Misalnya ada pendapat: "mie ayam enak", karena enak dan tidak enak sifatnya relatif, berarti kebenaran "mie ayam" itu juga relatif.
Enak dan tidak enak sendiri pun masih bersifat relatif.
Konsep enak dan tidak enak tiap orang adalah berbeda-beda.
Ada enak biasa, lumayan atau enak bangat (lezat), dll.
Demikian juga kalau penderitaan itu relatif, berarti kebenaran buddha-dhamma sifatnya relatif juga donk?
Bagaimana penjelasannya?
Kebenaran (absolut) tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata maupun dipikirkan karena akan jatuh pada kebenaran duniawi yang bersifat relatif (berkondisi).
Misalnya ketika kita mengatakan bahwa "hidup adalah dukkha" (perasaan derita, senang, atau netral) maka kata-kata tersebut bisa disalahtafsirkan, tidak ditanggapi atau bisa juga disetujui, oleh orang lain.
Namun ketika orang tersebut mengalami langsung kondisi hidup yang berubah-ubah sehingga timbul perasaan takut, senang, tidak bahagia, dll maka konsep kebenaran tentang "hidup adalah dukkha" menjadi tidak relevan lagi atau tidak nyambung karena dia telah mengalami sendiri.
Makanya dikatakan pengalaman adalah guru terbaik atau anjuran yang cukup tenar adalah datang dan buktikan sendiri (coba sendiri).
IMO, peran terbesar penyebaran kesalahan pandangan umum terhadap Buddhisme adalah dari umat Buddha sendiri.
Kurang tahu juga kalau masalah ini. makanya dikatakan, pada saat Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna, Beliau sempat memutuskan untuk tidak membabarkan AjaranNya. mungkin ini salah satu pertimbanganNya, manusia banyak yang belum berkompeten untuk menjangkau DharmaNya.