Kritik yang Lebih Tinggi atas Arkeologi
Teks-teks kanon sepenuhnya diam tentang Aśoka, dan tidak mengesahkan campur tangannya dalam Sangha. Ini adalah salah satu alasan utama mengapa generasi-generasi awal dari para sarjana Buddhis menyimpulkan bahwa teks-teks ini secara keseluruhan diselesaikan sebelum Aśoka. Ini kelihatannya telah luput dari beberapa sarjana modern tertentu yang menganggap pernyataan apa pun tentang sumber pra-Aśoka untuk teks-teks kanon adalah khayalan belaka. Ini telah membawa pada suatu kemunduran yang mengkhawatirkan dalam memahami sumber-sumber ini: jika kita menganggap secara serius bahwa kanon Pali tidak dapat dianggap berasal dari masa sebelum abad ke-5, kita menghapuskan perbedaan penting antara teks dan komentar yang telah memungkinkan kita untuk membuat masuk akal kumpulan-kumpulan teks Buddhis yang memusingkan.
Marilah kita mengambil hanya satu contoh, Lars Fogelin, yang telah menerbitkan penjelasan yang terbaru dan mengagumkan dari beberapa situs monastik Buddhis yang berjudul Archaeology of Early Buddhism. Saya harus meminta maaf terlebih dahulu atas kritik yang mengikuti: ini adalah buku yang sangat bagus, dan saya mempelajari banyak hal darinya. Fogelin berusaha keras, dan biasanya berhasil, untuk mengendarai “jalan tengah” antara berbagai pendekatan yang ekstrem, termasuk pemisahan teks/arkeologi. Tetapi perspektifnya tentang studi tekstual sebagian besar berasal dari Gregory Schopen. Saya telah dengan langsung mengkritik karya Schopen di tempat lain, tetapi di sini saya prihatin dengan bagaimana perspektif programatisnya mengubah penulisan hal-hal yang ia pengaruhi.
Fogelin mengatakan: “Menurut Kanon Pali, Ashoka secara aktif menarik masuk Buddhisme, dengan mengirimkan misionaris ke Sri Lanka, membagikan kembali relik-relik Sang Buddha, dan mendukung para bhikkhu Buddhis”. (Fogelin 24) Ini tentu saja tidak masuk akal, dan Fogelin kebingungan atas kanon dan komentar. Masalahnya tidak hanya suatu kesalahan yang terisolasi. Fogelin mengikuti kecenderungan modern dalam sangat bergantung pada para sarjana seperti Schopen, dan telah mewarisi hasil dari usaha programatisnya yang mendalam untuk menggali studi tekstual Buddhis. Dalam kasus ini erosi pengetahuan telah berlanjut begitu jauh sehingga kita kehilangan sentuhan dengan perbedaan yang paling mendasar.
Fogelin mengatakan tentang dua tahap studi Indologis barat: tahap pertama menggambarkan suatu Buddhisme yang jarang dan halus dari spiritualitas yang tidak berhubungan dengan hal duniawi; reaksi yang tidak terhindarkan menekankan hal fisik, bahkan keduniawian kehidupan monastik. Pahlawan pertapa penyendiri yang berjuang menaklukkan nafsu-nafsunya di dalam hutan telah digantikan; dan pada tempatnya adalah Bhikkhu Fagin yang berhidung bongkok, menggenggam pot emasnya dengan satu cengkeraman, sedangkan yang lainnya ia membagikan “relik-relik” kepada kumpulan orang-orang yang dimanfaatkan. Demikianlah filosofis Frankenstein barat dari dualisme pikiran/tubuh berkembang dalam studi-studi Buddhis.
Ini terwujud sebagai suatu pembedaan ras yang epistemologis, di mana hal-hal yang kita pelajari dari bebatuan dan objek dari kehidupan nyata adalah “pasti”, sedangkan hal-hal yang kita pelajari dari teks-teks adalah “asumsi”. Saya ragu-ragu untuk mengajarkan Buddhisme pada orang-orang skeptis yang demikian, tetapi ini agaknya terpikirkan oleh saya bahwa suatu pembacaan dari sutta-sutta epistemologis Buddhis, seperti Cūḷahatthipadopama Sutta atau Caṅkī Sutta, akan menjadi pengingat bahwa semua pengetahuan konseptual didasarkan pada kesimpulan, dan sepanjang ketidaktahuan bertahan dalam pikiran, kita dapat menganggap tidak ada yang pasti.
Fogelin membahas “kritik yang lebih tinggi”:
“Metode ini, pada permukaannya, adalah sederhana dan bersifat memaksa. Unsur-unsur tekstual dan ajaran yang dipakai bersama oleh sumber-sumber tekstual yang tidak terpisahkan kemungkinan besar memiliki nilai kuno yang terbesar.” (Fogelin 38)
Sederhana, ya, tidak untuk mengatakan terlalu sederhana. Saya meragukan bahwa siapa pun yang familiar dengan pembacaan yang teliti, terperinci, dan berlapis-banyak yang dibutuhkan oleh pergulatan dengan literatur Buddhis akan mengenali karya mereka sendiri dalam penggambaran ini.
Fogelin memang mengakui bahwa “Penerapan sesungguhnya dari kritik yang lebih tinggi lebih rumit daripada garis besar sederhana yang disajikan di atas.” Tetapi ini adalah dalam penyajiannya atas kritik modern terhadap kritik yang lebih tinggi, seakan-akan mereka yang ikut serta dalam studi mereka sendiri tidak memiliki pemahaman atas kesulitan dari tugas mereka sendiri.
Fogelin berlanjut mengatakan:
“Walaupun klaim oleh para pendukungnya, sifat-sifat umum dalam teks-teks Mandarin dan Sri Lanka hanya menunjukkan bahwa teks bersama ada pada masa yang tidak dapat ditentukan sebelum keberadaan teks-teks dalam abad kelima M. Tidak ada alasan untuk meyakini bahwa Buddhisme yang direkonstruksi ini menyerupai sesuatu yang dinyatakan oleh Sang Buddha.”
Klaim-klaim demikian salah menafsirkan metode-metode dari kritik yang lebih tinggi. Hipotesis dasar – yang selalu tunduk pada pengujian dan perubahan dalam keadaan tertentu – adalah bahwa teks nenek moyang yang didalilkan mendahului pemisahan tradisi-tradisi tekstual yang ada. Dalam konteks Buddhis, kitab-kitab suci selalu ditemukan berhubungan dengan suatu aliran tertentu, yang mempertahankannya dalam penyuntingan tekstualnya sendiri. Demikianlah nenek moyang bersama dihipotesiskan termasuk dalam suatu periode sebelum pemisahan aliran-aliran.
Lagi, sementara ini jauh dari mutlak, ini tetaplah generalisasi yang sah, yang ditegaskan oleh karya Solomon yang terbaru, sebagai contoh, yang menunjukkan bahwa versi Dharmaguptaka Gandhārī dari Saṅgīti Sutta sangat dekat dengan versi Dharmaguptaka Dīrgha Āgama dari sutta yang sama dalam bahasa Mandarin, dan kurang dekat dengan versi Pali dan Mandarin lainnya. Pandangan yang berlaku saat ini adalah bahwa periode perpecahan dimulai sekitar masa Aśoka. Demikianlah teks-teks bersama, pada landasan permulaan, dihubungkan pada periode itu. Dalam karya ini saya telah mempertanyakan penanggalan pemisahan pada [masa] Aśoka atau pra-Aśoka, dan telah berargumentasi tentang suatu periode pemisahan pada abad-abad setelah Aśoka. Namun, ini tidak mengubah landasan di mana teks-teks terpisah. Teks-teks tidak terpisah ke dalam kumpulan dogmatis atau sektarian yang berbeda sampai beberapa masa setelah Aśoka, mungkin bahwa lebih awal dalam beberapa kasus.
Fogelin mengakui bahwa kritik yang lebih tinggi menjadi semakin kuat seraya aliran-aliran menjadi tersebar lebih jauh, tetapi menyatakan bahwa aliran-aliran hidup berdekatan satu sama lain pada periode yang lebih awal. Tetapi, sebagai kemungkinan sejarah akan menyatakannya, kebanyakan dari teks-teks awal kita berasal dari aliran-aliran yang berlokasi di dua tempat: Kaśmīr/Gandhāra dan Sri Lanka. Ini dikembangkan sebagai bagian dari misi sekitar periode Aśoka, dan berada di perbatasan luar India yang sangat berlawanan, 3000 km jauhnya. Adalah kegilaan metodologis untuk menganggap bahwa aliran-aliran pada akhir kutub India terutama menurunkan teks-teks kanon bersama dari peminjaman yang belakangan.
Sepanjang teks-teks secara relatif (bukan secara keseluruhan!) terisolasi, kita dapat menganggap sejarah mereka terutama (tidak sepenuhnya!) terpisah. Keberadaan peminjaman adalah suatu perubahan rincian-rincian, tetapi tidak mengubah keseluruhan gambarnya, jika ini tidak dapat ditunjukkan bahwa peminjaman telah terjadi pada skala yang sangat besar. Benda-benda jatuh ke bawah berdasarkan hukum gravitasi: saya dapat melemparkan sebuah bolah ke udara, tetapi saya tidak menuliskan suatu tesis yang menyatakan telah tidak menyetujui Newton.
Sementara prinsip ini tidak diragukan penting, untuk menyatakan ini adalah metode satu-satunya atau utama dari kritik tekstual adalah sangat menyesatkan. Kenyataannya, keseluruhan usaha studi modern Buddhis, termasuk stratifikasi umum dari teks-teks yang masih digunakan saat ini, dikembangkan pada abad ke-19 oleh para Indologis Eropa. Dan pada masa itu, tidak ada studi perbandingan yang tersedia. Terdapat beberapa sedikit pernyataan dan terjemahan kadangkala, tetapi tidak ada karya sistematik dalam membandingkan kitab Mandarin atau Tibet dengan kitab Pali yang dilakukan sampai Anesaki dan Akanuma pada abad ke-20. Tidak hanya metode perbandingan bukanlah satu-satunya metode, ini tidak digunakan sama sekali! Apakah yang mereka lakukan saat itu? Di sini beberapa pernyataan oleh T.W. Rhys Davids, dari bukunya Buddhist India, yang diterbitkan pada tahun 1902:
Sedangkan untuk usia buku-buku kanon Buddhis, bukti yang terbaik adalah isi dari buku-buku itu sendiri – jenis huruf yang mereka gunakan, gaya di mana mereka disusun, dan gagasan-gagasan yang mereka ungkapkan. Dan keberatan adalah valid jika ini didesak, tidak melawan prinsip umum dari penggunaan bukti internal yang demikian, tetapi melawan penggunaan salah darinya. Kita menemukan, sebagai contoh, bahwa pemujaan lingga [alat kelamin pria] sering disebutkan seperti masalah biasanya, dalam Mahābhārata, seakan-akan ini selalu menjadi umum di mana pun di seluruh India Utara. Dalam Nikāya- Nikāya, walaupun mereka menyebutkan semua jenis dari apa yang dianggap umat Buddha sebagai bentuk pemujaan yang bodoh atau tahayul, jenis tertentu ini, pemujaan Siva di bawah bentuk Linga, tidak pernah bahkan sekali pun disebutkan. Mahābhārata menyebutkan Atharva Veda, dan menganggapnya sebagai masalah biasanya, bahwa ini adalah sebuah Veda, Veda keempat. Nikāya- Nikāya secara terus-menerus menyebutkan tiga yang lainnya, tetapi tidak pernah Atharva. Kedua kasus ini menarik. Tetapi sebelum menarik kesimpulan bahwa, oleh sebab itu, Nikāya- Nikāya, seperti yang kita miliki, lebih tua daripada teks Mahābhārata yang ada, kita seharusnya menginginkan jumlah yang sangat banyak dari kasus-kasus demikian, yang semuanya cenderung pada cara yang sama, dan juga kepastian bahwa tidak ada kasus suatu kecenderungan berlawanan yang tidak dapat dijelaskan jika tidak.
Pada sisi lain, anggaplah sebuah naskah ditemukan mengandung, dalam tulisan tangan yang sama, salinan dari Essays oleh Bacon dan Essay oleh Hume, dengan tidak ada yang ditunjukkan kapan, atau oleh siapa, keduanya ditulis; dan bahwa kita sebaliknya tidak mengetahui apa pun tentang masalah ini. Kita masih mengetahui, dengan kepastian yang mutlak, maa yang relatif lebih tua dari keduanya; dan dapat menentukan, dalam periode yang sangat pendek, tanggal sebenarnya dari masing-masing dua karya itu. Bukti tidak dapat dibalikkan karena ini mengandung sejumlah besar poin kecil dari bahasa, gaya [bahasa], dan di atas semuanya, gagasan-gagasan yang diungkapkan, semuanya cenderung dalam arah yang sama.
Pada sisi lain, anggaplah sebuah naskah ditemukan mengandung, dalam tulisan tangan yang sama, salinan dari Essays oleh Bacon dan Essay oleh Hume, dengan tidak ada yang ditunjukkan kapan, atau oleh siapa, keduanya ditulis; dan bahwa kita sebaliknya tidak mengetahui apa pun tentang masalah ini. Kita masih mengetahui, dengan kepastian yang mutlak, mana yang relatif lebih tua dari keduanya; dan dapat menentukan, dalam periode yang sangat pendek, tanggal sebenarnya dari masing-masing dua karya itu. Bukti tidak dapat dibalikkan karena ini mengandung sejumlah besar poin kecil dari bahasa, gaya [bahasa], dan di atas semuanya, gagasan-gagasan yang diungkapkan, semuanya cenderung dalam arah yang sama.
Ini adalah jenis bukti internal yang kita miliki di hadapan kita dalam kitab-kitab Pali. Semua orang yang terbiasa membaca bahasa Pali akan mengetahui seketika bahwa Nikāya- Nikāya lebih tua daripada Dhamma Sangani; keduanya lebih tua daripada Kathā Vatthu; bahwa semua ketiganya lebih tua daripada Milinda. Dan para sarjana Pali, yang paling kompeten untuk menilai, sangat sepakat pada poin itu, dan pada kedudukan umum literatur Pali dalam sejarah literatur di India.
Tetapi jenis bukti ini dapat menarik, tentu saja, hanya bagi mereka yang familiar dengan bahasa dan dengan gagasan-gagasan...
Jadi penelitian Buddhis dikembangkan terutama berlandaskan pada bukti internal dari teks itu sendiri. Bagian berikutnya dari karya Rhys-Davids membahas bukti prasasti, yang ia tafsirkan, sangat masuk akal, sebagai yang menunjukkan hubungan yang luas dengan teks-teks yang ada. Sementara penemuan prasasti tidak dengan sendirinya membuktikan bukti keberadaan “kanon” tertutup pada masa Aśoka, mereka pastinya membuktikan bahwa teks-teks yang sama ada. Susunan kata-kata Aśoka dengan jelas menunjukkan ia menyajikan suatu kumpulan yang diambil dari Buddhavacana, dan hubungan yang ditunjukkan antara Buddhavacana dan Aśokavacana menyediakan bukti yang lebih jauh bahwa teks-teks kanon lainnya ada dan mempengaruhi praktek Buddhis. Aśoka jelas tidak berusaha menggambarkan kanon Buddhis, tetapi memilih sedikit teks yang direkomendasikan secara khusus. Sementara para skeptik akan berusaha melompat pada ketiadaan suatu referensi pada keseluruhan kategori dari “Tipitaka”, dst., sebagai bukti bahwa hal-hal demikian tidak ada, maklumat-maklumat kenyataannya menyatakan bahwa teks-teks yang sekarang kita anggap sebagai kanon memang ada, sedangkan teks-teks yang sekarang kita anggap sebagai pasca-kanonik tidak ada. Demikianlah, jauh dari merusak keseluruhan gambar perkembangan literatur Buddhis, prasasti-prasasti Aśoka sangat sesuai dengan penemuan-penemuan dari kritik yang lebih tinggi.
Jadi bukti internal dari teks-teks, dan perbandingan dengan literatur Brahmanis dan Jaina, dilunakkan dengan arkeologi, tetapi metode perbandingan langsung tidak digunakan.
Secara praktis, situasi ini tidak banyak berubah. Sementara terdapat lingkaran para sarjana yang sedikit namun bersemangat mengejar studi-studi perbandingan, dan sekelompok kecil para orang besar yang telah menguasai berbagai teks dalam bahasa-bahasa Buddhis, kenyataannya bahwa kebanyakan studi, bahkan saat ini, didasarkan pada teks-teks dari hanya satu aliran atau tradisi, dengan kadangkala referensi pada tradisi lain, yang biasanya didasarkan pada sumber-sumber kedua. Studi perbandingan bukanlah sebuah kekolotan monolitik yang dibutuhkan untuk menghancurkan sehingga studi-studi Buddhis dapat menjadi modern, ini adalah penyelidikan yang masih muda dan kurang gizi yang membutuhkan tahun-tahun yang panjang sebelum kita dapat benar-benar menilai kelayakannya.
Tetapi, dan lagi-lagi ini tampaknya telah lolos dari kritik modern, perbandingan langsung dari teks-teks yang berhubungan hanyalah suatu poin awal. Setelah mengembangkan suatu hipotesis bahwa teks-teks mungkin pra-Aśoka, kita kemudian menguji hal ini. Apakah teks-teks ini benar-benar menunjuk pada Aśoka? Berlawanan dengan Fogelin, teks-teks kanon Pali, walaupun pasti menjadi suatu godaan besar, tidak demikian. Ini menyatakan bahwa teks-teks ini adalah pra-Aśoka; lebih lanjut, ini menyatakan bahwa pada masa Aśoka teks-teks ini telah dianggap dalam beberapa pengertian sebagai tetap atau kanonik, sehingga hal-hal yang setidaknya terang-terangan belakangan tidak ditambahkan, tetapi dicadangkan untuk literatur komentar atau pasca-kanonik lainnya. Hal yang sama, walaupun kita berpikir teks-teks diteruskan ke Sri Lanka kira-kira pada masa ini, tidak ada penyebutan Sri Lanka dalam isi literatur kanonik.
Berikutnya kita mungkin melihat pada keadaan perkembangan ajaran yang ditunjukkan dalam teks-teks. Seperti yang telah diketahui oleh para sarjana tekstual, sutta-sutta kanonik pasti, dalam penyelidikan yang bermakna ke dalam ajaran-ajaran Buddhis, dianggap fundamental. Perbedaan ajaran dalam tingkatan awal ada, tetapi dengan mengejutkan kecil. Perkembangan yang signifikan muncul dalam kelompok literatur yang dikenal sebagai Abhidhamma, yang pasti bertanggal setelah literatur sutta. Tetapi ini tidak sampai tingkatan yang terbaru dari literatur Abhidhamma (seperti yang ditunjukkan oleh ajaran-ajaran dan pernyataan aliran-aliran) bahwa kita mulai melihat ajaran-ajaran sektarian yang disuarakan sepenuhnya. Lagi-lagi, kebanyakan isi filosofis dari sutta-sutta Mahāyāna hanya masuk akal sebagai reaksi pada ajaran-ajaran Abhidhamma yang belakangan dan pasca-kanonik seperti svabhāva. Tetapi Mahāyāna mulai sekitar awal Masehi. Dengan demikian kita harus melihat keseluruhan arah perkembangan ajaran sebelum masa ini. Perkembangan ajaran adalah lambat dan secara inheren konservatif, dan untuk memungkinkan waktu yang cukup untuk proses evolusioner kompleks ini kita menemukan diri kita sekali lagi kembali ke masa Aśoka atau lebih awal.
Saya belum melihat upaya apa pun oleh para radikalis arkeologi untuk menjelaskan berapa banyak suatu situasi dapat ada jika kita meninggalkan perspektif evolusioner yang dikembangkan oleh kritik yang lebih tinggi. Mungkin Buddhaghosa menulis komentar-komentarnya pada abad ke-5 dan dengan sengaja memalsukan seluruh isi literatur kanonik untuk mengesahkan ajarannya sendiri. Saya teringat pada argumentasi kr****n fundamentalis bahwa Tuhan menempatkan tulang-tulang dinosaurus di dalam tanah untuk menguji iman kita terhadap penciptaan; hal yang sama, tampaknya bahwa para bhikkhu yang bersekongkol, dengan suatu tingkat kemuktahiran tekstual yang tidak diketahui umat manusia sampai sekarang, dengan sengaja menciptakan suatu literatur yang berstratifikasi tinggi untuk memisahkan kambing-kambing dari kritik yang lebih tinggi dari domba dari ketaatan arkeologi. Adalah tidak sopan untuk menunjukkan bahwa, sama seperti para sarjana tekstual diharapkan bergantung pada persamaan “umum = lebih tua”, para ahli arkeologi diharapkan bergantung pada persamaan bahwa “lebih rendah = lebih tua”. Terisolir dari kerumitan penggalian yang sebenarnya, ini sama lucunya dengan karikatur kritik tekstual yang kita temukan dalam para radikalis arkeologi. Sesungguhnya, Fogelin mencatat bahwa penanggalan-penanggalan yang diterima untuk kronologi Asia Selatan telah baru-baru ini diperbaiki. Kembali pada papan gambar.
Lagi, kita mungkin bertanya apakah bahasa-bahasa dari teks? Pali tidaklah sama dengan lidah orang Sinhala. Tidak terbayangkan bahwa orang-orang Sinhala telah dengan sengaja menyusun suatu kanon dalam bahasa asing, sehingga mereka pasti telah membawa kitab mereka dari daratan utama, di mana mereka telah relatif tetap dalam suatu bahasa kanonik.[1] Bertahannya kitab-kitab dalam lidah bukan pribumi adalah bukti lebih jauh atas penanggalan awal dari kanon Pali.
Saya dapat melanjutkan agak panjang, tetapi mungkin poinnya telah dibuat, walau tidak diragukan ini harus dibuat lagi. Kesimpulan dari studi-studi tekstual Buddhis tidak dibuat berdasarkan anggapan kekanak-kanakan yang digambarkan oleh Fogelin dan para penasehatnya. Ini adalah hasil dari penyelidikan yang panjang, sabar, dan terperinci dari sekumpulan besar teks, yang diteliti dari setiap sudut yang mungkin. Tentu saja proses ini tidaklah sempurna, tentu saja penemuan-penemuan tidak selalu sepaham, tentu saja kita dapat menggali lubang pada suatu pendekatan atau yang lain. Tetapi kestabilan dari penemuan-penemuan ini – dan dalam ringkasan yang luas, terdapat suatu tingkatan kestabilan yang luar biasa – menunjukkan landasannya yang penting dan bervariasi. Penemuan-penemuan dari para revisionis arkeologi tidak bertahan dalam suatu uji waktu yang demikian.