Dalam hal penerjemahan Tipitaka (Pali) ada sejumlah hal yang ingin saya kemukakan :
1. Memang ada baiknya kalau bisa saling tukar informasi. (Saya menghindari istilah koordinasi karena mempunyai nuansa mengikat.) Tetapi kadang-kadang bagus juga kalau ada beberapa versi terjemahan sehingga pilihan menjadi lebih banyak, dengan konsekuensi bisa terjadi pemborosan sumber daya.
2. Saya pikir sekarang sudah saatnya bagi kita di Indonesia untuk melakukan penerjemahan langsung dari bahasa aslinya yaitu Bahasa Pali. Karena bagaimanapun juga kalau diterjemahkan dari terjemahan turunannya (entah Inggris atau bahasa lain) sedikit banyak bisa terjadi bias. (Terjemahan Bahasa Inggris masih tetap bisa dijadikan rujukan. Itu saya lakukan dulu saat menerjemahkan Vinaya Pitaka Jilid I yang telah diterbitkan ITC Medan. Ini juga sekaligus menghindari masalah hak cipta.) Sekarang tinggal apakah penerjemah di Indonesia bersedia bersusah-payah mempelajari Bahasa Pali atau tidak? Mungkin salah satu jalan keluarnya adalah insentif untuk penerjemah Pali lebih besar (khusus untuk umat perumah-tangga saja; bagi para pabbajita, insentifnya diambil di “next-life”).
3. Dalam menerjemahkan kitab Pali, konsistensi penggunaan istilah perlu diperhatikan. Dan umum diketahui bahwa sutta-sutta Buddhis banyak mengandung frasa yang diulang-ulang. Saya pikir, dalam hal ini penggunaan CAT Tools (Computer Aided Translation Tools) akan sangat membantu. Salah satu CAT Tools yang masuk dalam kategori free-source adalah OmegaT. Bahkan antara satu penerjemah dengan penerjemah lainnya bisa saling tukar Translation Memories-nya.
4. Dari pengalaman pribadi, agar bisa menggunakan istilah terjemahan yang lebih tepat, saat menerjemahkan sutta-sutta ada baiknya pada waktu bersamaan diterjemahkan pula komentar maupun subkomentarnya. Juga menghindari penerjemahan ulang sutta-sutta tersebut apabila kelak mau menerjemahkan komentar maupun subkomentarnya.
5. Perihal Vinaya-Mukha, sekadar informasi, STI pun sudah menerbitkan jilid II yang diterjemahkan oleh Bhante Dhammadhiro langsung dari versi aslinya (Bahasa Thai).
Terhadap penerjemahan sutra-sutra Mahayana (Tripitaka), saya pun memiliki pandangan yang sama. Dua puluh tahun yang lalu, saat masih umat awam, saya sudah menerjemahkan sejumlah sutra langsung dari naskah Sansekertanya (misalnya Amitabha-Sutra, Bhaisajyaguru-Sutra, dan Vajracchedika-Sutra). Kalau diterjemahkan dari Bahasa Mandarin kadang juga menghadapi masalah mau diterjemahkan dari naskah yang mana kalau ada beberapa versi terjemahan? Misalnya Vajracchedika-Sutra, di dalam Mahapitaka Taisho (大正大藏经) ada enam versi terjemahan. Mau pakai yang mana? Masing-masing ada sedikit perbedaan. Masing-masing ada kekurangannya. Yah memang tidak semua sutra Mahayana masih bisa ditemukan naskah Sansekertanya.
Demikianlah sedikit pendapat yang dapat saya berikan (mungkin agak OOT).