hmm, memang di nien-fo demikian yah? setahu saya nien-fo itu mengulang2x nama Buddha dari awal sampai akhir, dan itulah esensinya. Bisa membuat fokus/konsentrasi dan membuat "hubungan" dengan buddha Amitabha.
Kalau meditasi dengan bantuan Buddho kan hanya sebagai alat bantu memperhatikan nafas in dan out lalu bisa ditinggalkan dan tidak mengulang-ngulang Buddho lagi.
Kadang-kadang dalam nienfo pun menggunakan perhatian pada nafas untuk membantu konsentrasi pada nama Buddha. Kelihatannya, apakah nama Buddha yang membantu nafas atau nafas yang membantu nama Buddha bisa dipraktikkan semuanya, tak terkecuali jika keduanya terus dipakai bersamaan hingga terjadi keheningan. Dalam hal ini, saya mencoba mengambil kesimpulan bahwa meditasi sejenis sebenarnya hanyalah usaha untuk memfokuskan pikiran pada satu objek yang dianggap bisa membantu mencapai pikiran murni.
Bahkan, praktik nienfo juga sering dipraktikkan dengan huatou, di mana praktisi terus mengulang nama Amitabha sambil bertanya "Siapa yang melafalkan nama Buddha?" Pertanyaan ini terus dikonsentrasikan pada kata "siapa" yang untuk menjawabnya seseorang harus mengamati terus asal dari kata tersebut yang berarti dari mana muncul dan hilangnya ucapan "Ambitabha." Saya melihat kemiripan metode ini denagn yang diceritakan oleh Ajahn Sumedho.
Sedangkan konteks tentang visualisasi Buddha Amitabha adalah juga bagian dari cara untuk membangun konsentrasi yang kuat. Para praktisi diminta untukterus menerus membayangkan objek-objek dalam Tanah Murni yang harus dibayangkan hingga sejelas-jelasnya hingga tampak "nyata." Dalam pengalaman saya, untuk terus menerus membayangkan sebagaimana yang disyaratkan ternyata membutuhkan konsentrasi dan usaha yang besar. Umumnya metode ini yang membuat salah paham banyak pihak yang mengira bahwa bayangan tersebut harus seakurat mungkin dengan Tanah Murni yang dianggap sebagai dunia eksternal-objektif, sehingga timbul adanya asumsi bahwa Tanah Murni atau Sukhavati adalah sejenis surga dalam konteks agama samawi.
Pemahaman demikan sungguh salah, karena Tanah Murni sebagai alam tidak lain adalah perwujudan dari pikiran (citta) yang murni. Dalam Mahayana, batin dan alam bukanlah dikotomi yang terpisah. Pencapaian batin tingkat tertentu berarti juga berarti pencapai alam tertentu, begitu juga sebaliknya. Sebenarnya dalam Theravada pun demikian halnya, karena tingkat pencapaian Jhana tertentu berarti juga kemungkinan dilahirkan di alam dewa tertentu. Batin dan alam bukanlah dunia yang terpisah secara absolut. Dikotomi internal dan eksternal ada selama diri-ego diyakini ada.
Oleh karena itu, apakah itu Nimitta ataupun Tanah Murni, semoga saya tidak dianggap melakukan sinkretisme
, sebenarnya hanyalah cara masing-masing aliran untuk menjelaskan fenomena yang dialami dalam meditasi yang sulit digambarkan dengan kata-kata.