7. ENAM PERENUNGANPada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kapilavatthu di Vihara pohon Banyan. Kemudian Mahānāma orang Sakya menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: [22]
“Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang siswa mulia sering berdiam ketika ia telah sampai pada buah dan memahami ajaran?” [23]
“Ketika, Mahānāma, seorang siswa mulia telah sampai pada buah dan memahami ajaran, ia sering berdiam dengan cara sebagai berikut. Di sini, seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, Tercerahkan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, suci, pengenal segenap alam, pemimpin yang tiada taranya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Terberkahi.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan Sang Tathāgata sebagai objeknya. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi pada makna, inspirasi pada Dhamma, memperoleh sukacita sehubungan dengan Dhamma. Ketika ia bersukacita, kegembiraan muncul; pada seseorang yang terangkat oleh kegembiraan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada Sang Buddha.
“Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, layak diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Dhamma demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan Dhamma sebagai objeknya ... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada Dhamma.
“Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang seharusnya; yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan Saṅgha sebagai objeknya ... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada Saṅgha.
“Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan disiplin moralnya sendiri sebagai berikut: ‘Aku memiliki moralitas yang disenangi para mulia, tidak rusak, tidak koyak, tanpa noda, tidak tercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, menuntun pada konsentrasi.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan disiplin moralnya demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan moralitas sebagai objeknya ... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada disiplin moral.
“Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Adalah keuntungan bagiku, adalah keuntungan besar bagiku, bahwa dalam suatu populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran ini, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, bermurah hati, bertangan terbuka, gembira dalam pelepasan, seorang yang mengabdi pada kedermawanan, gembira dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan kedermawanannya demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan kedermawanan sebagai objeknya ... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada kedermawanan.
“Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia mengembangkan perenungan pada para deva sebagai berikut: ‘Ada para deva dalam berbagai alam surga. [24] Terdapat dalam diriku keyakinan, disiplin moral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para deva itu yang dengannya, ketika mereka meninggal dunia dari dunia ini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan keyakinan, disiplin moral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para deva itu, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan para deva sebagai objeknya ... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada para deva.
“Seorang siswa mulia, Mahānāma, yang telah sampai pada buah dan memahami ajaran sering kali berdiam dalam cara ini.”
(AN 6:10; III 284-88)
8. EMPAT PENEGAKAN PERHATIAN1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Kuru di sebuah kota Kuru bernama Kammāsadhamma. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
2. “Para bhikkhu, ini adalah jalan satu-arah [25] untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, untuk lenyapnya kesakitan dan kesedihan, untuk pencapaian jalan sejati, untuk penembusan Nibbāna – yaitu, empat penegakan perhatian.
3. “Apakah empat ini? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, tekun, dengan pemahaman jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. [26]Ia berdiam dengan merenungkan perasaan di dalam perasaan, tekun, dengan pemahaman jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan-kesedihan sehubungan dengan dunia-dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran di dalam pikiran, tekun, dengan pemahaman jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan-kesedihan sehubungan dengan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena, tekun, dengan pemahaman jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan-kesedihan sehubungan dengan dunia. [27]
[PERENUNGAN JASMANI]
(1. Perhatian pada Pernafasan)4. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani? Di sini, seorang bhikkhu, pergi ke hutan, atau ke bawah pohon, atau ke sebuah gubuk kosong, duduk; setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek.’ [28]Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh.’ [29] Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’; Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’ [30] Bagaikan seorang pekerja bubut yang terampil atau muridnya, ketika melakukan putaran panjang, memahami: ‘Aku melakukan putaran panjang’; atau ketika melakukan putaran pendek, memahami: ‘Aku melakukan putaran pendek’; demikian pula, menarik nafas panjang, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’ … ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’
5. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. [31] Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam jasmani. [32] Atau penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian berulang-ulang. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.
(2. Empat Postur)6. “Kemudian, para bhikkhu, ketika berjalan, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku sedang berjalan’; ketika berdiri, ia memahami: ‘Aku sedang berdiri’; ketika duduk, ia memahami: ‘Aku duduk’; ketika berbaring, ia memahami: ‘Aku sedang berbaring’; atau ia memahami sebagaimana adanya bagaimanapun tubuhnya berposisi. [33]
7. “Dengan cara ini ia berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, eksternal, dan secara internal dan eksternal … dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.
(3. Pemahaman Jernih)8. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika berjalan maju atau mundur; [34] yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika melihat ke depan atau ke belakang; yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika menunduk atau menegakkan badannya; yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika buang air besar dan buang air kecil; yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika berjalan, berdiri, duduk, tidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.
9. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.
(4. Kejijikan – Bagian-bagian Tubuh)10. “Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, terbungkus oleh kulit, sebagai dipenuhi kotoran: ‘Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, selaput usus tengah, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, dan air kencing.’ [35] Bagaikan ada sebuah karung, yang terbuka di kedua ujungnya, penuh dengan berbagai jenis biji-bijian seperti beras-gunung, beras merah, kacang, kacang polong, padi-padian, dan beras putih, dan seorang yang berpenglihatan baik membuka karung itu dan memeriksanya: ‘Ini adalah beras-gunung, Ini adalah beras-merah, Ini adalah kacang, Ini adalah kacang polong, Ini adalah padi-padian, ini adalah beras putih’; demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini ... sebagai dipenuhi kotoran: ‘Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala … dan air kencing.’
11. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.
(5. Unsur-unsur)12. “Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini, bagaimanapun ia berada, bagaimanapun posisinya, sebagai terdiri dari unsur-unsur: ‘Dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-udara.’ [36] Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya, setelah menyembelih seekor sapi, duduk di persimpangan jalan dengan daging yang telah dipotong dalam beberapa bagian; demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini … sebagai terdiri dari unsur-unsur: ‘Dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-udara.’
13. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.
(6-14. Sembilan Perenungan Tanah Pekuburan)14. “Kemudian, para bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, satu, dua, atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, memucat, dengan cairan menetes, seorang bhikkhu membandingkan jasmani yang sama ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ [37]
15. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.
16. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, dimakan oleh burung gagak, elang, nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis ulat, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’
17. “… Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.
18-24. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, kerangka tulang dengan daging dan darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging yang berlumuran darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging dan darah, yang terangkai oleh urat … tulang belulang yang tercerai berai berserakan ke segala arah – di sini tulang lengan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tengkorak - seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ [38]
25. “… Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.
26-30. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulangnya memutih, berwarna seperti kulit-kerang … tulang-belulangnya menumpuk … tulang-belulang yang lebih dari setahun, lapuk dan hancur menjadi debu, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’
31. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam jasmani. Atau penuh perhatian bahwa ‘ada jasmani’ muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian berulang-ulang. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.