Ikutan share dikit yah.
Malas dalam hal apa? Pas di e-ktp tinggal bilang saja sama petugasnya, agama saya Buddha. Selesai. Berat di mananya? Lebih kepada masalah mental block anda saja.
Kalau saya soal ini bukan masalah 'mental block', tapi memang tidak merasa ada pengaruh apa2 dalam ganti 'status'.
Di Indonesia dan negara2 pada umumnya, you're nothing but statistic.
Buddha's teaching is about what you do, not about 'your position in statistic'. Kecuali jika misalnya perlu dukungan statistik untuk kemudahan birokrasi (contohnya untuk bangun vihara, di area sekitar perlu x warga beragama Buddha, dan pada saat itu masih kurang), maka saya tidak masalah 'merepotkan diri' jadi Buddhis.
Anda adalah komponen dari data statistic, dan dengan data statistik pemerintah akan (antara lain): Alokasi anggaran depag (rumah ibadah, sarana prasarana, dll).
Kalau jumlah anda di statistik agama kecil, alokasi anggaran juga kecil. Mungkin di Bali dan daerah tertentu lain anda tidak bisa melihat kenyataan ini. Tapi kalau anda bisa keluar dari sikon tempat anda tinggal, melihat daerah lain di mana umat Buddha secara statistic sangat minor, maka kenyataannya lain.
Ini seperti sebelumnya, kalau memang bisa berarti, tidak masalah dilakukan. Tapi sejujurnya melihat 'wajah' Buddhisme di Indonesia, kalau bisa saya justru pilih 'bukan Buddhis'.
Bisakah dibayangkan bahwa kalau populasi buddhis cuma 0.5% maka anggaran pemerintah daerah untuk anda juga cuma 0.5% bahkan kenyataan biasanya lebih kecil daripada itu?
Di Bali mungkin pas Waisak kalangan buddhis melihat poster Selamat Waisak di mana2, bahkan dari organisasi dan departemen pemerintah. Tapi sekali lagi, di tempat yang kehadiran buddhisnya sangat minor bahkan hampir tidak eksis, tidak ada hal2 semacam itu. Anda dianggap tidak ada. Dharmasanti Waisak pun kepala daerah yang diundang enggan datang, hanya mengutus seorang kabag di kantornya saja untuk mewakili.
Kembali ke topiknya, anggaran pemerintah daerah, ucapan selamat, pengakuan, dan lain-lain, apakah menjadi faktor penentu dalam kemajuan bathin?
Jumlah buddhis sesungguhnya mungkin 2-3 kali dari data di pemerintah, tapi sayang yang punya agama saja tidak sudi mengaku dan mengisi KTPnya dengan agama lain. Mungkin masih tersisa rasa rendah diri ataupun mana (kesombongan batin) untuk sekedar mengaku beragama Buddha.
Betul, kalau saya memang kadang malu ngaku Buddhis. Selain sering disalah-kaprah aliran2 tertentu (Maitreya, LSY, klenik, dan aneka aliran ajaib lainnya), juga saya belum ketemu sosok bhikkhu yang bisa saya banggakan, terutama dari sisi vinaya.
Juga nanti putra-putri anda cukup kawin di pura saja, karena kalau kawin di vihara nanti diminta KTPnya..... repot. Vihara / majelis buddha gak mau nanti dituntut orang hindu koq berani2 ngawinkan orang hindu secara buddhis. Musti teken surat pernyataan lagi nanti
Buddha tidak pernah mengajarkan 'kawin cara Buddhis'. Itu adalah perihal budaya dan Buddha tidak pernah mempermasalahkan budaya dan ritual selama seseorang memiliki pandangan benar dan juga tidak melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat (misalnya ritual pengorbanan makhluk hidup). Jadi seseorang kawin dengan adat apapun tidak akan mengubah 'kebuddhisannya' selama dia hidup dalam dhamma.