Topik Buddhisme > Diskusi Umum

BUDDHIST ECONOMICS

(1/1)

markosprawira:
Dalam satu diskusi tentang ilmu ekonomi yang ditinjau dari Buddha Dhamma,
pertanyaan yang pertama muncul adalah apakah hal yang dikatakan sebagai
ekonomi Buddhist benar-benar ada, atau bahkan apakah hal itu mungkin. Saat
ini ilmu ekonomi yang kita kenal adalah produk dari dunia Barat. Ketika
membicarakan ekonomi atau hal-hal yang berkenaan dengan ekonomi, kita
menggunakan satu istilah Barat dan kita berpikir dalam konsepsi teori
Ekonomi Barat. Merupakan satu hal yang sulit menghilangkan batasan-batasan
ini ketika kita mulai membicarakan tentang ekonomi menurut Buddha Dhamma.
Sehingga mungkin kita akan menemukan suatu hal yang nyata mendiskusikan
Buddha Dhamma dengan bahasa dan konsep ekonomi Barat. Bagaimanapun, dengan
merenungkan materi ini kita sedikitnya mungkin memdapatkan beberapa makanan
bagi pikiran. Walaupun bukan sebuah ekonomi Buddhist yang sesungguhnya yang
dicetuskan di sini, materi ini diharapkan dapat memberikan pandangan Buddha
Dhamma pada hal-hal yang mungkin bermanfaat bagi ekonomi.

Pada pertengahan tahun 70-an ahli ekonomi Barat, E.F. Schumacher, menulis
sebuah buku yang diberi judul "SMALL IS BEAUTIFUL". Bab keempat buku
tersebut mengandung subjek ekonomi secara Buddha Dhamma. Buku itu secara
keseluruhan, khususnya bab empat tersebut, menyebabkan banyak orang di dunia
Barat dan Timur tertarik akan segi ajaran Buddha yang berhubungan dengan
ekonomi. Kita sangat menghargai Mr. Schumacher yang mengkondisikan
ketertarikan tersebut. Namun apabila kita memperhatikan 'point' tersebut
dengan mendalam, kita dapat melihat bahwa keduanya, tulisan "Small is
Beautiful" dan ketertarikan akan ekonomi Buddhist yang ditunjukkan oleh kaum
akademisi Barat berada pada tanggapan yang genting. Kini, disiplin akademik
dan struktur konseptual Barat telah mencapai satu titik yang jenuh, atau
apabila tidak, sedikitnya telah berada pada titik yang membutuhkan
model/pola berpikir dan metode baru. Dirasakan bahwa kini disiplin-disiplin
ilmu yang telah ada tidak dapat secara lengkap memecahkan masalah sehingga
perlu ditemukan cara dunia modern untuk menghadapinya. Perasaan-perasaan
tersebut telah mengajak sejumlah orang untuk meneliti cara berpikir di luar
disiplin ilmunya, yang akhirnya membawa mereka sehingga tertarik dalam
Buddha Dhamma dan filsafat tradisional Asia lainnya yang begitu nyata saat
ini.

Dalam essaynya tentang Ekonomi Buddhist, Mr Schumacher meninjau ajaran
Buddha tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga) untuk
membuat kasusnya. Dia memastikan bahwa pencantuman faktor "Penghidupan
Benar" (samma ajiva) di dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, dengan kata lain
cara hidup seorang umat Buddha, mengindikasikan perlunya ekonomi Buddhist.
Inilah titik pertama dari Mr. Schumacher. Namun demikian sifat alamiah
pandangan Mr. Schumacher, dan Ekonomi Buddhist yang ditinjaunya, akan saya
tinggalkan sejenak.

Pertama-tama saya akan menghubungkan satu cerita yang terdapat di dalam
kitab suci umat Buddha. Cerita tersebut terjadi pada jaman kehidupan Buddha
Gotama. Cerita ini mengindikasikan banyak hal tentang ekonomi Buddhist,
yang memungkinkan pembaca dapat memecahkannya sendiri. Demikian cerita
tersebut: Satu pagi ketika Buddha Gotama berdiam di vihara Jetavana, di
dekat kota Savatthi, Beliau dapat mengetahui melalui kekuatan batinnya bahwa
indera spiritual seorang petani miskin tertentu yang hidup di dekat kota
Alavi telah cukup matang untuk mengerti ajaran-Nya, dan ia telah matang
untuk merealisasi kesunyataan. Merupakan satu hal yang tepat untuk
mengajarnya. Oleh karena itu, kemudian, pagi hari itu Buddha Gotama pergi
berjalan ke Alavi, sejauh kurang lebih 30 Yojana (lebih kurang 48 km).
Penduduk Alavi memperlakukan Buddha dengan penuh hormat dan menyambut
kedatangan Beliau dengan hangat. Serta-merta sebuah tempat disediakan bagi
siapa saja yang akan berkumpul bersama dan mendengarkan khotbah. Namun
demikian, karena tujuan Buddha mengunjungi Alavi adalah untuk mengkondisikan
seorang petani miskin tersebut, sebelum mulai berkhotbah, Beliau menunggu
kedatangan petani tersebut.

Petani miskin tersebut mendengar berita baru tentang kedatangan Buddha, dan
karena ia telah tertarik dalam ajaran Buddha, untuk beberapa saat ia ingin
pergi dan mendengarkan khotbah tersebut. Namun apa yang terjadi bahwa
sapi-sapinya telah 'lenyap.' Ia bertanya-tanya (dalam hati) apakah
pertama-tama ia harus pergi dan mendengarkan khotbah Buddha dan mencari
sapinya kemudian, ataukah pertama-tama mencari sapinya kemudian pergi
mengunjungi dan mendengarkan khotbah Buddha. Ia akhirnya merencanakan untuk
pertama-tama mencari sapinya dan dengan segera berangkat ke dalam hutan
untuk mencari sapinya itu. Kemudian petani miskin itu menemukan sapinya dan
membawanya pulang ke tempat ternaknya, namun dengan berjalannya waktu
tersebut apa hendak dikata, ia sangat lelah. Petani itu berpikir, "waktu
berlangsung terus, apabila saya pertama-tama pulang ke rumah tentu akan
menyita banyak waktu. Saya harus pergi langsung ke kota untuk mendengarkan
khotbah Buddha." Setelah menetapkan pikirannya, petani miskin itu mulai
berjalan menuju Alavi. Sewaktu ia tiba di tempat yang disediakan untuk
khotbah itu, ia kehabisan tenaga dan sangat lapar.

Ketika Buddha melihat kondisi petani tersebut Beliau meminta para tetua kota
itu untuk menyediakan makanan kepada lelaki miskin itu. Ketika petani
tersebut telah makan dengan cukup kenyang dan segar kembali, Buddha mulai
mengajar dan ketika mendengarkan khotbah, petani itu merealisasi tingkat
kesucian pertama 'yang memasuki arus' (Sotapanna). Buddha telah memenuhi
maksudnya dalam mengadakan perjalanan ke Alavi.

Setelah khotbah selesai Buddha mengucapkan selamat jalan kepada orang-orang
Alavi dan pergi kembali ke Vihara Jetavana. Selama dalam perjalanan kembali
para bhikkhu yang menyertai Buddha mulai berdiskusi dengan kritis tentang
kejadian hari itu. "Apakah semua itu? Pada hari ini Bhagava tidak seperti
biasanya. Saya heran mengapa sebelum memberikan khotbah, Beliau meminta
mereka untuk menyediakan makanan kepada petani seperti itu." Buddha,
mengetahui subjek diskusi para bhikkhu itu memutar badan ke arah mereka dan
mulai untuk memberitahukan alasannya, dan pada satu titik di dalam
penjelasan tersebut Buddha menyatakan, "pada saat orang-orang diliputi dan
di dalam kesakitan fisik yang membuatnya menderita, mereka tidak dapat
mengerti Dhamma." Kemudian Buddha menyatakan bahwa kelaparan adalah
penderitaan yang paling menyakitkan dari semua bentuk kesakitan, dan
merupakan fenomena berkondisi yang melengkapi dasar penderitaan kemelekatan
yang mendasar. Hanya ketika seseorang mengerti kebenaran ini ia akan
merealisasi kebahagian sejati, Nibbana.

Semua titik penting dari ekonomi Buddhist nampak dalam cerita ini. Hal-hal
tersebut akan diuraikan di bawah ini.

Keterbatasan teori ekonomi dalam abad industri

1. Kekhususan (spesialisasi)

Kini para ahli ekonomi memperhatikan aktivitas ekonomi dalam ketertutupan,
tanpa referensi akan aktivitas manusia atau disiplin-disiplin ilmu lainnya.
Spesialisaki ini adalah satu dari ciri-ciri perkembangan di dalam abad
industri. Secara konsekuen, apabila memperhatikan aktivitas manusia, para
ahli ekonomi mencoba untuk menyingkirkan semua segi-segi non-ekonomi atau
segi-segi pertimbangan lain, dan berkonsentrasi pada sudut satu pandang:
yaitu dari disiplin ilmunya sendiri. Ketertutupan pertanyaan ekonomi dari
konteks yang lebih luas mungkin merupakan sebab utama dari banyak
permasalahan yang sekarang menimpa kita.

Di dalam Buddha Dhamma, ekonomi tidak terpisah dari cabang pengetahuan atau
pengalaman lainnya. Dalam usaha mengobati problema umat manusia, aktivitas
ekonomi tidak dipisahkan dari aktivitas-aktivitas dalam lapangan lainnya.
Ekonomi tidak dilihat secara terpisah, ilmu menyendiri namun sebagai satu
dari sejumlah disiplin yang saling terkait yang bekerja di dalam sosial
atau matriks keberadaan secara menyeluruh. Secara nyata aktivitas ekonomi
dilihat dari sejumlah sudut pandang yang berbeda. Misalnya, periklanan dapat
diambil sebagai satu contoh; berbicara secara murni dalam istilah ekonomi,
periklanan terdiri dari berbagai metoda yang digunakan untuk memaksa orang
agar membeli sesuatu. Periklanan menyebabkan kenaikan penjualan, namun
karena biaya menjadi meningkat maka barang-barang menjadi lebih mahal.
Tetapi periklanan pun terjalin dengan nilai-nilai popular: para pembuat
iklan harus menarik aspirasi umum, prasangka dan hasrat untuk menghasilkan
iklan-iklan yang memiliki daya tarik. Psikologi sosial

Navigation

[0] Message Index

Go to full version