//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Logika aneh umat Buddha  (Read 86837 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Logika aneh umat Buddha
« on: 12 September 2008, 02:44:15 PM »

Logika Aneh Umat Buddha

Ehipassiko… betapa lantang dan sering terdengar kata-kata ini… gaung sepotong kata ehipassiko seakan akan bagai kata sakti yang merupakan seluruh inti ajaran Sang Buddha.
Logika kata sakti ini menyebabkan ada sebagian orang yang merasa apabila ada ajaran dalam Tipitaka yang tidak bisa di “ehipassiko”kan seolah-olah bukan berasal dari Sang Buddha.
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual” untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.

Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,

   "So, as I said, Kalamas: 'Don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, "This contemplative is our teacher." When you know for yourselves that, "These qualities are unskillful; these qualities are blameworthy; these qualities are criticized by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to harm & to suffering" — then you should abandon them.' Thus was it said. And in reference to this was it said.
"Now, Kalamas, don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, 'This contemplative is our teacher.' When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
(Kalama sutta AN 3.65)[/i]

Ini adalah sutta yang baik yang patut kita teladani, cuma terkadang ada yang terlewat dari perhatian, pada intinya memang sutta ini mengatakan jangan mudah percaya terhadap segala sesuatu, tetapi harus diingat bahwa jangan percaya ini juga termasuk terhadap “LOGICAL CONJECTURE”
Yang berarti” logika berdasarkan kesimpulan yang tidak lengkap”, “INFERENCE” yang berarti kesimpulan yang berdasarkan kata-kata orang lain, “ANALOGIES” yang berarti berdasarkan perumpamaan atau perbandingan, “AGREEMENT THROUGH PONDERING VIEW” yang berarti berdasarkan pandangan yang didasari perenungan.

Hanya setelah kita tahu sendiri (dari praktek) bahwa hal ini tak tercela, hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal ini jika diikuti dan dipraktekkan akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan,  maka kita lakukan dan kita jadikan pegangan.

Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:

"Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."

4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.”
(Digha Nikaya, Mahaparinibbana Sutta


Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,

 “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak.”

Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu

para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.

Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?

Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinaya

Tetapi banyak juga orang-orang yang mengartikan bahwa apabila satu sutta tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka (atau batas pengetahuan mereka) dianggap sutta tersebut harus ditolak. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat sutta tersebut yaitu: membandingkannya dengan Dhamma dan Vinaya, yang dalam hal ini berarti harus kita bandingkan dengan kitab suci Tipitaka itu secara keseluruhan (apakah sejalan atau tidak).

BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA…!!!

Kembali pada Ehipassiko, sering kita mendengar kata ehipassiko di artikan dengan kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ehipassiko adalah datang dan buktikan, padahal seharusnya diartikan datang dan lihat atau datang dan alami, karena passiko berasal. Dari kata PASSATI (tolong dikoreksi bila salah) yang berdasarkan Pali-English dictionary yang disusun oleh YM. Buddhadatta Mahathera berarti melihat (sees), menemukan (finds) dan mengerti (understands). Jadi maksudnya disini (menurut pendapat saya) adalah melihat dan mengalami sehingga timbul pengertian.

Kesimpulan:

Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka,  tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).


Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.

Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.

Semoga kita semua berbahagia

sukhi hotu,

Fabian


Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline HokBen

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.525
  • Reputasi: 100
  • Gender: Male
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #1 on: 12 September 2008, 02:51:42 PM »
Nice post bro Fabian..


Logika Aneh Umat Buddha

Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual”

...


Semoga kita semua berbahagia

sukhi hotu,

Fabian




mungkin ini yang disebut sebagai pintar yang tidak diimbangin dengan kebijaksanaan..

Offline Lily W

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.119
  • Reputasi: 241
  • Gender: Female
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #2 on: 12 September 2008, 02:57:08 PM »
Bro Fabian yang baik...

Penjelasan yang sangat bermanfaat...

Anumodana... _/\_

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta....

_/\_ :lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #3 on: 12 September 2008, 03:00:18 PM »
Datang dan Buktikan... (Come 'n See (?))
Sering dianggap sebagai pernyataan bahwa Buddhisme adalah Logika

Saya sering melihat bagaimana begitu banyak Buddhist yang berbesar kepala dengan "Buddhism = Logic"
Bukti... Bukti... tapi akhirnya bingung sendiri ketika disuruh membuktikan keberadaan dewa, reinkarnasi, etc...

Adakah kata/kalimat yang tepat untuk mewakili "Ehipassiko" ?
Sehingga tidak ada lagi yang salah tangkap, salah mengerti, yang berakhir pada kuatnya Ego

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #4 on: 12 September 2008, 03:05:32 PM »
Aneh, saya kok ngerti yah apa yang Fabian katakan :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #5 on: 12 September 2008, 03:14:29 PM »

Logika Aneh Umat Buddha

[...]

Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual” untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.

Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,

[...]


rekan Fabian yg baik,
di sini Anda sudah berat sebelah jg dg menyatakan bhikkhu2 yg menolak sutta2 tertentu itu "salah" ber-Ehipassiko!
apa Anda sudah ber-Ehipassiko benar sehingga tau bahwa menolak sutta tertentu hasil dari Ehipassiko yg salah?

Anda tidak memakai kata "sebagian" atau "beberapa" atau "mungkin" oleh Bhikkhu...
kalimat Anda ini bersifat menvonis langsung lho...

Quote
Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:

[...]
Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,

 “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak.”

Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu

para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.

Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?

sebaiknya rekan Fabian jg memulai dg tidak menerima ataupun menolak (yg fifty-fifty tsb).

Quote
Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinaya
[...]
BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA…!!!

[...]
tampaknya rekan Fabian belum membaca mengenai kejanggalan dalam Mahaparinnibana sutta dalam thread ini:
Membaca Sutta secara Kritis

persis seperti kata rekan Fabian... bahwa Buddha menganjurkan utk membandingkan suatu ajaran apakah sesuai dg sutta & vinaya.
pertanyaan saya adalah: "Bagaimana bisa timbul anjuran yg merujuk ke sutta apabila sutta baru disusun setelah Sang Buddha parinibbana?"

jadi sutta tsb ternyata tidak digunakan oleh kelompok yg menolak sutta tertentu tadi yah ;D
malahan sutta itu ditolak...

Quote
Kesimpulan:

Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka,  tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
jangan pula dianggap benar dulu yah... :)
sebaiknya kita mulai dari netral...
tidak tahu apakah benar atau salah ;D

Quote
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.
[...]
jangan lupa kalimat fifty-fifty tadi yah...

Quote
Semoga kita semua berbahagia
Semoga semua terbebas dari penderitaan
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #6 on: 12 September 2008, 03:39:25 PM »
jangan pula dianggap benar dulu yah... :)
sebaiknya kita mulai dari netral...
tidak tahu apakah benar atau salah ;D

Atau mungkinkah hal ini adalah keragu-raguan? ;D

Saya yakin ada alasan-alasan mengapa Theravada secara tradisi memegang kepercayaan Tipitaka benar kecuali terbukti salah.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #7 on: 12 September 2008, 03:41:07 PM »
Keren fabian tulisannya benar2 realistis. Sederhana dan tidak njelimet _/\_
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #8 on: 12 September 2008, 03:43:03 PM »
...
Kesimpulan:

Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan
sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka,  tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).

Apakah karena sudah "beragama Buddha", jadinya punya semacam kewajiban meyakini kebenaran Tipitaka?
Jadi, kita anggap Tipitaka itu benar dahulu, sampai terbukti salah? Jadi itu yang dimaksudkan fabian c sebagai 'ehipassiko' yang benar yah? Jadi urutannya "Saddha" dulu baru "ehipassiko" yah? Sungguh menarik. Persis di tetangga.


Quote
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.

Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.

...
Jadi isi Kalama Sutta menurut "Bhikkhu yang benar" dan "orang yang (merasa) tidak merasa pintar, cerdas, dan intelektual", adalah "jangan semata2 tidak percaya, kecuali sudah dibuktikan bahwa itu tidak benar". Lagi2, menarik...  :)

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #9 on: 12 September 2008, 03:53:41 PM »
Jadi menurut pandangan yang sebenarnya , fungsi Tripitaka itu apa? buat di pertanyakan yah kebenarannya, buat diragukan kebenarannya?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #10 on: 12 September 2008, 03:59:45 PM »
Bukan buat dianggap sebagai kebenaran 'ilahi', bukan pula sebagai bahan uji coba bagi 'ilmuwan', tapi sebagai "cermin" untuk melihat bathin diri sendiri.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #11 on: 12 September 2008, 04:02:30 PM »
Bukan buat dianggap sebagai kebenaran 'ilahi', bukan pula sebagai bahan uji coba bagi 'ilmuwan', tapi sebagai "cermin" untuk melihat bathin diri sendiri.
Setuju, trus apakah Tripitaka harus di Ehipassiko terus?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #12 on: 12 September 2008, 04:04:08 PM »
jangan pula dianggap benar dulu yah... :)
sebaiknya kita mulai dari netral...
tidak tahu apakah benar atau salah ;D

Atau mungkinkah hal ini adalah keragu-raguan? ;D

Saya yakin ada alasan-alasan mengapa Theravada secara tradisi memegang kepercayaan Tipitaka benar kecuali terbukti salah.

saya pribadi seh menganggap itu usaha positif utk mempertahankan ajaran Buddha yg ada...
tapi tidak bisa men-judge orang lain salah donk :)
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #13 on: 12 September 2008, 04:04:40 PM »
Bukan buat dianggap sebagai kebenaran 'ilahi', bukan pula sebagai bahan uji coba bagi 'ilmuwan', tapi sebagai "cermin" untuk melihat bathin diri sendiri.
Setuju, trus apakah Tripitaka harus di Ehipassiko terus?

Apanya yang di-ehipassiko? Tidak ada yang bisa ehipassiko Tipitaka secara keseluruhan kecuali seorang Samma Sambuddha. Yang disuruh ehipassiko adalah Buddha dhamma, yaitu kenyataan tentang dukkha.

Offline Delusion

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 118
  • Reputasi: 15
  • Gender: Female
Re: Logika aneh umat Buddha
« Reply #14 on: 12 September 2008, 04:25:25 PM »
Menurut saya,
Ajaran Buddha ini melampaui segalanya termasuk logika itu sendiri.


Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Berita Semata
Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Tradisi Semata
Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Kabar Angin Semata
Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Otoritas Teks-Teks Keagamaan Semata

Janganlah Bergantung Pada Logika dan Argumentasi Pribadi Saja
Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Pengaruh Pribadi Seseorang Semata
Janganlah Menerima Apapun Yang Kelihatannya Benar
Janganlah Bergantung Pada Pengalaman Spekulasi Pribadi Seseorang.
Janganlah Dengan Mudah Mengubah Pandangan Kita Karena Kita Terkesan Oleh Kemampuan Mengesankan Seseorang
Janganlah Menerima Apapun Atas Pertimbangan Bahwa “Inilah Guru Kami”

(Kalama Sutta)



Karena logika itu terbatas,
"Logika loe apa logika gw?" <<< Ini pertanyaan yang akan dikembalikan bila kita bicara soal logika.


Mohon maaf bila ada salah penyampaian,
Mohon koreksi bila salah.


Deepest Bow,
Vince
« Last Edit: 12 September 2008, 04:40:47 PM by Delusion »
:)

 

anything