Dalam bahasa Pali, kata “citta” sering diterjemahkan sebagai “pikiran” dan “viññāṇa” diterjemahkan sebagai “kesadaran”. Kata “citta” juga bersinonim dengan “mano” atau “manas” (yang juga diterjemahkan sebagai “pikiran”). Namun tulisan ini hanya akan membatasi diri membahas tentang istilah “citta” dan “viññāṇa”.
Sebelum kita meninjau penggunaan dua istilah ini dalam ajaran Buddha, terlebih dahulu kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk melihat pengertian keduanya dalam kehidupan sehari-hari:
pi•kir•an n 1 hasil berpikir (memikirkan):
ia pandai menangkap ~ dan perasaan orang lain; 2 akal; ingatan; 3 akal (dl arti daya upaya):
mendapat ~; 4 angan-angan; gagasan:
~ baru; 5 niat; maksud:
tidak ada ~ akan berhenti bersekolah;
ke•sa•dar•an n 1 keinsafan; keadaan mengerti:
- akan harga dirinya timbul krn ia diperlakukan secara tidak adil; 2 hal yg dirasakan atau dialami oleh seseorang;
Dalam hal ini, pikiran dan kesadaran menunjuk pada dua aspek yang berbeda dari fungsi mental atau keadaan batin itu sendiri; pikiran merupakan fungsi intelektual dan rasional dari batin, sedangkan kesadaran merupakan fungsi kognitif dan emosionalnya.
Sekarang kita akan mengkaji penggunaan kedua istilah ini dalam kotbah-kotbah Sang Buddha (sutta), penjelasan dalam komentar kuno dan Abhidhamma, serta pendapat para sarjana Buddhis masa kini.
A. Menurut Sutta-Sutta Dalam sutta-sutta, kata “viññāṇa” lebih sering digunakan, terutama untuk menunjuk pada salah satu unsur (khandha) yang membentuk sistem fisio-psikologis kehidupan (pañcakkhandha). Beberapa kutipan kotbah Sang Buddha di bawah ini memberikan definisi kesadaran ini:
“Dan apakah, para bhikkhu, kesadaran (viññāṇa) itu? Ada enam kelompok kesadaran: kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran (manoviññāṇa). Ini disebut kesadaran. Dengan munculnya batin-dan-bentuk (nāma-rūpa), maka muncul pula kesadaran. Dengan lenyapnya batin-dan-bentuk, maka lenyap pula kesadaran. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya kesadaran, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.” (SN 22:56)
“Kesadaran apapun juga, bhikkhu, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur kesadaran (viññāṇakkhandha).” (SN 22:82 / MN 109)
“Dan mengapakah, para bhikkhu, engkau menyebutnya kesadaran? ‘Ia menyadari (vijānāti),’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran. Dan apakah yang ia sadari? Ia menyadari rasa asam, ia menyadari rasa pahit, ia menyadari rasa pedas, ia menyadari rasa manis, ia menyadari rasa sangat pedas, ia menyadari rasa lembut, ia menyadari rasa asin, ia menyadari lunak. ‘Ia menyadari,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran.” (SN 22:79)
[Yang Mulia Mahā Koṭṭhita bertanya:] “’Kesadaran, kesadaran’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah ‘kesadaran’ dikatakan?”
[Yang Mulia Sāriputta menjawab:] “’Kesadaran menyadari (vijānātī), kesadaran menyadari,’ teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan. Apakah yang disadari? Kesadaran menyadari ‘[Ini] menyenangkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini] menyakitkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini] bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’; ‘Kesadaran menyadari, kesadaran menyadari,’ teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan.” (MN 43)
Sedangkan istilah “citta” walau banyak digunakan dalam sutta-sutta, namun Sang Buddha tidak memberikan definisinya seperti halnya terhadap istilah “viññāṇa”. Berikut beberapa kutipan sutta yang membahas tentang citta:
1. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang begitu kaku seperti halnya pikiran yang tidak terkembang. Pikiran yang tidak terkembang adalah sungguh kaku.
2. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang begitu lentur seperti halnya pikiran yang terkembang. Pikiran yang terkembang adalah sungguh lentur.
3. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang mengarah menuju bahaya besar seperti halnya pikiran yang tidak terkembang. Pikiran yang tidak terkembang mengarah menuju bahaya besar.
4. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang mengarah menuju manfaat besar seperti halnya pikiran yang terkembang. Pikiran yang terkembang mengarah menuju manfaat besar.
9. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang jika tidak dikembangkan dan tidak dilatih akan membawa penderitaan luar biasa seperti halnya pikiran. Pikiran jika tidak dikembangkan dan tidak dilatih akan membawa penderitaan luar biasa.
10. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang jika dikembangkan dan dilatih akan membawa kebahagiaan luar biasa seperti halnya pikiran. Pikiran jika dikembangkan dan dilatih akan membawa kebahagiaan luar biasa.”
(AN 1: iii, 1, 2, 3, 4, 9, 10; bandingkan juga dengan Dhammapada bab III Citta-vagga)
“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran? Di sini seorang bhikkhu memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang tidak terpengaruh nafsu. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebencian. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan. Ia memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau. Ia memahami pikiran yang luhur sebagai luhur dan pikiran yang tidak luhur sebagai tidak luhur. Ia memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran yang tidak terbatas sebagai tidak terbatas. Ia memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi. Ia memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan.”
“Dengan cara ini ia berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya di dalam pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya di dalam pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya di dalam pikiran. Atau penuh perhatian bahwa ‘ada pikiran’ muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian berulang-ulang. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran.” (DN 22 / MN 10 Satipaṭṭhāna Sutta)
“Para bhikkhu, Aku tidak melihat kelompok makhluk hidup lain yang begitu beragam seperti kelompok makhluk di alam binatang. Bahkan makhluk-makhluk di alam binatang itu telah diberagamkan oleh pikiran, namun pikiran bahkan lebih beragam daripada makhluk-makhluk di alam binatang itu.”
“Oleh karena itu, para bhikkhu, seseorang harus sering merenungkan pikirannya sebagai: ‘Sejak lama pikiran ini telah dikotori oleh nafsu, kebencian, dan kebodohan.’ Melalui kekotoran pikiran makhluk-makhluk dikotori; dengan pemurnian pikiran makhluk-makhluk dimurnikan.” (SN 22:100)
[Sang Buddha bertanya:] “Pikiran cenderung mengarah kepada pengetahuan dan penglihatan. Sekarang, bagi seseorang yang mengetahui dan melihat, apakah tepat mengatakan: ‘Jiwa adalah sama dengan badan’ atau ‘Jiwa berbeda dengan badan’?” [Pertapa Maṇḍisa dan Jāliya menjawab:] “Tidak, Teman.” (DN 6)
“Tetapi, para bhikkhu, sehubungan dengan apa yang disebut dengan ‘batin’ (citta) atau ‘pikiran’ (mano) atau ‘kesadaran’(viññāṇa) [
Cittaṃ iti pi mano iti pi viññāṇaṃ iti pi; di sini baik “citta” maupun “mano” bermakna sama/sinonim (pikiran), tetapi untuk membedakannya “citta” diterjemahkan sebagai “batin”] – kaum duniawi yang tidak terlatih tidak bisa mengalami kejijikan terhadapnya; tidak bisa menjadi bosan terhadapnya dan terbebaskan darinya. Karena alasan apakah? Karena telah sejak lama digenggam olehnya, pantas, dan dicengkeram sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Oleh karena itu, kaum duniawi yang tidak terlatih tidak bisa mengalami kejijikan terhadapnya; tidak bisa menjadi bosan terhadapnya dan terbebaskan darinya.”
“Adalah lebih baik, para bhikkhu, bagi kaum duniawi yang tidak terlatih untuk menganggap jasmani yang terdiri dari empat unsur utama ini sebagai diri daripada batin. Karena alasan apakah? Karena jasmani yang terdiri dari empat unsur utama ini terlihat ada selama satu tahun, selama dua tahun, selama tiga, empat, lima atau sepuluh tahun, selama dua puluh, tiga puluh, empat puluh, atau lima puluh, selama seratus tahun, atau lebih. Tetapi apa yang disebut dengan ‘batin’ atau ‘pikiran’ atau ‘kesadaran’ muncul sebagai sesuatu dan lenyap sebagai yang lainnya siang dan malam. Bagaikan seekor monyet yang berkeliaran di hutan berpegangan pada satu dahan, melepaskan dan memegang dahan lainnya, kemudian melepaskannya lagi dan memegang yang lainnya lagi, demikian pula apa yang disebut ‘batin’ atau ‘pikiran’ atau ‘kesadaran’ muncul sebagai sesuatu dan lenyap sebagai yang lainnya siang dan malam.” (SN 12:61)
Tampak bahwa dari beberapa kutipan sutta tentang citta di atas seakan-akan menyatakan bahwa citta berbeda dari viññāṇa, namun dari kutipan terakhir (SN 12:61) Sang Buddha menggunakan istilah “citta” dan “viññāṇa” (termasuk “mano”) untuk menunjuk pada hal yang sama.
B. Menurut Komentar dan Abhidhamma Kitab komentar menganggap kedua istilah ini menunjuk pada hal yang sama:
“Dikatakan di atas: ‘Apa pun yang memiliki karakteristik menyadari harus dipahami, semuanya bersama-sama, sebagai kelompok unsur kesadaran (viññāṇakkhandha)’. Dan apakah yang memiliki karakteristik menyadari itu? Kesadaran (viññāṇa); berdasarkan hal ini dikatakan: ‘Ia menyadari, teman, itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan.’ (MN 43). Kata viññāṇa (kesadaran), citta (pikiran/batin), dan mano (pikiran) adalah satu dalam makna.” (Visuddhimagga XIV:82)
“Citta, mano, dan viññāṇa adalah sinonim untuk pikiran (cittaṃ manoviññāṇaṃ ti cittassa etaṃ vevacanaṃ).” (Nettippakarana 54)
Menurut Abhidhamma:
“Apakah pikiran (citta) itu? Pemikiran di mana merupakan gagasan, pikiran, hati, yang jernih, gagasan sebagai landasan pikiran, kemampuan pikiran, kesadaran, kelompok unsur kesadaran, unsur yang sesuai mewakili kesadaran – inilah pikiran yang ada di sana.” (Dhammasangani I:6)
Penjelasan Abhidhammattha Sangaha menyatakan: “Kelompok kesadaran (viññāṇakkhanda) di sini dimasukkan ke dalam kesadaran (citta), kata “citta” umumnya digunakan untuk menunjuk pada kelompok-kelompok kesadaran yang berbeda-beda yang dibedakan dengan yang menyertainya.”
Beberapa kutipan kitab komentar dan Abhidhamma di atas menyatakan bahwa setidaknya dalam tradisi Theravada yang belakangan, citta dan viññāṇa menunjuk pada hal yang sama.
C. Menurut Para Sarjana Buddhis Modern Mengikuti tradisi komentar dan Abhidhamma, Bhikkhu Nyanaponika memberikan definisi citta sama dengan viññāṇa dalam kamus istilah Pali-nya (Buddhist Dictionary: Manual of Buddhist Terms and Doctrines) sbb:
Citta:
“pikiran”, “kesadaran”, “keadaan kesadaran”, adalah suatu sinonim dari mano and viññāna. Mengomentari penggunaan ketiga istilah citta, mano, dan viññāṇa dalam SN 12:61 (lihat di atas), Bhikkhu Bodhi menulis:
Sementara ketiga istilah menunjuk pada hal yang sama, dalam Nikāya sering kali digunakan dalam konteks yang berbeda. Sebagai generalisasi kasar, viññāṇa menyiratkan kesadaran pada bagian tertentu melalui organ indria (seperti dalam enam pembagian standar atas viññāṇa menjadi kesadaran-mata, dan seterusnya) serta arus kesadaran di bawahnya, yang mempertahankan kelangsungan personal melalui satu kehidupan dan merangkai kehidupan demi kehidupan (ditekankan pada 12:38-40). Mano berfungsi sebagai pintu perbuatan ke tiga (bersama dengan jasmani dan ucapan) dan sebagai landasan indria internal ke enam (bersama dengan lima landasan indria fisik); sebagai landasan pikiran yang mengkoordinasikan data dari lima indria lainnya dan juga mengenali fenomena batin (dhammā), kelompok objek khususnya sendiri. Citta menyiratkan pikiran sebagai pusat pengalaman pribadi, sebagai subjek pikiran, kehendak, dan emosi. Adalah citta yang harus dipahami, dilatih, dan dibebaskan. (catatan kaki no.154 dalam terjemahan Samyutta Nikaya buku 2 Nidana Vagga oleh Bhikkhu Bodhi)
Sementara itu K. Nizamis menulis dalam terjemahannya atas sutta yang sama:
Cukuplah untuk mengatakan bahwa saya tidak menyatakan bahwa citta, mano, dan viññāṇa adalah “hal” yang berbeda dan terpisah, tetapi bahwa ketiganya menunjuk pada fungsi dan sifat yang agak berbeda dan tidak dapat diturunkan dari “pikiran” seperti demikian. Menyatakan bahwa ketiganya “hanyalah sinonim” adalah, kasarnya, agaknya seperti menyatakan bahwa kata-kata “uap”, “cairan”, dan “es” semuanya adalah “hanya sinonim”. Secara pastinya, ketiganya menunjuk pada bentuk-bentuk “air”; tetapi sangat salah untuk menyatakan bahwa ketiganya oleh sebab itu hanyalah “bersinonim”. (
SN 12.61 Assutava Sutta: The Spiritually-Unlearned)
Dalam bukunya
Satipatthana: Jalan Langsung Menuju Tujuan, Bhikkhu Analayo menulis:
Dalam sutta-sutta Pali, citta biasanya mengacu pada “pikiran” dalam konteks konatif dan afektif, yaitu suasana hati atau keadaan pikiran. (hal. 254)
Meskipun dalam sutta, kata “kesadaran” (viññāṇa) digunakan untuk mewakili kata “citta” secara umum, namun dalam konteks klasifikasi khandha, kesadaran adalah menyadari sesuatu. Tindakan menyadari ini terutama menyebabkan rasa “keterpaduan diri” (subjective cohesiveness) yaitu adanya “aku” yang hakiki dalam pengalaman. (hal. 297)
Berdasarkan kajian dari berbagai sumber ini, dapat disimpulkan bahwa citta dan viññāṇa adalah dua hal yang serupa tetapi tidak sama, walaupun dalam terminologi Pali kedua istilah ini bersinonim. Karena ini bersifat kajian atau studi teoritis terhadap berbagai literatur Buddhis yang ada, kesimpulan ini belum tentu benar dan patut diselidiki kembali, mengingat para cendikiawan Buddhis masa kini pun masih berbeda pendapat dalam hal ini.
Seperti yang dikatakan Sang Buddha dalam
AN 8:2, setelah seseorang mempelajari (pariyatti) Dhamma serta menembusnya dengan pikiran dan pandangannya, ia melakukan praktek (patipatti) dan realisasi (pativedha) Dhamma dengan mengembangkan perenungan terhadap muncul dan lenyapnya unsur-unsur kehidupan (pañcakkhandha). Demikian juga, mempelajari tentang citta dan viññāṇa ini hanyalah langkah awal untuk mengembangkan praktek yang sebenarnya guna memahami sesungguhnya kedua fenomena kehidupan ini. Setelah lengkap ketiga unsur Dhamma (pariyatti, patipatti, dan pativedha) ini, barulah pemahaman yang benar atas keduanya diperoleh.
Semoga bermanfaat