsitekturnya pada pandangan Madhyamika (yang sering dituduh nihilistik) mengatakan bahwa sebenarnya Shunyata bukanlah nihilisme, tetapi merupakan suatu yang kreatif, dinamis, dan bergerak maka dari itu konsep arsitektur "Symbiosis dan Metabolism" muncul dari Kisho Kurokawa. Ini semua dijelaskan dalam buku tulisannya sendiri. Kisho Kurokawa mengambil konsep Madhyamika yang terintegrasi dengan konsep co-existnya Shioo Benkyo.

Buddhism provides an ideological basis for the coexistence of all things. Each living thing contributes to the harmony of the grand concert of symbiosis. The Buddhist term "dependent origination" describes such symbiotic relationships, as nothing and no one exists in isolation.  Each individual being is destined to function to create an environment that sustains all other existences. Symbiosis, needless to say, fundamentally means mutualism. However, a symbiotic relationship is not a predetermined harmony. It respects mutual independence and individuality.


Konsep Co-exitnya Shiio Benkyo (seorang pandita Jodo Shinshu) dan konsep Inter-Being-nya Thich Nhat Hanh bisa dibilang mirip sekali, akrena sama-sama menekankan harmoni mengingat semuanya saling berkaitan.

Alaya / Tathagatagarbha

Dzogchen Ponlop Rinpoche mengatakan bahwa shunyata absolut dan alaya absolut sebenarnya tidaklah terpisahkan satu sama lain. Sutra Lankavatara mengatakan Tathagatagarbha adalah alaya-vijnana, Ratnagotravibhanga mengatakan Tathagatagarbha adalah Shunyata dan Sutra Mahaparinirvana mengatakan Tathagatagarbha adalah Pratitya-samutpada dan Karma (Inter-Being nya Thich Nhat Hanh). Ditambah lagi Dogen Zenji mengatakan: “ketidakkekalan adalah Tathagatagarbha”.

Kisho Kurokawa mengatakan alaya adalah basis kesadaran, alaya bukanlah semacam pikiran tetapi lebih bagaikan “energi kehidupan” atau “DNA”. Dari alaya muncul berbagai macam potensi, demikian juga dari shunyata muncul semua fenomena di dunia ini. Symbiosis dan Metabolisme semuanya merupakan kegiatan yang dinamis dari alaya.

Thich Nhat Hanh memberikan gambaran ketika ditanya apakah setiap orang memiliki alaya vijnana sendiri-sendiri? TNH menjawab: “Ini bagaikan samudra, oleh berbagai sebab dan akibat, muncullah ombak, dan ombak yang satu menimbulkan ombak yang kedua. Namun ombak yang satu berbeda dengan ombak yang kedua. Demikian juga ketika di laut ada banyak ombak, satu ombak yang satu berbeda dengan ombak yang lain, namun sebenarnya hakekat mereka saling berkaitan yaitu dalam satu samudra. Dan untuk satu ombak menjadi muncul butuh penyebab angin serta ombak yg lain.

Ketika disepadankan dengan manusia:
Ombak 1 = Manusia A
Ombak 2 = Manusia B
Sebab Akibat = Karma
Samudra = alaya vijnana / shunyata

Jadi sesuai dalam Avatamsaka Sutra yaitu ”Semua dalam Satu, Satu dalam Semua”, bukan satu juga bukan semua. Ini berbeda dengan Manunggaling Kawula Gusti yang mana ketika anak sungai melebur ke dalam samudra Brahman / Tuhan maka identitas dirinya melebur, bukan seperti itu. Konsep dalam Buddhis adalah bagaikan samudra dengan ombaknya, yaitu seseorang tetap mempertahankan identitasnya, namun bukan sebagai identitas yang berdiri sendiri, melainkan identitas yang selalu bergantungan dengan yang lain.

This does not mean, however, a fusion of the self and others in a relationship in which the self is annihilated. The symbiotic viewpoint within the law of dependent origination is the overcoming of our closed-off egotism and is an attempt to create communality from the autonomy of individuals. (Konsep Symbiotic dari Rev. Shiio Benkyo)

Maka dari itu dalam Mahayana dikenal istilah Jala Indra, yaitu satu fenomena berkaitan dengan fenomena yang lain, satu hal berakibat dan berkaitan satu sama lainnya, semuanya tak terpisahkan, tidak ada Ego yang berdiri sendiri, semua bagaikan DNA yang bersifat anitya, anatman

Be Yourself

Shunyata dalam Mahayana dikatakan memiliki 2 aspek utama yaitu Prajna dan Maitri Karuna. Jadi bukan kosong song. Baik Chogyam Trungpa Rinpoche maupun para sesepuh mahayana lainnya sering mengartikan Shunyata sebagai ”keterbukaan:” bukan ”kekosongan” karena dapat membawa pada pengertian yang salah.

Seseorang yang merealisasi Shunyata, akan terbuka dan bebas dari egonya, dan ketidaktahuan (avidya) yang ada dalam batinnya berakhir, digantikan dengan sifat-sifat mulia seperti Prajna (kebijaksanaan), Maitri Karuna (welas asih) dan Chanda (keinginan luhur) dan bukan kosong melompong. Setelah tercerahkan, alaya vijnana yang kotor menjadi amala vijnanan yang bersih bersinar dan cemerlang. Pada awalnya kita menatap alayavijanan secara salah sehingga muncul Ego, tetapi setelah tercerahkan dan merealisasi Inter-Being dan Tanpa Aku, maka alayavijnana berubah menjadi amala vijnana.

Kobun Chinno, guru Steve Jobs (Apple), mengatakan bahwa pikiran yang dapat merefleksikan welas asih satu sama lain adalah amala-vijnana. Ya amala vijnana adalah Ke-Buddhaan yang memiliki sifat Prajna dan Maitri karuna.

Mahayana tidak hanya mengajarkan Maitri Karuna tetapi juga Prajna yang mampu berpikir kritis. Maka dari itu di vihara" Tibetan yang mengikuti tradisi India, dilakukan debat" sesuai anjuran Nagarjuna, untuk menguji setiap Dharma bagaikan menguji keaslian sebongkah emas.

Ketika Diri yang penuh Avidya padam (Ego- Si Aku), maka seseorang akan masuk ke dalam satu diri yang diberi nama Diri Sejati atau Tathagatagarbha atau Muga no Taiga (Diri Yang Tanpa Diri). Di sini seperti ditekankan sebelumnya, bukan berarti setelah tercerahkan seseorang semuanya jadi sama, batinnya jadi sama semua sehingga tampak seperti robot yang sudah diatur batinnya. Integritas seseorang tetap bertahan.

Tsem Tulku Rinpoche, Thich Nhat Hanh, Ven. Kalu Rinpoche sering mengatakan, ”Be Yourself!”. Nah kalau ndak ada Ego untuk apa jadi Be Yourself?? Pertama Be Yourself memiliki 2 arti:

1.   Menerima diri apa adanya sehingga bisa mengasihi dirinya sendiri, menerima kondisis ekarang. Rasa tidak terima hanya membawa pada penderitaan. Jangan mencoba jadi orang lain.
2.   Be Yourself juga berarti ”Menjadi Diri Sendiri Yang Sejati”. Apa itu? Buddha. Sifat-sifat Buddha ada dalam diri kita sendiri, semuanya sudah ada dalam diri kita, so be yourself!

Para Arhat dan Bodhisattva saja memiliki talenta masing-masing ada yang unggul dalam keyakinan, ada yang unggul dalam welas asih dsb... semuanya adalah diri mereka sendiri. Namun kerika tercerahkan, diri mereka itu bukanlah diri yang penuh dengan ego, tetapi diri mereka berubah menjadi Nirmanakaya (tubuh) dan Sambhogakaya (batin). Batin sambhogakaya merefleksikan pencapaian Dharmakaya seseorang, namun walaupun begitu, Sambhogakaya bsia bermacam-macam sesuai kecenderungan dan talenta seseorang. Maka dari itu kita bsia melihat banyak sekali perwujudan Buddha Bodhisattva dalam Thangka Tibetan. Masing-masing Sambhogakaya menyimbolkan transformasi klesha menjadi aspekaspek pencerahan.

Jadi, ”personality” seseorang yang sebelumnya dibentuk oleh klesha, yang mana satu ornag berbeda dengan yang lain, ditransformasi menajdi sebuah Nirmanakaya dan Sambhogakaya, yang memiliki ciri khas satu sama lain, tiap orang tidak sama namun satu hakekat yaitu telah tercerahkan (Dharmakaya).

Thich Nhat Hanh mengatakan seorang Bodhisattva menjadi tercerahkan itu bukan berarti beliau sudah tidak bisa menjadi senang ataupun sedih. Beliau tetap bisa merasakan senang dan sedih, tetapi mereka menyadaris enang sebagai sennag, sedih sebagai sedih dan mereka mampu mentransformasikan kesedihan mereka menjadi welas asih agung. Misla ketika Bodhisattva sedih melihat para makhluk menderita, beliau menyadari rasa sedihnya itu dan memutuskan untuk mengambil tekad welas asih agung dan bertindak bagi kebaikan semua.

Nah kita bsia mulai diskusi.

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline williamhalim

  • Sebelumnya: willibordus
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.869
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #1 on: 28 December 2010, 02:24:02 PM »

Thich Nhat Hanh mengatakan seorang Bodhisattva menjadi tercerahkan itu bukan berarti beliau sudah tidak bisa menjadi senang ataupun sedih. Beliau tetap bisa merasakan senang dan sedih, tetapi mereka menyadaris enang sebagai sennag, sedih sebagai sedih dan mereka mampu mentransformasikan kesedihan mereka menjadi welas asih agung. Misla ketika Bodhisattva sedih melihat para makhluk menderita, beliau menyadari rasa sedihnya itu dan memutuskan untuk mengambil tekad welas asih agung dan bertindak bagi kebaikan semua.

hanya men-copas yg ini, krn agak beda sedikit dengan makna tercerahkan ala theravada. Theravada beranggapan, seseorang yg tercerahkan sudah tidak lagi mengalami emosi (sedih, gembira) melainkan batin sdh dalam kondisi upekkha (tenang seimbang), tidak goyah oleh permainan perasaan.

Namun dalam pengertian TNT diatas, ia yg tercerahkan masih bisa mengalami perasaan senang dan gembira, hanya saja ia yg tercerahkan tsb menyadari senang sbg senang dan gembira sbg gembira.

Saya pribadi, berpendapat bahwa seseorang yg tercerahkan, sudah tidak mengalami perasaan sedih dan gembira lagi. Alasannya: sedih dan gembira adalah suasana batin yg berubah, padahal 'suasana batin yg berubah' adalah dukkha.

Namun, mencermati lagi maksud dari TNT tsb, apakah yg dimaksud sebenarnya bukanlah sedih dan senang seperti yg kita alami, melainkan karuna dan mudita?

::

Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #2 on: 28 December 2010, 02:29:57 PM »
hanya men-copas yg ini, krn agak beda sedikit dengan makna tercerahkan ala theravada. Theravada beranggapan, seseorang yg tercerahkan sudah tidak lagi mengalami emosi (sedih, gembira) melainkan batin sdh dalam kondisi upekkha (tenang seimbang), tidak goyah oleh permainan perasaan.

Namun dalam pengertian TNT diatas, ia yg tercerahkan masih bisa mengalami perasaan senang dan gembira, hanya saja ia yg tercerahkan tsb menyadari senang sbg senang dan gembira sbg gembira.

Saya pribadi, berpendapat bahwa seseorang yg tercerahkan, sudah tidak mengalami perasaan sedih dan gembira lagi. Alasannya: sedih dan gembira adalah suasana batin yg berubah, padahal 'suasana batin yg berubah' adalah dukkha.

Namun, mencermati lagi maksud dari TNT tsb, apakah yg dimaksud sebenarnya bukanlah sedih dan senang seperti yg kita alami, melainkan karuna dan mudita?

::


TNH=Thich Nhat Hanh
TNT=TriNitroToluene


Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #3 on: 28 December 2010, 02:55:28 PM »
 [at] bro. williamhalim

Sang Bodhisattva bhumi 6 ke atas, dengan realisasi Prajna dan Maitri Karunanya, memamg mampu memunculkan "rasa" demikian lewat aspirasi luhurnya, bukan karena klesha.

Para Bodhisattva tidak hidup dalam "rasa" ini sehingga tidak menderita, melainkan mentransformasikannya. Karena pada hakekatnya rasa sedih itu shunya, rasa senang itu shunya, rasa marah itu shunya, sehingga Bodhisattva yang telah merealisasi hakekat kekosongan, dengan bebas menggunakan rasa" tersebut namun mereka dapat tumbuh berkembang dari rasa tersebut dan tidak melekat padanya, rasa sedih tersebut ditransformasikan menjadi welas asih agung yang merupakan sifat dari realisasi Bodhi.

Rasa sedih tidaklah lagi menjadi rasa sedih yang membawa penderitaan, tetapi rasa sedih menjadi "alat" untuk memunculkan welas asih agung, karena toh yang disebut sedih itu sebenarnya hanyalah suatu rasa yang netral - demikianlah adanya, namun krn pikiran kleshalah rasa yang netral tsb dianggap/dipersepsi sebagai rasa sedih sehingga timbul penderitaan. Bagi Bodhisattva, Samsara adalah Nirvana, lokadhatu adalah dharmadhatu karena sebeanrnya hakekat Samsara dan nirvana sama, semuanya Shunya (kosong).

Ini sangat manusiawi, di manapun juga, kebaikan tumbuh ketika seseorang menyadari dgn benar kejahatan. Baik dan buruk selalu berdampingan. Welas asih tidak muncul begitu saja, ia membutuhkan suatu rasa senang atau sedih untuk kemudian ditransformasikan.

Oleh karena itulah para Buddha dan Bodhisattva dapat mewujudkan emanasinya di bumi samsara ini.

Menurut Mahayana, kalau sudah benar-benar tidak merasakan apa-apa lagi karena seimbang itu namanya konstan/ kaku. Maka dari itu pencapaian Arhat dalam Mahayana disebutkan berada dalam fase "kedamaian ekstrim".

Mampu 100% menyadari dan mentransformasikan itulah definisi keseimbangan dalam Mahayana, bukan tidak merasakan apa-apa.

Hal ini lebih jauh lagi berkaitan dengan dua sifat dari Tathagatagarbha dan 10 alam, yang akan sy jelaskan nanti.

 _/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 28 December 2010, 03:10:30 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #4 on: 28 December 2010, 03:38:21 PM »
Shunyata / Tathagatagarbha/ Alaya / Jewel Net of Indra / Inter-Being/ Co-Exist/ Tomoiki:

Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #5 on: 28 December 2010, 03:49:17 PM »
Karya Nyata Shunyata lewat arsitek Buddhis Kisho Kurokawa:

National Art Center Tokyo


Singapore Flyer:


Inilah bagaimana Shunyata itu indah, bukan kosong melompong kaya propaganda beberapa kaum Kristiani.
« Last Edit: 28 December 2010, 03:51:10 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Udyata-sahanubhuti

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 112
  • Reputasi: 13
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #6 on: 28 December 2010, 03:51:57 PM »

Kisho Kurokawa mengatakan alaya adalah basis kesadaran, alaya bukanlah semacam pikiran tetapi lebih bagaikan “energi kehidupan” atau “DNA”. Dari alaya muncul berbagai macam potensi, demikian juga dari shunyata muncul semua fenomena di dunia ini. Symbiosis dan Metabolisme semuanya merupakan kegiatan yang dinamis dari alaya.


Nah kita bsia mulai diskusi.

 _/\_
The Siddha Wanderer

Dear Bro Gandalf,  _/\_
Di manakah letak alaya vijnana tersebut? Apakah alaya vijnana ini merupakan bawah sadar kita? setelah membaca tulisan anda, mungkin secara konsep saya sedikit mengerti. Tapi secara praktek, saya kesulitan walaupun berusaha menyadarai keberadaan Alaya Vijnana tersebut dalam kondisi meditasi sekalipun. Apakah ada metode tertentu yang bisa anda bantu share sehingga saya dapat mengalami "ini loh yang namanya Alaya".
Sebelumnya terimakasih bro...
Deep bow  ^:)^
o

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #7 on: 28 December 2010, 03:58:21 PM »
Apakah ada sesuatu fenomena yang disebab-kan hanya oleh 1 kondisi saja ?
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #8 on: 28 December 2010, 07:25:25 PM »
Seperti yang saya duga, membahas sunyata dalam Mahayana selalu menggunakan “bahasa positif”. Untuk saat ini saya hanya bisa menanggapi yang ini saja dulu.

Pada dasarnya semua fenomena di dunia ini adalah Shunyata dan Anatman (kosong dan tanpa diri yang berdiri sendiri). Namun Shunyata itu bukanlah kosong song melompong tetapi Shunyata justru adalah suatu konsep yang sangat sangat positif, Thich Nhat Hanh pernah berkata:

If we are not empty, we become a block of matter.
We cannot breathe, we cannot think.
To be empty means to be alive, to breathe in and to breathe out.
We cannot be alive if we are not empty.
Emptiness is impermanence, it is change.
We should not complain about impermanence,
because without impermanence, nothing is possible.

(Komentar Prajnaparamita Sutra)

Saya kurang sependapat dengan Thich Nhat Hanh.  ^:)^

Jika Kekosongan itu adalah tidak tetap dan dapat berubah, lalu ia berubah menjadi apa? Jika Kekosongan itu berubah, lalu siapa/apa yang menggantikan “kerja” Kekosongan itu?
Jika Kekosongan itu “meninggalkan tugasnya”, bukankah kita akhirnya juga menjadi “a block of matter”, tidak bisa bernapas?

IMHO, Kekosongan itu adalah tetap, ia tidak berubah. Lalu apa yang berubah? Yang berubah adalah Dunia ini. Dunia inilah yang membesar atau mengecil, memendek, memanjang, dst.  Apakah Dunia ini membesar atau melebar, Kekosongan itu tetap ada, Kekosongan itulah yang “menampung” Dunia yang berubah ini.

Sebagai perumpamaan: ada sebuah gelas kosong yang kemudian di isi oleh air. Jika gelas itu tidak kosong maka ia tidak bisa diisi oleh air. Ini fungsi dari kekosongan. Kemudian gelas makin penuh dan menjadi penuh oleh air. Kita melihat sekilas, gelas kosong tersebut berubah menjadi gelas penuh air, dan menganggap kekosongan itu hilang atau berubah. Padahal ia masih di sana, ia menampung keberadaan air, ia berada di antara atom-atom air, ia hanya terdesak oleh keberadaan air yang bertambah banyak.

Demikian pula Kekosongan terhadap Dunia. Kekosongan itu ada, dan tetap ada, dan tidak berubah.

Ini hanya pendapat saya saja. CMIIW

Demikian.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #9 on: 28 December 2010, 08:34:20 PM »
Saya lebih cenderung memahami sunyata sebagai sebab akibat yang saling bergantungan (paticcasamuppada/pratityasamutpada) seperti yang dimaksud artikel di atas: segala fenomena (dhamma/dharma) kosong karena semua fenomena muncul dan lenyap sesuai dengan hukum paticcasamuppada. Hal ini juga ditegaskan Nagarjuna dalam Mulamadhyamakakarika:

Quote
Whatever dependent arising is, that we call emptiness. That (i.e., emptiness) is a dependent concept and that itself is the middle path.

Tetapi saya masih kurang paham tentang Tathagatagarbha ini yang dianggap sebagai Diri Sejati:

Quote
Ketika Diri yang penuh Avidya padam (Ego- Si Aku), maka seseorang akan masuk ke dalam satu diri yang diberi nama Diri Sejati atau Tathagatagarbha atau Muga no Taiga (Diri Yang Tanpa Diri).

Apakah Tathagathagarbha ini sama dengan konsep Atman dari ajaran lain? Jika tidak, apakah ini berarti ada 2 Diri,yaitu Diri Semu yang ditolak dalam ajaran Anatta/Sunyata dan Diri Sejati yang tak lain Tathagatagarbha. Ini kok seakan-akan bertentangan dengan ajaran Anatta/Sunyata bahwa tidak ada diri dalam semua dhamma. Mohon sesepuh Gandalf memberikan pencerahan kepada saya (dan mungkin banyak orang lain yang juga kurang paham).

Note: Saya pernah membaca kutipan Lankavatara Sutta yang diberikan sdr. Kelana di topik lain di mana Sang Buddha mengatakan bahwa ajaran Tathagatagarbha bukan dan tidak sama dengan konsep Atman dari ajaran lain, melainkan harus dimaknai dalam pengertian Sunyata. Tetapi saya belum menemukan/memahami korelasi antara Sunyata dengan Tathagatagarbha sebagai Diri Sejati.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #10 on: 29 December 2010, 03:26:39 AM »
Saya lebih cenderung memahami sunyata sebagai sebab akibat yang saling bergantungan (paticcasamuppada/pratityasamutpada) seperti yang dimaksud artikel di atas: segala fenomena (dhamma/dharma) kosong karena semua fenomena muncul dan lenyap sesuai dengan hukum paticcasamuppada. Hal ini juga ditegaskan Nagarjuna dalam Mulamadhyamakakarika: Whatever dependent arising is, that we call emptiness. That (i.e., emptiness) is a dependent concept and that itself is the middle path.

Kalau saya memahami paticcasamuppada/pratityasamutpada sebagai kondisi Dunia yang perlu dipahami sehingga kita bisa memahami Sunyata.

Seperti perumpamaan air dalam gelas di atas. Melihat bagaimana kondisi gelas ketika kosong, apa yang terjadi? Oh, ternyata hanya ada kekosongan. Bagaimana kondisi saat air itu ada dan penuh, apa yang terjadi? Oh, ternyata kekosongannya terdesak oleh air. Dst. Nah, dengan mengamati, mengetahui kondisi-kondisi tersebut maka kita dapat mengetahui cara bagaimana agar kita bisa melihat dan mendapatkan kekosongan yang lebih besar.

Memahami bagaimana kondisi air saat penuh atau surut adalah sama dengan bagaimana kita memahami paticcasamuppada/pratityasamutpada atau kondisi Dunia. Yang mana akhirnya kita bisa melihat Kekosongan/Sunyata.

Saya pribadi masih meragukan perkataan Nagajurna dalam bahasa Inggris tersebut, karena tidak menutup kemungkinan ada bias terjemahan dari perkataan aslinya.


Quote
Tetapi saya masih kurang paham tentang Tathagatagarbha ini yang dianggap sebagai Diri Sejati:

Apakah Tathagathagarbha ini sama dengan konsep Atman dari ajaran lain? Jika tidak, apakah ini berarti ada 2 Diri,yaitu Diri Semu yang ditolak dalam ajaran Anatta/Sunyata dan Diri Sejati yang tak lain Tathagatagarbha. Ini kok seakan-akan bertentangan dengan ajaran Anatta/Sunyata bahwa tidak ada diri dalam semua dhamma. Mohon sesepuh Gandalf memberikan pencerahan kepada saya (dan mungkin banyak orang lain yang juga kurang paham).

Note: Saya pernah membaca kutipan Lankavatara Sutta yang diberikan sdr. Kelana di topik lain di mana Sang Buddha mengatakan bahwa ajaran Tathagatagarbha bukan dan tidak sama dengan konsep Atman dari ajaran lain, melainkan harus dimaknai dalam pengertian Sunyata. Tetapi saya belum menemukan/memahami korelasi antara Sunyata dengan Tathagatagarbha sebagai Diri Sejati.

Dari pemahaman saya, Anatta itulah Diri Sejati, Kekosongan itulah Diri Sejati. Dengan kata lain Diri Sejati hanya merupakan istilah atau kata pengganti dari Anatta. Istilah ini digunakan untuk menarik orang-orang yang masih melekat pada konsep adanya Atta sehingga mau mendengarkan ajaran Buddha. Banyak orang yang merasa tidak nyaman ketika baru mendengar kata Anatta yang merupakan istilah bersifat negatif, mereka merasa eksistensinya terancam sehingga langsung anti/menolak untuk mendengarkan lebih lanjut apalagi mempraktikkan ajaran Buddha. Maka, agar nyaman maka digunakanlah istilah pengganti yang bersifat positif yaitu Diri Sejati dan Tathagatagarbha.

Jadi sebenarnya tidak ada Diri Sejati, yang ada adalah istilah positif untuk mengganti istilah Anatta / Kekosongan yang bersifat negatif.

Demikian
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #11 on: 29 December 2010, 06:07:46 AM »
 [at] bro.Kelana:
Kayanya anda agak salah tangkap maknanya...hehe... maksud Thich Nhat Hanh bukan kekosongan itu berubah", tetapi kekosongan itu adalah ketidakkekalan, kekosongan adalah perubahan itu sendiri, sebagaimana yang anda jelaskan sendiri tentang pratitya-samutpada  :)

Tentang perumpamaan gelas kosong, tampaknya memang ada kemiripan dengan konsep "ruang" secara Buddhis yyang dimengerti oleh sang arsitek Madhyamika Kisho Kurokawa.  :)

 [at]  Seniya:
Diri Sejati adalah Anatman. Diri sejati adalah Shunyata. Diri Sejati adalah Diri Yang Tanpa Diri. Diri Sejati adalah Inter-Being itu sendiri, sebuah Diri yang tidak memiliki Aku yang berdiri sendiri (Ego). Maka itu dinamakan Muga no Taiga (Diri "Besar" Tanpa Aku). "Besar" karena batin telah mencapai hakekat Inter-Being, yang mencakup seluruh dunia dan alam semesta.

Ya. Tathagatagarbha hanyalah bahasa positif dari Shunyata saja. Karena Shunyata memiliki potensi yang tak terbatas, baik Samsara dan Nirvana muncul dari Shunyata, maka itulah merupakan sesuatu yang positif, sehingga disebut Tathagatagarbha.

Tathagatagarbha juga merupakan bahasa positif untuk menjauhkan pengertian Shunyata yang sering disalahartikan sebagai "baik dan buruk benar-benar sama saja", Tathagatagarbha menunjukkan bahwa: jalan kebajikan membawa pada keadaan Tathagata, jalan ketidakbajikan mengarah pada kelahiran di Samsara.

Tidak ada salahnya membahas Shunyata dengan "bahasa yang positif" kalau itu memang kecenderungan bagi para makhluk untuk bisa memahami Shunyata pada zaman sekarang ini.

 _/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 29 December 2010, 06:13:52 AM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #12 on: 29 December 2010, 06:29:00 AM »
Quote
Dear Bro Gandalf, 
Di manakah letak alaya vijnana tersebut? Apakah alaya vijnana ini merupakan bawah sadar kita? setelah membaca tulisan anda, mungkin secara konsep saya sedikit mengerti. Tapi secara praktek, saya kesulitan walaupun berusaha menyadarai keberadaan Alaya Vijnana tersebut dalam kondisi meditasi sekalipun. Apakah ada metode tertentu yang bisa anda bantu share sehingga saya dapat mengalami "ini loh yang namanya Alaya".
Sebelumnya terimakasih bro...
Deep bow 


Bro, Udyata, secara praktek saya juga masih pemula. Saya hanya mempraktekkan apa yang diajarkan Yongey Mingyur Rinpoche tentang Mahamudra awal:

Rest in the nature of Alaya, the essence.
Teachings by Mingyur Rinpoche

When it says rest in the Alaya then it means to just rest one's mind naturally without doing anything. How do we rest the mind? Like a person who has finished all of their work and they just rest. For example someone who works in a hotel who has finished all of their duties for the day so they can now relax. They are quite physically tired so first they take a bath in water that's not too hot or cold, just right. After their bath they go to the bedroom and just let out a sigh and relax. That's how we should relax. As if we have just completed a lot of hard work. Just let go and relax. We don't have to block the thoughts; in fact you can't block the thoughts. We can't shoot them with a gun. We can't blow them up with an atom bomb. We just rest naturally.

Together with this natural resting comes mindfulness or awareness. This mindfulness naturally arises. To say it in brief, we are not distracted. Not distracted, but not meditating. We are not meditating. We are just being relaxed, but we are not distracted.

Why are we not distracted? We are not meditating on something that we get distracted from and have to have mindfulness to return to. The mind itself recognises itself. Is it like this for you? You see wood; this table does not think does it? It doesn't understand anything. A stone doesn't understand anything. But it's not like this, mind naturally recognises itself. So when it says "Alaya" it means the natural awareness of the mind. Let us all for a minute or two rest and relax. Keep a straight back. (Short meditation)

Ok, so in the beginning it's good to have small periods of time repeated often. We can't sit like this for long before we are distracted. Just a few seconds at a time, repeated often. Then gradually over time it will become better and better.

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #13 on: 29 December 2010, 07:46:42 AM »
[at] bro.Kelana:
Kayanya anda agak salah tangkap maknanya...hehe... maksud Thich Nhat Hanh bukan kekosongan itu berubah", tetapi kekosongan itu adalah ketidakkekalan, kekosongan adalah perubahan itu sendiri, sebagaimana yang anda jelaskan sendiri tentang pratitya-samutpada  :)

IC, maaf jika memang demikian, nampaknya saya yang kurang teliti. Tapi tetap hal tersebut tidak "nyangkut" di pikiran saya , mengapa kekosongan itu adalah ketidakkekalan? Bagi saya ketidakekalan adalah kondisi Dunia ini. Anda bisa menjelaskannya Sdr. Gandalf?

Thanks
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #14 on: 29 December 2010, 03:00:57 PM »
Ke-kosong-an itu ada alam-nya... Alam Brahma Arupa Kekosongan .... Betul begitu ?
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #15 on: 29 December 2010, 04:02:50 PM »
dari zen mind, Beginner's mind "shunryu suzuki"

KEKOSONGAN
"Ketika Anda belajar agama Buddha. Anda harus memiliki sebuah pembersih untuk pikiran Anda."
 
jika anda ingin belajar agama buddha, anda harus melepaskan semua gagasan yang sudah anda miliki ini di mulai dengan melepaskan gagasan tentang substansi atau eksistensi. Pandangan umum tentang kehidupan biasanya berakar pada gagasan akan keberadaan. Bagi kebanyakan orang, semua hal ada; mereka berpikir yang mereka lihat dan dengar ada. Tentu saja burung yang apa kita lihat dan dengar nyata, ia ada, tetapi apa yang 'saya maksud bisa sangat berbeda dengan apa yang anda maksud. Pengertian Buddhis tentang kehidupan meliputi keberadaan dan ketidakberadaan. Burung tersebut ada dan tidak ada pada saat yang bersamaan. Kita mengatakan pandangan tentang hidup yang hanya berdasarkan pada eksistensi saja bersifat heretikal. Jika Anda terlalu serius, seakan-akan mereka ada atau permanen, Anda disebut seorang heretic. Kebanyakan orang mungkin adalah heretic.
Kita mengatakan keberadaan sejati berasal dari kekosongan dan kembali lagi ke kekosongan. Apa yang muncul dari kekosongan adalah keberadaan sejati. Kita harus melalui pintu kekosongan. Gagasan tentang eksistensi sangat sulit untuk dijelaskan. Banyak orang akhir-akhir ini mulai merasakan, paling tidak secara intelektual, kekosongan dunia modern, atau kontradiksi dalam budaya mereka. Di masa lalu, misalnya, orang Jepang yakin bahwa budaya dan cara hidup tradisional mereka akan bertahan selamanya. Tetapi semenjak kalah perang, mereka ,menjadi skeptis. Sebagian orang berpikir sikap skeptis ini buruk, tetapi sebenarnya ini lebih baik daripada perilaku lama.
Selama kita memiliki gagasan atau harapan di masa depan, kita tidak bisa fokus dengan apa yang hadir saat ini.
Anda sering berkata, "Saya akan melakukannya besok atau tahun depan," percaya bahwa yang ada hari ini juga akan ada besok. Meskipun Anda tidak berusaha terlalu keras Anda berharap bahwa sesuatu yang menjanjikan akan datang, selama Anda menjalankan cara tertentu. Tetapi cara tersebut juga tidak ada selamanya. Tidak ada sebuah cara yang disiapkan untuk kita. Kita harus mencari cara kita sendiri setiap saat. Sebuah gagasan tentang kesempurnaan, atau sebuah cara sempurna yang disiapkan oleh orang lain bukan sebuah cara sejati untuk kita.
Kita semua harus membuat cara kita sendiri, dan ketika kita sudah memilikinya, cara tersebut akan mengekspresikan cara universal. Ini adalah misterinya. Ketika Anda mengerti sesuatu lebih mendalam, Anda mengerti semua hal. Ketika Anda berusaha mengerti semua hal, Anda tidak akan mengerti apa-apa. Cara yang terbaik adalah mengerti diri sendiri, maka Anda akan mengerti semuanya. Jadi, ketika Anda berusaha keras membuat cara Anda, Anda akan membantu orang lain, dan Anda akan dibantu oleh orang lain. Sebelum Anda memiliki cara Anda sendiri Anda tidak bisa membantu siapa-siapa dan tidak ada seorang pun yang bisa membantu Anda. Untuk bisa bebas seperti ini, Anda harus melupakan semua yang ada di pikiran kita dan menemukan sesuatu yang cukup barn dan berbeda setiap saat. Inilah cara kita hidup di dunia ini. Jadi, pengertian sejati akan muncul dari kekosongan, Ketika Anda belajar agama Buddha, Anda harus memiliki sebuah pembersih untuk pikiran Anda.

Anda harus mengeluarkan semua yang ada dari ruang Anda dan membersihkannya hingga tuntas. Jika perlu, Anda bisa mengembalikannya lagi. Anda mungkin menginginkan banyak hal, jadi Anda bawa kembali satu demi satu. Tetapi jika mereka tidak penting, tidak usah disimpan.
Kita melihat seekor burung sedang terbang. Terkadang kita melihat jejaknya. Sebenarnya kita tidak bisa melihat jejak burung yang sedang terbang, tetapi kadang-kadang kita merasa kita bisa. Ini juga bagus. Jika perlu, Anda bisa membawa kembali barang-barang yang ada keluarkan dari ruangan Anda. Tetapi sebelum Anda mengembalikan sesuatu ke dalam ruangan Anda, Anda perlu mengeluarkan sesuatu. Jika tidak, ruangan Anda akan penuh dengan sampah barang-barang tua.
Kita mengatakan, "Selangkah demi selangkah kita menghentikan suara riak anak sungai." Ketika kita berjalan di samping anak sungai, Anda bisa mendengar suara air mengalir. Suara itu terus terdengar, tetapi Anda harus bisa menghentikannya jika Anda mau. Ini adalah kebebasan; ini adalah pelepasan. Sate persatu bentuk-bentuk pikiran hadir di pikiran Anda, tetapi jika Anda ingin menghentikan mereka Anda bisa. Jadi, jika Anda mampu menghentikan suara riak aliran air, Anda akan menghargai hasil usaha Anda. Tetapi selama Anda memiliki gagasan permanen, atau terjebak dalam cara-cara kuno, Anda tidak bisa menghargai semua hal.
Jika Anda menginginkan kebebasan, Anda tidak akan mendapatkannya. Kebebasan absolut itu sendiri penting sebelum Anda mendapatkannya. Itu adalah latihan kita. Jalan kita tidak selalu menuju ke satu tujuan. Terkadang menuju ke timur; terkadang ke barat. Pergi ke timur sejauh satu mil artinya kembali ke barat satu mil. Biasanya, jika Anda pergi ke timur satu mil itu berarti lawan dari pergi ke barat satu mil. Jika kita bisa pergi ke timur satu mil, ini artinya kita bisa pergi ke barat satu mil. Ini adalah kebebasan. Tanpa kebebasan ini Anda tidak konsentrasi kepada apa yang Anda kerjakan. Anda berpikir Anda berkonsentrasi, tetapi sebelum Anda meraih kebebasan ini, Anda mengalami kecemasan ketika melakukan sesuatu. Karena Anda terikat kepada gagasan pergi ke timur atau ke barat, aktivitas Anda menjadi dikotomi atau mendua. Selama Anda terjebak dalam dualitas, Anda tidak mencapai kebebasan absolut dan Anda tidak bisa konsentrasi.
Konsentrasi bukan berusaha keras memperhatikan sesuatu. Dalam zazen, jika Anda mencoba memandang satu titik Anda akan lelah dalam waktu sekitar lima menit. Itu bukan konsentrasi. Konsentrasi berarti kebebasan. Usaha Anda tidak boleh ditujukan untuk apa-apa. Dalam latihan zazen pikiran Anda harus konsentrasi kepada nafas Anda, tetapi caranya adalah dengan melupakan diri Anda dan hanya duduk dan merasakan nafas. Sava tidak tahu mana yang lebih dulu. Jadi, sebenarnya tidak perlu berusaha keras untuk konsentrasi kepada nafas. Lakukan saja sebaik Anda bisa. Jika Anda lanjutkan latihan ini, pada akhirnya Anda akan merasakan keberadaan sejati yang berasal dari kekosongan.


Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Mahadeva

  • Sebelumnya: raynoism
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 602
  • Reputasi: 10
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #16 on: 30 December 2010, 01:39:29 AM »

Inilah bagaimana Shunyata itu indah, bukan kosong melompong kaya propaganda beberapa kaum Kristiani.

kalau saya pribadi, shunyata itu kosong melompong pun akan tetap indah....dan tidak masalah juga kan kalau kosong melompong? kalau yang agama lain tidak setuju ya lumrah.....tentang realisasi shunyata, apakah benar masih ada kasih, prajna dan keinginan luhur?, apakah benar2 ada makhluk yang mengasihi dan makhluk lain yang dikasihi? jadi bukannya saat parinirwana, ilusi ttg ada makhluk lain dan diri sudah lenyap ya?
 thx

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #17 on: 30 December 2010, 01:56:12 PM »
 [at] raynoism:

Pandangan anda terkesan spt nihilisme krn menganggap segalanya hanya ilusi dan tdk nyata. Namun dlm konsep sunyata,hanya "aku","diri" yg ilusi,tetapi unsur2 yg membentuk "diri"/"aku" itulah yg nyata,unsur2 tsb tdk dpt berdiri sendiri sbg "aku".

Dlm Kaccayanagotta Sutta dikatakan "segala sesuatu ada" adl satu pandangan ekstrem, "segala sesuatu tdk ada" adl pandangan ekstrem yg lain. Sang Buddha mengajarkan paticcasamuppada sbg jalan tengah atas kedua pandangan ekstrem ini.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline Mahadeva

  • Sebelumnya: raynoism
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 602
  • Reputasi: 10
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #18 on: 30 December 2010, 02:11:55 PM »
[at] raynoism:

Pandangan anda terkesan spt nihilisme krn menganggap segalanya hanya ilusi dan tdk nyata. Namun dlm konsep sunyata,hanya "aku","diri" yg ilusi,tetapi unsur2 yg membentuk "diri"/"aku" itulah yg nyata,unsur2 tsb tdk dpt berdiri sendiri sbg "aku".

Dlm Kaccayanagotta Sutta dikatakan "segala sesuatu ada" adl satu pandangan ekstrem, "segala sesuatu tdk ada" adl pandangan ekstrem yg lain. Sang Buddha mengajarkan paticcasamuppada sbg jalan tengah atas kedua pandangan ekstrem ini.

lha kan dalam paticcasamuppada secara ringkas kan di terang kan timbul ini, timbul itu, lenyap ini, lenyap itu..interdependensi pun kan cuma ilusi dan bisa dipatahkan harusnya.....
nihilisme kan menganggap habis mati, selesai sudah...
kalau pandangan saya kan, memang dari awal tidak ada apa2, jadi mana bisa jadi lenyap (nihilis), timbul saja tidak kok...

toh Buddha juga nda pernah bilang saat sudah parinibbana, akan tetap ada kasih dan kebijaksanaan....kan parinibbana itu kan tidak terkondisi, sedangkan kasih dan panna itu berkondisi....jadi kasih dan panna pun sebenarnya ilusi juga kan...toh Buddha tidak pernah bilang, "Setelah parinibbana, kasih-Ku akan tetap terpancar dsb..."
nibbana menurut saya bukan pelenyapan diri...karena diri ini pun tidak ada dan tidak pernah timbul, bagaimana bisa lenyap?

unsur2 yang membentuk diri dan konsep aku itu pun kan hanya ilusi semua....

apa benar begitu?

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #19 on: 31 December 2010, 08:31:07 AM »
Quote
lha kan dalam paticcasamuppada secara ringkas kan di terang kan timbul ini, timbul itu, lenyap ini, lenyap itu..interdependensi pun kan cuma ilusi dan bisa dipatahkan harusnya.....
nihilisme kan menganggap habis mati, selesai sudah...
kalau pandangan saya kan, memang dari awal tidak ada apa2, jadi mana bisa jadi lenyap (nihilis), timbul saja tidak kok...

toh Buddha juga nda pernah bilang saat sudah parinibbana, akan tetap ada kasih dan kebijaksanaan....kan parinibbana itu kan tidak terkondisi, sedangkan kasih dan panna itu berkondisi....jadi kasih dan panna pun sebenarnya ilusi juga kan...toh Buddha tidak pernah bilang, "Setelah parinibbana, kasih-Ku akan tetap terpancar dsb..."
nibbana menurut saya bukan pelenyapan diri...karena diri ini pun tidak ada dan tidak pernah timbul, bagaimana bisa lenyap?

unsur2 yang membentuk diri dan konsep aku itu pun kan hanya ilusi semua....

Bro. rayno, bila anda katakan shunyata itu benar-benar kosong melompong, bagaimana anda bisa mengatakan itu indah? Kalau anda sudah mengatakan shunyata itu indah, berarti sudah tidak kosong melompong bukan?  8) Bila kosong melompong, kok bisa muncul fenomena seperti yang ada di dunia ini? Kalau semuanya kosong melompong untuk apa berbuat baik dan menghindari berbuat jahat? Kalau semuanya kosong melompong mengapa Nibbana dikatakan sebagai kondisi yang bahagia?

Bro. rayno, jadi apakah hidup kita ini benar-benar suatu "ilusi" atau "mimpi?" Kalau memang benar-benar diartikan seperti itu, hidup ini tidak akan ada artinya semuanya toh ya ilusi atau mimpi doang... tetapi saya pakai apa yang saya dapat dari
Thich Nhat Hanh yaitu ilusi yang dimakusd adalah ilusi akan adanya Aku yang eksis sendiri dan terpisah (yang diatasi dengan pengertian inter-Being), ilusi akan selalu berkumpul selamanya (yang diatasi oleh pengertian ketidakkekalan, sebab akibat), ilusi akan penderitaan (yang diatasi dengan merealisasi bahwa semua itu shunya dan Ke-Buddhaan sudah ada dalam diri kita). Ilusi itulah yang harus diatasi.

Ketika umat Buddhis membabarkan ilusi, yang dimaksud adalah bahwa semua yang ada di dunia ini anitya dan anatta, bagaikan gelembung-gelembung yang muncul dan lenyap. Lantas apa yang nyata? Yang nyata adalah Ke-Buddhaan itu sendiri, Dharmakaya, Tathagatagarbha, Shunyata... yang Nitya (Abadi), Sukha (Bahagia) dan Atman (Diri Sejati). Hakekat Perubahan itu nyata, "tanpa aku" itu nyata, ketersalingbergantungan itu nyata. Maka dari itu disebutkan bahwa mereka adalah Shunyata / Tathagatagarbha.

Seseorang yang belum tercerahkan akan melihat perubahan sebagai perubahan sehingga mereka menderita. Seseorang yang telah tercerahkan melihat perubahan sebagai shunya, pada hakekatnya tidak ada yang berubah, semuanya hanyalah proses yang sedemikian rupa, maka dari itu Tathagatagarbha disebut Abadi.

Dijelaskan dalam Mahaparinirvana Sutra tentang Pratitya Samutpada dan Tathagatagarbha:
“This twelvefold chain of interdependent arising is called Buddha nature”; “All sentient beings must have such a twelvefold chain of interdependent arising; therefore it is said that all sentient beings have Buddha nature”.

Nagarjuna dalam 70 syair mengenai kekosongan berkata:
The unity or plurality of phenomena is not inherently existent, but is dependent on causes and conditions of existence. Time does not inherently exist, because the past, the present, and the future are dependent on each other. To understand the emptiness of inherent existence is to know dependent-arising as the reality of all phenomena

Coba anda baca Mahaparinirvana Sutra di sana dikatakan Sifat Sejati Ke-Buddhaan itu maha Maitri Maha Karuna, Buddha Dharma Sangha adalah Maha Maitri Maha Karuna, dunia tanpa batas para Buddha adalah Maha Maitri Maha Karuna. Justru karena merealisasi shunyata, seseorang menjaid tebruka dan bebas, dan welas asih agung muncul secara spontan.

Practicing compassion will bring about the recognition of emptiness as the true nature of the mind. When you practice virtuous actions of love and compassion on the relative level, you spontaneously realize the profound nature of emptiness, which is the absolute level. In turn, if you focus your meditation practice on emptiness, then your loving-kindness and compassion will spontaneously grow.

These two natures, the absolute and the relative, are not opposites; they always arise together. They have the same nature; they are inseparable like a fire and its heat or the sun and its light. Compassion and emptiness are not like two sides of a coin. Emptiness and compassion are not two separate elements joined together; they are always coexistent.

In Buddhism, emptiness does not mean the absence of apparent existence. Emptiness is not like a black hole or darkness, or like an empty house or an empty bottle. Emptiness is fullness and openness and flexibility. Because of emptiness it is possible for phenomena to function, for beings to see and hear, and for things to move and change. It is called emptiness because when we examine things we cannot find anything that substantially and solidly exists. There is nothing that has a truly existent nature. Everything we perceive appears through ever-changing causes and conditions, without an independent, solid basis. Although from a relative perspective things appear, they arise from emptiness and they dissolve into emptiness. All appearances are like water bubbles or the reflection of the moon in water.

~ From Opening to our Primordial Nature by Khenchen Palden Sherab Rinpoche and Khenpo Tsewang Dongyal Rinpoche, published by Snow Lion Publications.
 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Mahadeva

  • Sebelumnya: raynoism
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 602
  • Reputasi: 10
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #20 on: 31 December 2010, 08:45:12 AM »
hmm..ok seingat saya Buddha tidak pernah menjelaskan adanya kasih dan kebijaksanaan saat orang yang telah parinirwana.....(maaf kalau ada sutranya, tolong saya dikasi tau)

yang saya paling heran ini: "Emptiness and compassion are not two separate elements joined together; they are always coexistent."

kembali lagi, apa benar welas asih itu masih ada saat parinirwana?....emptiness aja sudah ga ada kok...

cara berpikir saya begini, welas asih kan berkondisi...sudah jelas apa pun yang berkondisi itu tidak kekal...
 
kalau kasih itu sedemikian penting, tolong saya juga dikasi tau sutra yang membahas ttg adanya kasih saat parinirwana..(karena Buddha pasti parinirwana)


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #21 on: 31 December 2010, 09:03:25 AM »
 [at] gandalf,

ilusi adalah sesuatu yg bukan kenyataan, jika dikatakan penderitaan adalah ilusi, bukankah ini berlawanan dengan 4KM dimana penderitaan (dukkha) adalah kebenaran?

Offline Mahadeva

  • Sebelumnya: raynoism
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 602
  • Reputasi: 10
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #22 on: 31 December 2010, 09:19:45 AM »
[at] gandalf,

ilusi adalah sesuatu yg bukan kenyataan, jika dikatakan penderitaan adalah ilusi, bukankah ini berlawanan dengan 4KM dimana penderitaan (dukkha) adalah kebenaran?

dalam prajna paramita hrdaya sutra, dukkha, dukkha samudaya, dukkha nirodha dan dukkha nirodha gamini patipada magga itu semua sunyata...jadi bukan hanya dukkha yg ilusi, jalan mengakhirinya pun khayalan saja...

contoh, seseorang berusaha menyelesaikan masalah, cara dia menyelesaikan masalah pasti akan membawa masalah lain...selalu tidak puas, contoh chemoterapi akan membawa efek samping lain, kankernya pun belum tentu sembuh, sembuh pun akan ada masalah lain, tua lalu mati...ntar lahir lagi dst...

jadi yang paling logis ya ternyata menyadari sesungguhnya tidak ada masalah yang perlu untuk diselesaikan..selesai sudah....begitu kita mengasumsikan ada dukkha maka pasti ada yang mengalami dukkha sedangkan sesungguhnya Buddha bilang dukkha itu pun bukan milik ku...dsb...


saya pernah tulisan Yongey Mingyur Rinpoche, beliau bilang bahwa Buddha memberikan ajaran itu disesuaikan sesuai pendengar, 4 KM itu diberikan pertama kali sebelum Buddha membahas ultimate truth...Rinpoche membandingkan 4 KM itu seperti fisika klasik Newton sedangkan konsep Anatta serta sunyata itu seperti konsep fisika kuantum....

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #23 on: 31 December 2010, 09:24:23 AM »
dalam prajna paramita hrdaya sutra, dukkha, dukkha samudaya, dukkha nirodha dan dukkha nirodha gamini patipada magga itu semua sunyata...jadi bukan hanya dukkha yg ilusi, jalan mengakhirinya pun khayalan saja...
jadi menurut anda shunyata sama dengan ilusi?

Quote
contoh, seseorang berusaha menyelesaikan masalah, cara dia menyelesaikan masalah pasti akan membawa masalah lain...selalu tidak puas, contoh chemoterapi akan membawa efek samping lain, kankernya pun belum tentu sembuh, sembuh pun akan ada masalah lain, tua lalu mati...ntar lahir lagi dst...

kalau begitu, tidak perlu ada dokter, tidak perlu ada rumah sakit. jika anda sakit, tidak perlu diobati. begitukah?

Quote
jadi yang paling logis ya ternyata menyadari sesungguhnya tidak ada masalah yang perlu untuk diselesaikan..selesai sudah....begitu kita mengasumsikan ada dukkha maka pasti ada yang mengalami dukkha sedangkan sesungguhnya Buddha bilang dukkha itu pun bukan milik ku...dsb...

Buddha yg mana yg bilang begitu, Bro?

Quote
saya pernah tulisan Yongey Mingyur Rinpoche, beliau bilang bahwa Buddha memberikan ajaran itu disesuaikan sesuai pendengar, 4 KM itu diberikan pertama kali sebelum Buddha membahas ultimate truth...Rinpoche membandingkan 4 KM itu seperti fisika klasik Newton sedangkan konsep Anatta serta sunyata itu seperti konsep fisika kuantum....

bagaimanakah fisika klasik Newton dan fisika kuantum itu? mohon dijelaskan agar kita dapat menilai persamaannya.

jadi menurut Rinpoche itu, 4KM bukan ultimate truth?

Offline Mahadeva

  • Sebelumnya: raynoism
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 602
  • Reputasi: 10
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #24 on: 31 December 2010, 12:21:21 PM »
1) begini Mr Indra, dalam prajna paramita hrdaya sutra jelas dalam bahasa asli maupun terjemahan, persisnya dikatakan seperti ini,

"na duhkha samudaya nirdoha margajna
(no suffering end of suffering path)

na jnanam na prapti na bhismaya tasmai na prapti
(no knowledge no ownership no witnessing no thing to own)

tvad bodhisattva prajnaparamita asritya
(therefore bodhisattva perfect wisdom dwells)

viha ratya citta varano vidya ksayo na vidya ksayo
(in dwell thought no obstacle clarity exhaustion not clairty exhaustion)

ya van jaramaranam na jaramarana ksayo
(up to old age no old age exhaustion)

na duhkha samudaya nirodha margajna
(no suffering end of suffering path)

na jnanam na prapti na bhismaya tasmai na prapti
(no knowledge no property no witnessing no thing to own)"

sumber: http://www.fodian.net/world/0256.html
             http://www.buddhanet.net/pdf_file/heart_s2.pdf
 
   kalau begitu bro Indra menganggap shunyata itu kenyataan?

2) "kalau begitu, tidak perlu ada dokter, tidak perlu ada rumah sakit. jika anda sakit, tidak perlu diobati. begitukah?"
     
     hmm...betul sekali mr Indra....yang bisa mengobati semua penyakit, tua dan sakit, hanya realisasi nibbana..
     apakah Buddha bilang Arahat yang telah parinibbana memerlukan dokter dan rumah sakit?
     dokter, obat dan rumah sakit hanyalah seperti plester luka saja.....
     selama  masih ada kelahiran, akan ada kematian....itu sudah lumrah
     Buddhisme tidak bisa dikatakan nihilistik karena realisasi nibbana berarti bukan melenyapkan konsep Aku namun merealisasi bahwa yang disebut Aku memang tidak pernah timbul, bagaimana bisa dimusnahkan sesuatu yang tidak pernah ada?
       
3) "Buddha yg mana yg bilang begitu, Bro?"
 
    dalam Anatta-lakkhana Sutta (maaf di thread ini saya kutip kanon pali, kalau ada yang tau sutta ini dalam tripitaka, tolong saya dikasi tau) ada kata2 seperti ini:

""Consciousness is not self. If consciousness were the self, this consciousness would not lend itself to dis-ease. It would be possible [to say] with regard to consciousness, 'Let my consciousness be thus. Let my consciousness not be thus.' But precisely because consciousness is not self, consciousness lends itself to dis-ease. And it is not possible [to say] with regard to consciousness, 'Let my consciousness be thus. Let my consciousness not be thus.'

"What do you think, monks -- Is form constant or inconstant?"

"Inconstant, lord."

"And is that which is inconstant easeful or stressful?"

"Stressful, lord."

"And is it fitting to regard what is inconstant, stressful, subject to change as: 'This is mine. This is my self. This is what I am'?"

"No, lord." "

yang saya bold itu kan dukkha bro, jelas2 Buddha menolak dukkha sebagai hal yang patut untuk dimiliki...

sumber: http://www.abuddhistlibrary.com/Buddhism/B%20-%20Theravada/Suttas%20I/The%20Anattalakkha%20Sutta/SN%20XXII_59%20Anattalakkhana%20Sutta.htm

4)   "bagaimanakah fisika klasik Newton dan fisika kuantum itu? mohon dijelaskan agar kita dapat menilai persamaannya.

jadi menurut Rinpoche itu, 4KM bukan ultimate truth?"

contoh fisika klasik, bila kita mengetahui dengan pasti momentum dan posisi serta kecepatan suatu benda maka kita bisa dengan tepat maka kita bisa memastikan arah pergerakan benda iti dengan akurat, seperti mobil dengan kecepatan v, arah gerak, gaya gesek dsb maka kita bisa meramalkan mobil itu mau gerak ke mana, serta dalam fisika klasik diyakini setiap benda tersusun atas suatu inti yang tidak bisa dibagi lagi (maka dari itu disebut atom, a=tidak, tome=potong)

nah setelah beberapa puluh taun, terkuaklah bahwa hukum2 fisika berlaku untuk benda2 besar seperti mobil ternyata tidak pas jika diterapkan pada benda yang amat kecil seperti elektron dsb...sehingga ada yang disebut prinsip ketidakpastian...dan ternyata dulu atom yang disangka tidak bisa dibagi ternyata seiring perkembangan ilmu, atom bisa dibagi lagi jadi elektron, proton...elektron pun masih tersusun atas benda yang jauh lebih kecil lagi dan ilmuwan belum menemukan inti yang kekal yang tidak bisa dibagi lagi...

dulu ada aliran Vaibhasika yang filosofi mereka mirip dengan fisika klasik (bisa dilihat di wikipedia), mereka banyak membahas sankhara....saya tidak bilang fisika klasik itu salah, namun lebih lengkap jika ditambah fisika kuantum untuk memahami fenomena yang ada

sudah jelas dikatakan sabbe dhamma anatta ti dan yang satunya sabbe sankhara dukkha
mana yang lebih luas cakupannya? anatta atau dukkha? apakah nibbana identik dengan dukkha atau anatta?

apakah dukkha bukan kebenaran? tentu saja dukkha adalah kebenaran namun kalau Buddha tidak mengajarkan anatta maka buddhisme saya rasa akan sama dengan kepercayaan lain....kunci kebebasan kan di anatta,,,

diskusi yang menarik....

« Last Edit: 31 December 2010, 12:25:28 PM by raynoism »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #25 on: 31 December 2010, 03:47:54 PM »
1) begini Mr Indra, dalam prajna paramita hrdaya sutra jelas dalam bahasa asli maupun terjemahan, persisnya dikatakan seperti ini,

"na duhkha samudaya nirdoha margajna
(no suffering end of suffering path)

na jnanam na prapti na bhismaya tasmai na prapti
(no knowledge no ownership no witnessing no thing to own)

tvad bodhisattva prajnaparamita asritya
(therefore bodhisattva perfect wisdom dwells)

viha ratya citta varano vidya ksayo na vidya ksayo
(in dwell thought no obstacle clarity exhaustion not clairty exhaustion)

ya van jaramaranam na jaramarana ksayo
(up to old age no old age exhaustion)

na duhkha samudaya nirodha margajna
(no suffering end of suffering path)

na jnanam na prapti na bhismaya tasmai na prapti
(no knowledge no property no witnessing no thing to own)"

sumber: http://www.fodian.net/world/0256.html
             http://www.buddhanet.net/pdf_file/heart_s2.pdf
 
   kalau begitu bro Indra menganggap shunyata itu kenyataan?

maaf, bisa tolong dijelaskan dengan bahasa yg lebih komunikatif?

Quote
2) "kalau begitu, tidak perlu ada dokter, tidak perlu ada rumah sakit. jika anda sakit, tidak perlu diobati. begitukah?"
     
     hmm...betul sekali mr Indra....yang bisa mengobati semua penyakit, tua dan sakit, hanya realisasi nibbana..
     apakah Buddha bilang Arahat yang telah parinibbana memerlukan dokter dan rumah sakit?
     dokter, obat dan rumah sakit hanyalah seperti plester luka saja.....
     selama  masih ada kelahiran, akan ada kematian....itu sudah lumrah
     Buddhisme tidak bisa dikatakan nihilistik karena realisasi nibbana berarti bukan melenyapkan konsep Aku namun merealisasi bahwa yang disebut Aku memang tidak pernah timbul, bagaimana bisa dimusnahkan sesuatu yang tidak pernah ada?

Ketika Sang Buddha sakit, Beliau juga diobati oleh tabib Jivaka. apakah anda pernah mengalami radang tenggorokan, Bro? apakah anda pernah ke dokter? pernah minum antibiotik?

Quote
3) "Buddha yg mana yg bilang begitu, Bro?"
 
    dalam Anatta-lakkhana Sutta (maaf di thread ini saya kutip kanon pali, kalau ada yang tau sutta ini dalam tripitaka, tolong saya dikasi tau) ada kata2 seperti ini:

""Consciousness is not self. If consciousness were the self, this consciousness would not lend itself to dis-ease. It would be possible [to say] with regard to consciousness, 'Let my consciousness be thus. Let my consciousness not be thus.' But precisely because consciousness is not self, consciousness lends itself to dis-ease. And it is not possible [to say] with regard to consciousness, 'Let my consciousness be thus. Let my consciousness not be thus.'

"What do you think, monks -- Is form constant or inconstant?"

"Inconstant, lord."

"And is that which is inconstant easeful or stressful?"

"Stressful, lord."

"And is it fitting to regard what is inconstant, stressful, subject to change as: 'This is mine. This is my self. This is what I am'?"

"No, lord." "

yang saya bold itu kan dukkha bro, jelas2 Buddha menolak dukkha sebagai hal yang patut untuk dimiliki...

sumber: http://www.abuddhistlibrary.com/Buddhism/B%20-%20Theravada/Suttas%20I/The%20Anattalakkha%20Sutta/SN%20XXII_59%20Anattalakkhana%20Sutta.htm

bukan itu yg saya tanyakan Bro. yg menjadi pertanyaan saya adalah pernyataan tersirat bahwa dukkha itu tidak ada.

Quote
4)   "bagaimanakah fisika klasik Newton dan fisika kuantum itu? mohon dijelaskan agar kita dapat menilai persamaannya.

jadi menurut Rinpoche itu, 4KM bukan ultimate truth?"

contoh fisika klasik, bila kita mengetahui dengan pasti momentum dan posisi serta kecepatan suatu benda maka kita bisa dengan tepat maka kita bisa memastikan arah pergerakan benda iti dengan akurat, seperti mobil dengan kecepatan v, arah gerak, gaya gesek dsb maka kita bisa meramalkan mobil itu mau gerak ke mana, serta dalam fisika klasik diyakini setiap benda tersusun atas suatu inti yang tidak bisa dibagi lagi (maka dari itu disebut atom, a=tidak, tome=potong)

nah setelah beberapa puluh taun, terkuaklah bahwa hukum2 fisika berlaku untuk benda2 besar seperti mobil ternyata tidak pas jika diterapkan pada benda yang amat kecil seperti elektron dsb...sehingga ada yang disebut prinsip ketidakpastian...dan ternyata dulu atom yang disangka tidak bisa dibagi ternyata seiring perkembangan ilmu, atom bisa dibagi lagi jadi elektron, proton...elektron pun masih tersusun atas benda yang jauh lebih kecil lagi dan ilmuwan belum menemukan inti yang kekal yang tidak bisa dibagi lagi...

dulu ada aliran Vaibhasika yang filosofi mereka mirip dengan fisika klasik (bisa dilihat di wikipedia), mereka banyak membahas sankhara....saya tidak bilang fisika klasik itu salah, namun lebih lengkap jika ditambah fisika kuantum untuk memahami fenomena yang ada

sudah jelas dikatakan sabbe dhamma anatta ti dan yang satunya sabbe sankhara dukkha
mana yang lebih luas cakupannya? anatta atau dukkha? apakah nibbana identik dengan dukkha atau anatta?

apakah dukkha bukan kebenaran? tentu saja dukkha adalah kebenaran namun kalau Buddha tidak mengajarkan anatta maka buddhisme saya rasa akan sama dengan kepercayaan lain....kunci kebebasan kan di anatta,,,

diskusi yang menarik....



"4 KM itu diberikan pertama kali sebelum Buddha membahas ultimate truth." Saya memahami kalimat ini bahwa Sang Buddha membahas Ultimate Truth setelah memberikan 4KM. apakah pemahaman saya benar? kalau benar maka di sini ada dua topik yg dibabarkan oleh Sang Buddha yaitu Ultimate Truth dan 4KM, dimana Ultimate Truth tidak sama dengan 4KM. apakah pemahaman saya ini benar? kalau benar, apakah Ultimate Truth yg bukan 4KM itu?

Offline Mahadeva

  • Sebelumnya: raynoism
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 602
  • Reputasi: 10
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #26 on: 31 December 2010, 04:52:38 PM »
1) apa yang kita sebut dukkha hanyalah kesepakatan belaka....tidak ada dukkha yang benar2 hakiki..hanya labeling by mind...
jadi secara hakiki, dukkha itu tidak ada....prajna paramita hrdaya sutra jelas bilang tidak ada dukkha dan jalan untuk mengakhirinya ...diterjemahan manapun artinya ya sama saja...apa yang kita sebut penderitaan itu pun tidak kekal....


2) benar sekali mr Indra, saya pernah sakit, pernah minum antibiotik, pernah sembuh dan akan sakit lagi nanti...Buddha saja sakit, sembuh, lalu sakit sekali lagi kok sebelum wafat....tapi setelah parinibbana, tidak sakit lagi dan tidak mati...nibbana punya nama lain Amita...Buddha tidak pernah bilang cita2 tertinggi adalah menjadi tabib..

3) seperti nomer 1, apa yang disebut dukkha itu tidak benar2 eksis...kalau benar eksis secara hakiki maka bukan anatta namanya.
 

4) 4 KM itu termasuk ultimate truth...dan banyak di sutta, murid Buddha yang tercerahkan tidak mesti diajari Buddha terlebih dahulu ttg 4KM,....saya tidak bilang ultimate truth beda dengan 4 KM, hanya saja kembali ke 3 corak...cuman anatta yang menjadi corak dari yang berkondisi dan tidak..jelas anatta lah ultimate truth...sedangkan dukkha hanya yang berkondisi saja...kalau dukkha itu ultimate truth maka nibbana pun dukkha. iya 4 KM diberikan sebelum ultimate truth seperti di sma belajar hukum newton dulu baru prinsip ketidakpastian heisenberg dll
« Last Edit: 31 December 2010, 04:54:48 PM by raynoism »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #27 on: 31 December 2010, 05:41:15 PM »
1) apa yang kita sebut dukkha hanyalah kesepakatan belaka....tidak ada dukkha yang benar2 hakiki..hanya labeling by mind...
jadi secara hakiki, dukkha itu tidak ada....prajna paramita hrdaya sutra jelas bilang tidak ada dukkha dan jalan untuk mengakhirinya ...diterjemahan manapun artinya ya sama saja...apa yang kita sebut penderitaan itu pun tidak kekal....

Bro, pernah baca Dhammacakkappavattana Sutta? coba baca dulu baru kemudian berikan komentar.

Quote
2) benar sekali mr Indra, saya pernah sakit, pernah minum antibiotik, pernah sembuh dan akan sakit lagi nanti...Buddha saja sakit, sembuh, lalu sakit sekali lagi kok sebelum wafat....tapi setelah parinibbana, tidak sakit lagi dan tidak mati...nibbana punya nama lain Amita...Buddha tidak pernah bilang cita2 tertinggi adalah menjadi tabib..
loh kenapa anda minum antibiotik? bukankah tidak ada yg sakit? darimana anda mendengar ada yg bilang cita2 tertinggi adalah menjadi tabib?

Quote
3) seperti nomer 1, apa yang disebut dukkha itu tidak benar2 eksis...kalau benar eksis secara hakiki maka bukan anatta namanya.

jadi menurut anda 4KM dalam Dhammacakkappavattana sutta itu bukan kebenaran? 

Quote
4) 4 KM itu termasuk ultimate truth...dan banyak di sutta, murid Buddha yang tercerahkan tidak mesti diajari Buddha terlebih dahulu ttg 4KM,....saya tidak bilang ultimate truth beda dengan 4 KM, hanya saja kembali ke 3 corak...cuman anatta yang menjadi corak dari yang berkondisi dan tidak..jelas anatta lah ultimate truth...sedangkan dukkha hanya yang berkondisi saja...kalau dukkha itu ultimate truth maka nibbana pun dukkha. iya 4 KM diberikan sebelum ultimate truth seperti di sma belajar hukum newton dulu baru prinsip ketidakpastian heisenberg dll

sekarang anda mengatakan bahwa 4KM adalah ultimate truth, bukankah pernyataan anda berlawanan dengan pernyataan si rinpoche yg anda kutip sebelumnya? rinpoche itu menyiratkan bahwa 4KM berbeda dengan ultimate truth. Bro, luangkan waktu sejenak untuk membaca anattalakkhana sutta juga.

_/\_

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #28 on: 31 December 2010, 06:06:10 PM »
Bro, pernah baca Dhammacakkappavattana Sutta? coba baca dulu baru kemudian berikan komentar.
loh kenapa anda minum antibiotik? bukankah tidak ada yg sakit? darimana anda mendengar ada yg bilang cita2 tertinggi adalah menjadi tabib?

jadi menurut anda 4KM dalam Dhammacakkappavattana sutta itu bukan kebenaran? 

sekarang anda mengatakan bahwa 4KM adalah ultimate truth, bukankah pernyataan anda berlawanan dengan pernyataan si rinpoche yg anda kutip sebelumnya? rinpoche itu menyiratkan bahwa 4KM berbeda dengan ultimate truth. Bro, luangkan waktu sejenak untuk membaca anattalakkhana sutta juga.

_/\_
mbah, khan ini thread mahayana, mungkin pandangan mahayana seperti ini, beda dengan terawada.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #29 on: 31 December 2010, 06:07:33 PM »
mbah, khan ini thread mahayana, mungkin pandangan mahayana seperti ini, beda dengan terawada.

tapi dia si ray yg duluan bawa2 anattalakkhana sutta.

Offline Mahadeva

  • Sebelumnya: raynoism
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 602
  • Reputasi: 10
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #30 on: 31 December 2010, 06:40:40 PM »
Bro, pernah baca Dhammacakkappavattana Sutta? coba baca dulu baru kemudian berikan komentar.
sudah saya baca lagi, lahir, tua, sakit mati dst adalah dukkha, kira-kira Arahat masih berduka atau tidak saat mengalami sakit, tua, dan mati? kalau tidak mengapa?

loh kenapa anda minum antibiotik? bukankah tidak ada yg sakit? darimana anda mendengar ada yg bilang cita2 tertinggi adalah menjadi tabib?

betul tidak ada individu permanen yang sakit, tidak ada juga yang minum antibiotik, kalaupun saya minum antibiotik, secara fundamental, antibiotik itu hanyalah paduan unsur dan diri saya pun demikian, jadi minum dan tidak minum sama saja, sehat dan sakit juga kesepakatan saja


jadi menurut anda 4KM dalam Dhammacakkappavattana sutta itu bukan kebenaran? 

yang kita sebut kebenaran itupun cuma kesepakatan seperti dukkha

sekarang anda mengatakan bahwa 4KM adalah ultimate truth, bukankah pernyataan anda berlawanan dengan pernyataan si rinpoche yg anda kutip sebelumnya? rinpoche itu menyiratkan bahwa 4KM berbeda dengan ultimate truth. Bro, luangkan waktu sejenak untuk membaca anattalakkhana sutta juga.

sudah saya baca dan sudah saya kutipkan tadi


_/\_

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #31 on: 31 December 2010, 06:44:01 PM »
lha kan dalam paticcasamuppada secara ringkas kan di terang kan timbul ini, timbul itu, lenyap ini, lenyap itu..interdependensi pun kan cuma ilusi dan bisa dipatahkan harusnya.....
nihilisme kan menganggap habis mati, selesai sudah...
kalau pandangan saya kan, memang dari awal tidak ada apa2, jadi mana bisa jadi lenyap (nihilis), timbul saja tidak kok...

toh Buddha juga nda pernah bilang saat sudah parinibbana, akan tetap ada kasih dan kebijaksanaan....kan parinibbana itu kan tidak terkondisi, sedangkan kasih dan panna itu berkondisi....jadi kasih dan panna pun sebenarnya ilusi juga kan...toh Buddha tidak pernah bilang, "Setelah parinibbana, kasih-Ku akan tetap terpancar dsb..."
nibbana menurut saya bukan pelenyapan diri...karena diri ini pun tidak ada dan tidak pernah timbul, bagaimana bisa lenyap?

unsur2 yang membentuk diri dan konsep aku itu pun kan hanya ilusi semua....

apa benar begitu?

Menurut saya, bukan seperti itu. Pertama, paticcasamuppada bukan ilusi. Ia merupakan proses sebab akibat yang nyata. Kedua, "dari awalnya tidak ada apa2" juga menunjukkan pandangan nihilisme.

Ketiga, Parinibbana = Nibbana tanpa sisa (tanpa sisa-sisa pancakkhanda apa pun) sehingga tidak terdefinisi (bukan ada juga bukan tidak ada) sehingga tidak bisa dikatakan apakah ada kebijaksanaan dan kasih setelah parinibbana maupun tidak ada keduanya. Sedangkan saat Pertapa Gotama berada di bawah pohon Bodhi mencapai Pencerahan, Beliau mencapai Nibbana dengan sisa (masih memiliki pancakkhanda) sehingga ada kebijaksanaan dan kasih yang timbul dari kiriya citta (kesadaran yang bebas dari kusala dan akusala).

Keempat, unsur-unsur yang membentuk diri (disebut dhamma) bukan tidak nyata, tetapi tidak substansial karena ia tidak dapat berdiri sendiri tanpa interdependensi dengan unsur lainnya. Sebuah kutipan dari artikel yang diposting di http://www.wi ha ra.com/forum/ruang-dharma/7201-hubungan-antara-sunyata-dan-paticcasamuppada.html:

Untuk memahami pengertian filosofis dari istilah kekosongan (śūnyatā ), marilah kita mengambil objek padat yang sederhana, seperti sebuah mangkuk. Kita biasanya mengatakan bahwa sebuah mangkuk kosong jika ia tidak mengandung cairan atau benda padat apa pun. Ini adalah pengertian awam dari kekosongan. Namun sebuah mangkuk yang kosong dari cairan atau benda padat tidak masih berisi udara. Tepatnya, kita harus menyatakan bahwa mangkuk itu kosong dari apa. Sebuah mangkuk yang berada di ruang hampa tidak mengandung udara, tetapi masing mengandung ruang kosong, cahaya, radiasi, dan substansi mangkuk itu sendiri. Oleh sebab itu, dari cara pandang fisik, mangkuk selalu penuh dengan sesuatu [tidak pernah kosong]. Tetapi dari cara pandang Buddhis, mangkuk selalu kosong. Pengertian Buddhis atas kekosongan berbeda dengan pengertian fisik. Mangkuk kosong karena ia sama sekali tanpa keberadaan yang inheren/melekat (devoid of inherent existence).

Walaupun dari cara pandang Buddhis semua hal adalah tidak kekal, tetapi tidak berarti bahwa mangkuk itu tidak ada. Mangkuk sesungguhnya ada, namun seperti segala sesuatu di dunia ini, keberadaannya bergantung pada fenomena lainnya. Tidak ada sesuatu dalam mangkuk yang melekat pada mangkuk tertentu secara umum. Sifat seperti berlubang, bulat, silinder, atau tahan bocor tidak hakiki pada mangkuk. Benda-benda lain yang bukan mangkuk juga memiliki sifat yang sama, seperti vas bunga dan gelas. Sifat dan unsur dari mangkuk bukan mangkuk itu sendiri ataupun tidak menyatakan persepsi kita atas mangkuk atas sifat mangkuk itu sendiri. Materi bukan mangkuk itu sendiri. Bentuk bukan mangkuk itu sendiri. Fungsinya bukan mangkuk itu sendiri. Hanya semua aspek ini bersama-sama yang membentuk mangkuk. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa untuk sebuah objek yang menjadi mangkuk, kita membutuhkan sekumpulan kondisi tertentu agar menjadi ada. Hanya jika semua kondisi ini ada bersamaan maka pikiran menghubungkan label mangkuk pada objek itu. Jika salah satu kondisi lenyap, sebagai contoh, jika bentuk mangkuk berubah karena dihancurkan, mangkuk tersebut kehilangan beberapa atau semua atributnya dan pikiran kita tidak dapat mengenalinya sebagai mangkuk lagi. Dengan demikian, keberadaan mangkuk bergantung pada keadaan luar. Esensi fisiknya tetap sulit dipaham.

Adalah pikiran kita yang mengenali sifat dari sebuah objek dan menghubungkan atribut-atribut seperti mangkuk menjadi satu objek dan meja menjadi objek lain. Adalah pikiran yang menyadari mangkuk dan meja. Kiranya, pikiran tidak dapat mengenali mangkuk dan meja jika tidak ada sensasi penglihatan dan perabaan. Namun, tidak ada sensasi penglihatan dan perabaan jika tidak ada objek fisik. Dengan demikian persepsi bergantung pada kehadiran sensasi, yang kemudian bergantung pada kehadiran objek fisik. Kita harus memahami bahwa esensi mangkuk bukan berada dalam pikiran, juga ia tidak pernah ditemukan pada objek fisik. Jelasnya, esensi atau inti objek tersebut bukan fisik maupun mental. Karena inti suatu objek tidak dapat ditemukan baik pada dunia eksternal kita maupun pada pikiran kita.

Jika ini adalah kasus untuk objek sederhana, seperti mangkuk, maka ia juga pasti berlaku pada benda-benda yang lebih rumit/majemuk, seperti mobil, rumah, dan mesin. Sebagai contoh, sebuah mobil membutuhkan motor (penggerak), roda, poros roda, roda gigi dan banyak hal lain untuk berfungsi. Kita juga memandang perbedaan antara objek-objek buatan manusia, seperti mangkuk, dengan fenomena alamiah, seperti bumi, tumbuhan, hewan, dan manusia. Seseorang mungkin berpendapat bahwa ketiadaan keberadaan yang inheren tidak berlaku sama untuk fenomena alam dan makhluk hidup. Dalam hal seorang manusia, terdapat tubuh, pikiran, kepribadian, sejarah perbuatan, kebiasaan, perilaku, dan hal-hal lain untuk menggambarkan seseorang. Kita bahkan dapat menguraikan karakteristik ini lebih jauj menjadi sifat yang lebih mendasar. Sebagai contoh, kita dapat menganalisa pikiran dan melihat bahwa terdapat persepsi, kesadaran, perasaan, dan bentuk pikiran [yang membentuk pikiran itu].


Pandangan cenderung nihilistik (segalanya tidak ada) mungkin dikarenakan anda terlalu banyak mempelajari definisi sunyata sebagai sifat sejati dari realitas empiris (True Nature of Empirical Reality). Padahal menurut Mahayana sendiri, definisi sunyata bukan hanya itu, tetapi meliputi:

a. Śūnyatā as the True Nature of Empirical Reality
b. Śūnyatā as Pratityasamutyāda
c. Śūnyatā as the Middle Way
d. Śūnyatā as Nirvāṇa
e. Śūnyatā as the Negative Attitude or Indescribable
f. Śūnyatā as the Means of the Relative Truth and the Ultimate truth
(selengkapnya bisa dibaca di Bodhisattva and Sunyata oleh Bhikkhuni Gioi-Huong bab 6)

Untuk definisi yang terakhir (sunyata sebagai alat kebenaran relatif dan kebenaran mutlak), kebenaran relatif (samutti sacca/samvrti satya) bahwa "segala sesuatu itu ada/nyata" dan kebenaran mutlak (paramattha sacca/paramartha satya) bahwa "segala sesuatu itu hanya perpaduan unsur yang saling bergantungan" diperlukan untuk mendapatkan pemahaman dan praktek yang benar terhadap sunyata.

Here we see the vital point that the Two Truths should never be treated as two separate entities in two distinct and divided categories. Worldly truth, though not unconditional, is essential for the attainment of the ultimate truth and nirvāṇa; according to Nāgārjuna’s Middle Treatise, "without worldly truth, ultimate truth cannot be obtained." Relative truth is not useless in achieving enlightenment, nor can it be said that there is no relation between worldly and ultimate truths. Transcendental truth is explained by speech, and speech is conventional and conditional. The Bodhisattva knows and practices this teaching of the twofold truth. He uses words and concepts, but realizes that they neither stand for, nor point to, anything substantial. He employs Pratītyasamutpāda to refute extreme views, and recognizes that they are all empty. It is this skill-in-means (upāya, 方 便)  which enables him to live in conditional and transcendental worlds simultaneously, and hence to save and benefit himself and others equally.

Karena menurut kebenaran relatif, semua makhluk itu ada/nyata, maka para Bodhisattva yang memahami sunyata tidak memandang tidak perlu untuk membantu para makhluk lepas dari penderitaan; karena menurut kebenaran relatif, nilai-nilai kehidupan itu ada dan esensial, maka para Bodhisattva tidak melanggar sila pembunuhan (misalnya karena berpandangan bahwa semuanya kosong, maka tidak ada yang dinamakan kehidupan itu, oleh karena itu membunuh/menghancurkan kehidupan itu sama dengan menghancurkan tidak ada).

Saya tidak dapat memahami bagaimana semua orang yang mengaku memahami sunyata tidak merawat dirinya, tidak mengobati penyakit yang menyerang dirinya, tidak membantu orang lain yang terkena masalah, bahkan tidak melakukan apa-apa karena menganggap "dari awalnya tidak ada apa-apa, jadi untuk apa melakukan semua itu" adalah benar-benar seseorang yang mempraktekkan ajaran sunyata.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #32 on: 31 December 2010, 07:00:10 PM »
sudah saya baca lagi, lahir, tua, sakit mati dst adalah dukkha, kira-kira Arahat masih berduka atau tidak saat mengalami sakit, tua, dan mati? kalau tidak mengapa?

oh, ternyata anda mengartikan kata dukkha (Pali) sebagai berduka (indonesia), ada perbedaan makna di sini Bro. Arahat selama masih hidup juga mengalami sakit, tua, dan mati, dan ini adalah dukkha juga, walaupun Arahat tidak berduka akan hal tersebut.

Quote
betul tidak ada individu permanen yang sakit, tidak ada juga yang minum antibiotik, kalaupun saya minum antibiotik, secara fundamental, antibiotik itu hanyalah paduan unsur dan diri saya pun demikian, jadi minum dan tidak minum sama saja, sehat dan sakit juga kesepakatan saja

semoga anda benar, saya tidak akan bertukar pandangan salah dengan anda akan hal ini.

Quote

jadi menurut anda 4KM dalam Dhammacakkappavattana sutta itu bukan kebenaran? 

yang kita sebut kebenaran itupun cuma kesepakatan seperti dukkha
bahasa memang hanya kesepakatan dalam berkomunikasi, tapi itu tidak menjawab pertanyaan saya.

Quote
sekarang anda mengatakan bahwa 4KM adalah ultimate truth, bukankah pernyataan anda berlawanan dengan pernyataan si rinpoche yg anda kutip sebelumnya? rinpoche itu menyiratkan bahwa 4KM berbeda dengan ultimate truth. Bro, luangkan waktu sejenak untuk membaca anattalakkhana sutta juga.

sudah saya baca dan sudah saya kutipkan tadi

jadi apakah ultimate truth yg bukan 4KM itu?

Offline Mahadeva

  • Sebelumnya: raynoism
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 602
  • Reputasi: 10
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #33 on: 31 December 2010, 07:32:24 PM »
 [at]  mr seniya: terima kasih untuk penjelasan mr seniya, sangat membantu...menarik sekali sumber-sumber yang dicantumkan..ok saya akan belajar lebih baik lagi ttg sunyata...

 [at]  mr indra:
                     
oh, ternyata anda mengartikan kata dukkha (Pali) sebagai berduka (indonesia), ada perbedaan makna di sini Bro. Arahat selama masih hidup juga mengalami sakit, tua, dan mati, dan ini adalah dukkha juga, walaupun Arahat tidak berduka akan hal tersebut.
hmm...ok


semoga anda benar, saya tidak akan bertukar pandangan salah dengan anda akan hal ini.
iya ntar saya  belajar lagi supaya tidak berpandangan salah

                     thanks all, ntar kalau ada pandangan saya yang keliru tolong saya dikasi tau

Offline Triyana2009

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 756
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #34 on: 06 January 2011, 12:38:03 PM »
Namo Buddhaya,

"Ketika diri yang penuh avidya padam (Ego- Si Aku), maka seseorang akan masuk ke dalam satu diri yang diberi nama Diri Sejati atau Tathagatagarbha atau Muga no Taiga (Diri Yang Tanpa Diri). Di sini seperti ditekankan sebelumnya, bukan berarti setelah tercerahkan seseorang semuanya jadi sama, batinnya jadi sama semua sehingga tampak seperti robot yang sudah diatur batinnya. Integritas seseorang tetap bertahan."

Diri (d besar) adalah diri (d kecil) setelah menyadari hakekat sejatinya dan merealisasi Kebuddhaan karena Diri dan diri itu satu.

Saya hendak bertanya sedikit kepada sesepuh Gandalf dapatkan Diri Sejati itu dinamakan Atman?

 _/\_


Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #35 on: 13 January 2011, 10:57:25 PM »
pertanyaan lama, diri kecil dan besar. Di paragraf diatas gak ada tuh diri kecil diri besar
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline Triyana2009

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 756
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #36 on: 14 January 2011, 06:44:28 PM »
Namo Buddhaya,

pertanyaan lama, diri kecil dan besar. Di paragraf diatas gak ada tuh diri kecil diri besar

Jawaban lama, lihat yang saya beri bold :

"Ketika diri yang penuh avidya padam (Ego- Si Aku), maka seseorang akan masuk ke dalam satu diri yang diberi nama Diri Sejati atau Tathagatagarbha atau Muga no Taiga (Diri Yang Tanpa Diri). Di sini seperti ditekankan sebelumnya, bukan berarti setelah tercerahkan seseorang semuanya jadi sama, batinnya jadi sama semua sehingga tampak seperti robot yang sudah diatur batinnya. Integritas seseorang tetap bertahan."

 _/\_

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Sunyata, Alaya
« Reply #37 on: 02 May 2011, 05:18:03 PM »
 [at] Gandalf:
siip bro. Tambah matang saja tulisanmu :) :jempol: Sorry baru sempat baca  ;D
« Last Edit: 02 May 2011, 05:20:42 PM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek