//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - savana_zhang

Pages: [1]
1
          hai saudara2 se-dhamma.
belakangan diforum kita ini sering diperdebatkan mengenai penafsiran ketuhanan dan arti dari ayat tripitaka Udanna 8.3
berikut saya menyajikan keterangan yg saya peroleh disitus sammagi phalla oleh bhante Uttamo di website http://www.samaggi-phala.or.id/naskahdamma_dtl.php?id=1003&multi=T&hal=0
semoga bermanfaat untuk semua

KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA


Umat Buddha kadang dianggap masyarakat luas sebagai orang yang tidak bertuhan. Agama Buddha sering pula dikatakan sebagai agama yang tidak bertuhan. Bahkan, pada suatu pertemuan dengan para pemuka agama, saya pernah menerima pernyataan dari pemuka agama lain bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Menanggapi pernyataan yang bersifat tuduhan ini, saya jawab dengan pertanyaan lain: ”Manakah agama di Indonesia yang bertuhan?” Tentu saja para pemuka agama itu langsung tersentak kaget dan merah padam mukanya. Mereka seolah tidak percaya dengan pertanyaan saya tersebut. Namun, saya segera melanjutkan dengan keterangan bahwa istilah ‘tuhan' sesungguhnya berasal dari Bahasa Kawi. Oleh karena itu, pengertian kata ‘tuhan' terdapat dalam kamus Bahasa Kawi. Disebutkan dalam kamus tersebut bahwa ‘tuhan' berarti penguasa atau tuan. Dan, karena di Indonesia tidak ada agama yang mempergunakan Bahasa Kawi sebagai bahasa kitab sucinya, lalu agama manakah di Indonesia yang bertuhan dan mencantumkan istilah ‘tuhan' dalam kitab suci aslinya? Menyadari kebenaran tentang bahasa asal kitab suci masing-masing, barulah mereka menerima bahwa memang tidak ada istilah ‘tuhan' dalam kitab suci mereka. Jika demikian dalam Tipitaka, kitab suci Agama Buddha, tentu juga tidak akan pernah ditemukan istilah ‘tuhan' karena Tipitaka menggunakan Bahasa Pali yaitu bahasa yang dipergunakan di India pada jaman dahulu. Namun, tidak adanya istilah ‘tuhan' dalam kitab suci Tipitaka tentunya tidak boleh dengan mudah dan sembarangan kemudian orang menyebutkan bahwa ‘Agama Buddha tidak bertuhan'. Salah pengertian dan penafsiran sedemikian sembrono tentunya berpotensi menjadi pemicu pertentangan antar umat beragama di Indonesia bahkan di berbagai belahan dunia.

Sebagai contoh sederhana tentang hal ini adalah penggunaan istilah ‘telunjuk' untuk salah satu jari tangan manusia. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata ‘telunjuk' pasti dengan mudah dapat diketemukan karena memang kata tersebut berasal dari Bahasa Indonesia. Namun, dalam kamus
Bahasa Inggris, tidak mungkin dapat dijumpai istilah ‘telunjuk'. Kenyataan yang bertolak belakang ini tentu saja tidak mengkondisikan orang secara sembarangan menyimpulkan bahwa semua orang yang berbahasa Inggris tidak mempunyai telunjuk. Sebuah kesimpulan yang aneh dan tidak masuk akal. Kesimpulan sembarangan semacam ini pasti akan menjadi bahan tertawaan orang banyak.

Sayangnya, pemahaman seperti ini tidak berlaku untuk konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Ketika Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah ‘tuhan' dalam berbagai upacara ritual, maka secara sembarangan, masyarakat telah ‘menuduh' bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Padahal, dalam Agama Buddha yang menggunakan kitab suci berbahasa Pali, konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana atau lebih dikenal secara luas sebagai Nirvana (Bahasa Sanskerta). Jadi, seseorang tidak akan pernah menemukan istilah ‘tuhan' dalam Tipitaka, melainkan istilah ‘nibbana'. Nibbana inilah yang sering dibabarkan oleh Sang Buddha di berbagai kesempatan kepada bermacam-macam lapisan masyarakat. Nibbana ini pula yang menjadi tujuan akhir seorang umat Buddha, sama dengan berbagai konsep ketuhanan dalam agama lain yang juga menjadi tujuan akhir mereka masing-masing. Seperti telah diketahui bersama bahwa Ajaran Sang Buddha mengenal adanya tiga tujuan hidup umat Buddha yaitu pertama, mendapatkan kebahagiaan di dunia. Kedua, kebahagiaan karena terlahir di alam surga atau alam bahagia setelah meninggal dunia. Ketiga, kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana atau Nirvana yang dapat dicapai ketika seseorang masih hidup di dunia ataupun setelah ia meninggal nanti.

Kebahagiaan yang pertama adalah kebahagiaan duniawi yang dapat diwujudkan di dunia ini setelah seseorang mengenal dan melaksanakan Buddha Dhamma. Apabila setelah mengenal Dhamma, seseorang semakin susah hidupnya, maka berarti Dhamma yang lebih dikenal sebagai Agama Buddha itu belum memberikan manfaat baginya. Kebahagiaan tahap pertama ini diukur dengan adanya rasa cukup, paling tidak, untuk empat kebutuhan pokok paling mendasar yaitu pakaian, makanan, tempat tinggal serta sarana kesehatan. Pengertian ‘cukup' yang dimaksudkan di sini tentu saja sangat relatif sifatnya. Cukup bagi seseorang mungkin saja kekurangan bagi orang lain. Oleh karena itu, dalam Dhamma, istilah ‘cukup' ini diukur paling bawah atau secara minimal dari rasa cukup yang dimiliki oleh para bhikkhu. Dengan demikian, seorang umat yang mempunyai lebih daripada yang dimiliki bhikkhu, maka sesungguhnya ia sudah dapat disebut sebagai cukup. Kalaupun umat tersebut masih merasa tidak cukup, mungkin saja hal ini berhubungan dengan kebutuhan yang berbeda atau bahkan ketamakan yang dimiliki.

Para bhikkhu dalam menjalani hidup sebagai pertapa masih membutuhkan empat kebutuhan pokok yaitu jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Keperluan jubah seorang bhikkhu hanya satu set saja. Dengan demikian, jika seorang bhikkhu mampu hidup menggunakan satu set jubah selama bertahun-tahun, maka seorang umat yang memiliki lebih dari satu set pakaian, misalnya tujuh set untuk tujuh hari dalam seminggu, maka ia bisa dianggap telah cukup. Namun, apabila ia telah memiliki banyak sekali pakaian dan masih juga merasa belum cukup, maka hal ini lebih disebabkan oleh ketamakan yang dimilikinya.

Demikian pula dengan kebutuhan makanan. Kehidupan seorang bhikkhu ditopang dengan makanan yang diperoleh dari persembahan umat. Pada umumnya, seorang bhikkhu hanya makan sekali atau dua kali sebelum tengah hari. Oleh karena itu, jika seorang umat sudah mampu menyediakan diri dan keluarganya makanan lebih dari dua kali sehari, sesungguhnya ia sudah dapat dikatakan cukup. Namun, apabila ia masih merasa belum cukup ketika makanan yang ia miliki telah berlebihan, maka perasaan ini timbul sebagai akibat dari ketamakan yang ia miliki selama ini.

Kebutuhan tempat tinggal seorang bhikkhu dapat tercukupi dengan tinggal di dalam goa ataupun gubuk sederhana. Oleh karena itu, apabila seorang umat telah mampu memiliki satu unit rumah walaupun sederhana, sebenarnya ia telah dapat disebut cukup. Berlebihan dalam penyediaan rumah bisa dikatakan sebagai tanda ketamakan.

Akhirnya, kecukupan sarana kesehatan menjadi sumber kebahagiaan duniawi yang keempat setelah pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Untuk menjaga kesehatan maupun mengobati penyakit, seorang bhikkhu sesuai dengan peraturan kebhikkhuan diperkenankan mempergunakan urine sendiri. Tradisi ini sebenarnya dimasa sekarang lebih dikenal dengan istilah ‘terapi urine'. Jadi, apabila seorang umat telah mampu membeli obat, walaupun generik, ia sesungguhnya sudah dapat disebut cukup. Namun, apabila ia berlebihan dalam pengadaan sarana kesehatan sehingga cenderung boros, maka ia termasuk telah dipengaruhi oleh nafsu ketamakan.

Terkait dengan tujuan hidup umat Buddha yang pertama yaitu hidup bahagia di dunia dengan kecukupan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana kesehatan, maka banyak sekali catatan uraian Dhamma Sang Buddha tentang mencari nafkah, mempertahankan dan meningkatkan kekayaan maupun upaya membina hidup rumah tangga bahagia dan harmonis. Dengan melaksanakan uraian Dhamma yang telah disampaikan oleh Sang Buddha dan dicatat dalam Kitab Suci Tipitaka, maka para umat Buddha diharapkan mempunyai pedoman hidup yang jelas serta pasti untuk bekerja dan berumah tangga. Dengan demikian, ia akan mendapatkan kecukupan materi, bahkan berlimpah dengan materi namun rumah tangga serta kondisi batin tetap bahagia.

Selanjutnya, tujuan hidup umat Buddha yang kedua setelah merasa cukup bahagia hidup di dunia adalah mengarahkan kehidupannya agar setelah meninggal dunia ia terlahir di alam surga. Tujuan terlahir di alam surga ini menjadi tujuan kedua agar memberikan kesempatan para umat Buddha membuktikan terlebih dahulu manfaat Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan ini. Apabila memang benar ia telah memetik manfaat Buddha Dhamma dengan mendapatkan kebahagiaan duniawi, tentu akan tumbuh keyakinan yang kuat dalam dirinya kepada Ajaran Sang Buddha. Ia akan lebih bersemangat melaksanakan Dhamma agar ia terlahir di alam bahagia sebagai tujuan hidup yang berikutnya. Pembuktian mencapai kebahagiaan di dunia ini menjadi sangat penting karena pembuktian kelahiran di surga jauh lebih sulit dilakukan semasa seseorang masih hidup di dunia. Kelahiran di alam surga sering menjadi pengetahuan umum maupun kepercayaan membuta yang diperoleh dari berbagai kitab suci yang ada dalam masyarakat. Disini Buddha Dhamma berusaha memberikan bukti, bukan hanya sekedar janji.

Tidak adanya manfaat memiliki kepercayaan membuta tanpa bukti atas kelahiran di surga ini dapat diperjelas dengan perumpamaan cinta seorang pria terhadap gadis pujaannya. Tersebutlah sebuah kisah tentang seorang gadis yang cantik jelita. Kecantikannya telah terkenal di mana-mana. Setiap hari, banyak pemuda datang mengharapkannya sebagai istri. Mereka datang dengan membawa berbagai buah tangan sebagai penarik hati si gadis itu. Akhirnya, dari sekian banyak pria yang melamar, gadis tersebut memilih salah satu diantaranya. Ketika si pria yang diterima lamarannya ini bertanya, kapan mereka akan menikah. Si gadis menjawab, “Nanti setelah kita mati”. Sebuah jawaban yang aneh dan tidak ada gunanya. Ketika mereka mati, kapan mereka memiliki kesempatan untuk hidup dan berbahagia bersama? Tidak masuk akal memang. Sayangnya, jawaban semacam ini dianggap tidak aneh dan tetap layak dipercaya ketika seseorang mendapatkan janji tanpa bukti bahwa seseorang akan terlahir di surga setelah ia meninggal dunia. Justru karena untuk membuktikan terlebih dahulu, Buddha Dhamma memberikan kesempatan kepada mereka yang mau mempelajari dan melaksanakan Dhamma mendapatkan kebahagiaan duniawi sebelum mereka membicarakan kebahagiaan surgawi.

Adapun kebahagiaan surgawi yang dicapai setelah mendapatkan kebahagiaan duniawi dapat diperoleh para umat Buddha dengan mengkondisikan timbulnya kebahagiaan duniawi kepada mereka yang membutuhkan. Umat Buddha hendaknya sering melakukan kebajikan dengan membagikan kelebihan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana kesehatan yang telah ia miliki dan ia telah merasa cukup dengan hal itu. Disinilah peran rasa cukup yang mampu mengatasi ketamakan menjadi sangat penting. Dari tindakan ini pula dapat dibedakan pengaruh cukup atau tamak terhadap diri seseorang. Mereka yang dipengaruhi oleh ketamakan tidak akan pernah merasa cukup dan tidak ingin berbagi kepada mereka yang membutuhkannya. Sedangkan mereka yang merasa cukup tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk berbagi dan terus berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Dengan sering berbagi, maka umat pun terlatih untuk memperbanyak kebajikan melalui badan, ucapan serta pikiran. Banyaknya kebajikan yang telah dilakukan inilah yang akan menjadi jalan lebar serta lurus untuk seseorang terlahir di alam surga setelah kematiannya.

Akhirnya, karena seseorang telah mampu membuktikan pencapaian kebahagiaan duniawi dengan melaksanakan Dhamma, ia pun telah merasakan kebahagiaan karena mampu berbagi, maka tahap ketiga sebagai tujuan hidupnya adalah berusaha mencapai Nibbana atau Nirvana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam kehidupan ini juga maupun kehidupan yang selanjutnya.

Untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, Tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah “Tuhan melihat umatNya”, atau “Tuhan mendengar doa umatNya” serta masih banyak lainnya. Pendekatan kedua, Tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, “Tuhan marah”, “Tuhan cemburu”, “Tuhan mengasihi”, “Tuhan adil”, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, Ketuhanan dalam Agama Buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama Buddha menggunakan aspek ‘nafi' atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha adalah “Yang tidak terlahirkan”, “Yang tidak menjelma”, “Yang tidak bersyarat”, “Yang tidak kondisi”. “Yang tidak terpikirkan”, serta masih banyak kata ‘tidak' lainnya. Secara singkat, Tuhan atau Nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.

Demikian pula dengan konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Apabila rasa, bentuk maupun warna durian yang mudah dijumpai saja tidak mampu diceritakan, maka tentunya kini sudah dapat dimengerti penyebab Dhamma mempergunakan istilah ‘tidak terpikirkan' untuk menceritakan Nibbana. Hanya saja, menyebutkan ‘tidak terpikirkan' bukan berarti tidak ada. Sama dengan kesulitan menceritakan rasa durian di atas; tidak bisa diceritakan bukan berarti tidak ada. Untuk menjelaskan durian, perlu dibuktikan sendiri. Untuk memahami Nibbana, perlu dijalani sendiri. Jalan yang harus ditempuh itu dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Mulia Berunsur Delapan sesungguhnya hanya merupakan satu jalan saja. Namun, satu jalan ini terdiri dari delapan unsur yaitu Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Jalan Mulia inilah yang diajarkan Sang Buddha ketika Beliau pertama kali mengajarkan Dhamma di dunia. Karena seorang umat Buddha harus melaksanakan dan menjalani sendiri Jalan Mulia Berunsur Delapan agar dapat memahami Ketuhanan Yang Mahaesa atau Nibbana, maka dalam Ajaran Sang Buddha dikenal istilah “datang dan buktikan” atau ehipassiko (Bhs. Pali).


2
          hallo kawan2 sedhamma
ada yg tau ga mengenai parita atau mantra untuk brahma 4 wajah dan dewa bumi???

3
Bantuan Teknis, kritik dan saran. / [Saran] 8 Pertanyaan ....
« on: 01 May 2009, 05:15:11 PM »
apakah anda setuju klo 8 pertanyaan yg tidak dijawab sang buddha dilarang dibahas disini ?

alasannya karena akan memancing perdebatan panjang yg berputar2 tiada ujung buang waktu n tidak bermanfaat sama sekali!

4
Vegetarian / vegetarian bukan yg utama dalam menyempurnakan parami
« on: 28 April 2009, 03:26:01 PM »
                          berikut dibawah adalah sebuah pernyataan dari seorang bhikku theravada tentang vegetarian yg intinya bahwa vegetarian itu bukanlah hal yg mutlak dalam parami tetapi dia tidak menentangnya.harap saudara2 berpartisipasi dalam pollingnya dankemukaan tanggapan anda jika anda tidak setuju.dg awal kalimat _/\_

saya tidak setuju karena;
................................
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,


PANDANGAN SANG BUDDHA TENTANG MAKAN DAGING
Oleh : Bhikkhu Dhammavuddho Mahathera


NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMASAMBUDDHASSA


PENDAHULUAN

Makan daging merupakan topik yang sangat sensitif. Ada beragam pandangan tentang makan daging dan setiap pandangan mungkin benar pada batas tertentu, tetapi pandangan-pandangan tersebut mungkin saja tidak bijaksana. Dalam hal ini, kita harus mengesampingkan pandangan pribadi kita dan bersikap lebih terbuka untuk melihat pandangan Sang Buddha. Hal ini penting sekali karena Beliau adalah Tathagata yang mengetahui dan melihat.

Sutta dan Vinaya akan menjadi sumber referensi kita karena di AN 4.180, Sang Buddha berkata bahwa jika bhikkhu tertentu mengatakan sesuatu, yang diklaim sebagai sabda Sang Buddha, maka perkataan tersebut haruslah dibandingkan dengan Sutta (kumpulan khotbah) dan Vinaya (disiplin kebhikkhuan). Jika perkataan tersebut sesuai dengan Sutta dan Vinaya, maka kita dapat menerimanya sebagai sabda Sang Buddha.

Pertimbangan selanjutnya adalah Sutta dan Vinaya mana yang menjadi acuan kita? Walaupun berbagai mazhab Buddhis mempunyai penafsiran yang berbeda tentang ajaran Sang Buddha, umumnya semua setuju bahwa empat Nikaya (Kumpulan-kumpulan), yaitu, Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Anguttara Nikaya, dan beberapa buku dari Khuddhaka Nikaya, adalah khotbah-khotbah tertua otentik Sang Buddha. Lebih lanjut, buku-buku kumpulan tertua ini konsisten secara keseluruhannya, mengandung rasa pembebasan, sementara buku-buku belakangan terkadang berisikan ajaran yang kontradiktif.

Buku-buku Vinaya dari berbagai mazhab Buddhis semuanya cukup serupa dengan Vinaya Theravada. Untuk alasan ini, Sutta-sutta kumpulan tertua dan Vinaya Theravada akan menjadi sumber referensi kita.


REFERENSI SUTTA


Majjhima Nikaya 55
Khotbah ini penting sekali karena disini Sang Buddha menyatakan dengan jelas pendapat Beliau tentang makan daging.

Tabib Raja, Jivaka Komarabhacca, datang mengunjungi Sang Buddha. Setelah memberi penghormatan, dia berkata: “Yang Mulia, saya telah mendengar hal ini: ‘Mereka menyembelih makhluk hidup untuk Samana Gotama (yaitu Sang Buddha); Samana Gotama dengan sadar memakan daging yang dipersiapkan kepadanya dari binatang yang dibunuh untuk dirinya’…”; dan bertanya apakah hal ini memang benar.

Sang Buddha menyangkal hal ini, menambahkan “Jivaka, saya nyatakan bahwa dalam tiga hal daging tidak diijinkankan untuk dimakan: apabila dilihat, didengar atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) … Saya nyatakan bahwa dalam tiga hal daging diijinkan untuk dimakan: ketika tidak dilihat, didengar, atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) ….”

Lebih lanjut, Sang Buddha menambahkan: “Jika seseorang menyembelih suatu makhluk hidup untuk Tathagata (yaitu Sang Buddha) atau para siswanya, dia menimbun banyak kamma buruk dalam lima hal … (i) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan giring makhluk hidup itu’ ... (ii) Ketika makhluk hidup itu menderita kesakitan dan kesedihan ketika dijerat dengan lehernya yang terikat … (iii) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan sembelihlah makhluk hidup itu’ … (iv) Ketika makhluk hidup itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena disembelih … (v) Ketika dia mempersembahkan kepada Tathagata atau para siswanya dengan makanan yang tidak diijinkan …. ”

Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Sang Buddha membedakan antara daging yang diijinkan1 dengan tiga kondisi dan daging yang tidak diijinkan. Ini adalah kriteria yang paling penting sehubungan dengan makan daging.


Anguttara Nikaya 8.12
Jendral Siha, seorang pengikut Nigantha, beralih ke ajaran Buddha setelah dia belajar Dhamma dari Sang Buddha.

Dia mengundang Sang Buddha dan rombongan bhikkhu ke rumahnya hari berikutnya untuk bersantap, dan menyediakan daging dan makanan lainnya. Para Nigantha, yang cemburu karena seorang umat awam yang terkemuka dan berpengaruh telah pergi ke perkemahan Buddha, menyebarkan rumor bahwa Jendral Siha telah membunuh seekor binatang besar dan memasaknya
untuk samana Gotama, “… dan samana Gotama akan memakan daging tersebut, mengetahui bahwa daging itu memang dimaksudkan untuk dirinya, perbuatan itu dilakukan untuk kepentingannya.’

Ketika berita ini sampai ke telinga Jendral, dia menolak tuduhan mereka, berkata: “ … Sudah lama tuan–tuan yang terhormat ini (Nigantha) sudah berniat untuk meremehkan Buddha … Dhamma… Sangha: tetapi mereka tidak dapat mengganggu Yang Terberkahi dengan fitnahan kejam, kosong, bohong, yang tak benar. Tidaklah demi menopang hidup, kita dengan sengaja merampas hidup makhluk manapun.

Ini adalah salah satu khotbah yang dengan jelas menunjukkan bahwa Sang Buddha dan bhikkhunya makan daging. Juga, kita lihat bahwa daging dari binatang yang sudah mati ketika dibeli, diijinkan untuk dimakan, tetapi tidak diijinkan apabila binatangnya masih hidup.


Anguttara Nikaya 5.44
Ini tentang seorang umat awam, Ugga, yang mempersembahkan beberapa pilihan makanan yang baik untuk Sang Buddha: di antaranya adalah daging babi yang dimasak dengan buah jujube yang diterima oleh Sang Buddha.

Sekali lagi, ini jelas bahwa Sang Buddha dan para siswanya makan daging.


Sutta Nipata 2.2
Disini Sang Buddha mengingat kembali suatu peristiwa pada kehidupannya yang lampau pada masa Buddha Kassapa. Buddha Kassapa adalah gurunya saat itu.

Pada suatu ketika saat seorang petapa sekte luar bertemu dengan Buddha Kassapa dan mencacinya karena makan daging, yang dikatakannya sebagai noda dibandingkan dengan konsumsi makanan vegetarian.

Buddha Kassapa membalas: “Membunuh … melukai …. mencuri, berbohong, menipu … berzinah; inilah noda. Bukan makan daging.
… Mereka yang kasar, sombong, memfitnah, curang, jahat … kikir … inilah noda. Bukan makan daging.
… Kemarahan, keangkuhan, sifat keras kepala, kebencian, penipuan, keirihatian, pembualan… inilah noda. Bukan makan daging.
… Mereka yang bermoral buruk, …. dengki … congkak … menjadi orang yang paling keji, melakukan perbuatan demikian, inilah noda. Bukan makan daging.”


REFERENSI VINAYA


Patimokkha: Pacittiya 39
Dalam disiplin kebhikkhuan, seorang bhikkhu tidak diijinkan untuk meminta makanan khusus tertentu. Tetapi, sebuah pengecualian diijinkan di Patimokkha (peraturan kebhikkhuan) ketika bhikkhu itu sakit. Dalam keadaan ini, bhikkhu diijinkan untuk meminta produk dari susu, minyak makan, madu, gula, ikan, daging … Dengan jelas, ikan dan daging diijinkan untuk para bhikkhu.


Buku Kedisiplinan: Buku Keempat2
Dalam Mahavagga, sepuluh jenis daging dilarang bagi para bhikkhu: manusia, gajah, kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul. Kita dapat menyimpulkan dari sini bahwa daging dari binatang lain diijinkan, dengan terpenuhinya tiga kondisi untuk ‘daging yang diijinkan’, misalnya daging babi, daging sapi, ayam, dan lain sebagainya.


Buku Kedisiplinan : Buku Keempat3
Sup daging yang jernih diijinkan bagi bhikhhu yang sakit.


Buku Kedisiplinan : Buku Pertama4
Beberapa bhikkhu menuruni lereng dari Puncak Burung Nasar. Mereka melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh singa, menyuruh umat memasaknya dan memakannya. Di lain waktu, bhikkhu yang lain melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh harimau … sisa hewan yang mati terbunuh oleh macan tutul … dan lain sebagainya … menyuruh umat memasaknya dan memakannya.

Kemudian para bhikkhu ragu apakah itu sudah termasuk mencuri. Sang Buddha memberikan pengecualian kepada mereka dengan mengatakan tidak ada pelanggaran dalam mengambil apa yang menjadi milik binatang. Sekali lagi, di sini kita melihat bahwa para bhikkhu makan daging dan Sang Buddha tidak mengkritik atau melarang hal itu.


Buku Kedisiplinan : Buku Kedua5
Ini adalah kejadian ketika Arahat bhikkhuni Uppalavanna ditawarkan sebagian daging matang. Keesokan paginya, setelah mempersiapkan daging di biara wanita, dia pergi ketempat dimana Sang Buddha sedang tinggal untuk mempersembahkan kepadanya. Seorang bhikkhu, mewakili Sang Buddha, menerima persembahan itu dan mengatakan bahwa Uppalavanna telah menyenangkan Sang Buddha.

Jelaslah bahwa Sang Buddha memakan daging; apabila tidak, Arahat bhikkhuni Uppalavanna tidak akan mempersembahkannya.


Buku Kedisiplinan : Buku Kelima6
Bhikkhu Devadatta merencanakan untuk memecah-belah komunitas para bhikkhu dengan meminta Sang Buddha untuk menetapkan lima aturan, salah satunya adalah para bhikkhu tidak diijinkan makan ikan dan daging.

Sang Buddha menolak, dengan berkata : “Ikan dan daging sepenuhnya murni berdasarkan tiga hal: jika tidak dilihat, didengar atau dicurigai (telah dibunuh secara khusus untuk seseorang).”

Sang Buddha bersabda bahwa seorang bhikkhu harus mudah disokong. Jika seorang bhikkhu menolak untuk memakan jenis makanan tertentu (baik daging maupun sayuran) maka dia tidak mudah disokong.

5
Diskusi Umum / Nikah Beda agama
« on: 26 April 2009, 02:30:45 PM »
                  halo kawan2 semua
ini ada lg satu masalah umum jika kita dihadapkan pada masalah nikah beda agama
apa solusi yg baik menurut anda sebagai umat buddha jika pasanga hidup kita berlainan agama???
                  kadang2 sebelum nikah dia seagama lalu kemudian pindah agama karena seagamanya td hanya untuk ngerayu kita.


                 

6
                   Hallo kawan2,
ini adalah kolom buat siapa2 yg mo nyari kerja Ok!
jd klo da para Bos yg kebetulan ada lowongan n mo berbaik hati maka kami sangat berterima kasih
atas niat baik anda untuk merekrut kami.
                    sebutkan nama,domisili,status,pekerjaan sebelumnya,pengalaman,pekerjaan yg diinginkan,n no contact yg bisa dihubungi.....

                                                     Anumodana Sadhu Sadhu Sadhu

7
Diskusi Umum / ???? pelurusan makna Maitreya
« on: 21 April 2009, 06:22:58 PM »
           Nah ini seru nih
sesat g sesat asli g asli
                Klo menurut pandangan saya aliran maitreya itu sebenarnya adalah agama terpisah yang mendompleng agama buddha agar bisa eksis di indonesia ini.
                Nah di taiwan aliran ini adalah agama terpisah yg menamakan dirinya 弥勒大道 或 老母教 Mile dadao atau laomu jiao jd penggunaan nama maitreya tidaklah terlalu tepat
bahwa harus diketahui dicina daratan aliran ini dilarang karena mrupakan jelmaan dari aliran separatis teratai putih seklas falun gong  tp banyak orang2 mereka g tau fakta ini dan tatap merasa sebagai umat buddha.
                sekarang banyak saudara2 kita yg umat buddha asli merasa jengkel dg keberadaan mereka dan memperdebatkan kebenaran,yg menurut saya sebenarnya tidak perlu karena tidak ada penyelesaiannya,saya mengerti bahwa anda semua merasa jengkel tapi menyerang bukanlah cara2 umat buddha yang baik.harusnya kita mempertanyakan keASLIan mereka saja karena agama buddha mempunyai segel dhamma yang sama persis disemua sekte baik mahayana maupun theravada.itu saja cukup
                  asalkan mereka memisahkan diri dari nama buddha kita khan bisa menghormati mereka sebagai agama lain tanpa perlu berdebat khan begitu.


                  Berikut adalah sebuah ilustrasi


                  Aliran meitreya ini seperti sebuah perusahaan
PT ini memproduksi barang2 tiruan dg kualitas sangat berbeda dg yg aslinya(kebijasanaan yg sangat beda)
PT ini ingin merebut konsumen dg cara jual murah(dg janji yg gampang2 aja)
PT ini hanya menggunakan lebel merek terkenal dan mengaggabungkan sku cadang palsu dari beberapa merek terkenal lainnya dan desain yg berbeda seperti motor cina meniru honda(mereka pakai label buddha tp ada unsur agama lain juga dg dhamma yg beda)


Namun sepalsu-palsunya merek ini tetap saja punya pangsa pasar sendiri sehingga sulit bagi ATPM untuk membasminya(didunia ini orang miskin<kebijaksanaan>lbh banyak dr pd yg kaya)jd wajar donk banyak yg suka juga
pd saat merek ini sudah punya segmen dia akan buka kedoknya dg cara mendaftar sebagai PT baru dg nama yg beda dan tidak niru lg seperti yang ada di taiwan.

                 Bukti2 perbandingan dhamma antara keduanya akan diposting kemudian hari Tunggu tgl mainnya
Bagi penganut maitreya yg tidak jelas atau tidak terima silahkan posting keberatan yg akan dijawab langsung tanpa berputar2(soal dhamma)klo soal sejarah search saja sendiri.tp klo keberatan tentu harus juga membawa bukti2 yaitu pemaparan dhamma kalian ini
yg akan langsung dg cepat dibuktikan kembali ketidak asliannya oleh kami.


                    Terutama kenapa kalian ini g berani memposting ajaran kalian yg mendasar(trisarananya,doktrin ketuhanannya,intisarinya,teori tumimbal lahir,karma dll,dan terutama soal QIU TAO 求道)


                   semoga dg ini bisa meredakan kejengkelan banyak pihak

8
Diskusi Umum / apakah penggunaan jimat itu boleh?
« on: 20 April 2009, 07:35:27 PM »
                       Nah teman2 ada lagi nih
klo di luar jawa banyak masyarakat cina pd umumnya yang masih tradisional tp jg buddhis dimana mereka sering mempergunakan bao shen fu atau jimat
nah sekarang apa pendapat anda apakah pakai jimat itu berdosa atau tidak apa-apa?
                       catatan;
jimatnya digunakan buat melariskan usaha misalnya
atau melindungi diri dengan bahaya(pakai pistol juga bisa sih)
bukan untuk nyelakai orang

tetapi pakai jimat so pasti berhubungan dg mahkluk halus lo

9
Diskusi Umum / ?????? SEX PRANIKAH????????????????? KARMA??????
« on: 20 April 2009, 06:56:11 PM »
             Nah kawan2 mungkin judul diatas sedikit tabu bagi yg suka berpikir kotor tp ini menarik untuk ditelusuri karena fenomena ini sangat umum dewasa ini.
             pertama tama kita tekankan disini bahwa yg didiskusikan adalah sexnya bukan kondisi lain.
dalam artian sipelaku melakukan tanpa dipaksa(kedua belah pihak).si wanita emang sudah tidak perawan(jd tidak ada yang direnggut darinya)
          sipelaku bukan bhikku
          ke dua pasang orang tua pasangan udah tau karena emang udah dijodohin jd mereka g masalah tuh
          sipelaku sudah dewasa mapan secara ekonomi(hartanya cukup buat pelihara 10 anak)
          si cowok ditetapkan akan bertanggung jawab dalam kondisi apapun
          masalah mereka adalah di beberapa daerah di indonesia ngurus surat nikah cukup ribet dan mereka ini g punya waktu
          dan karena mereka fungky jd mereka g pusing ama presepsi orang karena byk orang bgt juga

              Pasangan ini berpendapat bahwa klo mo pisah itu bisa dg cara apapun sekalipun sudah nikah toh banyak fenomena orang menikah dg perjanjian pisah harta dan urus surat nikah ini buang2 waktu mereka.

              pasangan ini berpikir bahwa asalkan tidak ada pihak yg dirugikan maka tidak ada dosa

          masalah ini terlepas dari sex menghambat kesucian dan pencapaian meditasi karena pasangan ini belum berniat menjadi orang suci
dan tg terpenting pasangan ini bukan penulis ha ha ha
          

          menurut agama yg mengakui adanya tuhan personal bahwa alasan apapun haram untuk sex sebelum nikah
bagaimana menurut anda sebagai umat buddha???


10
Perkenalan / introduction
« on: 18 April 2009, 05:04:53 PM »
                Hai semuanya.
nama saya savana n saya baru bergabung dalam forum ini
salam kenal semuanya n mohon bimbingannya....
semoga semua mahkluk berbahagia

Pages: [1]